Minggu, 11 November 2012

Solidaritas Pemuda : Perbedaan Ideologi Mahasiswa sebagai Tonggak Solidaritas Pemuda



Belum hilang dari ingatan kita sisa- sisa momentum “Sumpah Pemuda” yang tahun ini genap berusia 84 tahun. Momentum bersejarah tersebut merupakan cikal bakal lahirnya gerilya pemuda dalam menciptakan sebuah pembaharuan bagi negeri. Daya kreasi serta daya juang yang dimiliki pemuda, seyogyanya harus terus ter-upgrade dengan matang dan signifikan sesuai dengan kebutuhan negara saat ini. Namun sayang, ditengah riuh gembiranya kita mengenang Sumpah Pemuda, masih ada sekelumit pemuda yang mendikotomikan dirinya kedalam kelompok- kelompok tertentu yang sejatinya sangat mereka agungkan. Dengan sadar, mereka mengelompokkan diri mereka, kepentingan serta visi yang mereka cita- citakan. Kedalam sebuah wadah yang seringkali disebut dengan golongan ideologis. Sebagai kaum cendekiawan, berideologi adalah sebuah keharusan. Menentukan sikap dalam menghadapi permasalahan adalah sebuah kewajiban, dan menentukan pilihan, merupakan sebuah hak mutlak yang dimiliki manusia. Namun, apakah kita pantas, mempertanyakan ideologi yang ada sehingga menimbulkan perpecahan serta perbedaan pandangan diantara kita?

Sebagai generasi saat ini, kita harus berkaca terhadap generasi 1928 yang berhasil mempersatukan segalam macam perbedaan diantara mereka untuk satu tujuan. Dengan gilang- gemilang, mereka mampu menomorduakan segala bentuk ideologi, visi golongan, anti hipokritisme dan perbedaan- perbedaan lainnya. Tujuannya hanya satu, yaitu menjadikan Indonesia sebagai negara yang solid dan berkarakter. Solidaritas yang mereka bangun, mencerminkan bahwasanya mereka memiliki jiwa besar untuk berani menerima segala bentuk perbedaan. Mereka mau dan mengerti akan indahnya kebersamaan, serta mereka mau berkorban demi tegaknya Indonesia yang cemerlang. Mari kita renungkan sejenak akan makna dan arti lahirnya Sumpah Pemuda. Keberagaman visi dan ketidaksamaan obsesi menjadi unik dan cantiknya lahirnya cerita ditahun 1928. Mereka tak mengenal satu sama lain, namun mereka sangat mengenal tanah dimana mereka berpijak, mereka tak peduli budaya satu dengan yang lain, karena justru dengan adanya ketidaktahuan itu, hati mereka tergelitik untuk selalu menjaga solidaritas dan menghormati kemajemukan dan mutikulturalism Indonesia. Mereka tak kenal tanah yang menjadi tumpah darah mereka, selain INDONESIA, tak mengenal bangsa yang lain, selain INDONESIA, dan selalu menjunjung bahasa persatuan, yaitu bahasa INDONESIA. Sumpah dan ikrar ini, telah diakui jauh sebelum proklamasi dicetuskan!

Selanjutnya, mari kita sedikit melihat dan berkaca dengan generasi kita saat ini. Dalam kurun waktu  14 tahun setelah reformasi, Indonesia belum mampu mencetak generasi baru yang brilian bagi bangsanya lantaran pemudanya tak satu mimpi dan tak satu visi. Kita bisa meninjau, atas apa yang terjadi di sekeliling kita, contohnya saja lingkungan kampus Universitas Diponegoro. Sebagai golongan yang mengaku dirinya aktivis, seringkali adanya pertentangan atas dasar ideologi dan gerakan mereka yang berbeda. Ada aktivis yang mengakui dirinya sebagai kaum Nasionalis, ada pula yang Pancasilais, bahkan ada juga yang menganut mazhab Islamisme dan Sosilalisme serta Liberalisme. Sesungguhnya paham dan ideologi tak ada yang salah. Mereka (ideologi) lahir karena keterbutuhan penganutnya dan menjadi paham yang agung bagi mereka. Liberalisme lahir atas dasar kenaifan despotiknya gereja yang berlebihan sehingga mencetuskan semangat perjuangan bagi masyarakat eropa saat itu, tujuannya satu, yaitu freedom. Begitu pula dengan sosialisme, yang lahir atas dasar keinginan untuk setara dan diperlakukan adil bagi kaum- kaum proletar yang membanting tulang demi hidup mereka, tapi justru dikhianati oleh kaum- kaum borjuis. Adapun mereka yang menganut pancasilais adalah golongan yang cinta mati terhadap Indonesia. Lain halnya dengan Islamisme, aliran semitisme adalah cikal bakal berdirimya ideologi keagamaan. Paham ini pernah Berjaya selama 17 abad dibawah sistem khilafah dengan khalifah- khalifah yang luar biasa. Ini menandakan, bahwa paham maupun ideologi yang ada saat ini, adalah sebuah representasi kejadian yang agung dan luar biasa sehingga mereka dapat bertahan serta berdiri hingga saat ini. Lantas, sebagai mahasiswa, sebagai pemuda yang menjadi kaum- kaum elite dalam masyarakat, mengapa harus membuang energi untuk mendikotomikan diri dengan yang lainnya. Mengapa menjadikan sebuah solidaritas sebagai kata yang aneh untuk dilakoni ataupun diterapkan? Inilah bentuk ironi sesungguhnya bagi Indonesia. Disaat mahasiswa saat ini menghujat generasi tua yang sebaiknya masuk keranjang sampah, justru mereka pun berpijak diatas kebohongan dan kenaifan diri sendiri!

Jikalau ada pepatah bijak yang menyatakan “Lebih baik menyalakan sebatang lilin, daripada mengutuk seribu kegelapan”. Adalah pernyataan melankolis yang sejatinya dapat dikatakan benar. Dalam momentum sumpah pemuda ini, dalam euphoria dinamika kehidupan Indonesia saat ini, marilah kita sebagai pemuda untuk memperkukuh silaturrahmi dan solidaritas diantara kita untuk menciptakan generasi terbaik dalam catatan sejarah Indonesia. Kita layaknya Achilles dengan pasukan Myrmidon yang memiliki potensi yang luar biasa, disegani sepanjang sejarah yunani, ditakuti oleh ksatria troya hingga raja- raja Sparta, walaupun ajal telah menjemput mereka sekalipun. Maka dari itu, generasi pemuda era ini, harus tampil melebihi generasi di era manapun. Semakin kuatnya kita, maka semakin deras aral yang melintang. Sehingga, hanya sebuah kesatuan yang kokoh yan dapat menyelamatkan serta mengayomi kita untuk mampu berbuat lebih bagi Indonesia, yaitu Solidaritas!
Salam Cinta atas nama perjuangan, salam perjuangan atas nama Cinta. Hidup Mahasiswa!!

Meninjau Kebijakan Pemerintah dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) terhadap Masyarakat Miskin



Salah satu bentuk kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan ialah dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada rakyat miskin di Indonesia. Dalam fenomena ini, pemerintah mengucurkan dana tunai/ dana langsung yang diterima oleh masyarakat melalui aparatur pemerintahan yang sebelumnya telah melakukan survey terkait penduduk mana saja yang berhak menerima dana tersebut. Kebijakan ini dilakukan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat kecil dan menengah untuk meningkatkan taraf hidup mereka, mengingat masih banyaknya penduduk yang dikategorikan miskin di Indonesia.

Secara historis, kebijakan pemerintah terkait dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) tersebut diakibatkan semakin bertambahnya jumlah masyarakat miskin di Indonesia, walaupun sebenarnya jumlah penduduk miskin pada orde baru menunjukkan penurunan di setiap tahun. Pada tahun 1976 jumlah penduduk miskin mencapai 54,2 juta (40,08%) , pada tahun 1987 menurun menjadi 30 juta (17,42%), pada tahun 2006 sebelum krisis tinggal 22,5 juta (11,3%), namun setelah krisis ekonomi sampai pertengahan tahun 1998 jumlah penduduk miskin mencapai 79,8 juta (BPS,1998). Jumlah penduduk miskin sebenarnya menunjukkan penurunan pada tahun 2003-2005, namun pemerintah menaikkan harga BBM secara berlebihan (sekitar 100%) pada bulan oktober 2005 sehingga berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Tercatat jumlah penduduk miskin pada bulan maret 2006 melonjak menjadi 39,05 juta, padahal pada bulan februari hanya sebesar 35,1 juta jiwa, dan saat ini, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang (11,96 persen), berkurang 0,89 juta orang (0,53 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen).[1]
Penyebab kemiskinan di Indonesia sangat beragam, dimulai dari pendidikan yang rendah, etos kerja yang kurang, hingga budaya konsumerisme yang tinggi serta korupsi yang tumbuh subur. Itulah mengapa pemerintah memberikan dana BLT sebagai “perangsang” perekonomian masyarakat. Namun, imbas dari kebijakan ini justru menciptakan budaya malas bagi masyarakat itu sendiri. Rakyat, pada akhirnya menjadikan BLT sebagai harapan untuk memenuhi kebutuhan dan hajat hidup mereka. Akibatnya, bukan sebuah peningkatan ekonomi yang terjadi, namun justru etos kerja masyarakat yang semakin menurun. Kebijakan ini ternyata semakin mempersubur budaya korupsi di daerah. Hal ini tercermin dalam pengalokasian dana BLT yang diberikan kepada masyarakat. Ada sebuah stigma, bahwa proses kolusi terjadi dalam pengaplikasian kebijakan ini. Misalnya, penduduk yang mendapatkan bantuan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan aparatur yang berwenang, walaupun penduduk tersebut tidak tergolong miskin. Ini diperkuat dengan tidak adanya standarisasi yang diberikan pemerintah terkait kriteria apa saja yang ditetapkan sebagai penduduk miskin. Walaupun pemerintah telah menetapkan penduduk miskin ialah mereka yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS)  mendefinisikan garis kemiskinan dari “besarnya rupiah yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan komsumsi setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari ditambah kebutuhan pokok lainnya seperti sandang pangan, perumahan, kesehatan.” [2]

Kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui BLT, secara umum masih terdapat banyak kelemahan. Setidaknya ada empat kelemahan dalam penerapan kebijakan BLT yang telah dilaksanakan oleh pemerintah. Pertama, kebijakan BLT dilaksanakan secara seragam (general) tanpa melihat konteks sosial, ekonomi, dan budaya disetiap wilayah (komunitas). Kedua, definisi dan pengukuran kemiskinan lebih banyak di pengaruhi pihak luar (externally imposed) dan memakai parameter yang terlalu ekonomis. Implikasinya adalah konsep penanganan kemiskinan mengalami bias sasaran dari hakikat kemiskinan itu sendiri. Ketiga, penanganan program pengentasan kemiskinan mengalami birokratisasi yang dalam, sehingga banyak yang gagal akibat belitan prosedur yang terlampau panjang. Keempat, kebijakan penanganan kemiskinan sering ditumpangi oleh kepentingan politik yang amat kental sehingga tidak mempunyai muatan atau makna dalam penguatan perekonomian masyarakat miskin.
Kebijakan BLT nyatanya belum cocok mengatasi permasalahan ini, sehingga kebijakan itu tidak berhasil karena program yang dirancang dalam pengentasan kemiskinan tidak sesuai dengan kebutuhan yag diperlukan masyarakat miskin.

