BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kita
tahu bahwa dalam UU no.10 tahun 2008 tentang pemilu legislatif dan UU no.2
tahun 2008 tentang partai politik ( parpol ) bahwasanya kuota keterlibatan
perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 %, terutama untuk duduk di
parlemen. Bahkan dalam pasal 8 butir di UU no.10 tahun 2008, disebutkan adanya pernyataan
sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat
pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu,
dan pasal 53 UU menyatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus
memuat sedikitnya 30% keterwakilan perempuan. Dalam hal kuota tersebut,
sebagian perempuan memang merasa bahwa mereka juga sudah di beri kesempatan
untuk berpolitik, tapi sebagian perempuan pada umumnya selalu bertanya- tanya, mengapa
harus ada persentase yang dijadikan eksistensi perempuan?, yang berarti ini
termasuk ketimpangan dan juga ketidakadilan perempuan dalam porsi dipilih dan
memilih. Hak mereka didiskriminasi, seperti di bedakan dan pasti ujung-ujungnya
subordinasi yang terjadi, yaitu sebuah posisi atau peran yang merendahkan nilai
peran yang lain yang menomorduakan perempuan untuk turut andil dalam politik. Perempuan
umumnya hanya dianggap sebagai pelengkap, sehingga kehadirannya sama sekali
tidak di perhitungkan.[1]
Dalam
menyikapi problematika ini, muncul pengembangan pemikiran bahwasanya partisipasi
perempuan yang hanya 30 persen saja tidak pernah terpenuhi, lantas mengapa
mesti menuntut untuk mau di sejajarkan, dan tak mau dipersen-persenkan? Hal ini
dikarenakan kurangnya keterlibatan perempuan yang di sebabkan beberapa faktor, yaitu tata nilai sosial dan budaya yang bias
gender dengan dominasi maskulin dalam kehidupan masyarakat, peraturan dan
sistem hukum yang banyak bias gender dengan mengutamakan laki-laki dibanding
perempuan, adanya kebijakan dan program pembangunan yang cenderung mengutamakan
partisipasi laki-laki dari pada perempuan, serta akses-akses yang tidak ada
sisi regulasinya dalam implementasinya sehingga hal inilah yang selalu menjadi
suatu permasalahan. Namun jikalau kita melihat lebih mendalam dari sisi bias
gender tersebut, nampaknya peran wanita memang dimarginalkan posisinya serta
dibatasi ruang geraknya. Oleh sebab itu penulis mencoba menguraikan masalah ini
dengan sebuah studi kasus dari seorang perempuan tangguh yang pernah dilahirkan
oleh negeri ini, yaitu Sri Mulyani.
1.2.
Rumusan Masalah
A. Bagaimana
kepribadian Sri Mulyani atas perannya dalam politik dan pemerintahan?
B. Analisa
terhadap peran perempuan dalam politik dan pemerintahan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Kepribadian Sri Mulyani atas Perannya dalam Politik dan Pemerintahan
Sri
Mulyani Indrawati adalah sosok yang belakangan ini ramai menjadi perbincangan
publik, semenjak dia mengajukan pengunduran diri sebagai Menteri Keuangan RI,
dan disetujui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 Mei 2010 silam. Pro
dan kontra muncul sebagai respon terhadap pengunduran diri wanita yang juga
pernah menjabat sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua
Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Sri
Mulyani mundur karena ia lebih mengikuti hati nuraninya. Ia tak mau
diombang-ambingkan oleh kepentingan politik segelintir orang, apalagi jika itu
bertentangan dengan etika yang diyakininya. Dalam pertarungan kepentingan
politik, dan ia memilih untuk mundur dari jabatan yang sangat prestisius di
pemerintahan. Lagipula, ia tetap mengaku menang. Bukan karena ia telah menjabat
sebagai Managing Director World Bank pada 1 Juni 2010, tapi
karena ia tetap berhasil memegang prinsip-prinsip dan etika yang diyakininya.
Ia menang karena tidak bisa didikte oleh siapapun, termasuk orang yang
menginginkannya. Selama saya tidak mengkhianati kebenaran, selama saya tidak
mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga
diri saya, maka di situ saya menang, ia menegaskan ketika mengakhiri kuliah
umumnya di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, 18 Mei 2010.[2]
Tentu
saja, sosok Sri Mulyani seperti yang sekarang ini, tak lepas dari pengaruh
lingkungan keluarga, bagaimana pasangan Prof. Satmoko (alm.) dan Prof. Dr.
Retno Sriningsih Satmoko (alm.) membentuk karakter Sri Mulyani dan
saudara-saudaranya. Awal tahun 2009, Sri Mulyan yang saat itu selain menjabat
sebagai Menteri Keuangan juga merangkap menjadi Pelaksana Harian Menteri
Koordinator Perekonomian RI, ia bercerita tentang bagaimana orangtuanya itu
mendidik dirinya dan saudara-saudaranya. Ayah-ibunya tersebut adalah guru besar
Universitas Negeri Semarang (dulu IKIP Semarang). Ada pepatah yang mengatakan
“buah jatuh tak jauh dari pohonnya” menggambarkan sebagian perjalanan hidup
keluarga itu. Sri Mulyani dan saudara-saudaranya juga tumbuh menjadi
orang-orang yang berprestasi dan berpendidikan tinggi. Hebatnya, di bangku
sekolah dan kuliah, prestasi mereka selalu menonjol, sehingga biaya sekolah
gratis dan mendapat beasiswa kuliah di dalam dan luar negeri.
Dari
segi nilai-nilai hidup yang diajarkan, sebagaimana orang Jawa pada umumnya,
ayah Sri Mulyani memberi petuah kepada anak-anaknya agar menjadi manusia yang
tinggi tepo sliro-nya (peka atau memahami lingkungan sekitar) dan
hidup sederhana. “Kami memang dibiasakan hidup dengan apa yang kami miliki,
tidak berangan-angan yang macam-macam, jujur, tidak mengambil milik orang lain,
dan tidak materialistis”, ujar kelahiran
Tanjung Karang, 26 Agustus 1962, yang mengaku dulu tidur bersama empat
saudaranya dalam satu kamar itu.[3] Orang
tua adalah figur terbaik bagi anak-anak. Sri Mulyani dan saudara-saudaranya
meneladani sikap ayah-ibu mereka. Karakteristik ayahnya yang patut dicontoh
adalah penggembira, suka musik, sangat bijaksana, ekspresif, jujur, memiliki
insting tinggi untuk melayani orang (karena beliau pernah menjadi dekan), serta
memiliki jiwa kepemimpinan yang sangat tinggi. Sementara sang ibu adalah sosok
yang serius, kutu buku, pekerja keras, dan tidak suka pada hal-hal yang
berlebihan. Ibunda Sri Mulyani menempuh kuliah S-2 dan S-3 di IKIP Jakarta, dan
gelar doktor diraihnya di usia 45 tahun. Ia bangga dengan ibunya yang menjadi
ibu rumah tangga dengan 10 anak, tapi juga sukses di pendidikan dan karier.
Bahkan, memberi contoh anak dengan meraih gelar profesor.
Saat
ini, nama Sri Mulyani digadang- gadang sebagai bakal calon Presiden RI dalam
pemilu 2014 mendatang. Ia adalah salah satu sosok wanita yang berani menantang
dunia walaupun ia adalah orang Indonesia. Ia lebih memilih diasingkan, daripada
hidup dibawah kemunafikan. Sebagai seorang ekonom, birokrat bahkan politisi,
nama Sri Mulyani sebagai aktivis wanita yang patut dicontoh, memberikan
gambaran bahwasanya wanita dapat berlaku lebih baik daripada laki- laki.
2.2. Analisa Terhadap Peran
Perempuan dalam Politik dan Pemerintahan
Melihat
pembahasan diatas, Sri Mulyani adalah contoh nyata bahwa seorang perempuan
memiliki eksistensi yang tidak kalah dari seorang laki- laki. Secara fisik,
memang perempuan memiliki keterbatasan. Ia tidak memiliki tenaga yang besar
layaknya laki- laki, namun secara ide dan gagasan, perempuan tak dapat
dikesampingkan peran dan fungsinya. Keterlibatan perempuan dalam politik dan
pemerintahan merupakan suatu anugerah bagi keberlanjutan suatu negara. Ibarat
negara sebuah rumah tangga, maka perempuanlah yang memiliki peran untuk
mengurus rumah serta mengatur hajat hidup seluruh penghuni rumah tersebut.
Maka, dapat dipastikan bahwasanya perempuan memiliki andil yang luar biasa
dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun demikian, bagi
negeri yang bernama Indonesia, peran perempuan masih dimarginalkan dan dikebiri
eksistensinya. Hal ini terlihat dari total partisipasi perempuan dalam parlemen
yang dibatasi hanya sebesar 30% semata. Tentunya, menjadi sebuah tragedi bagi
negeri yang menjunjung genderisasi,
namun masih memiliki pandangan yang tak rasional bagi peran perempuan.
Hingga
saat ini, peran perempuan dan representasi politiknya di parlemen serta pada
pemerintahan, baik secara global maupun nasional masih sangat rendah dan
memprihatinkan. Rendahnya partisipasi perempuan tersebut bisa jadi disebabkan
oleh berbagai faktor, yakni tidak ada pendidikan politik dan pendidikan pemilih
khususnya di negara-negara berkembang dan terbelakang, tidak adanya pelatihan
dan penguatan keterampilan politik perempuan untuk memperkuat keterampilan
politiknya, kurang adanya kesadaran perempuan untuk aktif dan terlibat di dalam
kegiatan-kegiatan politik terutama untuk berpartisipasi dalam institusi politik
formal seperti lembaga legislatif dan partai politik, serta masih adanya sistem
perundang-undangan politik yang membatasi aksesibilitas dan partisipasi
perempuan dalam pemilu, perlemen dan dalam pemerintahan.
Alasan-
alasan inilah yang menjadi suatu pembeda antara kaum laki- laki dan kaum
perempuan. Bahkan, dalam pembagian hak waris, kebebasan bergaul dan semacamnya
yang diatur oleh agama, perempuan dibedakan jatah dan bagiannya. Namun, hal ini
bukanlah suatu kerugian bagi seorang perempuan, melainkan sebuah pernyataan
tertulis bahwasanya perempuan adalah makhluk yang sejatinya harus dijaga harkat
dan martabatnya serta diposisikan dalam konteks yang lebih kompleks dan utama,
dibandingkan dengan urusan laki- laki yang sejatinya mampu untuk menjaga
dirinya sendiri. Dalam tataran pemerintahan, Arivia (2006:4) dalam Nurhaeni
(2009:53) menyatakan: “Sepanjang dibelahan dunia patriarki seperti Indonesia,
representasi isu- isu perempuan di segala bidang (politik, ekonomi, budaya,
agama dan sebagainya) telah ditolak di dalam wacana publik”[4].
Oleh karena itu diperlukan suatu terobosan baru dalam mengaktualisasikan peran
perempuan dalam wacana publik atau dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan,
terkadang perempuan menjadi “korban” dalam suatu dinamika politik dan
pemerintahan. Bukan menjadi sebuah rahasia bahwasanya pengunduran diri Sri
Mulyani sebagai seorang menteri jikalau tidak menjadi korban politik segelintir
elit. Hapsari Dwiningtyas menyatakan: “Pembahasan mengenai permasalahan
perempuan lebih sering menampilkan perempuan sebagai korban yang tidak berdaya.
Perempuan sebagai makhluk yang tidak bisa berbuat banyak untuk melindungi
dirinya sehingga perlu dibantu”.[5]
Itulah mengapa, terkadang dalam sistem pemerintahan dan politik Indonesia,
jarang sekali yang menampilkan arahan kebijakan pemberdayaan perempuan sebagai
mana yang diharuskan dalam peraturan perundang- undangan yang menetapkan
perlunya meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan serta meningkatkan
kualitas peranan mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh
karena itu, peranan perempuan merupakan merupakan jawaban dalam menjawab
pertanyaan yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Dominasi gender adalah
sebuah keharusan yang ditinjau secara ide dan gagasan dalam pembangunan bangsa.
Sri Mulyani berhasil menjawab pertanyaan itu dengan mengabdikan dirinya untuk
negerinya. Namun, ia harus keluar dari negerinya manakala hukum telah berubah
oleh kekuasaan politik yang mendominasi segala aspek.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Sri
Mulyani Indrawati adalah sosok yang belakangan ini ramai menjadi perbincangan
publik, semenjak dia mengajukan pengunduran diri sebagai Menteri Keuangan RI,
dan disetujui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 Mei 2010 silam. Sri
Mulyani mundur karena ia lebih mengikuti hati nuraninya. Dalam pertarungan
kepentingan politik, dan ia memilih untuk mundur dari jabatan yang sangat
prestisius di pemerintahan. Lagipula, ia tetap mengaku menang. Ia menang karena
tidak bisa didikte oleh siapapun, termasuk orang yang menginginkannya. Selama saya tidak mengkhianati kebenaran,
selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga
martabat dan harga diri saya, maka di situ saya menang.
Melihat
pembahasan diatas, Sri Mulyani adalah contoh nyata bahwa seorang perempuan
memiliki eksistensi yang tidak kalah dari seorang laki- laki. Dalam tataran
pemerintahan, Arivia (2006:4) dalam Nurhaeni (2009:53) menyatakan: “Sepanjang
dibelahan dunia patriarki seperti Indonesia, representasi isu- isu perempuan di
segala bidang (politik, ekonomi, budaya, agama dan sebagainya) telah ditolak di
dalam wacana publik”. Oleh karena itu diperlukan suatu terobosan baru dalam
mengaktualisasikan peran perempuan dalam wacana publik atau dalam kehidupan
bermasyarakat.
3.2. Saran
Dominasi
gender adalah sebuah keharusan yang ditinjau secara ide dan gagasan dalam
pembangunan bangsa. Pemerintah diwajibkan memenuhi segala kepentingan kaum
perempuan. Harus!
DAFTAR PUSTAKA
Buku
dan Majalah:
Hapsari Dwiningtyas
Sulistyani. 2011. “Korban dan Kuasa” di
dalam Kajian Kekerasan Perempuan. FORUM Edisi Juli 2011: Fisip Undip
Rihandoyo. 2011. Sistem Akuntabilitas di dalam Pembangunan
Berbasis Gender. FORUM Edisi 1 Februari 2011 : Fisip Undip
KA Ralahalu. 2010. Penguatan Peran Perempuan dalam Politik dan Masyarakat. Kompas,
Edisi 21 Februari 2010.”
Internet:
http://hamriah.blogspot.com/2010/11/peran-perempuan-dalam-pemerintahan.html,
diunduh dan diakses pada hari senin , 25 maret 2013. pukul 22.00 WIB
http://swa.co.id/profile/sri-mulyani-dan-lingkungan-keluarga-yang-membesarkannya
diunduh dan diakses pada hari senin , 25 maret 2013. pukul 22.12 WIB
[1] http://hamriah.blogspot.com/2010/11/peran-perempuan-dalam-pemerintahan.html,
diunduh dan diakses pada hari senin , 25 maret 2013. pukul 22.00 WIB
[2] http://swa.co.id/profile/sri-mulyani-dan-lingkungan-keluarga-yang-membesarkannya
diunduh dan diakses pada hari senin , 25 maret 2013. pukul 22.00 WIB
[3] KA
Ralahalu. 2010. Penguatan Peran Perempuan
dalam Politik dan Masyarakat. Kompas, Edisi 21 Februari 2010.”
[4]
Rihandoyo. 2011. Sistem Akuntabilitas di
dalam Pembangunan Berbasis Gender. FORUM Edisi 1 Februari 2011 : Fisip
Undipw
[5]
Hapsari Dwiningtyas Sulistyani. 2011. “Korban
dan Kuasa” di dalam Kajian Kekerasan Perempuan. FORUM Edisi Juli 2011:
Fisip Undip
Tulisannya bagus. :)
BalasHapusSaya sangat menyukai tulisan ini. :)
Terima kasih, aliyah :)
BalasHapus