Kamis, 17 Mei 2012

Kemandirian Disiplin Ilmu Pemerintahan



“Mengutas Kemandirian dalam Dinamika Integrasi Peradaban”*
Joni Firmansyah**
Pemerintahan sebagai suatu disiplin ilmu merupakan bentuk afiliasi simsbiosis mutualisme yang saling menguntungkan dan saling ketergantungan antara kebutuhan rakyat terhadap keresahan problematika minim ataupun miskinnya sosok seorang pemimpin. Menurut romantisme sejarah, pemerintahan dalam bahasa Arabnya disebut Hukumat, dibeberapa negara dunia, pemerintahan tidak dibedakan. Inggris menyebutnya Government, dan Prancis menyebut Gouvernment, yang keduanya dari perkataan latin, Gubernacalum. Tetapi, di Amerika Serikat disebut Administration, sedangkan di negeri Belanda, mereka mengartikan Regering sebagai penggunaan kekuasaan negara oleh yang berwenang untuk menentukan keputusan dan kebijaksanaan dalam rangka mewujudkan tujuan negara, dan sebagai penguasa menetapkan perintah- perintah.
Melihat perkembangan dinamika Ilmu Pemerintahan di Indonesia saat ini, ada suatu ketidakseimbangan antara realitas fakta integritas tehadap kajian ilmu secara teoritis. Artinya, Ilmu Pemerintahan di Indonesia hanya “ada” sebagai sebuah simbol yang tak berkontraksi terhadap eksistensi perjalanan bangsa. Dalam konteks ini, kita bisa melihat Indonesia dari sisi kemandirian sosial masyarakatnya secara general yang memandang ilmu pemerintahan dengan sebelah mata, minoritas, maupun kawakan marginalitas dalam masyarakat. Kita tidak bisa menitikberatkan Ilmu Pemerintahan sebagai suatu sistem kaderisasi yang gagal manakala kegagalan itu berada pada  proses pengkaderannya yang absurd. Jika kita berkaca pada dinamika struktur Indonesia yang cenderung bersifat integralis, kekuasaan yang dibagi- bagi dengan asumsi bahwa baiknya kekuasaan itu tak dikuasai oleh segelintir orang yang nantinya menimbulkan ketiranian, nyatanya justru melemahkan sistem kemandirian Ilmu Pemerintahan dikarenakan adanya sikap dan sifat rivalitas antar generasi. Jadi, suatu kemandirian akan tercapai manakala ada sinkronisasi antara generasi tua dan generasi mudanya yang terbentuk dan tercipta dalam suatu network atau jaringan yang membentuk tapal batas ide dan norma sosial yang dijadikan acuan. Konsep ini sudah terbukti dan menjadi romantisme sejarah para founding fathers Ilmu Pemerintahan dalam menularkan animo dan stigmatisasi untuk generasi selanjutnya. Konsep yang sudah dilakoni oleh Socrates yang mendidik Aristoteles hingga Plato, Karl Marx yang mendidik Lenin dan Stalin, Dr. Sun yat sen yang mengilhami Soekarno, hingga Rasulullah yang mengkader Abu bakar, Umar Bin Khattab dan Ali Bin abi Thalib sehingga mampu menciptakan suatu peradaban yang terhebat yang pernah tercatat dalam sejarah. Semua founding fathers tersebut, benar- benar menerapkan ilmu secara konseptual, bukan sebagai rivalitas diantara mereka.
Hal ini tak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh seorang Jusuf Kalla dalam sebuah pidatonya bahwa suatu kemandirian akan muncul dan hanya terjadi apabila ada singkronisasi antara kajian ilmu yang strategis terhadap para pemilik modal. Dengan artian, Indonesia takkan pernah bisa mandiri tanpa adanya sokongan dari luar, yang tentunya dengan kesepakatan yang jelas serta menguntungkan diantara keduanya. Begitupun halnya dengan disiplin Ilmu pemerintahan yang takkan pernah bisa mandiri apabila seluruh generasinya bergerak dan berderap secara individualistis, karena arah dan alur tujuan negara bergantung pada generasi yang secara aplikatif mempelajari ilmu pemerintahan sebagai landasan ideology mereka. Apabila generasi ini bergerak secara individual, tentunya negarapun akan bergerak dengan cara yang sama, sehingga yang ada bukan hanya disiplin ilmu yang tak mandiri, melainkan wadah yang dalam hal ini disebut negara yang tak mandiri juga, sehingga hanya menghasilkan negara autopilot semata.
*Disampaikan dalam rangkaian acara National Governance Day 2012, UNPAD 17- 22 April 2012
** Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fisip Undip Angk. 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar