Senin, 21 November 2011

Membangun Sinergisitas Peran Mahasiswa Kini dan Nanti*



Sub Tema : “Membangun Pemimpin yang Berkarakter dan Berintegritas Menuju Era Baru”
Oleh : Joni Firmansyah**
Mahasiswa, identik dengan idealismenya, rela bergerak bahkan memang harus bergerak demi ideologinya, yang sejatinya telah menjadi fitrah dan komitmen secara ideologis untuk berderap dan melaju menuju sinergisitas peran mereka. Mahasiswa, dalam paradigma M. Iksan Shiddegy, sesuai buah pemikirannya dalam sebuah jurnal pembaharuan, secara terang-terangan mempertanyakan kembali eksistensi generasi muda saat ini yang sangat jauh dari kata “bergerak”. M. Iksan Shiddegy, mengklasifikasikan mahasiswa dalam tiga kategori. Pertama, ialah mahasiswa aktifis, yang hobinya narsis, senang berretoris dan merasa sok laris. Mahasiswa seperti ini menjadikan organisasi sebagai tujuan utama, meyakini bahwa apa yang mereka lakukan demi kepentingan rakyat, sehingga mereka terbawa suasana “perjuangan” kampus guna kepentingan rakyat, hingga menunda kelulusan mereka agar lebih memudahkan alur mereka dalam mengurus rakyat, padahal dengan menunda kelulusannya, artinya ia lebih banyak menghabiskan uang orang tuanya, yang notabenenya adalah rakyat juga. Kedua, ialah mahasiswa teks book, mahasiswa teoritis yang lebih suka berkutat dengan teori- teori gampangan dan murahan tanpa adanya kongklusi realistis. Mahasiswa ini jarang berkoar dijalanan, jarang pula ikut aksi tapi lebih senang diskusi dan update status di FB dan Twitter. Mahasiswa ini lebih senang berkoar didunia maya, lebih menyukai diskusi satu arah, namun ketika dipertanyakan integritas serta pemahaman asumsi faktualnya, mereka hanya bungkam serta diam, tanpa ada pembelaan berarti. Ketiga ialah mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang), yang tak peduli mau ada aksi, tak peduli dekan dan pejabat kampus korupsi, yang terpenting absen mereka penuh terisi, maka aman dan usailah sudah. Selanjutnya ialah tipe keempat, yaitu segelintir mahasiswa yang no background, no perception dan beraksi melawan kaum ideologis. Pergerakan mereka sama layaknya kaum-kaum Sophies pada masa Socrates, yang merasa dirinya sebagai golongan paling cerdas, anti perubahan atau biasa yang disebut sebagai pragmatis-apatisasi gerakan. Mahasiswa dalam porsi ini, hanya bisa mempertanyakan, tanpa ada solusi ataupun jalan keluar perubahan. Hanya bisa mengkritik, tanpa ada paradigma teori yang jelas. Alur yang dibangun nampaknya membentuk gerakan revival, yaitu gerakan penyucian diri, dengan etnosentris dan primordialis yang menjadi dasar gerakan. Mereka selalu bersifat antipati dan berkeinginan memotong alur gerakan, bersifat oppurtunistik, pengecut dan bertopeng. Mengklaim dirinya sebagai aktor, nyatanya sebagai “tikus-tikus kantor” yang hanya bisa menggerogoti dan memutarbalikkan fakta serta asumsi yang ada. Selanjutnya, karakteristik yang terkahir ialah Progresif-Revolutioner, yaitu golongan mahasiswa yang memiliki ekspektasi yang realistis, penuh perhitungan, matang perencanaan, serta bersinergis terhadap perubahan. Mahasiswa seperti ini penuh dengan ide, penuh dengan harapan, yang teraplikasi dalam tindakan. Memiliki kesinambungan progres akademis, dengan tinjauan futuristik nan strategis visi dirinya kedepannya.

Itulah pandangan sekilas dari M. Iksan Shiddegy tadi, atas realitas mahasiswa yang sudah tak sinergis, tak sejalan, tak satu visi maupun sudah tak satu dalam pergerakan. Dilematisasi ini, menjadikan negara ini galau atas peradabannya, keluh dalam pergerakannya, dan merintih atas distorsi kepentingan. Negara dengan pancasila dan demokrasi sebagai pilar penggerak, nyatanya harus kecewa dan termentahkan dengan peran pemuda yang tak memiliki stabilitas lagi.

Dari berbagai asumsi dan pandangan yang ada, penulis teringat dan “tergelitik” kembali dengan euforia kisah-kisah masa lalu dalam pengkaderan kepemudaan. Penulis teringat atas kata-kata bertenaga Ir. Soekarno, “Jas Merah”, jangan sekali-kali melupakan sejarah, memberikan pembelajaran sinergisitas peran generasi muda. Kita dapat belajar bagaimana Socrates membina Plato dan Aristoteles dalam menempatkan “batu” pertama dalam science, kita dapat mengikuti bagaimana Karl Mark mengasuh Lenin dan Stalin menjadi founding father komunis dunia, hingga kita dapat belajar bagaimana Rasulullah SAW membina Abu Bakar As-Syiddik, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, serta Ali bin Abi Thalib dalam menegakkan syariah Islam sebagai Agama Rahmatan Lil Alamin, dan melahirkan pemuda terhebat dalam dunia kemiliteran yang pernah ada, karena mampu mengalahkan armada perang terhebat pada masa itu, serta sebagai pemimpin yang disegani dimasanya, itulah ia Muhammad Al Fatih. Sama juga halnya dengan HOS Cokroaminoto yang membina Ir. Soekarno, Muso dan Kartosuwiryo. Atas dasar inilah, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk membangun pemimpin yang berkarakter dan berintegritas, dibutuhkan :
1.      Adanya metode pengawasan dan pendayagunaan dari pemimpin sebelumnya, guna mengkader pemimpin selanjutnya.
2.      Terciptanya hubungan yang harmonis antar pemimpin
3.      Modal yang kuat, sikap idealis serta kecerdasan Adversity (mengubah hambatan menjadi peluang)

“ Pemimpin yang baik ialah ia yang mencontohi serta memperbaiki pemimpin sebelumnya”, itulah kata-kata mutiara yang disampaikan Mohammad Hatta untuk generasi bangsa ini. Penulis sangat tak sependapat dengan keadaan harmonisasi presiden disetiap masa/ periode negara ini yang selalu memiliki hubungan buruk, sehingga menjadi degradasi moral bagi bangsa ini. Dimensi masalah ini menjadikan Indonesia kehilangan nilai estetika dan romantisnya perjuangan pemuda masa lalu dalam menegakkan pilar-pilar bangsa. Oleh karena itu, penulis tegaskan lagi harusnya ada pembinaan, adanya pengawalan, adanya target mencetak pemimpin yang mampu bersaing dalam setiap lini, agar para pemuda aataupun mahasiswa tadi, dapat menemukan jati diri, menemukan ideologi, menemukan karakter ataupun menemukan kepercayaan dalam menjadi pemimpin yang berkarakter serta berintegritas sesuai masanya, agar mampu menyeimbangkan dirinya dalam setiap kondisi, kini dan nanti, guna menuju Indonesia yang progresif, revolusioner, visioner dan futiristik.

* Tulisan yang disusun dalam kegiatan LKMM TD FISIP UNDIP dan sebagai 5 tulisan terpilih untuk didiskusikan.
** Mahasiswa semester 3 Ilmu Pemerintahan Fisip Undip

Rabu, 09 November 2011

Amanat Pancasila dalam Diri Pemuda Indonesia



AMANAT PANCASILA DALAM DIRI PEMUDA INDONESIA
“Pembudayaan Pancasila Pada Generasi Muda di Era Informatika dan Globalisasi[1]
Oleh : Joni Firmansyah (Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UNDIP)

Diskursus mengenai urgensi pancasila sebagai ideologi negara Indonesia selalu digaungkan dari waktu ke waktu. Peran pancasila sebagai pondasi dan kerangka kebhinekaan di Indonesia harus selalu dikaji dan diaplikasikan dalam setiap sendi-sendi kehidupan. Para founding fatherskita telah bersusah payah menentukan negara Indonesia sebagai negara kesatuan, di tengah adanya perbedaan warna kulit, model rambut sampai gaya berbahasa yang menjadi bara api dan dapat memercik kobaran perpecahan di republik ini. Oleh sebab itu, pancasila kemudian hadir sebagai jalan tengah sekaligus kemudi menuju arah berbangsa dan bernegara. Pancasila menjadi pemersatu agar setiap warna kulit, setiap logat bahasa dan adat istiadat, memiliki posisi dan pengakuan yang sama sebagai bagian dari republik Indonesia. Atas dasar inilah, diskursus mengenai pancasila selalu menjadi topik diskusi sepanjang zaman, mengingat pancasila sebagai ideologi bukanlah satu-satunya ideologi yang hadir di Indonesia. Ia memiliki banyak penantang atas ideologi-idelogi baru sebagai bagian dari merebaknya globalisasi melalui pengembangan teknologi dan informatika. Sehingga setiap orang mampu membedakan dan menakar, apa yang menjadi pembanding dari segenap ideologi tersebut.

Peran Pemuda dalam Globalisasi
            Fatih Syuhud dalam salah satu sajaknya mengutarakan bahwa “Pemuda itu cahaya dan api yang menyala, yang dapat menerangi kegelapan asa dan harapan. Pemuda itu pelopor, pembawa obor masa depan, penggerak nurani tua yang gersang”. Sejalan dengan apa yang disebutkan oleh Fatih Syuhud tersebut, peran pemuda begitu dominan dalam menjaga eksistensi keberlangsungan suatu bangsa. Di tengah sistem pendidikan yang masih perlu untuk dibenahi, pemuda sangat rentan terpancing dan terpengaruh atas budaya-budaya luar yang tidak sejalan dengan budaya Indonesia. Modernisasi merupakan suatu hal yang penting, namun sangat berbahaya jika tidak diarahkan dan tanpa pedoman. Oleh karena itu salah satu upaya dalam menyerap globalisasi dan arus informatika pada diri anak muda, ialah dengan menghadirkan pancasila sebagai pondasi dan pengawal nalar bagi pemuda Indonesia. Itulah pentingnya sebuah diskursus pancasila digagas dalam segala lini kehidupan karena pancasila merangkum seluruh hajat hidup masyarakat agar lebih teratur dan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. 
            Penanaman nilai-nilai pancasila pada diri anak muda, niscaya akan memberikan dampak yang positif bagi keberlangsungan bangsa dan negara Indonesia. Kehadiran pancasila akan menjadi penyaring bagi segala bentuk informasi palsu, ideologi radikal serta hal-hal yang membahayakan kesatuan bangsa dan negara. Pancasila adalah ideologi finalbagi segenap rakyat Indonesia. Tidak ada lagi ideologi baru yang berbasiskan suku, agama dan ras, karena ukuran persatuan telah diatur secara terbuka dan terstruktur di dalam pancasila. Kedepannya, sekuat apapun arus globalisasi yang masuk ke Indonesia, akan dapat dipilah dan dipilih mana yang terbaik dan membawa perubahan bagi bangsa dan negara.

Aktualisasi Pancasila di dalam Globalisasi
            Setelah pancasila menjadi salah satu budidaya ilmiah bagi generasi muda Indonesia, tantangan lainnya yang menjadi tugas segenap elemen masyarakat Indonesia ialah menjadikan pancasila sebagai aktualisasi diri di dalam kehidupan bernegara. Poin ini begitu mudah untuk dikemukakan, namun begitu sukar untuk dilaksanakan. Menguatnya budaya korupsi, carut-marutnya birokrasi hingga lemahnya daya jual Indonesia di mata dunia akibat penguasaan aset-aset negara oleh asing, menjadikan pancasila tak lebih dari ideologi diatas kertas semata. Tentunya ini sangat memperihatinkan mengingat betapa sukarnya pancasila ini dirumuskan oleh para bapak bangsa kita. Globalisasi niscaya harus dapat kita terima sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara, akan tetapi kita tidak dapat melupakan bahwa kebudayaan di Indonesia merupakan jati diri bangsa Indonesia. Kita hidup, tumbuh, makan dan minum dari tanah dan air Indonesia, maka sudah semestinya kita sejatinya dapat menakar, budaya seperti apa yang dapat kita terima dan budaya semacam apa yang sepatutnya kita jauhi.
            Kedepannya, butuh perhatian yang jauh lebih besar dalam proses pengamalan pancasila ini di dalam menghadapi arus globalisasi dan informatika yang melanda generasi muda Indonesia. Pemerintah diharapkan mampu menjadikan pancasila sebagai pondasi untuk menentukan arah kebijakan negara yang proterhadap kepentingan warga negaranya. Selain itu, diskursus mengenai pancasila ini tidak boleh berhenti hanya pada tataran diskusi semata. Jauh daripada itu, pancasila harus hadir sebagai gaya hidup dan pedoman masyarakat, untuk mewujudkan masyarakat yang madani, religius dan sejahtera.


[1]Opini ini disusun dalam rangka mengikuti Lomba Penulisan Artikel Pancasila oleh Universitas Gajah Mada Yogyakarta

Selasa, 08 November 2011

Eksistensi Generasi Muda Dalam Entitas Demokrasi

Sejarah telah banyak menyimpan dan merekam segala bentuk peristiwa- peristiwa kelam yang dapat dijadikan cerminan untuk berbuat dan berubah di masa ini maupun di masa yang akan datang. Peristiwa- peristiwa ini adalah dokumentasi sejarah, penentu nasib serta landasan realistis yang dijadikan acuan paradigma dalam menentukan sikap, etika, serta kebijakan yang pantas diterapkan dan cocok bagi masyarakat penikmat hasil dari sejarah tersebut. Sejarah inilah nantinya yang akan menunjukan sejauh mana azas- azas moralitas masih bertahan dan memberikan dampak maupun kontribusi efektif, dasar dari pembentukan karakter, maupun pandangan dasar ideologi bagi masyarakat.
Bung karno, merupakan tokoh sentral proklamasi,yang dalam sejarahnya selalu berpesan pada generasi negeri ini dengan semboyan “Jas Merah”, -jangan sekali- kali melupakan sejarah-, nampaknya telah hilang dan tergerus dalam nurani generasi saat ini. Praktik asusila yang jauh dari norma, korupsi yang menjamur hanya dianggap ilusi, serta demokrasi yang tak kunjung hasilnya datang menghampiri, adalah buah dari gerusan cacatnya globalisasi. Meskipun ini adalah hasil dari didikan para pendahulu, adakah kita harus menyalahkan pendahulu tersebut sebagai biang keladi, kambing hitam, atau apalah istilahnya, sebagai asal muasal dari kelamnya negeri ini?
Indonesia nampaknya telah kehilangan dialektikanya sebagai negara agung nan terhormat, akibat gerusan politik aliran yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada kemashalatan umat negeri ini. Alur demokrasi yang dianggap sistem paling mumpuni, nampaknya hanya sebuah ilusi negeri dongeng bagi anak- anak sebelum tidur. Lantas, dimanakah peran mahasiswa?. Pertanyaan ini mengingatkan penulis pada sebuah artikel yang ditulis oleh M. Ikhsan Shiddiegy yang berjudul “Mempertegas peranan dan fungsi Mahasiswa’, yang dikomentari habis- habisan oleh kawan- kawan mahasiswa lainnya dalam sebuah situs jejaring sosial. Pandangan yang terangkum dalam artikel itu, nampaknya adalah suatu madu bagi mahasiswa, yang selalu menjadi bagian sejarah bangsa, penggerak roda demokrasi yang menempatkan mahasiswa sebagai pelopor, pembaharu bahkan sebagai decision maker dalam praktiknya. Selanjutnya ia memaparkan perjalanan bangsa indonesia yang selalu melibatkan mahasiswa, yaitu dalam orde lama, orde baru hingga tegaknya reformasi. Persepsi yang bergairah, berani, dengan estetika romantisme sejarah.
Berbicara mengenai generasi muda dan negaranya, Indonesia, yang menurut M. Ikhsan Shiddiegy tadi adalah agen pembaharu, yang sering dikenal dengan agent of change, nampaknya memberikan asumsi ketidaksepakatan antara gelar yang disandang dengan aksi lapangan yang dilakukan oleh generasi saat ini. Begitu mirisnya realitas yang terjadi akhir-akhir ini, menimbulkan degradasi berkepanjangan bagi stabilitas negara. Dimulai dari menjamurnya korupsi, angka kemiskinan yang tinggi, krisis pangan dan sumber daya, kecelakaan akibat kurangnya infrastruktur dan lemahnya potensi sumber daya manusia, adalah lagu lama yang selalu berdendang setiap harinya dan diberitakan melalui televisi secara berlebih, kemudian dikonsumsi oleh publik, sehingga muncullah opini publik yang bersifat anti trust kepada pemerintah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pola pikir, dan diwariskan kepada generasi-generasi selanjutnya, maka yang ada hanyalah negara dengan orang- orang krisis kepercayaan. Generasi- generasi saat ini yang merupakan didikan generasi sebelumnya dan nantinya akan mendidik generasi selanjutnya, sejatinya perlu melakukan perubahan signifikan secara mendetail dalam setiap aspek kehidupan, karena apabila hal ini terus dibiarkan, akan menimbulkan sindrom yang terus menyebar tanpa ada hentinya. Disinilah dibutuhkannya peran generasi muda dan mahasiswa.
Kita seharusnya sadar dan mengerti, bahwa mahasiswa maupun generasi muda adalah entitas kompleks, yang tak hanya harus dibatasi fungsi dan peran sebagai pengawas reformasi namun juga harus memiliki visi dan ekspectasi. Ketika kita berbicara mengenai semangat bhineka tunggal ika, yang merupakan ikatan tersirat setiap jiwa yang ada di bumi pertiwi ini, yang merupakan titik singgung nan sentralistik pergerakan bangsa, serta sebagai arus penggerak menuju suksesi tujuan negara sesuai yang diamanatkan UUD 1945, tentunya kita dapat menarik benang merah problematika yang menjadi pusat degradasi bangsa, yaitu adanya unsur- unsur primordialisme dan etnosentrisme dalam setiap aspek kehidupan. Bahkan, yang menjadikan hal ini sebagai sesuatu yang berbahaya, ialah disaat unsur-unsur ini juga dijadikan asumsi dan perpektif dalam menentukan suatu kebijakan, baik dalam ranah legislasi maupun eksekutif. Ironisnya, standar ketegasan fungsi, yang ternyata menimbulkan afiliasi negatif dalam idealisasi sistem negara, nyatanya jauh dari harapan demokrasi sebenarnya. Amanat demokrasi, yang menurut Abraham Lincoln bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan nampaknya hanya sekedar isapan jempol di negara ini. Legitimasi yang diberikan pemerintah terhadap rakyat semata- mata hanya bertujuan untuk membatasi akses pergerakan rakyat sebagai pengawas pemerintah. Rakyat selalu terjebak dengan permainan media dalam memanipulasi fakta yang secara tidak sadar membawa kita pada suatu sistem reformasi yang hedonis-materialis. Akibat dari adanya rakyat atau generasi yang sadar reformasi, namun terkadang materialis, hasil dari isu media yang memunculkan pandangan bahwa setiap gerakan pasti ada yang menungganginya. Ditambah lagi dengan alur pergerakan yang berbeda, yang tentunya menciptakan keseragaman visi dalam pergerakannya.
Satu hal yang harus kita sadari dan kita pahami, menciptakan sebuah hasil tak lepas dari terjadinya suatu proses. Dengan artian, proses inilah yang nantinya akan menciptakan dinamika dinamis serta alur yang harmonis dalam mencapai konsensus bersama. Namun, yang menjadi akar masalahnya, Indonesia nampaknya telah melalui berbagai proses yang panjang, sejarah yang malang-melintang hingga era- era historistik nan heroik yang jarang sekali dialami oleh bangsa lain, tetapi hasilnya selalu dengan stagnansi yang tak pasti. Sesungguhnya, apa yang menjadi laju penghambat majunya negeri ini?, apakah pragmatisasi bangsanya, ataukah tak ada sistem yang pantas dan dominan untuk mendampingi negeri ini dalam mencapai harmonisasi masyarakat dan peradabannya?. Apabila menekankan pada sistem, Indonesia sesungguhnya telah belajar banyak bahkan telah khatam dengan sistem yang bernama demokrasi, karena sesungguhnya kita mengetahui bahwa Indonesia mengganti sistem sama seperti mengganti spare part kendaraan. Masih bisa diperbaiki, namun selalu ingin diganti. Itulah egoisitas Indonesia, yang pada akhirnya menetapkan demokrasi sebagai sistem utama yang mendampingi reformasi dalam menciptakan peradaban negeri.
Demokrasi yang pada umumnya terletak berdasarkan kedaulatan rakyat, nampaknya menuai otokritik di Indonesia. Demokrasi sebagai suatu icon global memiliki relevansi antara kehidupan manusia dengan sistem yang berlaku dalam mengatur tata kelola negara Indonesia. Secara teoritis, inti atau substansi demokrasi, sebagaimana telah dimaklumi ialah kedaulatan rakyat. Artinya poin utama dalam demokrasi ialah adanya suatu langkah strategis dalam menerapkan suatu sistem politik kerakyatan dan pemerintahan yang kondusif serta profesional. Namun, teori pada dasarnya memiliki kecacatan yang selalu bertolak belakang dan berbanding terbalik dengan realitas. Akar permasalahan dalam sistem ini ialah munculnya suatu substansi bahwa rakyat memegang kendali penuh, penentu baik dan buruk, hitam dan putih maupun halal dan haramnya suatu tindakan. Sehingga menimbulkan suatu disintegrasi politik yang menempatkan elite politik sebagai pembuat kebijakan, menduduki peringkat teratas sebagai kaum minoritas yang  berkuasa. Demokrasi yang berakar pada dalil seperti itu, pada dasarnya ialah demokrasi yang tak memiliki suatu substansial, karena pada praktiknya demokrasi seperti ini hanyalah suatu upaya untuk menciptakan peluang negatif dari rumusan Trias Politica, yaitu eksekutif, legislatif dan lembaga yudikatif sebagai pioner utama sistem kelola negara ini. Sehingga, apabila terjadi ketimpangan politik tentunya tak mengherankan, karena pada faktanya parlemen/DPR sebagai penyalur aspirasi dan pembentuk undang- undang kebijakan, sering dikuasai oleh elit politik, para pemilik modal (borjuis) maupun keduanya, yang tentunya akan menciptakan suatu atmosfir kapitalis bahkan sekuler yang arogan dan tak memihak rakyat. Suara mayoritas yang dihasilkan hanyalah mencerminkan suara mereka yang minoritas, karena pada dasarnya yang terjadi disini ialah tirani minoritas.
Dengan demikian, permasalahan saat ini tak lebih dari masalah sistem, karena sistemlah yang mengatur dan membatasi setiap pola interaksi dalam negeri, baik secara pluralitas, multikultural hingga hubungan dari unsur primordialisme dan etnosentrisme tadi. Sebagai catatan, apabila Indonesia selalu bersikeras untuk menjadikan demokrasi sebagai landasan kongkret sistem kehidupan bangsa, maka seyogyanya demokrasi yang dijalankan harus benar-benar demokrasi yang mapan, sesuai standar operasional, berdasarkan ruh kerakyatan untuk mencapai entitas kehidupan bangsa. Misalnya saja, praktik dan penerapan otonomi daerah, yang berasaskan desentralisasi dan dekonsentrasi, dirasakan menimbulkan kekeliruan dan ketidakpuasan bagi sistem demokrasi itu sendiri. Daerah otonom yang diberikan kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, akhirnya terpaksa harus dicampuri oleh pemerintah melalui perpanjangan tangan desentralisasi dan dekonsentrasi, sehingga praktik korupsi dan kolusi selalu mewarnai deal-deal-an politik antar birokrasi. Inikah demokrasi ala Indonesia yang dianggap paling pantas untuk mengatasi kemiskinan, korupsi, pengangguran dan lain- lain?. Maka dari itu, nampaknya Indonesia harus mengalami suatu revolusi kembali dalam mereduksi sistem, yang sesuai dengan alur ruhiyah demokrasi, yaitu memberikan kewenangan penuh kepada daerah yang dijadikan acuan inti dari sistem ini, karena penyelenggaraan otonomi daerah semestinya mendorong terjadinya proses otonomi pendidikan moral di tingkat daerah. Adanya Otonomi daerah bertujuan agar pengelolaan dan penyelenggarakan pemerintahan lebih sesuai dengan konteks kebutuhan daerah yang bermutu dan adil.  Hasil dari otonomi daerah dan otonomi pendidikan adalah out put yang cerdas secara nasional dan arif dalam tingkatan local. Out put yang cerdas dan arif ini secara umum akan membentuk tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik, berhasil dan produktif sesuai dengan konteks dimana ia berada. Dan melalui pemerintahan yang mengerti lokalitas (yang sesuai dengan kebutuhan daerah) menjadi satu-satunya media pembentuk masyarakat tamadun (beradab), yang menjadikan manusia berada pada piramida tertinggi dalam pola relasi kehidupan di dunia (khalifatullah fil Ardh) berguna dan bernilai sesuai dengan konteks kedaerahan dan kebutuhan masyarakatnya.
  Selanjutnya, langkah strategis untuk mengatasi problematika ini dan penunjang sistem ini ialah dengan cara menjadikan Indonesia sebagai negara federal yang setiap negara bagiannya memiliki kekuasaan penuh, hak mutlak serta otoritas dalam mengurus daerahnya. Gagasan ini ditunjang dengan kondisi Indonesia yang berkepulauan dengan variasi budaya dan culture dari masyarakatnya, sehingga tidak akan lagi menciptakan perbedaan pandangan dan dasar ideologi antar daerah. Walaupun, Indonesia pernah berbentuk negara serikat/ RIS pada tahun 1950, namun kondisi yang ada pada saat itu jauh berbeda dengan entitas demokrasi saat ini. Dengan artian, apabila indonesia menerapkan sistem demokrasi dengan bentuk negara seperti ini, sesungguhnya hal ini jauh lebih baik dalam memahami arti bhineka tunggal ika secara kaffah. Tetapi, bentuk federalisasi inipun haruslah ala Indonesia yang sesuia dengan kehidupan masyarakatnya, yaitu dengan adanya koordinasi antar daerah secara moralistik yang diatur oleh Undang- undang (UU), dan berkonstitusi secara kondusif, menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas, niscaya semangat bhineka tunggal ika, akan selalu menjadi pilar pembangun peradaban negeri ini, tanpa ada korupsi, tanpa ada yang tersakiti. Karena itu, apabila Indonesia ingin menjadi suatu negara demokrasi yang mapan, yang memiliki kedaulatan dengan kehormatan dan kejayaan sebagai pilar utama, diperlukan suatu mobilitas sosial dengan pembaharuan dan rumusan demokrasi modern sebagai aset utama, yang selalu tetap memegang budaya kearifan lokal sebagai dasar untuk menciptakan negara yang bersikap nasionalis religius.
Semangat inilah yang seharusnya selalu tersemat dalam diri dan jiwa generasi yang mengaku dirinya sebagai pembaharu, eksistensi yang menggebu dengan cita- cita tertinggi sebagai kontribusi rakyat terhadap negaranya. Lupakan segala kisah kelam negeri ini dan marilah menatap segala ekspectasi yang dipundak kita bergantung segalanya. Kita kembalikan kejayaan negeri ini sebagai negeri bermartabat, penuh dengan kreasi yang dinamis serta berdaulat sesuai amanat rakyat. Jayalah Indonesiaku!.

Cinta Seorang Politisi


Ukhtiku,,,
Bagaimana kabarmu,,,??
Ku harap, atmosfir ilmu dari khasanah Allah tetap membuatmu sehat dan tabah disana.
Aku takkan bertanya kembali, apakah kau masih menungguku, karena aku tahu dan aku sadar bahwa diriku tak pantas untuk ditunggu, karena yang ku inginkan hanya engkau tetap istiqomah dengan muhassabah cintamu,,,
Ukhtiku,,
Seandainya malam ini adalah malam terakhir bagi diriku, ataupun malam terakhir bagi peradaban dunia ini, inginku tak lebih dari satu, ialah berjumpa denganmu, menatap indahnya matamu, mengagumi senyummu serta bermunajat padaNya akan kebersihan hatimu.
Begitu banyak salah dan khilafku padamu. Begitu besar sendunya jiwaku yang membuatmu tetap anggun di mataku.
Ukhtiku,,
Begitu banyak janji yang kuucap padamu..
Begitu banyak luka yang tergores dihatimu..
Kuakui banyak cinta yg dtang silih berganti padaku..
Kuakui perjalanan cintaku telah banyak singgah di pelabuhan* hati yang lain..
Namun, semua itu tak lebih dari suatu ilusi, suatu mimpi khayalan dari seorang perindu kasih..
Seringkali kukatakan padamu,,bahwa segala sesuatu dapat dipolitisasi, segala sesuatu tak lebih dr prmainan kata*, termasuk cinta menurutku,,
Hingga akhirnya ku mudah tuk jatuh cinta, ku mudah tuk berbagi rasa dan ku mudah tuk tak lagi setia,,
Akh,,memang jahiliyah hati telah mmberikan knikmatan rasa, membuyarkan kesah namun driku tetap merasa berdosa..
Tetapi, ku harus yakinkan dirimu, bahwa aku tak sama dengan gayus tambunan, yang tak lagi setia dgn hukum dan norma.
Atau ku juga tak sama dgn Nurdin Halid yng menghalalkan segala cara tuk mndapatkan cinta pecinta bola, padahal ia tak punya ‘’rasa”.
Ku akui eksotisnya politik telah meraga dalam sukmaku,,mengalir brsama desiran darahku serta hidup dan tumbuh mnjadi intuisi dalam otakku. Sudah berulang kali ku coba tuk mengdikotomikan antara cinta dan intuisi itu,,namun aku tak sanggup,,aku tak bisa dan aku tak mampu,,
Naluri itu seakan- akan telah mmbuat ku tertatih untuk menempatkan hati sesuai keinginanmu.

Ukhtiku..
Saat ini kita tengah berada  di persimpangan jalan..
Kita tengah berada pada titik nadir dan getir perjalan hidup..
Kita dianjurkan tuk bisa memberi disaat kita pun tak bisa memberi,,karena memberi disaat kita tak bisa memberi adallah amal luar biasa utk kita nantinya di yaumul akhir..
Tetapi ku yakin ukhtiku,,
Selama sinar wajahmu tak pudar,,maka asa kan ttap bersinar..
Harapan takkan sia- sia dan cintakan ttap sempurna..
Kuharap kau tetap mnjadi sumber inspirasiku..
Ingatkah engkau akan kisah armanusa dan ibnu amil qays??
Yg mngedepankan jlan dakwah diatas cinta mereka..
Maka akupun kan seperti itu..tuk mencukupi bekal kita nantinya..
Tetaplah menjadi Armanusa-ku..agar para bidadadri cemburu padamu..
Agar para kekasih Allah kan setia menantimu..
Lakukanlah apa yang menjadi niatmu, karena disini aku berjanji tuk menemani hatimu, melindungimu dan jauhkan sepimu,,,
Ingatlah,,layaknya pertemuan,,perpisahanpun tak ada yang abadi..
Akan kita bangun mahligai cinta yg sempurna, yg berlandaskan cinta akan RabbNya,  layaknya matahari yg mencintai titah TuhanNya...

Bagaimana Memotivasi Diri?

Menjadi lebih baik, adalah harapan setiap insan perubahan. Dengan dasar perubahan ini, selayaknya telah menjadi harga mati oleh setiap individu yang ingin menorehkan namanya dalam sejarah peradaban dengan tinta emasnya. Hal inilah yang menjadi dasar suatu motivasi diri sehingga mampu menggerakkan seorang yang keluh lidahnya, mampu beretorika hingga mengguncang dunia, menggerakkan manusia yang apatis, menjadi aktivis, menggerqakkan kaum jahilliyah menjadi kaum cendekia hingga menggerakkan adigator dalam menghempaskan koruptor.
            Ada banyak cara untuk menciptakan suatu dimensi perubahan, salah satunya ialah peningkatan skill individu yang saya miliki dalam revitalisasi kaum muda secara global, dengan melakukan kontribusi efektif dalam pelatihan Interpersonal Communication Skill yang diadakan oleh Beswan Djarum Semarang. Langkah perubahan ini, merupakan suatu proses pengembangan karakter dan skill individu untuk menampilkan pribadi yang sederhana, kontributif dan berdaya saing, dan untuk mencapai hal tersebut, saya menerapkan suatu sistem motivasi efektif sebagai dasar untuk mengenal diri sebagai media mencapai taraf hidup yang lebih dominan akan arti suatu pencapaian. Sistem ini bermula dari rasa ingin tahu yang besar, sehingga mampu menciptakan semangat yang menggelora, yang bermuara pada aktualisasi tulisan essay inidan action dalam masyarakat setelah menimba ilmu melalui pelatihan ini apabila diberi kesempatan. Berpikir secara rasional, adalah hal utama dalam memotivasi diri, “Anggaplah kegagalan sebagai suatu gerhana, bukan terbenamnya matahari”. Dengan bertindak rasional, fitrah sebagai manusia nampaknya telah terpenuhi karena janganlah kau pikirkan apa yang sudah diberikan dunia padamu, tapi pikirkanlah apa yang sudah kau berikan pada dunia.
            Hal inilah yang selalu memotivasi saya dalam merengkuh cita- cita, dan hal inilah yang mendorong saya untuk mengikuti pelatihan ini. Semoga dengan pelatihan ini, saya mampu menjadi pilar pembangun negeri, untuk menciptakan masyarakat madani, Rahmatan Lilalamin.

Cinta Diujung Pena..


Dilema dan galau adalah dua titik singgung pertemuan antara inspirasi dan gejolak hati. Dua hal itu adalah esensi kalbu yang membangkitkan suatu intuisi progresif untuk bergerak dan berkarya, contohnya saja dengan lahirnya tulisan ini.
Terkadang ada asumsi yang menyatakan bahwa, tulisan mewakili perasaan penulisnya atau mewakili apa yang sedang dialami penulisnya. Saat kata2 romantis, dengan dialektika pujangga yang merindu cinta menandakan sang penulis tengah berbunga-bunga. Lain halnya apabila yang termaktub dalam tulisan itu adalah kata2 gundah, gulana, merana, tersiksa, merintih, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ia tengah dilema.
Yups, D.I.L.E.M.A,,adalah sebuah kata penuh makna, penuh cerita, dengan tutur prosa penuh wacana, yang biasanya dikaitkan dengan sebuah romantika. Indah, namun menyiksa. Perih, tapi menggelora.Ya, dilema inilah yang menjadi sumber air ditengah gurun saat seorang musafir merasa kehausan. Dilema ini mewakili berjuta perasaan hati yang berkecamuk dalam kalbu, membuat gusar hingga hati tak nyaman. Dilema juga merupakan bentuk pelarian dan pemberontakan hati atas realisasi yang tak pasti.
Aku sedikit menertawakan diriku ketika aku harus mengakui bahwa aku tengah DILEMA. Aku yang biasanya perfeksionis, realistis, visioner, namun akhirnya harus tersungkur akibat jeritan hati sendiri. Benar- benar dilematis, dengan sisi yang melankolis. Namun, ada satu sisi yang membuat seorang individu ini merasa jatuh, namun disisi lain ia merasa maju. Mengapa?, karena segala sesuatu yang terjadi pada dirinya, mampu ia manfaatkan menjadi peluang luar biasa untuk dirinya kedepannya. “Memanfaatkan krisis menjadi peluang’, itulah bahasa kerennya. Contohnya saja aku, yang biasanya menulis sesuatu yang ilmiah, yang rasional, tapi ternyata harus tergerus dengan perasaan hati sendiri sehingga membuat tulisan ala pujangga seperti ini. Hal ini membuat aku teringat kata2 seseorang  yang sering berkata kepadaku seperti ini “ anggaplah apapun yg terjadi sebagai sebuah gerhana, bukan terbenamnya matahari”. Entah ia dapat kata2 itu dari siapa atau dari buku apa, namun kata2 itu cukup tendensius tuk membangkitkan motivasi.
Aku sejenak berfikir dan merenungi  nuansa dan warna yang tengah terjadi dalam hati ini. Aku berfikir dari sisi diriku yang paling polos, tak ada unsur politis, tak ada unsur pragmatis. Benar- benar polos. Aku kembali merenungi peta atau alur hidup yang telah ku rancang dan ku susun beberapa tahun lalu,yang pada akhirnya muncul suatu pertanyaan, adakah aku harus merubahnya? Adakah aku harus menerima perubahan sehingga peta itu harus berubah?ataukah aku memang harus merancang peta yang baru lagi, yang sesuai dengan kondisi dan peluang saat ini? Ah, masalah hati benar-benar krusial dan tak masuk akal.
Ataukah ini pertanda aku jatuh cinta? Hahahahah...
Nampaknya, telah lama rasa itu hilang dari hati ini, telah lama lidah ini tak keluh untuk menyampaikan rayuan, dan telah lama peluh ini tak keluar hanya sekedar merasakan arti pengorbanan. Ya, apabila getaran- getaran ini di cocokkan dengan ciri2 orang jatuh cinta, maka dapat ditarik kesimpulan, aku jatuh cinta.
Cinta itu sangat krusial, menantang adrenalin, namun indah dan sejuk terasa. Aku merasa ada di musim semi walaupun di Indonesia tak ada musim semi, aku merasa terlelap akan angin selat bosporus, walaupun aku tak pernah melihat dan merasakannya. Indah jika dikenang, keluh saat dipandang. Mengapa? Ya, karena aku butuh kepastian. Aku perlu sesuatu yang membuat ku yakin bahwa dia ada untukku. Aku perlu pasword, agar aku bisa log in ke hatinya, aku perlu uang seribu perak tuk membeli karcis parkir agar aku dapat memarkir hatiku kehatinya dan aku perlu Flashdisk tuk menyimpan tentang dirinya, karena memori hatiku telah penuh akan cerita tentangnya. Tapi mengapa harus dia? Ya, mengapa dia? Karena ku yakin orang tuanya adalah astronot, sebab bulan dan bintang itu kulihat dimatanya, serta janjiku padanya bahwa aku tak menjanjikan bulan bintang padanya, tapi aku kan memberikan kebahagiaan dibawah cahaya bulan dan bintang itu J
Aku yang biasanya retoris, harus bungkam saat ia ada didekatku. Aku yang biasanya expert strategi, nyatanya luluh saat matanya menatapku. Ketahuilah kawan, aku mati rasa dalam kondisi seperti ini. Aku terdepak dan selalu blunder dalam setiap moment tentang dirinya. Aku terkesiap............ L
Cinta ini tak hanya indah dilukiskan dengan sebuah pena, namun butuh kontribusi real dan efektif dalam pengorbanannya. Cinta inipun tak hanya indah tuk diperdebatkan, namun indah pula tuk dikenang dalam memoar terindah sejarah peradaban..
Tapi..... J
Percayalah, setiap laki-laki perlu waktu tuk mengambil suatu keputusan pasti untuk masa depannya. Tampillah sebagai sosok anggun Armanusa yang cintanya tak pernah luntur kpda Ibnu Amil qays, hingga ajal memisahkan, dan jalan dakwah diutamakan..
Percayalah bahwa galau dan dilema ini adalah motivasi hati tuk hati perindu kasih.
Dan selalulah percaya, bahwa cinta diujung pena itu, adalah ilusi tak pasti, retorika semu, dan apatisasi kalbu, karena cinta itu anugerah terindah dari Al Khalik, Rabb, azza wajalla.

Dibuat dalam heningnya senja..
17 oktober 2011


                                                                                                                                       

Demokrasi sebagai Aset yang Terlupakan

Demokrasi sebagai suatu icon global memiliki relevansi antara kehidupan manusia dengan sistem yang berlaku dalam mengatur tata kelola negara Indonesia. Secara teoritis, inti atau substansi demokrasi, sebagaimana telah dimaklumi ialah kedaulatan rakyat. Artinya poin utama dalam demokrasi ialah adanya suatu langkah strategis dalam menerapkan suatu sistem politik dan pemerintahan yang kondusif dan profesional. Namun, teori pada dasarnya memiliki kecacatan yang selalu bertolak belakang dan berbanding terbalik dengan realitas. Akar permasalahan dalam sistem ini ialah munculnya suatu substansi bahwa rakyat memegang kendali penuh, penentu baik dan buruk, hitam dan putih maupun halal dan haramnya suatu tindakan. Sehingga menimbulkan suatu disintegrasi politik yang menempatkan elite politik sebagai pembuat kebijakan, menduduki peringkat teratas sebagai kaum minoritas yang  berkuasa.

            Demokrasi yang berakar pada dalil seperti itu, pada dasarnya ialah demokrasi yang tak memiliki suatu substansial, karena pada praktiknya demokrasi seperti ini hanyalah suatu upaya untuk menciptakan peluang negatif dari rumusan Trias Politica, yaitu eksekutif, legislatif dan lembaga yudikatif sebagai pioner utama sistem kelola negara ini. Sehingga, apabila terjadi ketimpangan politik tentunya tak mengherankan, karena pada faktanya parlemen/DPR sebagai penyalur aspirasi dan pembentuk undang- undang kebijakan, sering dikuasai oleh elit politik, para pemilik modal (borjuis) maupun keduanya, yang tentunya akan menciptakan suatu atmosfir kapitalis bahkan sekuler yang arogan dan tak memihak rakyat. Suara mayoritas yang dihasilkan hanyalah mencerminkan suara mereka yang minoritas, karena pada dasarnya yang terjadi disini ialah tiirani minoritas. Contohnya saja, parlemen di AS yang selalu didominasi oleh pemilik modal  ataupun yang disokong oleh pemilik modal atau pengusaha, dan praktik seperti itu tak jauh berbeda dengan indonesia yang mengadopsi praktik demokrasi dari negara pionir demokrasi tersebut, sehingga tak heran muncullah UU migas, UU SDA, UU Penanaman modal yang semuanya jauh dari sistem demokrasi yang sesungguhnya.

            Karena itu, apabila Indonesia ingin menjadi suatu negara demokrasi yang mapan, yang memiliki kedaulatan dengan kehormatan dan kejayaan sebagai pilar utama, diperlukan suatu mobilitas sosial dengan pembaharuan dan rumusan demokrasi modern sebagai aset utama, yang selalu tetap memegang budaya kearifan lokal sebagai dasar untuk menciptakan negara yang bersikap nasionalis religius. Karena, realitas saat ini telah menunjukan banyaknya problem dan isu- isu yang beredar dapat mempengaruhi paradigma masyarakat, yang membuat masyarakat tak mampu menempatkan posisi pijakan yang sesuai dengan basic dari masyarakat itu sendiri, karena belum terselesaikan isu yang lama, telah muncul isu yang baru dengan kebohongan- kebohongan bagi publik, artinya kebohongan yang lama tertutupi dengan kebohongan yang baru. Hal ini seolah- olah sebagai pembantahan dari kadar masyarakat yang dianggap telah kompleks, namun masih juga terpolitisasi akan isu yang tentunya diragukan kebenarannya. Praktik inilah yang tak sejalan dengan budaya demokrasi yang selalu digaungkan sebagai pilar kemandiriian bangsa, ternyata tak sesuai dan tak sejalan dengan realitas masyarakat yang pluralis dan sejuta idealism. Masalah ini haruslah ditinjau dengan lebih jelas, menggunakan pendekatan- pendekatan fleksibel yang sesuai keinginan rakyat, agar tak menjadi degradasi politik berkepanjangan bagi kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Derai Air Mata Cintamu, Ibu...


Kulalui malam ini seperti malam- malam biasanya. Dingin, karena hujan ini dan hujan kemarin membasahi tembok dan tanah tempat badan ini terbaring. Pengap, karena kutahu sejak pagi tadi jendela kamar ini tak tersingkap penutupnya. Panas, terasa hanya dalam hati ini, seakan menusuk- nusuk tajam, merobek, terkoyak, hilang.

Malam ini tak lebih seperti malam kemarin, yang kulalui dengan sendu, tak ada tawa dan canda apalagi kisah- kisah epiknya romantika. Kucoba membuka kembali buku “Filsafat AlFatihah”, buah pemikiran Drs. H. Inu Kencana, M.Si, yang baru sebagian kubaca kemarin malam, tapi otakku menolaknya. Kemudian kuraih buku “Dahsyatnya Syahwat Mata” hasil pemikiran Abdul Hamid bin Abdirrahman As-Sahibani, tetap saja keengganan untuk membaca atau sekedar melihat- lihat isinya tak mampu membuatku untuk tertarik.

Tiba- tiba mataku sedikit bercumbu dengan sebuah buku bersampul hijau di lemari ini, ah, darahku berdesir saat melihat judulnya, karena kuyakin yang dimaksud dalam judul itu belum tentu pernah atau ingin membacanya. Buku itu berjudul “Risalah Fiqih Wanita”, hahaahahy.
Ah, wanita lagi. Sepertinya hidupku tak pernah lepas untuk sehari saja dari “kata” itu. Bukan maksud pamer ataupun sombong, apalagi mengklaim diriku sebagai seorang yang paham benar tentang wanita. Tidak kawan, kali ini hal pertama yang terlintas dalam benakku adalah ia yang menjadi cahaya dihatiku, yang cahayanya lebih indah dari batu safir manapun, yang pelukannya paling hangat melebihi permadani yang dimiliki oleh Mumtaz Mahal, yang senyumannya lebih indah melebihi senyuman Cleopatra terhadap panglima romawi,Yulius Caesar dan Mark Antony, yang kata-katanya lebih hebat dari Hitler, Stalin, Lenin hingga Mario Teguh sekalipun. Dialah the great women, wanita sesungguhnya, yang namanya selalu nomor satu dalam setiap insan, digaungkan sepanjang sejarah peradaban, dihormati hingga tetes keringat dan darah penghabisan, dicintai dengan kalbu penuh penghayatan. Apabila disebutkan namanya, raja yang lalim nan kejampun akan meneteskan air mata, pemimpin tangguhpun kan gundah gulana apalagi kita yang hanya seorang rakyat jelata. Ia adalah the guardian angel, malaikat baik hati tanpa pamrih, itulah ia yang sering kita sebut dengan sebutan IBU.
Aku tahu dan sangat paham bahwa setiap insan memiliki ceritanya sendiri tentang ibunya. Romantika bersama ibu jauh melebihi nilai estetika dengan wanita manapun. Aku yang selalu terbiasa menulis sesuatu yang berhubungan dengan percintaan, atau hal- hal yang sejatinya berhubungan dengan negara, merasa tertampar dan merasa bersalah karena hingga saat ini aku tak pernah menulis tentang ibuku. Ketika sejarah mencatat kelam dan suramnya perjalanan negeri ini, ada ide  dalam benak untuk mengkritisinya. Ketika cinta kita tak berbalas, atau asa tak mampu diraih, status di Facebook dan twitterlah yang menjadi curahan pertama dalam benak kita. Padahal disana, dirumah tempat kita tumbuh dewasa, duduk ibu diatas singgasana cintanya menanti keluh dan kesah kita. Tak peduli peluh, tak pernah ada ragu, karena senyum itulah yang selalu menunggu. Tak ada galau apalagi dilema, yang ada hanya rindu yang membara.
Ah, aku teringat Ibu malam ini, kawan. Aku teringat disaat ia menyapaku dengan senyum dan tutur kata yang halus, aku teringat saat dimana ia tengah duduk tafakkur disertai linangan air mata, bermuhasabah dengan Rabb nya demi keberhasilan anaknya, aku teringat saat peluh itu membanjiri sekujur tubuhnya hanya untuk menenangkan perut anaknya disaat perutnya sendiri tak ia hiraukan. Realistis, sederhana, biasa, namun itulah estetikanya. Banyak anak di masa sekarang yang dengan bangga dapat berkisah alur cintanya dengan kekasihnya, seru untuk membicarakan romantis dan epiknya cinta, namun “kering” saat cinta terhadap ibunya. Maka bersyukurlah saat ibu masih mampu membimbingmu, saat ibu masih dapat tersenyum padamu, saat kau masih diberi kesempatan untuk mencurahkan cinta padanya.
            “Ya Allah, apa saja gangguan yang telah ia rasakan, atau kesusahan yang telah ia derita karena aku, atau hilangnya sesuatu haknya karena perbuatanku, maka jadikanlah itu semua sebagai sebab susutnya dosa-dosanya dan bertambahnya pahala kebaikan dengan perkenan-Mu”
Demi Rabb yang cahayanya tiada tandingannya, demi kasihMu yang tak pernah henti, jagalah ia, Ibuku dalam cinta yang suci, sama seperti disaat ia menjagaku. Panjangkanlah umurnya agar aku masih diberi kesempatan untuk melebur dosa- dosaku, dan berikanlah ia tempat yang layak di Arasy-Mu saat ia berpulang menghadapmu nanti. Ya Rabb yang maha perkasa nan maha kuasa, jadikanlah kami sebagai generasi terbaik negeri ini, generasi yang mampu membawa agama dan negeri ini kembali pada puncak kejayaannya, generasi yang mampu membahagiakan ibu-ibu kami, jauhkanlah kami dari arogansi kekuasaan, butanya hati, ilmu yang tidak bermanfaat serta amanah yang dikhianati. Kabulkanlah doa kami sama seperti Engkau mengabulkan doa Ibrahim agar tak dilalap api, doa Musa saat menghadapi Fir’aun yang tak punya hati serta doa Rasulullah SAW demi umatnya dan tegaknya syariahMu, Rabb azza wajalla.
"Ya Rabb, ampuni jikalau sorot mata kami pernah melukai hatinya, ampuni jikalau tutur kata kami pernah mencabik-cabik perasaannya, ampuni jikalau kami tak mampu balas budi. Ya Rabb, lapangkanlah ia disaat kesempitan menghimpitnya, dekatkanlah ia kami dengannya di sisa- sisa umur kami dan sampaikanlah salam cinta kami padanya, walaupun dimensi jarak dan waktu memisahkan kami".

Ditulis dalam heningnya malam,
Di kamar penantian cinta,,,
Wisma Tlogosari, 9 November 2011, jam 2.49
Dari Anak yang mencinta dan selalu mencintaimu...