Minggu, 28 Oktober 2012

Mahasiswa Dalam Kedunguan Idealisme*


Oleh : Joni Firmansyah
Dinamika dalam pergerakan, sangat identik dengan kontribusi mahasiswa. Sebagai kaum- kaum cendekiawan, mahasiswa adalah dinamo atas berjalannya mesin kehidupan. Tak bisa disangkal, bahwasanya mahasiswa adalah rotor penggerak baling- baling kapal negeri ini, yang sejatinya selalu dicerca dan dipertanyakan oleh masyarakat letak kecerdasannya saat mereka menuntut perubahan. Pada dasarnya, tak ada yang salah dengan mahasiswa. Kehidupan mahasiswa tak jauh berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Mereka makan, berkembang, bersosialisasi, hingga ada yang berkembang biak, dan itu sudah bukan barang baru bagi lingkungan Indonesia saat ini. Hanya saja, akhir- akhir ini kita sering mendengar dan melihat pemberitaan di media, bahwasanya mahasiswa telah berubah dari ahli retoris menjadi teroris, ahli orasi menjadi minus substansi, hingga role player mereka yang harusnya menyerang, kini balik diserang. Apa yang salah dengan mereka?
Jawabannya sederhana, tak perlu repot- repot memeras otak untuk menemukan solusi dan pemecahannya. Tengok saja di media, baik cetak maupun elektronik, telah banyak kasus dan peristiwa yang menggambarkan pola dan tingkah laku mahasiswa. Ada yang bakar diri didepan istana negara, agar aspirasinya didengar, ada pula yang orasi dijalanan. Lantas, apakah tindakan itu salah? Tidak. Hanya saja masyarakat kita yang tak cukup cerdas dalam memahaminya. Kita, sebagai mahasiswa, memiliki fungsi istimewa melebihi lembaga legislatif dan eksekutif di negeri ini, tak ada satu kekuatan pun yang sanggup meredam pergerakan mahasiswa, apalagi memberangusnya. Disaat hegemoni kekuatan itu telah diresapi dan dipahami, justru banyak mahasiswa yang me-revival-kan dirinya. Mereka mengklasifikasikan dan mendikotomikan dirinya menjadi bagian- bagian kecil golongan, lantaran tak satu visi dan tak satu solusi. Mereka menggunakan alasan klasik, yaitu perbedaan ideologi, sebagai faktor pembeda diantara keduanya. Akibatnya, banyak mahasiswa yang hanya mampu ber-masturbasi secara gerakannya. Artinya, satu golongan yang bergerak, yang lainnya mengklaim bahwa itu adalah usaha bersama. Terlebih lagi, yang lebih menyedihkan, gerakan mahasiswa saat ini menjadi autis, gagap politik, dan antipati terhadap lingkungan dan keadaan rekan sejawatnya sendiri.
Negeri ini mengajarkan kita, bahwa mahasiswa memiliki andil sejarah yang sangat romantis. Dahulu profesi mahasiswa adalah sebuah kebanggaan yang sangat elegan untuk disandang. Seluruh revolusi dan rekonstruksi Indonesia, selalu diwarnai dengan aksi mahasiswa. Lalu mengapa saat demonstrasi mahasiswa justru dianggap ekstrimis? Bahkan dianggap sebagai kaum anarkis? Sesungguhnya, kata anarkis bukan hal yang salah. Anarkisme adalah paham yang lahir akibat penindasan berlebihan dari penguasa yang mengakibatkan timbulnya perlawanan, yaitu menuntut kebebasan. Jikalau saat ini ada mahasiswa yang dengan terang-terangan mengklaim dirinya sebagai kaum anarkisme, wajar- wajar saja. Namun, jikalau dalam aksi mereka, ada peryataan yang menentang pemerintah, itu tidak termasuk anarkisme, tapi justru kepada bentuk vandalism, yang sejatinya merupakan gerakan- gerakan proletarian yang soft dan tidak ekstrem. Inilah yang menjadi pembeda antara gerakan mahasiswa tempo dulu, yang memiliki satu visi dan satu komando, dengan gerakan mahasiswa saat ini yang terjebak pada ketololan yang berlarut- larut.
Mahasiswa Generasi Retorika
Berbeda zaman, berbeda pula eksistensi pelaku sejarahnya. Jikalau pada era 1965 dan 1998, para aktivis mahasiswa tampil karena panggilan nurani, lain halnya dengan dinamisasi idealism mahasiswa yang mengaku aktivis saat ini. Aktivis saat ini ialah mereka yang hobinya narsis, senang berretoris dan merasa sok laris. Mahasiswa seperti ini menjadikan organisasi sebagai tujuan utama, meyakini bahwa apa yang mereka lakukan demi kepentingan rakyat, sehingga mereka terbawa suasana “perjuangan” kampus guna kepentingan rakyat, hingga menunda kelulusan mereka agar lebih memudahkan alur mereka dalam mengurus rakyat, padahal dengan menunda kelulusannya, artinya ia lebih banyak menghabiskan uang orang tuanya, yang notabenenya adalah rakyat juga.[1]Ada juga generasi aktivis “media”, mereka ialah mahasiswa teks book, mahasiswa teoritis yang lebih suka berkutat dengan teori- teori gampangan dan murahan tanpa adanya kongklusi realistis. Mahasiswa ini jarang berkoar dijalanan, jarang pula ikut aksi tapi lebih senang diskusi dan update status di FB dan Twitter. Mahasiswa ini lebih senang berkoar didunia maya, lebih menyukai diskusi satu arah, namun ketika dipertanyakan integritas serta pemahaman asumsi faktualnya, mereka hanya bungkam serta diam, tanpa ada pembelaan berarti. Selanjutnya ialah mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang), yang tak peduli mau ada aksi, tak peduli dekan dan pejabat kampus korupsi, yang terpenting absen mereka penuh terisi, maka aman dan usailah sudah. Kemudian adalah tipe penjilat, yaitu segelintir mahasiswa yang no background, no perception dan beraksi melawan kaum ideologis. Pergerakan mereka sama layaknya kaum-kaum Sophies pada masa Socrates, yang merasa dirinya sebagai golongan paling cerdas, anti perubahan atau biasa yang disebut sebagai pragmatis-apatisasi gerakan. Mahasiswa dalam porsi ini, hanya bisa mempertanyakan, tanpa ada solusi ataupun jalan keluar perubahan. Hanya bisa mengkritik, tanpa ada paradigma teori yang jelas. Alur yang dibangun nampaknya membentuk gerakan revival, yaitu gerakan penyucian diri, dengan etnosentris dan primordialis yang menjadi dasar gerakan. Mereka selalu bersifat antipati dan berkeinginan memotong alur gerakan, bersifat oppurtunistik, pengecut dan bertopeng. Mengklaim dirinya sebagai aktor, nyatanya sebagai “tikus-tikus kantor” yang hanya bisa menggerogoti dan memutarbalikkan fakta serta asumsi yang ada.
Itulah sekilas mengenai kondisi gerakan mahasiswa saat ini. Segala sesuatu berawal dari idelisme, namun idealism bukanlah segala-galanya. Disaat naluri dan insting berkata benar, maka seyogyanya kitapun harus mengakui, bahwa kebenaran tetaplah kebenaran, dan idealism hanyalah sikap untuk mengkooptasi kesemuan dari setiap kebenaran yang ada. Andai saja mahasiswa sekarang dapat memaknai apa yang disampaikan Gie, “Kita memang berbeda dalam segala, kecuali dalam cinta”, saya meyakini bahwasanya generasi kita adalah generasi terbaik sepanjang sejarah, bukan generasi retorika yang minus substansi dan solusi, apalagi generasi yang justru dibodohi oleh idealismenya sendiri.
Salam cinta atas nama perjuangan, salam perjuangan atas nama cinta. Hidup Mahasiswa!
*Disusun sebagai persyaratan untuk mengikuti “Diponegoro School of Nation” 2012


[1] Joni Firmansyah dalam “Membangun Sinergisitas Mahasiswa, Kini dan Nanti” www.jonifirmansyahfull.blogspot.com

Sumpah Pemuda : Generasi Disiplin, Generasi Pemimpin, Generasi BISA (Berani, Inisiatif, Solutif Aspiratif)



Percepatan pemikiran adalah suatu bentuk perlawanan terhadap tirani waktu. Tergerusnya pemikiran, adalah sebuah kekalahan mutlak atas kelemahan melawan tirani yang menyelimuti dinamisnya esensi untuk berpikir. Waktu, adalah pembunuh nomor satu yang mendaulat dirinya memiliki kedigdayaan yang tak bisa ditentang. Ia ibarat halimun yang tak dapat disentuh, apalagi untuk dibantai atas kesombongannya. Waktu pulalah yang dengan tegas menantang pemikiran. Apakah dengan pemikiran sebagai anugerah istimewa yang di anugerahkan Tuhan kepada manusia sebagai pembeda dari makhluk yang lainnya, dapat berjibaku bersaing dengan derasnya waktu. Ia sama sekali tak peduli dengan etnik liberalism sebagai karya agung kebebasan, ataupun esensi socialism sebagai pionir kesetaraan. Baginya, itu adalah kesemuan gerilyawan yang sejatinya tunduk pada hasrat, bukan padanya. Waktu jualah yang melahirkan generasi otoritarianisme bagi zamannya. Generasi itu pula yang mewarnai segala bentuk percepatan- percepatan pemikiran untuk menciptakan sejarah bagi generasi mereka selanjutnya. Hal ini semata- mata dilakukan oleh mereka untuk membuktikan, bahwasanya tak ada yang dapat menentang dinamisnya pemikiran, tak ada yang dapat melawan derasnya pergerakan, dan tak ada yang mampu menawan eksentriknya ide dalam binkai perjuangan.

Perbedaan ide dan pandangan, bukan sebuah hal baru bagi mereka yang paham pentingnya membangun gerakan. Mereka yang mengaku beridealis, selalu dipenuhi dengan perasaan kalut, apakah tinta emas yang sudah mereka lukiskan dalam sejarah negeri ini, dapat diteruskan, atau paling tidak dapat dihargai oleh generasi selanjutnya. Hal ini telah dibuktikan oleh generasi- generasi republik ini. Mereka dengan gagah mengikrarkan sebuah janji suci nan monumental pada tanggal 28 Oktober 1928, sebagai bentuk representasi nasionalisme atas kemajemukan bangsa Indonesia. Dokumen tertulis yang mereka buat merupakan hasil pemikiran dan rasa sense of belonging yang kuat atas cinta mereka kepada Indonesia. Kesatuan visi inilah yang sejatinya mengikat silaturrahim yang hakiki diantara mereka, walaupun sejatinya mereka terlahir tak sama, tak serupa, tidak satu tanah, bahasa, apalagi budaya. Kemajemukan inilah yang mewarnai generasi 1928 sebagai generasi pencetus semangat kepemudaan. Padahal, saat itu mereka tak mengenal pancasila sebagai landasan negara, tak mengenal UUD sebagai tujuan negara, dan tak pernah membayangkan jikalau negeri dimana mereka berpijak saat itu akan menjadi permata bagi dunia, atau janji suci yang mereka ikrarkan akan menjadi peletup semangat gerilya para pemuda. Tidak sama sekali. Itulah semangat patriotis sejati, yang mereka tuangkan dalam ceremonial “Putusan Kongres Pemuda”, namun oleh leader saat itu seringkali menyebutnya sebagai Sumpah Pemuda, dan istilah itulah yang membekas dalam ingatan kita saat ini, mengingat penambahan kata itu sebagai sebuah bentuk kesakralan sumpah, yang merekatkan persatuan atas bangsa yang baru berdiri.

Jikalau hari ini, kita acapkali melihat dan merasakan, bahwasanya semangat pemuda telah lesu dan pupus, sejatinya hal itu adalah bentuk kekalahan mereka terhadap tiraninya waktu. Mereka (pemuda) hanya bisa tunduk tanpa berani mendongak lantaran dibuai nikmatnya zaman yang menggelora, melirik siapa saja yang terlena, dan akhirnya ikut terjerumus dalam nista nestapa. Waktulah yang mengatur mereka untuk diam, berkhayal dalam angan, bermimpi tanpa alasan yang pasti. Mungkinkah kita yang berada saat ini lupa, bahwasanya kita mengenal kata MERDEKA, karena sebelumnya kita telah merasakan yang namanya SENGSARA. Lantas, apa yang harus dilakukan? Mari kita renungkan sejenak akan makna dan arti lahirnya Sumpah Pemuda. Keberagaman visi dan ketidaksamaan obsesi menjadi unik dan cantiknya lahirnya cerita ditahun 1928. Mereka tak mengenal satu sama lain, namun mereka sangat mengenal tanah dimana mereka berpijak, mereka tak peduli budaya satu dengan yang lain, karena justru dengan adanya ketidaktahuan itu, hati mereka tergelitik untuk selalu menjaga solidaritas dan menghormati kemajemukan dan mutikulturalism Indonesia. Mereka tak kenal tanah yang menjadi tumpah darah mereka, selain INDONESIA, tak mengenal bangsa yang lain, selain INDONESIA, dan selalu menjunjung bahasa persatuan, yaitu bahasa INDONESIA. Sumpah dan ikrar ini, telah diakuin jauh sebelum proklamasi dicetuskan!

Oleh karena itu, sebagai generasi modern yang penuh peluang untuk berdinamika, do what can you do, for your Country. Marilah kita tampil sebagai generasi yang BISA (Berani, Inisiatif, Solutif dan Aspiratif) dalam mewarnai eloknya sejarah saat ini. Berani melawan tirani penguasa, Inisiatif dalam bertindak, berkarya, untuk berderap dan melaju, Solutif terhadap permasalahan bangsa serta Aspiratif menanggapi keluhan kaum proletar sebagai akuisisi kemanusiaan. Ayo kita selaraskan langkah gerak kita untuk menjadi pribadi tendensius akan indahnya pergerakan. Kita maktubkan arah gerak kita sesuai 3 landasan dari janji suci nan monumental generasi 1928 tersebut. Tak perlu lagi kita menekuni landasan ke-empat, yang seringkali menjadi pilar penghadang untuk merdeka, yaitu mengakui dan cinta mati terhadap golongan. Bangunlah ikatan bersama Indonesia yang terikat dalam ikatan darah, karena sesungguhnya itu adalah bentuk perlawanan yang paling hakiki, yaitu melawan tiraninya waktu!

Demi Masa. Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang- orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran” (QS. Al-‘Ashr 1-3)

Salam cinta atas nama perjuangan, salam perjuangan atas nama Cinta!
Hidup Mahasiswa! Hidup Pemuda Indonesia!

JONI FIRMANSYAH
Kadiv Kastrat KAMMI Komisariat Fisip Undip
Kadiv PAGER Kemensospol BEM KM Undip
Kadiv LITBANG HMJ Ilmu Pemerintahan UNDIP

Rabu, 08 Agustus 2012

Pemenuhan Empat Hak Anak sebagai Esensi Aktualisasi Fungsi Mahasiswa*


”Peran Mahasiswa Sebagai Pembentuk Potensi Anak Bangsa” 

Mahasiswa sebagai agent of change and agent of modernization merupakan kaum- kaum cendekiawan yang memiliki akses tidak terbatas dalam mengaktualisasikan sebuah imajinasi untuk menciptakan perubahan. Sudah bukan hal yang baru lagi, apabila setiap perubahan yang terjadi di negeri ini selalu di prakarsai oleh mahasiswa, sebut saja peristiwa Sumpah Pemuda 1928, revolusi Indonesia 1965 serta pergantian rezim Indonesia 1998. Dari keseluruhan “agenda” mahasiswa tersebut, ada beberapa poin penting yang nampaknya sedikit terlupakan, atau sengaja dilupakan mahasiswa karena adanya asumsi bahwa hal tersebut dapat dipengaruhi oleh masa ataupun zaman. Poin penting tersebut ialah bagaimana mahasiswa dapat melanjutkan regenerasi “keperkasaannya” agar tak hilang ditelan peradaban, agar tak patah arang ditelan masa, yaitu dengan cara membentuk karakter baru kepada generasi yang baru dengan memanfaatkan potensi generasi dibawah mereka. Kita semua tentunya sadar dan mafhum, bahwasanya pergerakan mahasiswa saat ini sangatlah jauh berbeda dengan pergerakan para pendahulu mereka. Peran mahasiswa saat ini, hanya berkutat pada tataran praktis, yang dibumbuhi dengan animo egoistic, tanpa menghiraukan keadaan disekitarnya. Padahal, salah satu The Founding Fathers of Indonesia, Bung Hatta, pernah berpesan, “ Pemimpin yang baik, ialah pemimpin yang dapat mencari gantinya, dan generasi yang hebat, ialah generasi yang mampu memaksimalkan generasi selanjutnya”.
Berbicara mengenai potensi anak bangsa, maka kita dituntut untuk mampu terlebih dahulu memenuhi hak mereka. Sesuai dengan ketetapan Dewan Anak Indonesia tahun 2012, bahwa setiap anak, wajib memiliki atau mendapatkan empat haknya, yaitu hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dan hak partisipasi. Manakala keempat hak tersebut tak terpenuhi, maka potensi anak tersebut tak dapat dimaksimalkan, serta tak dapat didayagunakan. Anak sebagai generasi pembaharu bangsa ini adalah bibit- bibit manusia berkualitas yang nantinya akan menggantikan seluruh aspek dan sendi kehidupan bernegara dan menciptakan produk hukum yang berpengaruh terhadap dimensi kehidupan masyarakat. Apabila sejak dini anak- anak tersebut tak dibina dengan baik, maka bekal yang mereka miliki akan sangat minim dan tak qualifield. Oleh karena itu, sebagai mahasiswa, tidak hanya mampu untuk orasi aksi dan turun ke jalan. Menggugat kebijakan pemerintah adalah hal yang gampang, namun menciptakan calon pemerintah itulah yang tak mudah, tapi disitulah letak esensi dari peran mahasiswa sesungguhnya. Mahasiswa dapat memaksimalkan jaringan dan akses yang ia miliki untuk membentuk potensi anak bangsa, misalnya dengan pendampingan anak- anak pada saat menghadapi ulangan dan UAS, advokasi anak- anak jalanan, serta mengadakan berbagai macam pelatihan untuk membentuk soft skill anak- anak tersebut.
Itulah hakikat peran mahasiswa sesungguhnya, dimana hegemoni kepemimpinan negara berada ditangan mereka. Ibarat negara itu terdiri dari pilar- pilar, maka anak- anak adalah pilar dasar (basic), mahasiswa sebagai pilar penegak (middle), dan orang tua sebagai payung perlindungannya (top action). Apabila sejak dini mereka tak dibina, maka keberlanjutan pemahaman mereka untuk ke tahap selanjutnya akan tak berimbang, lantaran pembinaan tak dilakukan dari awal. Inilah esensi yang seharusnya dipahami oleh setiap elemen mahasiswa, dimana peran mereka tidak hanya berkutat pada decision maker, namun justru kepada orientasi pembantukan karakter anak bangsa dengan memenuhi setiap hak yang wajib dimiliki oleh setiap anak Indonesia, agar terciptanya kehidupan rakyat Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur, serta dapat mampu menciptakan generasi emas Indonesia dalam peradaban dunia.

*Disusun untuk mengikuti Lomba Mini Essay HIMPS Universitas Diponegoro dalam rangka Hari Anak Nasional 2012.

Jumat, 01 Juni 2012

MEMORANDUM OF UNDERSTANDING


(NOTA KESEPAHAMAN)

Pada hari ini Jumat, tanggal 1 bulan Juni tahun 2012 bertempat di Kampus Universitas Diponegoro Tembalang, PARA PIHAK yang bertanda-tangan di bawah ini :
  1. Prof. Soedarto P Hadi, MES.,Ph.D, selaku Rektor Universitas Diponegoro, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Universitas Diponegoro, yang berkedudukan di Jl. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, untuk selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA.  
  2. Reza Auliarahman Bhaktinagara, selaku Koordinator Aksi Mahasiswa Tolak Kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Mahasiswa Universitas Diponegoro, yang berkedudukan di Jl. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang untuk selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.
Maka dengan ini, kedua pihak menyatakan :
1.      UNDIP menolak untuk menerapkan Uang Kuliah Tunggal (UKT)
2.      Meningkatkan mutu infrastruktur dan fasilitas kampus.
3.      Adanya pengawasan dan transparansi terhadap alokasi dana kemahasiswaan.
4.      Jaminan kepada seluruh mahasiswa Undip yang tidak mampu.
Demikian Memorandum of Understanding/Nota Kesepahaman ini dibuat rangkap 2 (dua), disepakati dan ditandatangani oleh PARA PIHAK dalam keadaan sadar, sehat jasmani dan rohani, tanpa ada tekanan, pengaruh, paksaan dari pihak manapun, dengan bermaterai cukup, dan berlaku sejak ditanda-tangani.

                PIHAK PERTAMA,                                     PIHAK KEDUA

                  Prof. Soedarto P Hadi, MES.,Ph.D              Reza Auliarahman Bhaktinagara

Mahasiswa UNDIP Menolak Sistem Uang Kuliah Tunggal


Perkembangan ekonomi nasional Indonesia saat ini menuntut masyarakat untuk berperan aktif agar mampu untuk menyesuaikan diri dengan berbagai kebijakan yang diterapkan. Belum lepas di benak kita akan isu kenaikan BBM yang tidak pro rakyat, kini masyarakat kembali diguncang mengenai adanya isu Tarif Tunggal dalam sektor pendidikan yang memberatkan masyarakat, khususnya mahasiswa. Dengan adanya penerapan tarif tunggal, akan muncul sebuah dinamika yang tak berimbang dimana pemerintah hanya memihak masyarakat dengan ekonomi mapan tanpa memperdulikan rakyat miskin. Kebijakan ini juga akan membentuk stratifikasi sosial antara si kaya dengan si miskin yang ditinjau dari sisi finansialnya.

