Disusun Oleh :
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Menurut buku “ Subsidi BBM buat (si) Apa?” yang
diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, menaikkan harga
bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sudah pasti mengundang protes. Ini adalah
kebijakan yang sangat tidak popular. Banyak orang menilai, keputusan itu tidak
berpihak pada rakyat banyak atau kaum papa. Jika mungkin, tentu Pemerintah
menghindari kebijakan yang tidak menyenangkan banyak orang ini. Namun, pada
suatu kondisi tertentu seperti saat ini, mau tak mau pemerintah terpaksa
mengambil langkah yang tidak popular demi kepentingan yang lebih besar.
Bahan
bakar minyak (BBM) adalah sumber daya utama dalam pengelolaan negara. BBM telah
menjadi kebutuhan premier yang tak dapat ditawar- tawar dalam kebutuhan suatu
negara. Dalam pelaksanaan kebutuhan tersebut, negara nampaknya tak dapat
menempatkan posisinya bagi masyarakat. Negara, yang pada dasarnya dikelola oleh
pemerintah, diklaim tak lagi memihak rakyat lantaran menaikkan harga Bahan
Bakar Minyak sesuai keputusan sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat yang
tercantum dalam pasal 7 ayat 6 (6a), yang pada intinya akan menaikkan harga BBM
6 bulan semenjak putusan ini ditetapkan.
Melihat
fenomena ini, ada semacam kekhawatiran dan keputusasaan pemerintah dalam
menempatkan dirinya sebagai instrumen negara yang mengatur hajat hidup orang
banyak. Menaikkan harga Bahan Bakar Minyak memang suatu keputusan yang sangat
controversial. Hal ini didukung dan di back
up oleh banyak versi. Diantaranya ialah versi ekonomi, yang dianggap oleh
tak memihak rakyat, versi politik yang menjadikan fenomena BBM sebagai panggung
pencitraan partai politik, maupun versi- versi lainnya yang dianggap tak pro
terhadap rakyat. Melihat situasi yang demikian, pemerintah hanya memberikan
suatu solusi, yaitu memberikan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM)
sebagai pengganti upah dari subsidi BBM yang dinaikkan, dari Rp. 4.500/ liter,
menjadi Rp. 6000/ liter. Adapun jumlah BLSM yang diberikab kepada rakyat oleh
pemerintah ialah sebesar Rp. 150.000/ bulan untuk setiap kepala keluarga. Dari
kebijakan ini, muncul lagi suatu animo baru bagi masyarakat yang dianggap
sebagai bentuk penjajahan tersdelubung bagi rakyat. Menurut ketua umum Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarno Putri, dalam
statementnya yang penulis tangkap pada suatu diskusi public di salah satu media
televisi swasta, TVone,[1]
menyatakan bahwa BLSM adalah bentuk pembodohan serta bentuk pemanjaan kepada
rakyat. Masyarakat sepertinya dididik untuk tidak menjadi masyarakat yang
tangguh, yang selalu bergantung kepada pemerintah, penumbuhan mental cengeng
dan tak berani berjuang.
Melihat
banyak yang menentang, dilematisasi muncul kembali dalam tubuh birokrat kita.
Pemerintah nampaknya semakin “galau” untuk menetapkan kebijakan yang pada kala
itu akan ditetapkan pada tanggal 1 April 2012. Pemerintah tak mampu menetapkan
kebijakan ini lantaran mendapat pressure
ddari berbagai kalangan, terutama aktivis mahasiswa yang turun kejalan dan
sebagian diantaranya bertindak anarkis. Secara psikologis, pemerintah dibuat
bingung oleh kebijakan yang dicetuskannya sendiri, namun secara realistis,
masyarakat butuh kebijakan yang nyata, yang pro kerakyatan, bukan tipu daya
untuk memperkaya pribadi ataupun golongan tertentu.
1.2.Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, penulis merumuskan permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini sebagai berikut :
a. Efek
psikologi bagi masyarakat atas kebijakan menaikkan harga BBM.
b. Efek
psikologi Partai Politik dalam menentukan sikap terhadap kebijakan menaikkan
harga BBM.
c. Solusi
yang ditawarkan dari fenomena kenaikan BBM.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Efek Psikologi Masyarakat
dalam Kebijakan Menaikkan Harga BBM
Dalam
mata kuliah Partisipasi Politik, penulis mendapatkan ada semacam teori yang
sedikit dapat menjelaskan mengenai cara dan corak masyarakat dalam menentukan
pilihan maupun sikap dalam memilih peran atas kebijakkan pemerintah menaikkan
hrga BBM. Teori ini bernama Social-Psichological
Model (Michigan Model), yaitu suatu teori yang menjelaskan bahwa masyarakat
akan dapat memilih dan memberikan perhatian karena ada kesamaan psikologis,
adanya aspek psikologis yang satu serta ketergantungan terhadap lingkungan
sekitarnya. Dalam fenomena ini, kebijakan yang dicetuskan pemerintah nampaknya
tak memiliki kesinambungan yang cocok bagi situasi psikologis masyarakat
Indonesia saat ini. Banyaknya ketidaksamaan keadaan menjadikan rakyat tak siap
untuk menerima suatu perubahan yang dinilai cukup drastis tanpa ada pengetahuan
(sosialisasi) yang jelas sebelumnya dari pemerintah. Kesalahan yang terjadi
sejak dini inilah yang menjadikan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sendiri
ini akhirnya “termentahkan” karena situasi psikologis masyarakat yang tak siap.
Ini diperkuat atas fenomena harga yang dianggap tak sepadan dan tak sejalan
dengan kondisi rakyat. Dalam buku “Subsidi BBM buat (si)Apa?”, yang diterbitkan
oleh Kementrian ESDM Indonesia, harga jual Premium dan solar saat ini yaitu Rp.
4500 per liter, jauh lebih rendah dari harga pokoknya. Pemerintah, dalam hal
ini, nampaknya sedikit gelisah, karena pemerintah harus menambal kekurangan itu
dengan mengambil uang (subsidi) dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Harga minyak dunia dan konsumsi dalam negeri semakin melonjak mengakibatkan
subsidi untuk premium dan solar menjadi semakin besar. Dalam menghitung APBN
2012, Pemerintah dan DPR menyepakati harga minyak mentah sebesar US$ 90 per
barel sebagai patokan. Kenyataannya, selalam Februari 2012, rata- rata harga
minyak mentah sudah US$ 122, 17 per
barel, akibatnya subsidi untuk solar ddan premium sepanjang 2012 diperkirakan
akan melonjak ddari Rp. 123,6 triliun menjadi Rp.191,1 triliun. Jika harga
minyak dunia naik terus, subsidi akan menggelembung diluar kemampuan anggaran
negara. Lantas, pemerintah harus bagaimana? Ya sudah pasti akan menaikkan harga
jual Bahan Bakar Minyak (BBM) yang semula Rp. 4.500 menjadi Rp. 6.000/ liter
nya. Selanjutnya, apakah kebijakan ini dapat diterima oleh rakyat disaat
pemasukan mereka pun terbatas? Inilah dilematisasi yang terjadi di awal tahun
2012 ini, dimana terjadi pertentangan antara kebijakan sosial yang tak sejalan
dengan psikologis masyarakatnya.[2]
Selanjutnya,
aspek psikologis masyarakat semakin kuat dalam menolak kebijakan ini disaat
pengaruh kenaikkan BBM ini sedikit memberikan dampak deskriminasi golongan
dalam masyarakat. Deskriminasi ini terlihat dikala pemerintah menaikkan harga
yang tak dapat dijangkau oleh kaum masyarakat kecil menengah kebawah. Hal ini
dipandang sebagai suatu bentuk deskriminasi lantaran pemerintah hanya mengikuti
harga minyak dunia yang notabenenya dikuasai pihak asing dan diaplikasikan
hanya bagi golongan atas. Artinya, kebijakan ini seyogyanya tak sejalan dengan
keadaan masyarakat secara nyata. Dalam suatu diskusi yang penulis ikuti pada
tanggal 27 maret 2012, bertempat di gedung A lantai 3 Fisip Undip, terkait
dengan isu kenaikan BBM yang diselenggarakan oleh Teknik Industri Undip
bekerjasama dengan Kementrian ESDM, membentuk suatu acara diskusi dengan tema
“Justifikasi Kenaikan Harga BBM”, menerangkan bahwa sekitar 30% minyak mentah
Indonesia diambil oleh pihak asing sebagai “upah” kilang minyak, 30% untuk
konsumsi negara, dan 40% nya sebagai bahan baku untuk dijual oleh negara.
Berdasarkan hal ini, negara nampaknya telah dijustifikasi langsung oleh pihak
asing tanpa sadar karena Indonesia masih terikat kontrak minyak dengan mereka. Dalam
konteks ini, Indonesia tak bisa ditempatkan secara “optimistic view”,
dikarenakan kebijakan akan kontrak BBM ini bersifat “environmentalist ideology”, dimana hal ini dianggap alamiah tanpa
adanya intervensi pemerintah.[3]
Hal
lainnya yang mengusik bagi masyarakat ialah penilaian bahwa, BBM merupakan bahan baku
bagi berbagai kegiatan, pengaruhnya akan mendorong kenaikan harga umum secara
kumulatif. Pengaruh ini akan terjadi melalui beberapa cara yang terjadi secara
langsung melalui kenaikan biaya transport. Pengaruhnya secara sangat sederhana
dapat dihitung dengan melihat besarnya proporsi biaya BBM dari total biaya
transport, karena biaya transport tidak seluruhnya terdiri dari biaya untuk
BBM. Kemudian, berapa proporsi biaya transport dari total ongkos produksi? Kalau andainya biaya
untuk BBM dianggap rata-rata 50 persen dari total biaya transport dan biaya
transport 30 persen dari total biaya produksi, maka pengaruh langsung terhadap
kenaikan harga pokok adalah = (0,50 x 0,30) x 0,30 % = 0,05 atau hanya 5
persen. Jurus kedua, melalui pengaruh psikologi. Pengaruh ini sulit dihitung,
karena bekerjanya tidak selalu bersifat objektif secara ekonomis, tetapi
melalui berbagai pengaruh yang bersifat subjektif. Orang boleh berasumsi,
tetapi sulit diperhitungkan secara objektif.[4]
Itulah
beberapa analisis terkait dampak psikologi yang terjadi dalam masyarakat akibat
kesalahan pengambilan kebijakan bagi masyarakat. Ini tentunya menjadi keresahan
yang mengganggu kestabilitas negara serta animo masyarakat terhadap pemerintah.
2.2. Efek Psikologi Partai Politik
dalam Menentukan Sikap Terhadap Kebijakan Menaikkan Harga BBM.
Dalam
fenomena kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM, ada hal menarik yang
sangat mencolok dalam kubu lembaga legislatif Indonesia. Sebagai lembaga yang
menjadi partner pemerintah tersebut,
tentunya pengambilan keputusan akan kebijakan ini seyogyanya menjadi bahasan
mereka sebagai wakil rakyat. Sayangnya, para legislator dalam lembaga legislasi
saat ini justru mementingkan kepentingan partai yang diusungnya. Artinya,
keputusan partai yang menjadi acuan tanpa mengindahkan amanat rakyat, padahal
partai dianggap sebagai representasi golongan yang berjuang hanya untuk
kelompok. Ini sesuai dengan teori rational
person yang membahas untung rugi, dimana salah satu konsepnya ialah konsep
yang membahas mengenai konsep konsistensi kelompok acuan, yaitu seseorang akan
lebih cenderung mengikuti kelompok acuannya dalam pengambilan keputusannya.
Problematika inilah yang terjadi dalam tubuh legislatif kita saat menentukan
sikap terkait kebijakan ini. Bertajuk pada pemberitaan media bahwa Rancangan
Undang- Undang ini akan disahkan pada 1 April yang lalu, timbul pro- kontra
dalam tubuh lembaga legislasi. Seperti yang kita ketahui, ada 9 fraksi dalam DPR
Indonesia. Fraksi koalisi pemerintah terdiri dari 6 fraksi, yaitu Partai
Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golongan Karya (GOLKAR),
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sementara
partai oposisi pemerintah, terdiri dari 3 partai yaitu Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), dan Partai
Gerindra. Namun, pada saat muncul isu terkait kebijakan pemerintah yang
menaikkan harga BBM, ada partai- partai yang justru membelot dari koalisi yang
seharusnya mendukung kebijakan yang diambil pemerintah, sebut sdaja partai
tersebut adalah PKS. Partai ini, sejak awal telah menetapkan ikrar dengan
lantang bahwa fraksi mereka bertentangan dengan jalan yang diambil pemerintah.
