Dewasa
ini, dinamika politik Indonesia tengah berada pada pola yang tak menentu serta
tak memiliki arah yang berarti. Dinamika
kehidupan masyarakatnya yang beragam,
menjadikan Indonesia sebagai negara yang pluralistik, disertai banyaknya
ideologi yang mewarnai dinamika perpolitikan Indonesia. Secara historis, awal
berdirinya negeri ini ditandai
dengan menjadikan paham demokrasi sebagai
landasan pacu untuk perubahan. Kemudian,
melalui lika-liku sejarah yang panjang, akhirnya paham liberalisme dijadikan
sebagai kendaraan pilihan. Kita dapat meninjau kembali bagaimana
paham liberalisme menyebarkan
pengaruh dan pemikiran masyarakat suatu negara untuk melemahkan
intervensi negara, menciptakan budaya kebebasan bagi tiap individu, dan monopoli dalam
ekonomi pasar secara nasional
maupun global yang mempengaruhi segala sektor publik secara
masiv. Di Indonesia
budaya politik berbangsa sangat
mempengaruhi kegiatan ekonomi itu sendiri, begitu pula sebaliknya.
Secara teoritik ,budaya politik terdiri dari 3 macam, yaitu budaya politik parokial,
subjek, dan partisipan, yang pada kali ini Indonesia menempatkan masyarakatnya
pada stagnansi budaya campuran, dimana kaum- kaum gressroad atau masyarakat bawah, berada pada tipikal parokial yang
notabenenya sebagai masyarakat tradisional yang pengetahuan politiknya masih
awam dan bersifat standar, tipe subjek
untuk masyarakat yang telah paham politik namun enggan untuk berpartisipasi,
dan kaum- kaum partisipan yang telah memiliki pengetahuan dan bersedia untuk
ikut serta berpartisipasi. Perbedaan tipe ini menjadikan Indonesia sebagai
negara labil dan tak stabil secara sistem. Pengaruh intensitas budaya politik yang lemah menjadikan
munculnya peluang- peluang penerapan liberalism
ideology terhadap dinamika perpolitikan yang memiliki kesinambungan
terhadap dimensi kehidupan sosial- ekonomi berbasis kerakyatan yang saat ini
tengah berada dalam hegemoni neoliberalisme.
Dalam
A Short History of Neolibelarism
(2000), Susan George mengingatkan kita tentang sifat relative paham
neoliberalisme. Ia hanya konstruksi sebuah zaman saat
korporasi dilihat sebagai “ancaman” bagi efisiensi dan produktivitas pasar.[1], Dapat disimpulkan bahwa neoliberalisme yang dikemas dalam Ideology liberalism berbeda dengan ekonomi kerakyatan, bahwa prinsip- prinsip neoliberalisme,
yaitu (1) tujuan utama ekonomi liberal adalah pengembangan kebebasan individu
untuk bersaing secara bebas- sempurna di pasar yang tingkatnya bukan hanya nasional namun juga global,
(2) kepemilikan pribadi terhadap faktor- faktor produksi diakui, dan (3)
pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari
penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang- undang.
Sesuai
dengan prinsipnya tadi, maka peranan negara dalam neoliberalisme dibatasi hanya
sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar, bukan sebagai penentu
kebijakan. Landasan inilah yang menjadikan Indonesia sebagai pasar yang “antik”
serta menggeser peran ekonomi kerakyatan sebagai budaya asli masyarakat
Indonesia. Dalam buku Negara Pancasila, As’ad Said Ali menerangkan bahwa untuk
mengatur hubungan antara ekonomi kerakyatan terhadap budaya politik ialah
kembali kepada Pancasila sebagai landasan negara. Permasalahannya, Pancasila tak digali langsung oleh kebiasaan
masyarakat Indonesia itu sendiri. Ekonomi kerakyatan, yang pada dasarnya
bersumber dan disesuaikan dengan sila kelima, ternyata memiliki substansi
kepada paham sosialis karena Soekarno menggali sila ini setelah mempelajari
marxisme sebanyak dua kali.
Oleh karena itu, pembangunan politik harus dimulai dengan pendidikan budaya
politik yang lebih modern, misalnya memaksimalkan pendidikan berkarakter bagi rakyat
dan elit yang berperan membangun ekonomi, disertai pemahaman pancasila dan
kebhinnekaan dengan maksimal dan penanaman nilai-nilai agama yang baik.
Selanjutnya, dari sisi ekonomi, pasar
bisa diidentikkan dengan ekonomi kerakyatan, dalam hal ini kita harus memahami
filosofi ekonomi kerakyatan itu sendiri. Apakah yang dimaksud ekonomi yang
berbasis pada peran rakyat secara besar atau ekonomi yang berpihak pada rakyat.
Dua hal ini bermakna berbeda namun memiliki korelasi yang erat. Kita bisa
memahami bahwa ekonomi kerakyatan bisa diartikan sebagai ekonomi yang berbasis
pada peran rakyat. Itu berarti ekonomi yang dibangun oleh negara ini harus
menyertakan peran rakyat, yang dibangun melalui usaha mandiri (Usaha Kecil dan
Menengah) dan revitalisasi fungsi pasar tradisional. Dua hal ini apabila bisa
dimaksimalkan dengan baik akan sangat mempengaruhi perekonomian negara kearah
ekonomi kerakyatan. Jelas, karena tidak ada satupun alasan yang mengatakan
bahwa kesejahteraan rakyat tidak dipikirkan. Bahkan, usaha
kecil dan usaha menengah menyediakan 99,46 % lapangan
kerja, sementara lapangan kerja yang disediakan oleh usaha besar hanya mencapai 0,54%. BPD dalam perekonomian nasional
disumbang oleh hasil Usaha Besar (44,9%) ,
hasil Usaha Kecil dan Menengah (55,1 %)[2]. Melihat data diatas dapat disimpulkan bahwa untuk
membangun ekonomi kerakyatan harus mengaktifkan peran rakyat secara lebih besar
yang berpeluang meningkatkan ekonomi rakyat secara optimal. Begitu pula dengan pasar
tradisional,
dalam berbagai sisi memegang peran strategis di tengah kondisi perekonomian
Indonesia, terutama bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah. Harus diakui
bahwa pasar tradisional merupakan cermin dalam implemetasi ekonomi berbasis
kerakyatan yang sesungguhnya. Berdasarkan aspek ekonomi, pasar tradisional merupakan
aset daerah yang potensial dan cukup menjanjikan bagi sumber pendapatan asli
daerah (PAD) sebuah pemerintahan kabupaten/kota. Di Pasar Kliwon Kudus
misalnya, setiap harinya terdapat arus perputaran uang/transaksi sekitar 2
milliar. Angka yang sangat besar dihasilkan dari 1 pasar tradisional saja. Dan
yang terpenting, proses transaksi sepenuhnya berada di tangan masyarakat /
keuntungan dapat dinikmati oleh seluruh pelaku jual beli, yang artinya tidak
hanya dikuasai oleh satu pihak/ menjadi keuntungan personal.
Mencermati
penjelasan diatas, penulis nampaknya menarik suatu benang merah bahwa budaya
politik memiliki keterkaitan dan kesinambungan dengan ekonomi kerakyatan karena
hajat hidup masyarakat dalam politik mempengaruhi pandangan mereka terhadap pandangan
ekonomi, maupun sebaliknya. Budaya politik yang parokial, disebabkan lantaran
minimnya ekonomi masyarakat sehingga tak mampu menggapai taraf tertinggi pada
sektor lainnya, Konsentrasi
masyarakat pada kelas menengah kebawah ini lebih ditekankan pada pemenuhan
kebutuhan hidup daripada kepentingan nasional, misalnya saja
pada sisi pendidikan politik yang dapat diakses. Begitu juga dengan budaya
politik subjek dan budaya politik partisipan
yang disesuaikan dengan ekonomi masyarakatnya. Sehingga, hipotesis yang dapat
ditarik ialah, dalam rangka memperbaiki dan mendayagunakan pembangunan budaya
politik, masyarakat harusnya meningkatkan taraf ekonominya terlebih dahulu dan
tak terjebak dalam sistem kapitalistik seperti saat ini.
Apa yang harus dilakukan?
Ahmad
Taufan Damanik, dalam tulisannya Negara dan keadilan Sosial, menyimpulkan bahwa
ada beberapa catatan penting yang mempengaruhi budaya politik dan sistem
ekonomi Indonesia. Pertama, adanya inkonsistensi dalam struktur institusi dan
perundang- undangan, dimana tidak adanya kesesuaian hukum yang pasti yang
mengatur jalannya sistem ekonomi dan politik. Kedua, disfungsional lembaga-
lembaga negara yang sangat mungkin tumpang tindih atau saling menegaskan yang
melahirkan pandangan bahwa sistem otonomi sebagai cerminan demokrasi dapat
melahirkan peluang untuk menciptakan praktik korupsi yang mencederai politik
dan ekonomi kerakyatan itu sendiri. Ketiga, melemahnya kekuatan masyarakat
sipil maupun organisasi kepentingan dan memudarnya semangat kesatuan. Dengan
demikian, kekuatan masyarakat sipil maupun organisasi kepentingan sama halnya
dengan partai politik, semakin kehilangan makna pentingnya di dalam upaya
sistem politik, yang ditandai juga dengan proses atomisasi lembaga- lembaga politik formal maupun non formal.
Oleh
karena itu, dalam rangka mempercepat kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan
serta pembangunan budaya politik, adalah kewajiban setiap patriot ekonomi
kerakyatan dan lembaga politik untuk memastikan bahwa langkah ataupun kebijakan
yang diambil haruslah sesuai dengan apa yang dibutuhkan rakyat, bukan apa yang
diinginkan rakyat. Tindakan yang diambilpun haruslah sesuai dengan cita- cita
tertinggi rakyat Indonesia yang termaktub dalam pasal 33 UUD 1945, yang
bertumpu pada kebersamaan dan kegotong royongan dimana esensi inilah yang
menciptakan sebuah dinamika peradaban politik dan ekonomi kerakyatan yang lebih
baik.
[1] Samsul Hadi dalam
Negara Pasca Neoliberal “Ekonomi Politik Pancasila” 2009
Keren sob
BalasHapuswww.kiostiket.com
makasih kak,nih artikel ngebantu banget:)
BalasHapus