Minggu, 06 Oktober 2013

“Pembangunan Budaya Politik dan Ekonomi Indonesia Berbasis Kerakyatan”.


Dewasa ini, dinamika politik Indonesia tengah berada pada pola yang tak menentu serta tak memiliki arah yang berarti. Dinamika kehidupan masyarakatnya yang beragam, menjadikan Indonesia sebagai negara yang pluralistik, disertai banyaknya ideologi yang mewarnai dinamika perpolitikan Indonesia. Secara historis, awal berdirinya negeri ini ditandai dengan menjadikan paham demokrasi sebagai landasan pacu untuk perubahan. Kemudian, melalui lika-liku sejarah yang panjang, akhirnya paham liberalisme dijadikan sebagai kendaraan pilihan. Kita dapat meninjau kembali bagaimana paham liberalisme menyebarkan pengaruh dan pemikiran masyarakat suatu negara untuk melemahkan intervensi negara, menciptakan budaya kebebasan bagi tiap individu, dan monopoli dalam ekonomi pasar secara nasional maupun global yang mempengaruhi segala sektor publik secara masiv. Di Indonesia budaya politik berbangsa sangat mempengaruhi kegiatan ekonomi itu sendiri, begitu pula sebaliknya. Secara teoritik ,budaya politik terdiri dari 3 macam, yaitu budaya politik parokial, subjek, dan partisipan, yang pada kali ini Indonesia menempatkan masyarakatnya pada stagnansi budaya campuran, dimana kaum- kaum gressroad atau masyarakat bawah, berada pada tipikal parokial yang notabenenya sebagai masyarakat tradisional yang pengetahuan politiknya masih awam dan bersifat standar,  tipe subjek untuk masyarakat yang telah paham politik namun enggan untuk berpartisipasi, dan kaum- kaum partisipan yang telah memiliki pengetahuan dan bersedia untuk ikut serta berpartisipasi. Perbedaan tipe ini menjadikan Indonesia sebagai negara labil dan tak stabil secara sistem. Pengaruh intensitas budaya politik yang lemah menjadikan munculnya peluang- peluang penerapan liberalism ideology terhadap dinamika perpolitikan yang memiliki kesinambungan terhadap dimensi kehidupan sosial- ekonomi berbasis kerakyatan yang saat ini tengah berada dalam hegemoni neoliberalisme.
Dalam A Short History of Neolibelarism (2000), Susan George mengingatkan kita tentang sifat relative paham neoliberalisme. Ia hanya konstruksi sebuah zaman saat korporasi dilihat sebagai “ancaman” bagi efisiensi dan produktivitas pasar.[1], Dapat disimpulkan bahwa neoliberalisme yang dikemas dalam Ideology liberalism berbeda dengan ekonomi kerakyatan, bahwa prinsip- prinsip neoliberalisme, yaitu (1) tujuan utama ekonomi liberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas- sempurna di pasar yang tingkatnya bukan hanya nasional namun juga global, (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor- faktor produksi diakui, dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang- undang.
Sesuai dengan prinsipnya tadi, maka peranan negara dalam neoliberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar, bukan sebagai penentu kebijakan. Landasan inilah yang menjadikan Indonesia sebagai pasar yang “antik” serta menggeser peran ekonomi kerakyatan sebagai budaya asli masyarakat Indonesia. Dalam buku Negara Pancasila, As’ad Said Ali menerangkan bahwa untuk mengatur hubungan antara ekonomi kerakyatan terhadap budaya politik ialah kembali kepada Pancasila sebagai landasan negara. Permasalahannya, Pancasila tak digali langsung oleh kebiasaan masyarakat Indonesia itu sendiri. Ekonomi kerakyatan, yang pada dasarnya bersumber dan disesuaikan dengan sila kelima, ternyata memiliki substansi kepada paham sosialis karena Soekarno menggali sila ini setelah mempelajari marxisme sebanyak dua kali. Oleh karena itu, pembangunan politik harus dimulai dengan pendidikan budaya politik yang lebih modern, misalnya memaksimalkan pendidikan berkarakter bagi rakyat dan elit yang berperan membangun ekonomi, disertai pemahaman pancasila dan kebhinnekaan dengan maksimal dan penanaman nilai-nilai agama yang baik.
 Selanjutnya, dari sisi ekonomi, pasar bisa diidentikkan dengan ekonomi kerakyatan, dalam hal ini kita harus memahami filosofi ekonomi kerakyatan itu sendiri. Apakah yang dimaksud ekonomi yang berbasis pada peran rakyat secara besar atau ekonomi yang berpihak pada rakyat. Dua hal ini bermakna berbeda namun memiliki korelasi yang erat. Kita bisa memahami bahwa ekonomi kerakyatan bisa diartikan sebagai ekonomi yang berbasis pada peran rakyat. Itu berarti ekonomi yang dibangun oleh negara ini harus menyertakan peran rakyat, yang dibangun melalui usaha mandiri (Usaha Kecil dan Menengah) dan revitalisasi fungsi pasar tradisional. Dua hal ini apabila bisa dimaksimalkan dengan baik akan sangat mempengaruhi perekonomian negara kearah ekonomi kerakyatan. Jelas, karena tidak ada satupun alasan yang mengatakan bahwa kesejahteraan rakyat tidak dipikirkan. Bahkan, usaha kecil dan usaha menengah menyediakan 99,46 % lapangan kerja, sementara lapangan kerja yang disediakan oleh usaha besar hanya mencapai 0,54%. BPD dalam perekonomian nasional disumbang oleh hasil Usaha Besar (44,9%) , hasil Usaha Kecil dan Menengah (55,1 %)[2]. Melihat data diatas dapat disimpulkan bahwa untuk membangun ekonomi kerakyatan harus mengaktifkan peran rakyat secara lebih besar yang berpeluang meningkatkan ekonomi rakyat secara optimal. Begitu pula dengan pasar tradisional, dalam berbagai sisi memegang peran strategis di tengah kondisi perekonomian Indonesia, terutama bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah. Harus diakui bahwa pasar tradisional merupakan cermin dalam implemetasi ekonomi berbasis kerakyatan yang sesungguhnya. Berdasarkan aspek ekonomi, pasar tradisional merupakan aset daerah yang potensial dan cukup menjanjikan bagi sumber pendapatan asli daerah (PAD) sebuah pemerintahan kabupaten/kota. Di Pasar Kliwon Kudus misalnya, setiap harinya terdapat arus perputaran uang/transaksi sekitar 2 milliar. Angka yang sangat besar dihasilkan dari 1 pasar tradisional saja. Dan yang terpenting, proses transaksi sepenuhnya berada di tangan masyarakat / keuntungan dapat dinikmati oleh seluruh pelaku jual beli, yang artinya tidak hanya dikuasai oleh satu pihak/ menjadi keuntungan personal. 
Mencermati penjelasan diatas, penulis nampaknya menarik suatu benang merah bahwa budaya politik memiliki keterkaitan dan kesinambungan dengan ekonomi kerakyatan karena hajat hidup masyarakat dalam politik mempengaruhi pandangan mereka terhadap pandangan ekonomi, maupun sebaliknya. Budaya politik yang parokial, disebabkan lantaran minimnya ekonomi masyarakat sehingga tak mampu menggapai taraf tertinggi pada sektor lainnya, Konsentrasi masyarakat pada kelas menengah kebawah ini lebih ditekankan pada pemenuhan kebutuhan hidup daripada kepentingan nasional, misalnya saja pada sisi pendidikan politik yang dapat diakses. Begitu juga dengan budaya politik subjek dan budaya politik partisipan yang disesuaikan dengan ekonomi masyarakatnya. Sehingga, hipotesis yang dapat ditarik ialah, dalam rangka memperbaiki dan mendayagunakan pembangunan budaya politik, masyarakat harusnya meningkatkan taraf ekonominya terlebih dahulu dan tak terjebak dalam sistem kapitalistik seperti saat ini.