Melihat situasi ini, nampaknya partai- partai Indonesia saat ini tengah dalam
rangka mempersiapkan dirinya guna menuju panggung politik akbar tahun 2014
nantinya. Dalam kajian Ilmu Politik, ini disebut Politik Pencitraan. Dalam
sebuah tulisan dari Ari Pradhanawati yang tertuang melalui pemikirannya yang
berjudul “Perilaku Pemilih di Era Politik Pencitraan dan Pemasaran Politik”,
Majalah FORUM Fisip UNDIP edisi Februari 2011 hal. 8, menyatakan bahwa politik
pencitraan ( imagologi politic), merupakan
sebuah fenomena warisan dari Pemilu Legislatif (Pileg) 2004 dan Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden (Pilpres) 2004 yang diselenggarakan secara langsung, yang
lebih mengutamakan popular votes,
yaitu mengutamakan figur kandidat. Namun, pada dasarnya politik pencitraan juga
tidak terlepas dari pemasaran politik yang dilakukan parpol atau kandidat yang
lebih banyak dibangun dari iklan- iklan politik, dalam hal ini, melalui sikap
partai yang ingin terlihat pro terhadap rakyat. Sehingga, dari kasus ini, kita
dapat melihat dan menganalisa partai- partai yang ingin mencari sensasi,
fantasi ataukah benar- benar mencari solusi. Sifat politik yang selalu dinamis
menjadikan partai – partai politik ini sedikit tak jelas menunjukkan sikapnya
secara terbuka dalam penyelesaian problematika kenaikkan harga BBM ini. Hal
tersebut terlihat pada Sidang Paripurna pada tanggal 30 Maret 2012 yang
menghasilkan, 2 partai walk out, satu
partai koalisi menolak dan berpihak pada oposisi serta menghasilkan ayat
tambahan pada UU no 7 ayat 6, yang ditambahkan ayat 6a, sehingga menambah
kisruh dan panasnya situasi politik Indonesia. Sekali lagi, ini adalah
permasalahan sikap, persepsi, maupun keyakinan yang mempengaruhi faktor- faktor
psikologi partai politik dalam mengedepankan aspirasi rakyat. Menurut Yusril Ihza
Mahendra sebagai pakar hukum tata negara dalam diskusi interaktif Indonesia Lawyers
Club (ILC) pada tanggal 8 April 2012 menyatakan bahwa, ketika badan legislatif
mengikuti usulan Partai Golkar untuk menambahkan pasal 6 menjadi pasala 6a,
menimbulkan kesenjangan harga sementara bagi rakyat. Harga bahan baku naik,
harga transportasi dan akomodasi semakin naik, harga minyak goreng yang tak ada
hubungannya dengan BBM juga ikut naik. Tentunya, BBM belum naik, namun
masyarakat sudah merasakan kemelaratan sementara yang menimbulkan kesenjangan
kehidupan masyarakat yang tak seperti biasanya. [5] Melihat fenomena ini,
dapat disimpulkan bahwa legislatif negeri ini tak pernah mempertimbangkan bahwa
kebijakan yang diterapkan ini nantinya tak sejalan apabila memang harus diuji
materi dan diaplikasikan dalam implikasi kehidupan masyarakat.
Hal
diatas semakin diperkuat oleh pendapat pengamat ekonomi-politik, Ichsanuddin
Noorsy, yang menyatakan bahwa menaikkan harga BBM merupakan salah satu bentuk
pengkhianatan terhadap bangsa. Menurutnya, menaikkan harga BBM dengan dalih
pengurangan subsidi semakin menunjukkan perekonomian Indonesia terperangkap
dalam sistem neoliberal. Celakanya, kenaikkan BBM ini sudah masuk ke wilayah
politik praktis Amerika Serikat dalam rangka menyokong kandidat Presiden 2014
yang pro-neoliberal. Dengan artian, partai- partai politik saat ini benar-
benar telah siap untuk menempatkan dirinya agar tak tersingkir dari “zona aman”
sistem perpolitikan negara ini.[6]
Begitu
pula halnya dengan asumsi dari Said Zainal Abidin, yang menyatakan bahwa sistem
perpolitikkan Indonesia bersifat Subjek
Conditional, yaitu dukungan terhadap pemerintah pada suatu waktu dalam
masyarakat. Kalau dukungan kepada pemerintah yang berkuasa sedang baik,
pengaruh negatif dari suatu kebijakan kurang terasa. Tapi kalau dukungan
masyarakat sedang turun, kelemahan sedikit dari suatu kebijakan akan
menimbulkan reaksi negatif yang besar. Aspek lain adalah cara mempresentasikan
kebijakan atau pengumuman terhadap kenaikan itu. Kalau pengumuman dilakukan
dengan terlebih dahulu menimbulkan pro dan kontra serta persentase kenaikannya
besar dan dilakukan secara sekaligus, pengaruh psikologi lonjakan harga umum
dipasaran cenderung besar. Besarnya jauh melampau pengaruh langsung yang
seharusnya terjadi.[7]
Itulah dilematisasi
yang terjadi dalam lembaga legislatif dan sistem perpolitikan Indonesia saat
ini, dimana para decision maker kita
lebih mengutamakan sistem yang menguntungkan satu golongan tertentu, tanpa
melihat dampak yang dirasakan oleh golongan lainnya. Jika diamati pada
kebijakan pengurangan subsidi dengan menaikkan harga BBM di Indonesia, hal ini
sebenarnya sudah merupakan persoalan rutin yang selalu terjadi hampir setiap
tahun dalam masyarakat. Memang sudah begitu sejak dahulu, sampai kini dan
mungkin sampai nanti. Sejak Orde Lama, sampai Orde Baru, begitu juga sampai
kini dalam Orde Reformasi. Itulah yang selalu dialami oleh bangsa ini. Belum
ada suatu inisiatif untuk mendobrak tradisi lama yang mungkin sudah dirasakan
mudah dan mendapat keuntungan besar.[8] Sikap maupun pemikiran
partai politik diatas lebih menunjukkan kepada hasrat untuk menguasai, menjadikan
negeri ini sebagai panggung tirani, serta kepercayaan politik yang masih sangat
lemah. Akibatnya, kebijakan yang diambil hanya berupa asumsi yang mengambang
dan tak diseleseikan dengan segera oleh pembuat kebijakan tersebut.
2.3. Solusi yang ditawarkan dalam
menyikapi Fenomena Kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM
Dalam
dinamika pengambilan kebijakan diatas, pemerintah harus sadar dan paham serta
kembali meninjau bahwa pengelolaan sektor
Migas Indonesia sepenuhnya diatur dalma UU. No. 22 tahun 2001. Undang-
undang ini mengatur bahwa pertamina dan pihak swasta memiliki hak yang sama
dalam eksplorasi dan eksploitasi migas Indonesia. Selanjutnya perlu diketahui
bahwa ada 16 titik Industri hulu migas di penjuru Indonesia yang dikuasai oleh
perusahaan swasta asing. Undang- undang ini sudah dinilai Inkonstitusional
karena terdapat tiga ketentuan yang janggal. Pertama, ialah transformasi BUMN
dalam bentuk persero yang menyamakannya dengan perusahaan swasta lain. Kedua,
perusahaan swasta asing dapat melakukan kontrak eksplorasi dan eksploutasi
migas Indonesia selama maksimal 30 tahun dan perpanjangan kontrak minimal 50
tahun. Ketiga, perusahaan swasta asing hanya wajib menyerahkan hasil
produksinya maksimal sebanyak 25% untuk kebutuhan dalam negeri. Inilah yang
membuat negara kita tidak memiliki kedaulatan energy sehingga tidak memiliki
antisipasi yang baik terhadap kenaikan minyak dunia.[9]
Lantas,
setelah mengetahui kerumitan UU yang mengatur kebijakan migas Indonesia,
mengapa pemerintah hanya diam saja dan menjadi penonton setia atas ketiranian
perusahaan swasta asing yang mengobrak- abrik sumber daya Indonesia?. Ini
semata- mata karena mental dan kapasitas para decision maker yang masih belum mampu untuk berdikari serta berani (brave) untuk mengambil keputusan
sendiri sehingga mengorbankan hajat hidup rakyat yang seharusnya merasakan
hasil alamnya sendiri. Program BLSM yang ditawarkan pemerintah kepada rakyat
tak lain dan tak bukan sebagai bentuk pengajaran kemunduran mental masyarakat
untuk bekerja keras dan berswasembada. Penyamarataan jumlah anggaran yang
diberikan kepada rakyat dianggap tidak adil oleh sebagian masyarakat miskin,
dengan profesi yang berbeda. Misalnya saja, pemerintah dalam hal ini sama
sekali tak menentukan kriteria
masyarakat miskin yang seperti apa. Survey tahun 2009, [10]
menyatakan bahwa pada saat pemerintah memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT)
2009, jumlah masyarakat miskin naik sebanyak 120%. Saat ini, pemerintah pun
kembali tak menentukan kriteria masyarakat miskin Indonesia secara jelas dan
pasti. Petani itu masyarakat miskin, nelayanpun masyarakat miskin, tapi apakah
kebutuhan minyak seorang nelayan dan seorang petani itu sama? Namun mengapa
pemerintah menyamaratakan pembagian iuran BLSM itu sama bagi semua profesi?
Secara psikologis, aspek pendapatan modal ( BLSM), menentukan minat dan
semangat untuk bekerja bagi setiap profesi. Apabila seorang nelayan yang
menggunakan kapasitas minyak yang banyak, sementara seorang petani berbanding
terbalik dalam penggunaannya, tentunya akan menimbulkan disintegrasi sosial
yang outputnya nanti akan muncul antipasti terhadapa pemerintah. Hal inilah,
sama sekali yang tak terpikirkan oleh pemerintah negeri ini.
Meninjau
dari pembahasan tersebut, ada beberapa solusi yang seyogyanya dapat ditempuh
dan menjadi bahan rujukan pemerintah dalam mengambil kebijakan, antara lain :
1. Progresifkan
kinerja Dewan Energi Nasional dalam proyek diversifikasi energi yang targetnya
tercapai pada tahun 2025.[11]
2. Segera
wujudkan kedaulatan energi, agar terciptanya kemapanan sosial yang mampu
bersaing dengan negara lain, cita- cita ini dapat ditempuh dengan revisi UU.
No. 22 tahun 2001 tentang migas.
3. Optimalkan
kinerja pemerintah dan lembaga legislatif dengan optimalisasi pendapatan negara
dari sektor migas untuk dikembalikan lagi dalam bentuk subsidi kepada rakyat.
4. Cegah
kebocoran APBN yang 70% nya berpotensi dari anggaran belanja barang pemerintah,
agar dapat dialokasikan ke subsidi yang bermanfaat.
5. Terapkan
kebijakan yang pro rakyat, jauh dari passion
politik untuk menguasai agar terciptanya Indonesia yang bebas intrik, Indonesia
yang berdulat serta pro kerakyatan.
Demikianlah
solusi yang ditawarkan dalam penanggulangan masalah yang mengatur hajat hidup
orang banyak. Secara psikologis, rakyat pada dasarnya tak membutuhkan penerapan
secara tekstual, melainkan suatu kebijakan yang ketika mereka mendapatkan
masalah, kebijakan tersebut dapat membantu dan turut andil dalam
penyelesaiannya. Namun, pemerintah republik ini belum mampu mewujudkan dinamika
kebijakan yang selaras dan seimbang dengan keadaan rakyat Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dari
pemaparan diatas, penulis menyimpulkan bahwa aspek psikologis sangat
berpengaruh terhadap cara pengambilan keputusan bagi kelangsungan hajat hidup
masyarakat. BBM
merupakan bahan baku bagi berbagai kegiatan, pengaruhnya akan mendorong
kenaikan harga umum secara kumulatif. Pengaruh ini akan terjadi melalui
beberapa cara yang terjadi secara langsung melalui kenaikan biaya transport.
Pengaruhnya secara sangat sederhana dapat dihitung dengan melihat besarnya
proporsi biaya BBM dari total biaya transport, karena biaya transport tidak
seluruhnya terdiri dari biaya untuk BBM.
Secara psikologis, pemerintah seyogyanya dapat
ditunjukkan dengan memahami terlebih dahulu kondisi dan keadaan masyarakat
Indonesia agar pemerintah dapat menentukan sikap dan kebijakan yang pas,
terukur (Measurable) dan tepat
sasaran. Dalam kondisi Indonesia saat ini, menaikkan harga subsidi, tak lain dan tak bukan dapat menimbulakn
disintegrasi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang tentunya akan mengganggu
stabilitas pemerintahan Indonesia.
3.2. Saran
Pemerintah
sebagai pengatur kehidupan berbangsa bernegara, harus capable dan credible dan
mengaplikasikan sebuah kebijakan. Secara sosial budaya, sebagai negara yang
multicultural, ketidaksamaan persepsi dapat menyebabkan perpecahan dan
perbedaan visi. Akibatnya, akan muncul disintegrasi dan ketidakteraturan sosial
dalam dinamika bermasyarakat. Sehingga, disarankan pemerintah untuk lebih peka
dan memahami bahwa dinamisasi yang terjadi dalam masyarakat, tidak hanya
dilakoni oleh suatu golongan saja, melainkan dirasakan oleh seluruh rakyat
Indonesia, karena apabila ada ketidakadilan, maka akan mengganggu psikologi dan
passion masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Auliarahman, Reza.
2012. Penyelamatan APBN atau mengorbankan
Kepentingan Rakyat Kecil. Semarang : Buletin BEM KM UNDIP edisi Maret 2012
Tabloid Hitam Putih “ Kenaikan Harga BBM ditunda?” edisi 1
bulan April 2012
Kementerian ESDM
Indonesia, “ Subsidi buat (si)Apa?”,Menjelaskan
Kenaikan Harga Premium dan Solar. 2012. Jakarta
Majalah FORUM FISIP
UNDIP edisi 1 Februari 2011. Politik
Pencitraan dan Pemasaran Politik. Semarang : Fisip Undip
Pradhanawati, Ari.
2011. Perilaku Memilih di Era Politik
Pencitraan dan Pemasaran Politik. Semarang : Tabloid FORUM Fisip Undip
Fitriah MA dalam Kuliah
Partisipasi Politik : Prilaku Memilih Masyarakat Indonesia
www.google.com/http://news.detik.com/read/2012/03/19/085434/1870537/103/pengaruh-kebijakan-menaikkan-harga-bbm,
diunduh
pada hari Jumat pukul 22.40
www.google.com/ Badan Pusat Statistik
2012
Said Zainal Abidin.
2012. “Pengaruh kebijakan menaikkan
harga”, : Detik.com
[1] Diskusi Interaktif tanggal 27
maret 2012 di TVone
[2]
Disadur dari buku “Subsidi untuk (si)Apa?” hal. 2.
[3]
Ideologi environmentalist, merupakan salah satu pemikiran Jean Jacques Rousseau
yang menekankan pada ketiadaan intervensi pemerintah akan semakin baik bagi
masyarakat, Namun, bagi Indonesia, apabila tak ada campur tangan pemerintah,
justru semakin merajalelanya eksploitasi kekayaan negara oleh pihak asing.
[5]
Yusril Ihza Mahendra dalam ILC tanggal 8 April 2012.
[6]
Disadur dari tabloid Hitam Putih BEM KM UNDIP edisi Maret 2012.
[8]
Said Zainal Abidin dalam “Pengaruh kebijakan menaikkan harga”, Detik.com
[9]
Reza Auliarahman dalam “Penyelamatan APBN atau Mengorbankan Kepentingan Rakyat
Kecil”, Tabloid Hitam Putih BEM KM UNDIP edisi Maret 2012
[10]
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012
[11]
Buletin Hitam Putih BEM KM UNDIP edisi Maret.
terimakasih banyak kak , sangat membantu :)
BalasHapussmoga bermanfaat ..