Tarif tunggal atau Uang Kuliah Tunggal (UKT) adalah sistem pembayaran seluruh komponen biaya pendidikan yang dibagi secara merata ke tiap semester, dengan asumsi waktu kuliah 8 semester. Dengan artian, UKT tidak mengenal sumbangan SPI, SPMP, PRKP atau biaya wisuda. Seluruh biaya (sumbangan) akan dijumlahkan, kemudian dibagi merata ke 8 semester. Sistem UKT akan diberlakukan mulai dari mahasiswa baru angkatan 2012 sesuai Surat Edaran Dirjen Dikti nomor 488/E/T/2012 tanggal 21 Maret 2012. Tahun ini, kemungkinan besar Undip akan melaksanakan sistem UKT. Hal ini dipertegas dari pernyataan rektor Undip di beberapa media massa. Namun, pelaksanaan sistem UKT terkesan terburu- buru tanpa adanya sosialisasi yang masiv terlebih dahulu. Hingga saat ini, belum ada tarif resmi yang dirilis oleh Undip. Akibatnya waktu pembayaran bagi calon mahasiswa baru yang diterima di jalur SNMPTN undangan berubah dan tak sesuai jadwal. Lantas, apakah Undip sudah siap menjalankan sistem UKT?
Penolakan ini didasari atas beberapa hal, yaitu :

1.    Akan terjadi peningkatan biaya kuliah khususnya bagi mereka yang masuk lewat jalur SNMPTN karena standarisasi biaya yang digunakan berada diatas biaya SNMPTN.
2.      Proses penyusunan anggaran akan tertutup, dan berpotensi terjadi mark- up dan praktik korupsi.
3.      Sosialisasi tentang sistem UKT masih sangat minim.
4.      Akan muncul kesenjangan sosial antara mahasiswa yang kaya dengan mahasiswa yang miskin serta muncul ketimpangan ekonomi.
Oleh sebab itu, MAHASISWA UNDIP MENOLAK KEBIJAKAN DIKTI TENTANG SISTEM UANG KULIAH TUNGGAL DAN MENUNTUT PENGELOLA UNIVERSITAS DIPONEGORO UNTUK :
1.      Memberikan pendidikan berkualitas yang bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali
2.      Menjamin dan membantu seluruh mahasiswa yang kurang mampu di Universitas Diponegoro
3.      Transparansi anggaran dan biaya tarif kuliah
4.      Peningkatan mutu dan fasilitas kampus.

Hidup Mahasiswa..

Senin, 28 Mei 2012

Peran Pemerintah sebagai Manajer Dalam Pemulihan Suatu Organisasi Pasca Konflik


 
Studi Kasus : Peran Pemerintah Kota Bima NTB sebagai Manajer Pasca Penyelesaian Konflik Tambang



BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manajemen adalah suatu proses interaksi sosio- teknik yang terjadi dalam organisasi formal dengan tujuan untuk mencapai tujuan organisasi yang ditentukan melalui penggunaan sumber- sumber orang lain (Burgess, 1998). Berbagai pendapat dari beberapa ahli administrasi dikemukakan dalam mengidentifikasi fungsi-fungsi manajemen yang pada intinya adalah perencanaan, pengorganisasian, penyusunan, pengarahan dan pengawasan.[1]
Stoner (1985) menyampaikan bahwa sebaiknya seorang pengelola (manajer) mendorong anggota organisasinya untuk melaksanakan melalui :
1. Membuat kebijakan yang jelas yang mendorong perilaku etika
2. Tanggung jawab kedisiplinan
3. Menyebarluaskan kode etik melalui teknik belajar yang aktif
4. Mendorong staf untuk menambah pengetahuannya mengikuti kursus-kursus manajemen pada sekolah-sekolah atau yang mengadakan kursus tentang legal dan etik profesi/ organisasi.
Jadi pada dasarnya seorang manager harus memegang teguh nilai-nilai serta standar etika pada setiap perilakunya yang mana hal ini akan mempengaruhi mutu pelayanan yang menjadi tanggung jawabnya, oleh sebab itu sebaiknya selain kode etik untuk manager pada umumnya, juga kode etik bagi pengelola (administrator) perlu diadakan.
Dalam proses pelaksanaannya, tak ada suatu perencanaan yang berjalan dengan mulus tanpa hambatan. Tentunya pasti ada hal- hal yang mengganjal ataupun yang menghalangi suksesnya suatu pola manajemen. Misalnya saja dalam manajemen birokrasi pemerintahan yang terjadi di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Dalam suatu kebijakan yang diterapkannya, ada pertentangan yang terjadi dalam dinamika masyarakat tersebut. Pada tahun 2011 yang lalu, masyarakat menuntut adanya perevisian kembali terkait KK (Kontrak Karya) pertambangan salah satu perusahaan asing karena dinilai merugikan masyarakat. Pemerintah, dituding melakukan penyimpangan dikarenakan menyetujui kontrak tersebut secara sepihak. Apabila ditinjau dari sisi manajemennya, tentunya ini menimbulkan suatu problematika atas tatanan sistem yang telah dibangun oleh pemerintah. Akibatnya, muncul suatu ketimpangan sosial dalam masyarakat dan terjadinya disintegrasi sosial. Oleh karena itu, diperlukanlah suatu sistem manajemen yang sistematis dan kondusif dalam mengelola dan mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi agar proses manajemen, yang meliputi planning, organizing, actuating, and controlling dapat terealisasi dengan kongkrit dan dirasakan manfaatnya, artinya proses input, hingga proses output dapat berjalan dengan lancar.
2.1. Rumusan Masalah
a. Peran Manager dalam memulihkan suatu organisasi pasca terjadinya suatu masalah.
b. hambatan-hambatan yang dihadapi manajer dalam organisasi

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Peran Manager dalam memulihkan suatu organisasi pasca terjadinya suatu masalah
Peranan manajer dalam suatu organisasi itu sangatlah penting karena keberadaan manajer yaitu menjadi palang pintu atau menjadi salah satu ujung tombak dari keberhasilan dalam berorganisasi. Salah satu tugas atau peran manajer yaitu harus bisa mengelola konflik dalam organisasi yang dipimpinnya sehingga setiap konflik itu bisa diselesaikan dengan baik dan tidak ada yang merasa dirugikan.[2] Selanjutnya, dalam memahami peran manager dalam mengelola konflik, ada beberapa tipe dan jenis konflik yang harus dimengerti terlebih dahulu. Menurut Rahman Faisal, konflik itu ada beberapa ciri, yaitu :
Menurut Baden Eunson (Conflict Management, 2007,diadaptasi), terdapat beragam jenis konflik:[3]
a)      Konflik vertikal yang terjadi antara tingkat hirarki,seperti antara manajemen puncak dan manajemen menengah, manajemen menengah dan penyelia, dan penyelia dan subordinasi. Bentuk konflik bisa berupa bagaimana mengalokasi sumberdaya secara optimum, mendeskripsikan tujuan, pencapaian kinerja organisasi, manajemen kompensasi dan karir.
b)      Konflik Horisontal, yang terjadi di antara orang-orang yang bekerja pada tingkat hirarki yang sama di dalam perusahaan. Contoh bentuk konflik ini adalah tentang perumusan tujuan yang tidak cocok, tentang alokasi dan efisiensi penggunaan sumberdaya, dan pemasaran.
c)      Konflik di antara staf lini, yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki tugas berbeda.
d)     Konflik peran berupa kesalahpahaman tentang apa yang seharusnya dikerjakan oleh seseorang. Konflik bisa terjadi antarkaryawan karena tidak lengkapnya uraian pekerjaan, pihak karyawan memiliki lebih dari seorang manajer, dan sistem koordinasi yang tidak jelas.
Dalam upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan, hal ini disebabkan karena setiap jenis perubahan dalam suatu organisasi cenderung mendatangkan konflik. Perubahan institusional yang terjadi, baik direncanakan atau tidak, tidak hanya berdampak pada perubahan struktur dan personalia, tetapi juga berdampak pada terciptanya hubungan pribadi dan organisasional yang berpotensi menimbulkan konflik. Di samping itu, jika konflik tidak ditangani secara baik dan tuntas, maka akan mengganggu keseimbangan sumberdaya, dan menegangkan hubungan antara orang-orang yang terlibat.
Untuk itulah diperlukan upaya untuk mengelola masalah secara serius oleh seorang manager agar keberlangsungan suatu organisasi tidak terganggu. Stoner mengemukakan tiga cara dalam pengelolaan masalah, yaitu:
1.      Merangsang konflik di dalam unit atau organisasi yang prestasi kerjanya rendah karena tingkat konflik yang terlalu kecil
2.      Meredakan atau menumpas konflik jika tingkatnya terlalu tinggi atau kontra-produktif
Selanjutnya, manakala telah terjadi konflik, peran manager sangat dibutuhkan dalam mengelola masalah agar eksistensi organisasi dapat bertahan. Menurut Robert L. Katz pada tahun 1970-an mengemukakan bahwa setiap manajer membutuhkan minimal tiga keterampilan dasar. Ketiga keterampilan tersebut adalah:
  1. Keterampilan konseptual (conceptional skill). Pada saat terjadi konflik dalam organisasi, manajer tingkat atas (top manager) harus memiliki keterampilan untuk membuat konsep, ide, dan gagasan baru demi kemajuan organisasi. Gagasan atau ide serta konsep tersebut kemudian haruslah dijabarkan menjadi suatu rencana kegiatan untuk mewujudkan gagasan atau konsepnya itu. Proses penjabaran ide menjadi suatu rencana kerja yang kongkret itu biasanya disebut sebagai proses perencanaan atau planning. Oleh karena itu, keterampilan konsepsional juga merupakan keterampilan untuk membuat rencana kerja yang baru bagi organisasi.
  2. Keterampilan berhubungan dengan orang lain (humanity skill). Selain kemampuan konsepsional, manajer juga perlu dilengkapi dengan keterampilan berkomunikasi atau keterampilan berhubungan dengan orang lain, yang disebut juga keterampilan kemanusiaan. Komunikasi yang persuasif harus selalu diciptakan oleh manajer terhadap bawahan yang dipimpinnya. Dengan komunikasi yang persuasif, bersahabat, dan kebapakan akan membuat karyawan merasa dihargai dan kemudian mereka akan bersikap terbuka kepada atasan. Keterampilan berkomunikasi diperlukan, baik pada tingkatan manajemen atas, menengah, maupun bawah. Kemampuan ini pula untuk memotivasi para bawahan agar lebih giat dalam membangun sistem organisasi yang baru agar lebih eksis kedepannya.
  3. Keterampilan teknis (technical skill). Keterampilan ini pada umumnya merupakan bekal bagi manajer pada tingkat yang lebih rendah. Keterampilan teknis ini merupakan kemampuan untuk menjalankan suatu pekerjaan tertentu.
Selain itu, untuk membangun kembali organisasi ataupun birokrasi yang telah goyah, seorang manager harus kembali mensinergiskan partnership yang menjadi rekan kerja organisasi tersebut dalam bergerak. Hal ini tentunya akan mempercepat kembali berjalannya organisasi karena ada relasi yang membantu organisasi tersebut. Networking atau jaringan, merupakan hal utama dan pertama dalam menciptakan sinergisitas lembaga, artinya eksistensi dan kualitas lembaga tergantung sejauh mana relasi yang dimiliki, peran dan anddil relasi, serta kepemimpinan yang bersifat good leader dari seorang manajemen. Sehingga, manakala organisasi tersebut mengalami ketimpangan dan mengharuskan untuk berbenah, ada pihak- pihak yang membantu dan menghidupkan organisasi yang timpang tadi.
2.2. Hambatan-hambatan yang dihadapi manajer dalam organisasi
Salah satu hambatan terbesar seorang manager dalam organisasi ialah perubahan. Organisasi yang pada dasarnya bersifat dinamis dan berwawasan terbuka, tentunya akan memberikan peluang bagi seluruh elemen untuk menyampaikan sesuatu, agar didengar maupun sebagai bentuk partisipasi. Misalnya saja dalam study kasus Kota Bima di NTB tadi, ada semacam isu yang bergulir (dalam hal ini mengenai pertambangan) yang menjadi brainstorming masyarakat. Sehingga, masyarakat yang merasa perlu berpartisipasi, mengusulkan berbagai usulan kebijakan yang ternyata merubah tatanan sistem yang telah dibangun oleh kepala daerah (dalam hal ini disebut manager).
Pada dasarnya, perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalamorganisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.
Dalam mengelola organisasi yang baru saja ditimpa masalah ataupun konflik, terkadang muncul perbedaan persepsi dari anggota organisasi dalam proses membangun kembali jejaring organisasi yang telah rusak. Pandangan- pandangan ini diklasifikasikan sebagai berikut :
a.      Pandangan Tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality.
b.      Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations View). Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi.
c.       Pandangan Interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif.
Atas tiga pandangan inilah, manajer terkadang menemui hambatan dalam mensinergikan kembali organisasi yang diamanahkan padanya. Oleh karena itu, manager harus memiliki skill dan kemampuan dalam mensinergikan perannya terlebih dahulu. Henry Mintzberg, seorang ahli riset ilmu manajemen, mengemukakan bahwa ada sepuluh peran yang dimainkan oleh manajer di tempat kerjanya. Ia kemudian mengelompokan kesepuluh peran itu ke dalam tiga kelompok, yaitu:[4]
a.       Peran antar pribadi : Merupakan peran yang melibatkan orang dan kewajiban lain, yang bersifat seremonial dan simbolis. Peran ini meliputi peran sebagai figur untuk anak buah, pemimpin, dan penghubung.
b.      Peran informasional ; Meliputi peran manajer sebagai pemantau dan penyebar informasi, serta peran sebagai juru bicara.
c.       Peran pengambilan keputusan : Yang termasuk dalam kelompok ini adalah peran sebagai seorang wirausahawan, pemecah masalah, pembagi sumber daya, dan perunding.
Dengan memperhatikan peran- peran tadi, manager akan lebih mudah mengorganisir organisasinya dengan baik, ditambah lagi dengan kemampuan untuk mendefinisikan masalah dan menentukan cara terbaik dalam memecahkannya. Kemampuan yang lebih utama lainnya ialah membuat keputusan yang merupakan modal paling utama bagi seorang manajer, terutama bagi kelompok manajer atas (top manager). Menurut Griffin[5], dalam membuat keputusan, ada tiga langkah yang dapat ditempuh. Pertama, seorang manajer harus mendefinisikan masalah dan mencari berbagai alternatif yang dapat diambil untuk menyelesaikannya. Kedua, manajer harus mengevaluasi setiap alternatif yang ada dan memilih sebuah alternatif yang dianggap paling baik. Dan terakhir, manajer harus mengimplementasikan alternatif yang telah ia pilih serta mengawasi dan mengevaluasinya agar tetap berada di jalur yang benar.



BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa peran manajer dalam mengelola organisasi pasca konflik dalam dinamika organisasi itu sangat penting, diantaranya:
  1. Manajer sebagai mediator atau pengarah dalam memecahkan masalah
  2. Manajer sebagai motivator terhadap organisasinya
  3. Manajer mempunyai peran penting dalam pengambil keputusan yang akan diikuti oleh bawahannya.
  4. Manajer harus mengedepankan musyawarah untuk mufakat dalam mensinergiskan organisasi atau lembaga yang dipimpinnya.
Selain itu seorang manajer juga diharapkan bisa menjadi teman sekaligus sebagai orang tua dalam organisasi, serta dapat membangun kembali networking atau jaringan yang berfungsi sebagai rekanan dalam mensinergiskan kembali organisasi manakala mengalami ketimpangan, sehingga dengan keadaan seperti itu perkembangan organisasi bisa diciptakan dengan baik dan dapat mewujudkan apa yang menjadi visi dan misi dalam organisasi.
3.2. Saran
Manager sebagai pucuk pimpinan dalam organisasi, haruslah mampu membangun motivasi bagi bawahannya ketika organisasi mengalami kemunduran. Selain itu, seorang manager haruslah dapat berbenah diri dan mencari solusi terbaik bagi organisasinya pasca organisasi tersebut mengalami kemunduran, agar dinamisasi organisasi dapat segera pulih dan kembali seperti biasanya.


DAFTAR PUSTAKA

Rahman Faisal dalam Peran Manajer Dalam Mengelola Konflik Organisasi

Griffin, R. 2006. Business, 8th Edition. NJ: Prentice Hall.
Peran manajer from: www.wikipedia.org
Tugas dan wewenang manajer from: www.google.com



http://dwiherawanners.blogspot.com/2009/04/peran-dan-fungsi-manajer.html, diunduh pada hari kamis, 12 april 2012 pukul 23.12 WIB


Fungsi DPRD Dalam Akuntabilitas Anggaran Publik



Disusun oleh : Joni Firmansyah
NIM. 14010110110065

Salah satu permasalahan yang paling krusial dalam tugas dan fungsi lembaga DPRD ialah terkait permasalahan keuangan. Bagi setiap daerah, masalah ini telah menjadi sebuah isu yang menarik karena menyangkut hajat hidup masyarakat daerah tersebut. Sesuai peran dan fungsinya, DPRD memiliki tiga fungsi, yang terdiri atas fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Hal ini telah termaktub dalam Undang-Indang Dasar 1945 pasal 20 A, dan salah satu fungsi yang sangat sensitif, yang selalu menjadi debatable berkepanjangan ialah fungsi DPRD dalam perancangan dana APBD. Hal ini dianggap sangat sensitif karena ini menyangkut eksistensi suatu organisasi pemerintahan, maupun lembaga masyarakat dalam menjalankan program kerja serta fungsi- fungsi lainnya.. Hal inilah yang kemudian membuat peraturan daerah terkait fungsi DPRD dalam hal anggaran menjadi sangat banyak, beragam dan bermacam-macam. Sebelum menjadi Perda, keseluruhan Perda yang masih menjadi Raperda, tentunya selalu terkontrol oleh pemerintah pusat karena walaupun sistem otonomi daerah yang diberlakukan, namun selalu ada garis koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintaha Daerah. Merujuk pada SE. Mendagri 903/2004/SJ Th 2005 ada 4 bagian belanja daerah meliputi belanja aparatur, belanja publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan serta belanja tidak tersangka. Sedangkan belanja daerah yang dianggarkan di satuan kerja perangkat daerah berdasarkan SE Mendagri 903 / 2429 / SJ Th 2005 meliputi belanja pegawai / personalia, belanja barang dan jasa,  belanja perjalanan dinas, belanja pemeliharaan, belanja modal, belanja DPRD, belanja kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta  belanja kegiatan penelitian dan pengembangan. Akan tetapi, secara realitas pemerintahan daerah saat ini sama sekali belum mampu menerapkan landasan transparansi sebagai wujud Good Governance bagi kesejahteraan masyarakat. Ketiadaan transparansi anggaran ini mengakibatkan wujud sistem anggaran pemerintahan daerah saat ini masih berkiblat pada paradigma lama dimana DPRD berada pada posisi puncak dalam sistem pengelolaan anggaran sehingga tak adanya jalan bagi masyarakat untuk mengaksesnya.Oleh karena itu, sudah saatnya pola seperti itu diubah dimana kekuasaan DPRD tidak berada di puncak dan fokus utama ialah ada pendekatan kepentingan dan hak serta pendekatan kekuasaan. Oleh karena itu, ekspektasi pola yang diharapkan ialah model prismatik, di mana ada 6 unit yang terkait dalam masalah keuangan daerah, yakni eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh agama, tokoh masyarakat, serta tokoh lokal. Ini semata- mata untuk menciptakan final destination dimana seluruh elemen dalam masyarakat ikut serta menentukan nasib mereka, ikut mengontrol eksistensi lembaga mereka, yang pada akhirnya ini menjadi pijakan awal dalam menciptakan Indonesia yang transparansi dan bebas dari korupsi.