Apa yang harus dilakukan?
Ahmad Taufan Damanik, dalam tulisannya Negara dan keadilan Sosial, menyimpulkan bahwa ada beberapa catatan penting yang mempengaruhi budaya politik dan sistem ekonomi Indonesia. Pertama, adanya inkonsistensi dalam struktur institusi dan perundang- undangan, dimana tidak adanya kesesuaian hukum yang pasti yang mengatur jalannya sistem ekonomi dan politik. Kedua, disfungsional lembaga- lembaga negara yang sangat mungkin tumpang tindih atau saling menegaskan yang melahirkan pandangan bahwa sistem otonomi sebagai cerminan demokrasi dapat melahirkan peluang untuk menciptakan praktik korupsi yang mencederai politik dan ekonomi kerakyatan itu sendiri. Ketiga, melemahnya kekuatan masyarakat sipil maupun organisasi kepentingan dan memudarnya semangat kesatuan. Dengan demikian, kekuatan masyarakat sipil maupun organisasi kepentingan sama halnya dengan partai politik, semakin kehilangan makna pentingnya di dalam upaya sistem politik, yang ditandai juga dengan proses atomisasi lembaga- lembaga politik formal maupun non formal.
Oleh karena itu, dalam rangka mempercepat kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan serta pembangunan budaya politik, adalah kewajiban setiap patriot ekonomi kerakyatan dan lembaga politik untuk memastikan bahwa langkah ataupun kebijakan yang diambil haruslah sesuai dengan apa yang dibutuhkan rakyat, bukan apa yang diinginkan rakyat. Tindakan yang diambilpun haruslah sesuai dengan cita- cita tertinggi rakyat Indonesia yang termaktub dalam pasal 33 UUD 1945, yang bertumpu pada kebersamaan dan kegotong royongan dimana esensi inilah yang menciptakan sebuah dinamika peradaban politik dan ekonomi kerakyatan yang lebih baik.


[1] Samsul Hadi dalam Negara Pasca Neoliberal “Ekonomi Politik Pancasila” 2009

[2] Pesan BJ Habibie kepada Peserta Congress of Indonesian Diaspora (CID), Los Angeles, 6-8 Juli2012 (http://pesanabang.ppiuk.org/category/admin-pengmas-administrator/fauzan-adziman/)


2 komentar: