Minggu, 12 Mei 2013

AUTOBIOGRAFI JONI FIRMANSYAH


Kilasan Singkat Kehidupan dari Ia yang Selalu Terasingkan

MASA KANAK- KANAK
            Namaku Joni Firmansyah. Aku lahir pada tanggal 19 Juni 1991 di sebuah desa kecil yang bernama Labuhan Sangor, di pinggiran pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sesuai dengan letak geografis daerah tempatku dilahirkan, maka lingkungan pertama kali yang kutemui ialah lingkungan perairan dengan keindahan alam bahari sebagai awal plot kehidupan saya. Tak butuh waktu yang terlalu lama bagiku untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut, karena darah nelayan mengalir dalam diriku. Kakekku adalah seorang nelayan, begitupun dengan seluruh garis keturunannya, termasuk Ibuku. Dalam kehidupan kami, laut menjadi sahabat yang tak pernah lekang oleh waktu dan selalu setia menemani dalam keadaan apapun. Seluruh masyarakat dikampung tersebut bergantung kepada kebaikan laut yang menjadi sumber mata pencaharian dalam pemenuhan hajat hidup mereka. Sementara Ibuku sebagai seorang nelayan, maka Ayah sebagai kepala keluarga memiliki pandangan yang berbeda untuk memperbaiki keadaan ekonomi kami. Sebelum menikah dengan Ibu, Ayah adalah seorang supir truk penjual ikan. Beliau mengantarkan hasil tangkapan ikan penduduk untuk dijual di pusat kota Sumbawa. Ayah bukanlah penduduk asli desa tempat dimana aku dilahirkan, melainkan perantauan yang berasal dari Desa Plampang yang memiliki adat serta istiadat yang berbeda dari desa tempat Ibu berasal. Mungkin, sudah suratan takdir yang mempertemukan mereka. Ibarat sebuah pepatah, “Asam digunung, garam dilaut, pasti bertemu di belanga jua”. Mungkin itulah gambaran yang bisa aku ceritakan terkait kisah cinta mereka mulai berawal. Semuanya telah digariskan dan menjadi rahasia Tuhan, aku tak perlu tahu.
            Berbekal kemampuan Ayah mengemudikan kendaraan, kamipun memutuskan untuk meninggalkan desa tempat kelahiranku. Beratkah? Tidak! Karena usiaku saat itu masihlah belia dan kutahu alasan Ibu sepakat dengan keputusan Ayah, yaitu untuk hidup kami yang lebih baik. Usiaku saat itu belumlah genap 3 tahun pada saat kami meninggalkan desa itu. Kami sekeluarga mulai meninggalkan desa itu dengan menumpang truk ikan yang biasa dikemudikan Ayah. Namun, yang menjadi pembeda saat ini ialah kami sebagai penumpang, karena juragan truk tersebut telah menemukan supir yang menggantikan Ayah. Satu hal yang kuingat selama perjalanan tersebut, yaitu aku bersandar di bahu Ibu dan tertidur selama perjalanan. Saat aku membuka mata, aku telah berada diatas kasur yang menurutku tak terlalu empuk, dengan langit- langit kamar berwarna putih, begitupun dengan dinding- dindingnya. Awalnya aku mengira kau berada di Rumah Sakit, namun tak kutemukan seorang perawat dan dokter diruangan tersebut. Hanya Ibu dan Ayah yang tengah membersihkan ruangan tersebut sehingga layak untuk kami tempati. Aku masih ingat, saat pertama kalinya aku melangkah keluar ruangan tersebut. Tampak jejeran bus- bus besar disepanjang pelataran parkir yang membentang luas di depanku. Aku hanya terdiam, karena layaknya anak- anak pada umumnya, aku tak punya alasan untuk bertanya kepada Ibu, mengapa kita disini. Tak ada yang spesial dengan tempat ini, menurutku. Aku hanya melihat sekeliling tempat kami tinggal. Hari masih gelap, karena saat aku terbangun, jam masih menunjukkan pukul 3 pagi. Pintu- pintu rumah yang lain masih tertutup dan kuputuskan untuk tidur lagi. Akupun mencari Ibu. Saat kutemukan, aku melihat Ibu tersenyum. Kutahu, ia sangat bahagia.
            Aku terbangun. Aku keluar dari ruangan tersebut dan menyaksikan bus- bus besar tadi datang silih berganti. Kulihat Ayah turun dari salah satu bus tersebut. Aku baru tahu, kalau Ayahku akan mengemudikan salah satu dari bus- bus tersebut, dan tempat kami tinggal adalah rumah yang dipersiapkan oleh armada bus untuk supir- supir yang belum memiliki rumah. Ah, aku anak gudang sekarang, karena tempat aku tinggal selain disebut sebagai rumah, lebih layak disebut sebagai gudang.
Tapi tak mengapa, karena aku suka tempat ini. Namun, tak perlu waktu lama aku tinggal digudang ini. Ibu telah membeli sebuah tanah di salah satu kelurahan di pusat kota ini. Alasannya sederhana, karena aku harus membutuhkan lingkungan yang baik, sebelum aku masuk taman kanak- kanak. Aku tahu bahwa usiaku sudah layak untuk masuk sekolah. Maka akupun siap untuk meninggalkan lingkunganku saat ini. Beratkah? Tidak! Karena disini hanya aku yang berstatus anak- anak. Sisanya ialah orang dewasa dengan berbagai macam latar belakang pekerjaan. Supir, adalah bidang pekerjaan dengan strata tertinggi. Status sebagai sopir dapat disamakan sebagai Kolonel dalam angkatan bersenjata, karena pangkat Jenderal tentunya disandang oleh bos besar pemilik tempat ini. Ayahku seorang supir, maka yang kutahu ia adalah Kolonel ditempat ini. Penguasa dengan pangkat tertinggi. Jabatan selanjutnya ialah Kernet, dengan pangkat sebagai Letnan Kolonel (Letkol) karena berfungsi membantu supir dalam mengemudikan bus- bus besar tersebut. Tak terlalu buruk, karena jika tak ada supir, maka kernet adalah penguasa kedua. Selanjutnya ialah Teknisi Mesin dengan pangkat Letnan. Fungsinya ialah memperbaiki bus- bus tersebut manakala mengalami masalah dalam operasi kendaraan. Kemudian, ada agen- agen atau biasa disebut calo. Mereka berpangkat Sersan dengan tugas menjual tiket keberangkatan penumpang. Jabatan selanjutnya ialah penumpang ketinggalan bus. Aku tak tahu harus member mereka pangkat seperti apa, karena mereka selalu hadir dengan wajah yang berbeda- beda. Maka kuputuskan mereka sebagai tentara negara lain. Tak perlu dipikirkan, menurutku. Selanjutnya ialah Aku, sebagai seorang paling muda dilingkungan ini. Apa pangkatku? Kopral! Alasannya sederhana, karena hanya Kopral yang turun untuk berperang. Terkadang ada yang selamat, tapi kutahu juga bahwa tak sedikit yang mati di medan juang. Tetapi tak mengapa, aku bangga!
            Jalan Cendrawasih no. 24, Brang Biji, kec. Sumbawa, kab. Sumbawa, Nusa Tenggara Barat adalah alamat rumahku yang baru. Lingkungan yang baru ini adalah pelabuhan terakhir dari perjalanan kapal keluarga kami. Dalam lingkungan ini, aku menemukan banyak sekali pengalaman dan teman yang berharga untuk membantu tumbuh- kembangku sebagai anak- anak. Aku telah sekolah, tepatnya masih kelas Nol Besar di Taman Kanak- Kanak RA. Bustanul Jannah. Ibu yang mengantarkanku setiap kali aku berangkat sekolah. Bahkan, Ibu selalu menungguiku hingga kelas bubar. Bukan karena aku manja, tapi lebih karena Ibu takut terjadi apa- apa denganku jikalau aku berangkat sendiri. Ibu sayang padaku.
            Tak perlu waktu lama bagiku untuk menyelesaikan pendidikan pertamaku tersebut. Satu tahun berada di TK telah sangat cukup bagiku untuk mahir membaca, menulis dan berhitung. Ibu selalu membelikan majalah BOBO buatku sebagai bahan bacaan. Namun, akhir- akhir ini aku sudah jarang mendapat majalah itu lagi. Semenjak kepindahan kami dirumah yang baru, ekonomi keluargaku sedikit menurun, sehingga mengharuskan Ibu membantu ekonomi keluarga. Tidak hanya Ibu menurutku, akupun punya tanggung jawab untuk membantu ekonomi keluarga sebagai anak tertua, karena selepas pendidikanku di taman kanak- kanak, Ibu melahirkan dan aku telah menjadi seorang kakak. Adikku laki- laki, namanya Rustam Rizky Effendi. Akhirnya, aku punya teman untuk bermain bola, pikirku. Maka kuputuskan untuk membantu orang tua. Karena usiaku yang masih dibawah umur dan akupun akan masuk Sekolah Dasar (SD), maka Ibu membelikanku sepasang kambing untuk aku gembala. Ya! Profesi terbaruku setelah usai menjadi kopral di gudang bus itu ialah sebagai penggembala kambing.
            Aku mulai masuk Sekolah Dasar (SD) pada usia 7 tahun. Usia yang normal menurutku, karena ada teman- temanku yang masuk SD di usia 8 tahun. Dalam batas ketidakmampuan ekonomi keluarga, Ayah dan Ibu tetap bersikeras menyekolahkanku di SD 11 Sumbawa, salah satu SD terfavorit di Kabupaten Sumbawa. Ditengah- tengah profesiku sebagai penggembala kambing, aku masih sempat belajar selepas aku bersekolah, yaitu disaat aku menggembala kambingku itu. Bagiku, bersekolah merupakan suatu kewajiban mutlak dan harus dilaksanakan. Ibuku yang mengajarkan demikian karena beliau tidak ingin mengulang masa kelamnya saat beliau masih bersekolah dulu. Ibuku adalah seorang yang cerdas. Beliau adalah siswa dengan nilai Ujian Nasional (UN) tertinggi di Kabupaten Sumbawa untuk tingkat Sekolah Dasar, di SD Labuhan Sangor, tempat aku dilahirkan. Beliaupun pernah menjuarai lomba cerdas- cermat antar kecamatan didesa kami. Namun, selepas SD Ibu tak mampu melanjutkan sekolah ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) lantaran kakek tak memiliki cukup biaya. Ibu sangat bersedih saat itu. Mulai saat itu, Ibu berjanji dalam hatinya bahwa kelak anaknya nanti harus merasakan pendidikan setinggi- tingginya. Karena Ibu percaya, hanya dengan pendidikan derajat seseorang akan naik dan diakui dalam masyarakat. Itulah mengapa pendidikan selalu menjadi prioritas utama dalam keluarga kami. Salah satu kebiasaan yang ditularkan Ibu kepadaku ialah hobi beliau membaca, dan kebiasaan itu juga melekat dalam diriku. Sepulang sekolah, kusempatkan diriku untuk meminjam buku di perpustakaan sekolah dan kubawa pulang untuk kubaca selama aku menggembala kambing. Buku apapun itu selalu kubaca, dari buku fiksi, romantika, hingga buku ajaran agama lainpun aku gemari. Bagiku, membaca adalah kegiatan mengunjungi dimensi dunia lain, dunia para penulis yang sengaja dibagikan kepada pembaca untuk diakui keberadaannya dan dimengerti maksud dan tujuan penulisannya. Mempelajari sastra adalah kesenangan tersendiri bagiku, yang selalu ditemani dengan kambing- kambingku itu. Itulah mengapa aku selalu ditunjuk untuk mewakili sekolahku dalam setiap lomba yang melibatkan sastra sebagai tema utamanya. Dimulai dari lomba baca puisi, lomba pidato, mengarang dan lomba cerdas cermat. Tetapi, ada satu momen yang tak pernah kulupakan saat aku mengikuti lomba baca puisi. Perlu kawan- kawan ketahui bahwa ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, aku tak mampu melafalkan huruf “R” dengan benar. Jika kupaksakan, lafal yang terdengar ialah mirip huruf “L”, sehingga aku sering di olok- olok teman- temanku. Maka, hari naas bagikupun tiba, disaat aku diminta membacakan puisi di depan ratusan penonton, ada kalimat yang berbunyi, “Sebuah lubang peluru bundar didadanya” dan, “Kita sedang perang!”. Akupun dengan santai melafalkannya,” Sebuah lubang pelulu bundal didadanya” dan, “Kita sedang pelang!”. Sontak!, seluruh penonton yang hadirpun tertawa terbahak- bahak. Dewan juri, guru- guru, dan teman- temanku ikut tertawa. Kepercayaan diriku mulai goyah, peluhku mengalir deras. Wajahku menjadi merah padam, kutahan rasa Maluku dengan gemetar. Kupandangi seluruh penonton yang menertawaiku. Tiba- tiba mataku mendapati sosok Ibuku di sudut panggung. Ibu tidak tertawa, beliau hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Entah mengapa, bulu kudukku merinding, ada energi lain yang member semangat kepadaku. Darahku mulai berdesir, ketakutanku perlahan- lahan menghilang. Aku tegakkan kepalaku dan mulai percaya diri kembali. Kubacakan puisi tersebut dengan lantang hingga akhir. Tepuk tangan meriah mengiringi langkahku menuruni panggung. Aku merasa sebagai kopral menang perang saat itu. Tak begitu buruk menurutku, karena juara 3 menjadi milikku malam itu. Ah, ini semua karena Ibu. Jika beliau tak menganggukkan kepalanya saat aku mulai ragu, mungkin aku akan menjadi kopral yang mati menggenaskan saat itu. Cukup dengan satu senyuman dan anggukkan kepala, aku menang dalam pertarungan itu. Ditengah keterbatasanku yang cadel, aku masih bisa menang dan berani melawan ketidakmungkinan. Sepertinya aku naik pangkat menjadi komandan kopral, untuk malam itu saja.

MASA REMAJA
            Kambingku yang semula hanya dua ekor, sekarang telah menjadi puluhan ekor. Kini aku tak sendiri lagi mengurusi kambing- kambing itu. Adikku yang kedua telah mampu membantuku mengurusi kambing kami. Kini aku telah memiliki dua adik, disaat aku bersiap menghadapi Ujian Nasional tingkat Sekolah Dasar. Tabunganku hasil menggembala kambing telah cukup untuk masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) terbaik di Kabupaten Sumbawa. Saat itu aku bisa merasakan bagaimana menikmati hasil jerih payah sendiri. Tak perlu lagi ku menengadahkan tangan untuk meminta kepada orang tua, karena berkat kambing- kambing itu, aku mampu mengurusi diriku sendiri. Ayahku masih menjadi supir bus- bus besar. Pangkat beliau tak pernah naik, selalu berpangkat Kolonel. Aku hanya mungkin bisa bermimpi, jikalau beliau menjadi Jenderal mungkin aku tak perlu mengurusi kambing, karena aku pasti mengurusi bis- bis besar itu, membantu ayah mengurusi bawahannya, yaitu kolonel- kolonel baru dengan antek- anteknya.
            Ujian usai, nilaiku bisa dikatakan gemilang. Akupun berhasil masuk ke SMP Negeri 1 Sumbawa, sesuai cita- citaku. Di tahun pertamaku, namaku disekolah itu masih biasa- biasa saja. Orang masih mengenalku sebagai seorang penggembala kambing. Hingga suatu ketika, kuberanikan diriku untuk ikut serta dalam pemilihan Ketua Osis disekolahku. Kompetitorku sebanyak dua orang, salah seorang diantara mereka adalah rekan sekelasku, namanya Artur. Ia adalah anak seorang pengacara sukses di daerahku. Rumor yang beredar, ia adalah keturunan langsung raja- raja Sumbawa masa lampau. Tapi menurutku tak ada yang spesial dari pribadinya, kecuali kehebatannya dalam bidang seni dan olah raga. Untuk bidang olah raga, aku masih bisa menandingi. Tapi kalau urusan seni, aku angkat tangan. Bagiku, ia adalah seorang seniman yang memiliki Titik Nada Mutlak, artinya seorang seniman yang mampu mencipta ataupun menggubah lagu sesuai keinginannya. Melalui jaringan keluarganya yang pasti ada disetiap kelas, ia memenangi kompetisi pemilihan ketua Osis secara mutlak. Tak apa, karena namaku bertengger di urutan kedua. Maka dapat dipastikan, aku menjadi Wakil Ketua Osis. Akhirnya, Osis menjadi organisasi kedua yang kugeluti setelah Pramuka. Aku telah mengikuti gerakan kepanduan sejak masih kelas 4 SD. Menjadi orang nomor dua disekolah elit itu, bagiku tak mengapa, walaupun orang takkan pernah mengingat yang kedua, tapi setidaknya Tuhan menyimpan doaku untuk menjadi yang pertama. Kulaporkan hal ini pada Ibu, beliau hanya tersenyum sambil berkata, “Tuhan tahu, tapi menunggu”.
            Aku telah mengikuti organisasi yang bernama Pramuka sejak SD dulu. Prestasiku dapat dikatakan sangat gemilang dalam lembaga ini. Tak pernah kurasakan diriku menjadi seorang anggota, tak pernah diperintah kecuali oleh seniorku karena akulah yang selalu memerintah. Kiprahku sebagai anak Pramuka berbanding lurus dengan kiprahku sebagai penggembala kambing. Orang- orang selalu mengenalku sebagai penggembala kambing dan sebagai anak Pramuka. Posisiku yang selalu menjadi Pratama atau pemimpin regu utama menjadikan namaku luas dikenal rekan seangkatanku. Aku sangat ahli dalam penggunaan kompas, memainkan bendera semaphore dan cerdik bermain kode- kode morse. Aku bisa menentukan arah mata angin tanpa harus melihat kompas dan matahari. Aku bisa meninggalkan jejak untuk dijadikan petunjuk oleh rekan setelahku jika kami tengah mengikuti hiking. Bahkan, aku mampu mengirim pesan tanpa harus menggunakan telephone dan handphone, serta menaksir tinggi bangunan serta luas jalan hanya dengan menggunakan sebatang lidi. Aku benar- benar merasa bahwa menjadi seorang Pramuka yang disandingkan dengan status penggembala kambing, adalah pasangan yang paling mempesona dan sempurna didunia.
            Tahun 2006 adalah tahun paling luar biasa dalam hidupku. Selain terpilih sebagai Wakil Ketua Osis, akupun terpilih sebagai delegasi Kabupaten Sumbawa dalam Jambore Nasional Pramuka di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Posisiku dalam kontingen tersebut sangatlah strategis, tak lain dan tak bukan sebagai Pratama. Dalam kegiatan tersebut, awal kalinya ku menginjakkan kaki ditanah Jawa, tanah para legenda Indonesia. Seperti yang disebutkan dalam buku Sejarah Indonesia kelas 5 SD dulu, bahwasanya tanah Jawa adalah tanah yang melahirkan orang- orang hebat. Soekarno, Bung Tomo, Joko Tingkir, Sunan Kalijaga dan sebagainya berasal dari Pulau Jawa. Terlebih lagi, posisi Ibu Kota Indonesia berada di Pulau Jawa, maka sudah pasti Presiden berada di Pulau Jawa. Oleh karena itu, sepanjang perjalanan di Pulau Jawa, aku selalu mengenakan pakaian terbaikku. Paling tidak, saat aku berpapasan dengan Presiden, aku tak terlalu terlihat memalukan.
            Pratama adalah jabatan fungsional yang sangat penting. Jabatan ini lebih tinggi daripada jabatan kopral saat aku tinggal digudang bus dulu. Aku bertanggung jawab atas 20 orang anak buahku. Sekali mereka membuat kesalahan, maka akulah yang menjadi sasaran dari pembinaku. Itulah mengapa aku sangat disegani dalam kontingen ini. Walaupun perawakanku kecil, namun suaraku lebih lantang dari mereka. Hingga suatu ketika, ada panggilan untuk seluruh kontingen supaya mengirimkan 3 delegasinya agar mengikuti upacara pembukaan bersama Presiden Republik Indonesia. Seeerrrrrr!!, dadaku berdesir. Cita- citaku untuk bertemu Presiden nampaknya akan terwujud. Tanpa banyak membuang waktu, kutunjuk 2 orang rekanku agar ikut bersamaku dalam upacara tersebut. Tak sabar kumenunggu hari esok untuk bertemu Presiden. Segera kupejamkan mata agar mata ini cepat terlelap dan hari esok segera datang. Bersabar, mungkin ajian yang paling pas saat itu.
            Hari yang kutunggu- tunggu itupun tiba. Aku berseragam Pramuka lengkap, dari kacu, baret, selempang TKK, tanda jabatan dan lainnya. Aku tampak gagah pagi itu, walapun jam baru menunjukkan pukul 6 pagi. Mungkin inilah yang dinamakan semangat. Sebelum berangkat, tak lupa kuseruput sedikit teh yang dibuatkan untukku oleh rekanku yang melaksanakan korve tenda pagi itu. Kupacu langkahku dengan segera, tetapi tetap memperhatikan letak baju pramukaku agar tak lusuh. Tak ingin aku tampil kucel dihadapan orang nomor satu di negeri ini. Sesampainya aku dilapangan tempat upacara yang akan berlangsung, tak kutemukan seorangpun disana. Aku sadar, ini masih terlalu pagi, tak mengapa menurutku. Sambil menunggu, aku berjalan mengitari lapangan, seraya mencari posisi yang paling strategis agar aku terlihat manakala Presiden memandang. Setelah kudapatkan, kuambil posisi tersebut dan kuminta dua orang  temanku untuk berbaris dibelakangku. Kumenunggu, hingga tampak beberapa peserta upacara memasuki lapangan upacara. Bersabar, adalah ajian paling mujarab saat ini. Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, namun belum ada tanda- tanda upacara akan dimulai. Aku masih setia menunggu. Apapun keadaannya, tak akan menyurutkan semangatku untuk bertemu dengan Presiden. Waktu terus bergulir, jam menunjukkan pukul 10 dan peserta telah memenuhi lapangan upacara. Semangatku yang semula meletup- letup kini semakin menipis. Kupaksakan agar aku tetap bersemangat namun sangatlah susah. Hingga akhirnya, diujung keputusasaanku, akhirnya Yang Terhormat Presiden Republik Indonesia memasuki lapangan upacara, tepat pukul 11.30. Matahari telah terik, dan ia baru terlihat batang hidungnya. Menurut Protokoler Kepresidenan, ada agenda yang harus dihadiri oleh Presiden terlebih dahulu, yaitu bertemu dengan Duta Besar Jepang. Semangatku yang semula meletup, kini berubah menjadi amarah. Presiden lebih mementingkan orang Jepang yang pernah menjajah Indonesia daripada anak bangsa sendiri. Mulai saat itu, aku berjanji akan memperbaiki keadaan pemerintahan republik ini. Aku harus menjadi pejabat publik, akan kurubah sistem birokrasi negeri ini. Itu janji yang kusimpan dalam hatiku, yang nantinya dijawab Tuhan. Aku percaya itu!
            Tiga tahun di SMP telah kulalui. Kini aku bersiap untuk menjadi seorang pelajar SMA. Akupun telah memiliki adik lagi. Kini kami 4 bersaudara, laki- laki semua, tak ada srikandi yang bisa kami jaga nantinya. Ayahkupun tak pernah naik pangkat, selalu menjadi seorang kolonel hingga saat ini. Ibuku? Ah Ibu selalu menarik untuk kuceritakan. Ini bermula dari kelahiran adik terakhirku. Keadaan ekonomi keluarga kami tak kunjung membaik. Akupun sudah tak lagi berstatus sebagai penggembala kambing. Seluruhnya telah habis kami jual untuk menyambung hidup. Pernah Ayah berhenti menjadi supir dan menjadi pegawai proyek, namun tak juga merubah keadaan apapun dalam keluarga kami. Namun hal itu bukan alasan surutnya prestasiku disekolah. Aku akhirnya berhasil terdaftar sebagai siswa SMAN 1 Sumbawa dengan hasil Ujian Nasional SMP yang sangat memuaskan. Di tahun pertamaku sebagai seorang pelajar SMA, aku terpilih sebagai delegasi sekolah dalam agenda Duta Anak Indonesia untuk wilayah NTB. Bagiku, hal tersebut merupakan rangkaian prestasi yang telah digariskan Tuhan untuk setiap manusia, tinggal bagaimana kita membaca titah Tuhan yang tak tersampaikan dengan lisan tersebut. Organisasi Pramuka tetap aku geluti hingga aku menjadi Pradana di sekolahku yang baru ini. Akupun terdaftar sebagai pengurus Osis SMAN 1 Sumbawa, serta sebagai Duta Anak Indonesia. Semuanya aku geluti hanya untuk satu tujuan, yaitu menjadi seseorang yang berpendidikan setinggi mungkin, karena hanya dengan jalan itu derajat keluarga kami akan dipandang lebih oleh orang lain.
            Keadaan ekonomi yang buruk, mengharuskan Ibu meninggalkan kami. Beliau mendaftar sebagai seorang TKI untuk bekerja diluar negeri. Beratkah? Sangat berat! Tak pernah aku merasa seberat ini apabila ditinggalkan sesuatu. Ayah mau tak mau harus mengikhlaskan Ibu meninggalkan dirinya, karena penghasilan Ayah sebagai supir tak mampu menutupi kebutuhan hidup keluarga kami. Dapat dibayangkan beban yang harus kutanggung saat itu. Selagi Ayah bekerja sebagai supir, menghabiskan waktu berhari- hari dan tidak pulang kerumah. Sebagai TKI, tentunya Ibu akan meninggalkan kami selama 2 tahun kedepan. Aku yang saat itu masih kelas 1 SMA, harus mengurusi 3 adik- adik yang masih sangatlah kecil. Adikku yang pertama, bernama Rustam Rizky Effendi, baru kelas 3 SD, adikku yang kedua, Rustomi Rifky Affandi, masih kelas 1 SD, serta adikku yang terakhir, Ruswandi Hatami Ferdiansyah belum sekolah. Untuk meringankan beban, kutitipkan adik terakhirku kepada kakek, ayah dari Ibu dikampung kelahiranku. Usianya saat itu barulah 3 tahun dan telah harus kehilangan Ibu. Kehidupan kami bertiga mungkin tak lebih baik daripada kehidupan adik terakhir kami. Ayah seringkali jarang pulang kerumah dan kebutuhan kami bertigapun seringkali tak terpenuhi. Kami pernah memakan satu bungkus mie instan sebagai makan siang kami dan harus dibagi tiga. Kamipun pernah berjalan kaki bersama- sama untuk pergi kesekolah sejauh 5 kilometer di pagi buta karena tak memiliki ongkos. Bahkan, kami bertiga pernah menjadi pengumpul barang- barang plastik hanya untuk membeli buku saat pergantian semester. Adikku yang pertama, sering menjadi penjaga koin dalam kedai billiard disamping rumah kami, ataupun sebagai tukang parker dalam sebuah pertandingan sepak bola. Adikku yang kedua, karena fisiknya lemah, lebih banyak menjadi pesuruh ibu- ibu rumah tangga disekitar rumah kami agar ia mendapat upah. Bagaimana denganku? Selain menjadi Duta Anak Indonesia, Ketua Pramuka, aku berhasil menjadi Ketua Osis SMAN 1 Sumbawa setelah berhasil menang mutlak dari pesaingku saat mencalonkan diri sebagai Ketua Osis SMP dulu, Artur. Maka aku teringat Ibu, karena kini kubuktikan ucapan Ibu, “Tuhan tahu, tapi menunggu”. Karena keterbatasan ekonomi tersebut, aku pernah menjadi kacung pertandingan bola tenis, pernah juga menjadi tukang sapu lapangan Kantor Bupati Sumbawa. Namun semenjak menjadi Ketua Osis, aku lebih banyak mendapat tambahan keuangan dari agenda- agenda Osis diluar kota yang memberikan biaya transport. Jikalau tak ada agenda dan kiriman Ayah maupun Ibu jarang kami terima, maka menjadi kacung bola tenis lebih terhormat daripada harus mencuri.
            Telah dua tahun berlalu, artinya Ibu akan segera kembali. Pulang kepada anak- anaknya yang selalu merindunya. Segera kuberitahu kakek dikampung agar segera membawa adik terakhirku untuk pulang. Aku tak mau ia tidak turut serta menyambut Ibu dirumah. Tepat bulan Oktober, sebuah mobil berhenti didepan rumah. Seorang perempuan berjilbab panjang turun dari mobil tersebut. Hatiku berdesir. Sesuai perhitunganku, bulan tersebut adalah bulan kepulangan Ibu. Wanita itu tersenyum padaku yang mematung di depan pintu. Aku kenal dengan senyuman itu, sangat kenal sekali. Ya! Itu Ibuku. Adik- adikku berhamburan lari memeluk beliau. Air mata mereka berlinang membasahi jilbab yang menutup sebagian tubuh Ibu. Namun, setetes air matapun tak mengalir dari mata beliau. Hari itu aku menyaksikan seorang perempuan paling tegar telah lahir kedunia, ialah Ibuku.
            Kurasakan waktu berlalu begitu cepat. Aku telah menyelesaikan waktu wajib belajarku selama 3 tahun di SMA. Ujian Nasional tingkat SMA juga telah berlalu dan aku tinggal menunggu hasilnya. Banyak rekan- rekan seangkatanku yang mendaftarkan dirinya ke perguruan tinggi pilihan mereka. Bagiku, hal tersebut hanyalah rekaan nasib yang telah dititahkan Tuhan untuk digapai oleh manusia. Selama mereka hanya menerka tanpa merencanakan, maka takkan pernah ada hasil yang mereka raih. Aku terkenang janji kecil dalam hatiku saat kecewa lantaran sikap Presiden yang tak pernah menepati janji, sewaktu aku mengikuti Jambore Nasional dulu. Telah terpatri dalam hatiku bahwa aku harus masuk jurusan Ilmu Pemerintahan, apapun resikonya. Maka kucoba mendaftarkan diriku untuk masuk ke salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Berbekal sertifikat dan piagam penghargaan yang tebalnya sekitar 7 cm, kumantapkan hati untuk menggapai satu kursi disana. Selain itu, kupersiapkan rencana cadangan jikalau aku tak diterima di universitas tersebut. Kucoba mendaftarkan diriku di Universitas Mataram, salah satu kampus terbaik di Nusa Tenggara Barat. Pendidikan Kewarganegaraan menjadi jurusan yang kupilih. Paling tidak, jikalau aku tak diterima di jurusan ilmu pemerintahan, aku masih bisa mengajar disiplin ilmu tersebut, pikirku. Tiba- tiba tanpa sengaja aku mencuri dengar obrolan kawan- kawanku mengenai salah satu universitas negeri yang ada di Jawa Tengah. Sontak, telingaku mulai berdiri. Sebagai pencinta sejarah, aku paham betul daerah yang bernama Jawa Tengah. Provinsi yang menyimpan sejuta kisah peradaban, baik peradaban kuno hingga masa penjajahan. Terlebih lagi setelah ku ketahui bahwa di universitas tersebut terdapat jurusan ilmu pemerintahan. Maka tanpa banyak menunggu, kudaftarkan diriku ke Universitas Diponegoro, sesuai info yang kudapatkan dari teman- temanku. Tentu saja dengan jurusan yang paling kunanti, Ilmu Pemerintahan.
            Seminggu kemudian, sebuah surat dikirimkan untukku dari Yogyakarta. Isinya adalah bahwa aku diterima di universitas tersebut dengan predikat A, artinya aku mendapat keringanan biaya selama setahun penuh. Ku diskusian hal tersebut kepada orang tuaku. Menurut mereka, aku harus bersabar untuk menunggu jawaban dari Universitas Diponegoro. Ibu menguatkanku, bahwasanya ini adalah lingkaran nasib, percayalah bahwa Tuhan telah merencanakan segala sesuatu untuk indah pada waktunya. Benar saja, dua minggu kemudian aku mendapat kabar dari kawanku yang berada di Semarang, bahwa aku diterima di Undip dengan jurusan Ilmu Pemerintahan. Ah, bukan main senangnya hatiku. Saat itu aku merasa telah menjadi mahasiswa Undip seutuhnya, bahkan menjadi warga Kota Semarang. Namun, ada beban yang mengganjal hatiku saat itu. Untuk registrasi ulang, setiap mahasiswa yang terjaring dalam program PSSB Undip, wajib membayar biaya registrasi sebesar Rp.3.889.000 dengan batas waktu dua minggu sejak surat pemberitahuan ini kami terima. Aku hanya bisa menunduk, karena kutahu kedua orang tuaku tak memiliki uang sebanyak itu untuk melunasinya. Uang tiga juta rupiah mungkin tak terlalu banyak, tetapi bagi keluarga kami itu lebih dari cukup untuk menunjang pendidikan. Oleh karena itu, Ibu memutuskan untuk menggadai motor satu- satunya dirumah kami. Motor tersebut adalah hasil keringat Ibu saat menjadi TKI setahun yang lalu. Apa mau dikata, hal tersebut memang harus dilakukan. Bagi Ibu, pengorbanan tersebut tidaklah seberapa asalkan anak- anaknya dapat menempuh pendidikan yang lebih baik. Bagi beliau, sekali layar terkembang, maka pantang biduk surut kembali. Itu janji Ibu!
            Singkat cerita, aku telah tiba di Semarang. Menjadi mahasiswa tak sesulit seperti apa yang kubayangkan. Kini aku telah aktif dalam berbagai lembaga kemahasiswaan. Bagiku, berorganisasi adalah sebuah keniscayaan untuk berubah. Apapun organisasinya, tentulah menjadi wadah untuk belajar. Akupun kini tak terlalu bergantung dengan kiriman orang tua, karena kutahu bahwasanya Ayah dan Ibu masih memiliki tanggungan, yaitu tiga adikku yang masih duduk di sekolah menengah dan dasar. Sejak diterima di Undip, aku telah mengantongi 3 beasiswa dari institusi yang berbeda. Paling tidak, hal tersebut dapat menutupi kebutuhanku selama berkuliah disini. Organisasiku juga berjalan beriringan dengan prestasi akdemikku. Selain selalu mendapat IP yang cumlaude, akupun aktif turun kejalan untuk berdemonstrasi menuntut perubahan, mengingatkan penguasa agar menegakkan keadilan. Saat ini aku menjabat sebagai Menteri Sosial Politik di BEM KM Undip 2013. Tentunya aku sudah tidak menjadi kopral lagi sewaktu aku kecil dulu. Akupun seringkali mendapat undangan untuk bertemu langsung dengan Presiden, namun selalu kutolak. Bagiku ia adalah sebuah cinta yang layu sebelum berkembang. Jikalau dulu aku menantinya dengan penuh hormat, kini ia hanyalah sebuah isu yang selalu dipergunjingkan oleh seluruh mahasiswa Indonesia, termasuk aku. Demonstrasi terhadap dirinya pernah ku komandani bersama mahasiswa lainnya. Ia benar- benar bunga yang mati disaat negeri ini tengah bersemi. Ayah saat ini masih dengan status sosialnya sebagai supir bus- bus besar. Tak pernah naik pangkat, selalu saja menjadi kolonel. Sementara itu, Ibu kini telah mampu mendayagunakan dirinya untuk menunjang ekonomi kami, bahkan berlipat- lipat jumlahnya dibandingkan sebelumnya. Beliau kini menjadi juragan ikan di Pasar Tradisional didaerah kami. Penghasilan beliau tidak seberapa, namun cukup untuk membeli ikan sebagai lauk kami sekeluarga, tidak seperti dulu yang menjadikan satu bungkus mie instan untuk disantap kami bertiga. Semuanya kulalui dengan penuh cinta, karena hanya cinta yang dapat membangkitkan semangat kita agar tidak tunduk pada takdir. Selagi aku masih mampu untuk bermimpi, bukan sebuah hal yang mustahil untuk kugapai. Mungkin pembaca sedikit bingung, mengapa tak ada kisah romantika dalam autobiografi ini? Aku akan menceritakannya nanti, saat cinta yang kumiliki layak untuk diceritakan.

ANALISIS PERAN WANITA DALAM POLITIK DAN PEMERINTAHAN Studi Kasus: Peran Sri Mulyani Dalam Politik dan Pemerintahan. Antara Realita dan Air mata!


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kita tahu bahwa dalam UU no.10 tahun 2008 tentang pemilu legislatif dan UU no.2 tahun 2008 tentang partai politik ( parpol ) bahwasanya kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 %, terutama untuk duduk di parlemen. Bahkan dalam pasal 8 butir di UU no.10 tahun 2008, disebutkan adanya pernyataan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu, dan pasal 53 UU menyatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat sedikitnya 30% keterwakilan perempuan. Dalam hal kuota tersebut, sebagian perempuan memang merasa bahwa mereka juga sudah di beri kesempatan untuk berpolitik, tapi sebagian perempuan pada umumnya selalu bertanya- tanya, mengapa harus ada persentase yang dijadikan eksistensi perempuan?, yang berarti ini termasuk ketimpangan dan juga ketidakadilan perempuan dalam porsi dipilih dan memilih. Hak mereka didiskriminasi, seperti di bedakan dan pasti ujung-ujungnya subordinasi yang terjadi, yaitu sebuah posisi atau peran yang merendahkan nilai peran yang lain yang menomorduakan perempuan untuk turut andil dalam politik. Perempuan umumnya hanya dianggap sebagai pelengkap, sehingga kehadirannya sama sekali tidak di perhitungkan.[1]
Dalam menyikapi problematika ini, muncul pengembangan pemikiran bahwasanya partisipasi perempuan yang hanya 30 persen saja tidak pernah terpenuhi, lantas mengapa mesti menuntut untuk mau di sejajarkan, dan tak mau dipersen-persenkan? Hal ini dikarenakan kurangnya keterlibatan perempuan yang di sebabkan beberapa faktor,  yaitu tata nilai sosial dan budaya yang bias gender dengan dominasi maskulin dalam kehidupan masyarakat, peraturan dan sistem hukum yang banyak bias gender dengan mengutamakan laki-laki dibanding perempuan, adanya kebijakan dan program pembangunan yang cenderung mengutamakan partisipasi laki-laki dari pada perempuan, serta akses-akses yang tidak ada sisi regulasinya dalam implementasinya sehingga hal inilah yang selalu menjadi suatu permasalahan. Namun jikalau kita melihat lebih mendalam dari sisi bias gender tersebut, nampaknya peran wanita memang dimarginalkan posisinya serta dibatasi ruang geraknya. Oleh sebab itu penulis mencoba menguraikan masalah ini dengan sebuah studi kasus dari seorang perempuan tangguh yang pernah dilahirkan oleh negeri ini, yaitu Sri Mulyani.
1.2. Rumusan Masalah
A.    Bagaimana kepribadian Sri Mulyani atas perannya dalam politik dan pemerintahan?
B.     Analisa terhadap peran perempuan dalam politik dan pemerintahan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kepribadian Sri Mulyani atas Perannya dalam Politik dan Pemerintahan

Sri Mulyani Indrawati adalah sosok yang belakangan ini ramai menjadi perbincangan publik, semenjak dia mengajukan pengunduran diri sebagai Menteri Keuangan RI, dan disetujui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 Mei 2010 silam. Pro dan kontra muncul sebagai respon terhadap pengunduran diri wanita yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Sri Mulyani mundur karena ia lebih mengikuti hati nuraninya. Ia tak mau diombang-ambingkan oleh kepentingan politik segelintir orang, apalagi jika itu bertentangan dengan etika yang diyakininya. Dalam pertarungan kepentingan politik, dan ia memilih untuk mundur dari jabatan yang sangat prestisius di pemerintahan. Lagipula, ia tetap mengaku menang. Bukan karena ia telah menjabat sebagai Managing Director World Bank pada 1 Juni 2010, tapi karena ia tetap berhasil memegang prinsip-prinsip dan etika yang diyakininya. Ia menang karena tidak bisa didikte oleh siapapun, termasuk orang yang menginginkannya. Selama saya tidak mengkhianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka di situ saya menang, ia menegaskan ketika mengakhiri kuliah umumnya di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, 18 Mei 2010.[2]
Tentu saja, sosok Sri Mulyani seperti yang sekarang ini, tak lepas dari pengaruh lingkungan keluarga, bagaimana pasangan Prof. Satmoko (alm.) dan Prof. Dr. Retno Sriningsih Satmoko (alm.) membentuk karakter Sri Mulyani dan saudara-saudaranya. Awal tahun 2009, Sri Mulyan yang saat itu selain menjabat sebagai Menteri Keuangan juga merangkap menjadi Pelaksana Harian Menteri Koordinator Perekonomian RI, ia bercerita tentang bagaimana orangtuanya itu mendidik dirinya dan saudara-saudaranya. Ayah-ibunya tersebut adalah guru besar Universitas Negeri Semarang (dulu IKIP Semarang). Ada pepatah yang mengatakan “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” menggambarkan sebagian perjalanan hidup keluarga itu. Sri Mulyani dan saudara-saudaranya juga tumbuh menjadi orang-orang yang berprestasi dan berpendidikan tinggi. Hebatnya, di bangku sekolah dan kuliah, prestasi mereka selalu menonjol, sehingga biaya sekolah gratis dan mendapat beasiswa kuliah di dalam dan luar negeri.
Dari segi nilai-nilai hidup yang diajarkan, sebagaimana orang Jawa pada umumnya, ayah Sri Mulyani memberi petuah kepada anak-anaknya agar menjadi manusia yang tinggi tepo sliro-nya (peka atau memahami lingkungan sekitar) dan hidup sederhana. “Kami memang dibiasakan hidup dengan apa yang kami miliki, tidak berangan-angan yang macam-macam, jujur, tidak mengambil milik orang lain, dan tidak materialistis”,  ujar kelahiran Tanjung Karang, 26 Agustus 1962, yang mengaku dulu tidur bersama empat saudaranya dalam satu kamar itu.[3] Orang tua adalah figur terbaik bagi anak-anak. Sri Mulyani dan saudara-saudaranya meneladani sikap ayah-ibu mereka. Karakteristik ayahnya yang patut dicontoh adalah penggembira, suka musik, sangat bijaksana, ekspresif, jujur, memiliki insting tinggi untuk melayani orang (karena beliau pernah menjadi dekan), serta memiliki jiwa kepemimpinan yang sangat tinggi. Sementara sang ibu adalah sosok yang serius, kutu buku, pekerja keras, dan tidak suka pada hal-hal yang berlebihan. Ibunda Sri Mulyani menempuh kuliah S-2 dan S-3 di IKIP Jakarta, dan gelar doktor diraihnya di usia 45 tahun. Ia bangga dengan ibunya yang menjadi ibu rumah tangga dengan 10 anak, tapi juga sukses di pendidikan dan karier. Bahkan, memberi contoh anak dengan meraih gelar profesor.
Saat ini, nama Sri Mulyani digadang- gadang sebagai bakal calon Presiden RI dalam pemilu 2014 mendatang. Ia adalah salah satu sosok wanita yang berani menantang dunia walaupun ia adalah orang Indonesia. Ia lebih memilih diasingkan, daripada hidup dibawah kemunafikan. Sebagai seorang ekonom, birokrat bahkan politisi, nama Sri Mulyani sebagai aktivis wanita yang patut dicontoh, memberikan gambaran bahwasanya wanita dapat berlaku lebih baik daripada laki- laki.
2.2. Analisa Terhadap Peran Perempuan dalam Politik dan Pemerintahan
            Melihat pembahasan diatas, Sri Mulyani adalah contoh nyata bahwa seorang perempuan memiliki eksistensi yang tidak kalah dari seorang laki- laki. Secara fisik, memang perempuan memiliki keterbatasan. Ia tidak memiliki tenaga yang besar layaknya laki- laki, namun secara ide dan gagasan, perempuan tak dapat dikesampingkan peran dan fungsinya. Keterlibatan perempuan dalam politik dan pemerintahan merupakan suatu anugerah bagi keberlanjutan suatu negara. Ibarat negara sebuah rumah tangga, maka perempuanlah yang memiliki peran untuk mengurus rumah serta mengatur hajat hidup seluruh penghuni rumah tersebut. Maka, dapat dipastikan bahwasanya perempuan memiliki andil yang luar biasa dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun demikian, bagi negeri yang bernama Indonesia, peran perempuan masih dimarginalkan dan dikebiri eksistensinya. Hal ini terlihat dari total partisipasi perempuan dalam parlemen yang dibatasi hanya sebesar 30% semata. Tentunya, menjadi sebuah tragedi bagi negeri yang menjunjung genderisasi, namun masih memiliki pandangan yang tak rasional bagi peran perempuan.
Hingga saat ini, peran perempuan dan representasi politiknya di parlemen serta pada pemerintahan, baik secara global maupun nasional masih sangat rendah dan memprihatinkan. Rendahnya partisipasi perempuan tersebut bisa jadi disebabkan oleh berbagai faktor, yakni tidak ada pendidikan politik dan pendidikan pemilih khususnya di negara-negara berkembang dan terbelakang, tidak adanya pelatihan dan penguatan keterampilan politik perempuan untuk memperkuat keterampilan politiknya, kurang adanya kesadaran perempuan untuk aktif dan terlibat di dalam kegiatan-kegiatan politik terutama untuk berpartisipasi dalam institusi politik formal seperti lembaga legislatif dan partai politik, serta masih adanya sistem perundang-undangan politik yang membatasi aksesibilitas dan partisipasi perempuan dalam pemilu, perlemen dan dalam pemerintahan.
Alasan- alasan inilah yang menjadi suatu pembeda antara kaum laki- laki dan kaum perempuan. Bahkan, dalam pembagian hak waris, kebebasan bergaul dan semacamnya yang diatur oleh agama, perempuan dibedakan jatah dan bagiannya. Namun, hal ini bukanlah suatu kerugian bagi seorang perempuan, melainkan sebuah pernyataan tertulis bahwasanya perempuan adalah makhluk yang sejatinya harus dijaga harkat dan martabatnya serta diposisikan dalam konteks yang lebih kompleks dan utama, dibandingkan dengan urusan laki- laki yang sejatinya mampu untuk menjaga dirinya sendiri. Dalam tataran pemerintahan, Arivia (2006:4) dalam Nurhaeni (2009:53) menyatakan: “Sepanjang dibelahan dunia patriarki seperti Indonesia, representasi isu- isu perempuan di segala bidang (politik, ekonomi, budaya, agama dan sebagainya) telah ditolak di dalam wacana publik”[4]. Oleh karena itu diperlukan suatu terobosan baru dalam mengaktualisasikan peran perempuan dalam wacana publik atau dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan, terkadang perempuan menjadi “korban” dalam suatu dinamika politik dan pemerintahan. Bukan menjadi sebuah rahasia bahwasanya pengunduran diri Sri Mulyani sebagai seorang menteri jikalau tidak menjadi korban politik segelintir elit. Hapsari Dwiningtyas menyatakan: “Pembahasan mengenai permasalahan perempuan lebih sering menampilkan perempuan sebagai korban yang tidak berdaya. Perempuan sebagai makhluk yang tidak bisa berbuat banyak untuk melindungi dirinya sehingga perlu dibantu”.[5] Itulah mengapa, terkadang dalam sistem pemerintahan dan politik Indonesia, jarang sekali yang menampilkan arahan kebijakan pemberdayaan perempuan sebagai mana yang diharuskan dalam peraturan perundang- undangan yang menetapkan perlunya meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan serta meningkatkan kualitas peranan mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, peranan perempuan merupakan merupakan jawaban dalam menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Dominasi gender adalah sebuah keharusan yang ditinjau secara ide dan gagasan dalam pembangunan bangsa. Sri Mulyani berhasil menjawab pertanyaan itu dengan mengabdikan dirinya untuk negerinya. Namun, ia harus keluar dari negerinya manakala hukum telah berubah oleh kekuasaan politik yang mendominasi segala aspek.

                               
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Sri Mulyani Indrawati adalah sosok yang belakangan ini ramai menjadi perbincangan publik, semenjak dia mengajukan pengunduran diri sebagai Menteri Keuangan RI, dan disetujui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 Mei 2010 silam. Sri Mulyani mundur karena ia lebih mengikuti hati nuraninya. Dalam pertarungan kepentingan politik, dan ia memilih untuk mundur dari jabatan yang sangat prestisius di pemerintahan. Lagipula, ia tetap mengaku menang. Ia menang karena tidak bisa didikte oleh siapapun, termasuk orang yang menginginkannya. Selama saya tidak mengkhianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka di situ saya menang.
Melihat pembahasan diatas, Sri Mulyani adalah contoh nyata bahwa seorang perempuan memiliki eksistensi yang tidak kalah dari seorang laki- laki. Dalam tataran pemerintahan, Arivia (2006:4) dalam Nurhaeni (2009:53) menyatakan: “Sepanjang dibelahan dunia patriarki seperti Indonesia, representasi isu- isu perempuan di segala bidang (politik, ekonomi, budaya, agama dan sebagainya) telah ditolak di dalam wacana publik”. Oleh karena itu diperlukan suatu terobosan baru dalam mengaktualisasikan peran perempuan dalam wacana publik atau dalam kehidupan bermasyarakat.
3.2. Saran
Dominasi gender adalah sebuah keharusan yang ditinjau secara ide dan gagasan dalam pembangunan bangsa. Pemerintah diwajibkan memenuhi segala kepentingan kaum perempuan. Harus!
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Majalah:
Hapsari Dwiningtyas Sulistyani. 2011. “Korban dan Kuasa” di dalam Kajian Kekerasan Perempuan. FORUM Edisi Juli 2011: Fisip Undip
Rihandoyo. 2011. Sistem Akuntabilitas di dalam Pembangunan Berbasis Gender. FORUM Edisi 1 Februari 2011 : Fisip Undip
KA Ralahalu. 2010. Penguatan Peran Perempuan dalam Politik dan Masyarakat. Kompas, Edisi 21 Februari 2010.”
Internet:
http://hamriah.blogspot.com/2010/11/peran-perempuan-dalam-pemerintahan.html, diunduh dan diakses pada hari senin , 25 maret 2013. pukul 22.00 WIB
http://swa.co.id/profile/sri-mulyani-dan-lingkungan-keluarga-yang-membesarkannya diunduh dan diakses pada hari senin , 25 maret 2013. pukul 22.12 WIB






[1] http://hamriah.blogspot.com/2010/11/peran-perempuan-dalam-pemerintahan.html, diunduh dan diakses pada hari senin , 25 maret 2013. pukul 22.00 WIB

[2] http://swa.co.id/profile/sri-mulyani-dan-lingkungan-keluarga-yang-membesarkannya diunduh dan diakses pada hari senin , 25 maret 2013. pukul 22.00 WIB

[3] KA Ralahalu. 2010. Penguatan Peran Perempuan dalam Politik dan Masyarakat. Kompas, Edisi 21 Februari 2010.”

[4] Rihandoyo. 2011. Sistem Akuntabilitas di dalam Pembangunan Berbasis Gender. FORUM Edisi 1 Februari 2011 : Fisip Undipw
[5] Hapsari Dwiningtyas Sulistyani. 2011. “Korban dan Kuasa” di dalam Kajian Kekerasan Perempuan. FORUM Edisi Juli 2011: Fisip Undip

KURSI JAWA TENGAH 1 MILIK SIAPA?


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
KPU Jateng sudah menutup pendaftaran pasangan calon untuk bertarung dalam Pemilu Gubernur (Pilgub) 26 Mei mendatang. Ada tiga pasangan calon yang mendaftar. Pendaftar pertama adalah Bibit Waluyo-Sudijono Sastroatmodjo. Pasangan cagub incumbent dengan Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) ini diusung oleh Partai Demokrat, PAN dan Golkar, dengan total 37 kursi di DPRD Jateng. Pendaftar kedua yakni Ganjar Pranowo- Heru Sudjatmoko. Pasangan anggota DPR dan Bupati Purbalingga ini hanya diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang memiliki 23 kursi. Sementara, pendaftar ketiga adalah Hadi Prabowo-Don Murdono. Pasangan Sekretaris Daerah Provinsi Jateng dan Bupati Sumedang ini diusung oleh 6 partai. Mereka adalah PKS, PKB, Gerindra, PPP, Hanura, PKNU, dengan total 40 kursi. Dari total kekuatan partai, Hadi Prabowo-Don Murdono yang terkuat dengan total 40 kursi. Namun, itu adalah hasil Pemilu 2009 yang sangat mungkin kekuatannya sudah bergeser sekarang. Terlebih, efektivitas mesin partai juga menjadi faktor utama untuk meraih kemenangan.[1]
Jawa Tengah seringkali disebut- sebut sebagai basis massa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Meski demikian, ada semacam penurunan elektabilitas partai yang melanda partai berlambang banteng ini. Hal ini terlihat dari penurunan suara yang terjadi sepanjang dua pemilu terakhir ini. Pada Pemilu 1999 suara PDIP 32.2 persen, Pemilu 2004 turun menjadi 27.9 persen. Terakhir dalam Pemilu 2009 jatuh lagi menjadi 24.8 persen, artinya data itu menunjukkan pudarnya kekuatan banteng secara signifikan di Jateng. Sebagai “Jantung Indonesia”, Jawa Tengah merupakan titik balik eksistensi partai dalam kancah nasional yang akan tiba pada tahun 2014 nanti. Pertarungan politik di Jawa Tengah, tentunya akan semakin seru manakala para Cagub dan Cawagub saling “tikam” diantara mereka. Ada yang berasal dari rumpun yang sama, ada pula yang berasal bukan dari internal/ kader partai. Keseluruhan fenomena ini akan kami bahas tuntas melalui peninjauan kekuatan tiga pasang calon untuk Pilgub Jateng 2013 ini.
1.2.  Rumusan Masalah
A.    Bagaimana Peta Kekuatan Pasangan Bibit Waluyo dan Sudijono?
B.     Apa saja yang dimiliki oleh Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko dalam Pilkada Jateng 2013?
C.     Sekuat apakah Hadi Prabowo dan Don Murdono?


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Peta Kekuatan Pasangan Bibit Waluyo dan Sudijono
Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan pada tahun 2012 yang lalu, dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Partisipasi Politik terkait elektabilitas masyarakat Jateng terhadap figur gubernur 2013, menghasilkan data bahwa figur purnawirawan TNI masih diminati oleh masyarakat Jateng dengan sampel 1000 orang menghasilkan 42% untuk data tersebut. Artinya, masyarakat Jawa Tengah masih mengkehendaki purnawirawan TNI sebagai pemimpin Jateng selanjutnya. Dalam konteks ini, Bibit Waluyo sebagai mantan Pangkostrad TNI memiliki peluang lagi untuk merebut kursi no 1 di Jawa Tengah.
Bibit Waluyo adalah seorang Letjen (Purn) dan Sudijono adalah Rektor Unnes. Jabatan terakhir Bibit di militer adalah Pangkostrad pada tahun 2002, ia memenangi Pilkada Jateng pada tahun 2008 bersama Rustriningsih dengan persentase suara 44%, telak. Bibit Waluyo yang asli Klaten juga pernah menjadi Pangdam Diponegoro pada tahun 1997, darisanalah kedekatan dirinya dgn tokoh- tokoh Jateng terjalin. Pada Pilkada 2008, Bibit dan Rustriningsih menang telak dengan persentase 44% suara, padahal kala itu ada 5 pasang calon yang terbilang sangat kuat. Bibit kuat di jaringan atas sampai militer,setidaknya sampai kecamatan komando Bibit bisa terlaksana dengan presisi. Rustriningsih kuat di kalangan bawah, sebagai kader PDIP pula, sehingga dapat menang telak. Bibit dinilai kurang cakap dalam membangun pola komunikasi, sehingga sering kali apa yang diucapkan tidak ditangkap dengan baik, itulah mengapa dirinya selalu bergesekan dengan media. Sementara itu, cawagub Bibit Waluyo adalah Sudijono Sastroatmojo, yang baru saja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Rektor Unnes untuk maju dalam pilkada Jateng. Bibit Waluyo dinilai sangat dekat sekali dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia saat ini, karena itulah akhirnya ia maju dari Partai Demokrat. Selanjutnya, yang menjelaskan majunya Sudijono dari Partai Golkar adalah selentingan dirinya sebagai kader Golkar. Dikampusnya Sudijono cukup "otoriter", namun royal berbagi anggaran pada pihak-pihak yang tak kritis di kampus. BEM KM Unnes saaja mendapat 150 juta pertahunnya. Diharapkan Sudijono mampu menghimpun jaringan alumni UNNES yang tersebar di seluruh Jateng. UNNES dulunya adalah IKIP, suara para gurupun diamankan. Ini yang menjelaskan mengapa ketua PGRI Jateng, Sulistyo, tak jadi maju pada pilkada kali ini.[2]
Ada sebuah modal besar yang dimiliki oleh pasangan Bibit dan Sudijono ini, yaitu gelar incumbent yang dimiliki oleh Bibit Waluyo. Berkaca dari fenomena Pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara, para incumbent kembali dapat merebut kursi kekuasaan lantaran masih kuatnya pengaruh mereka. Sebagai incumbent, tentunya hal ini menguntungkan karena dapat menggunakan seluruh akses dan fasilitas jabatan sebagai media kampanye. Hal ini tentu tidak melanggar kode etik pemilu lantaran status yang dimiliki oleh seorang incumbent masih sah dimata hukum. Oleh sebab itu, pasangan Bibit- Sudijono tak boleh dipandang sebelah mata karena eksistensi Bibit Waluyo sebagai seorang gubernur, yang disertakan dengan jaringan- jaringan yang dimilikinya, tentulah sangatlah patut untuk diperhitungkan. Keunggulan lainnya yang dimiliki Bibit Waluyo ialah pembawaannya terhadap masyarakat pedesaan, terlepas statement medianya yang selalu kontroversial. Di mata publik Jawa Tengah, yang masih dipenuhi oleh masyarakat pedesaan, pencitraan Bibit Waluyo yang cenderung ndeso memiliki kekuatannya tersendiri. Raut muka disertai mimic wajah serta gaya bicara yang ceplas- ceplos memberikan kesan bahwa Bibit Waluyo adalah figur yang memiliki rasa sepenanggungan dengan masyarakat pedesaan. Ada rasa saling memahami dan rasa saling kasihan yang terjadi antara masyarakat Jawa Tengah dan Bibit Waluyo. Setidaknya Bibit Waluyo masih memiliki modal sosial yang bisa ia jual sebagai produk politik. Mengambil pandangan Francis Fukuyama, bahwa modal sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern.[3] Kekuatan lainnya yang dimiliki oleh pasangan ini ialah merapatnya salah satu kampus besar di Jawa Tengah, yaitu Universitas Negeri Semarang. Walaupun bukan sebuah hal yang patut diunggulkan, setidaknya pergerakan alumni UNNES cukuplah signifikan, mengingat gengsi yang dipertaruhkan untuk memenangkan pasangan ini.
Kekuatan yang dimiliki oleh pasangan ini nampaknya juga memiliki kerapuhan. Hal ini dikarenakan figur Bibit Waluyo yang selalu kontroversial. Walaupun ia didukung oleh Partai Demokrat, Partai Golkar dan PAN, namun Bibit tak mampu merangkul media. Pencitraan yang ia lakukan selalu termentahkan lantaran statemen yang ia sampaikan terkadang menimbulkan kontroversi. Mungkin pasangan ini lupa bahwa media memiliki kekuatan yang sangatn kuat, walaupun hanya dikonsumsi oleh masyarakat menengah keatas, namun hal ini bukan tidak mungkin akan mengganggu elektabilitas dirinya dalam pemilihan nantinya.
2.2. Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko dalam Pilkada Jateng 2013
Pasangan kedua adalah Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko. Jujur, ini adalah sebuah kejutan, terutama untuk Heru Sudjatmiko. Memang, Ganjar sudah diisukan bakal maju. Ada beberapa alasan kuat yang mendukung gagasan majunya Ganjar Pranowo sebagai gubernur.  Pertama, di DPP PDIP kubu intelektual anak muda sedang kuat-kuatnya. Kubu intelektual muda di PDIP ini "dipimpin" oleh Pramono Anung. Mereka telah berhasil mengusung Jokowi, Rieke dan Efendi Simbolon. Generasi tua seperti Taufik Kiemas, Cahyo Kumolo merasa tersisihkan dengan kubu Pramono tersebut. Itulah alasan mengapa beberapa kali Taufik Kiemas cenderung berbeda pendapat dengan Mega. Alasan kedua adalah menyebrangnya Bibit Waluyo ke Partai Demokrat. Artinya basis massa PDIP sebagai pengusung tunggal pasangan ini telah hilang. Lalu yang ketiga adalah dipojokkannya Rustriningsih dengan menunjuk Ganjar sebagai calon gubernur.
Ada beberapa kelebihan dan kekurangan dari pasangan ini. Diantaranya telah saya sebutkan diatas. Sebagai partai tunggal yang mengusung pasangan ini, PDIP dituntut untuk bekerja keras. Hal ini dikarenakan pecahnya soliditas internal partai yang memberikan ruang terbuka bagi kompetitor lainnya untuk menjatuhkan hegemoni PDIP di Jawa Tengah. Sebagai basis massa PDIP yang paling solid, Jawa Tengah adalah jantung Indonesia, barang siapa yang Berjaya di Jawa Tengah, maka dapat dipastikan akan berkarya dalam pentas nasional. Selanjutnya, nampaknya tagline yang diusung oleh pasangan ini kurang begitu mengena bagi masyarakat Jawa Tengah. Pangsa pasar bagi pemilih Jawa Tengah adalah mereka masyarakat tradisional yang kurang dalam tataran pendidikan. Dalam hal ini, Ganjar dan Heru mengangkat tagline “Membangun Jawa Tengah dengan Trisakti Bung Karno”. Selanjutnya, yang menjadi permasalahan saat ini ialah, apakah masyarakat Jawa Tengah paham mengenai Tri Sakti Bung Karno tersebut? Sebagai pasangan yang dieluh-eluhkan untuk melanjutkan hegemoni banteng merah PDI perjuangan, Ganjar dan Heru tentunya sangatlah hati- hati dalam melangkah untuk menarik minat masyarakat Jawa Tengah. Namun demikian, saya melihat bahwa gerakan intelektual muda yang dibangun oleh Ganjar Pranowo cukup memuaskan. Walaupun basis massa PDIP terpecah, namun basis kaum mudanya tetaplah eksis. Ganjar Pranowo sangatlah fenomenal dikalangan mahasiswa, apalagi yang berideologi sama dengan dirinya. PDIP saat ini nampaknya memposisikan dirinya sebagai Passion Partie, yaitu gerakan yang mengandalkan basis massa paling bawah untuk bergerak. Itulah mengapa Ganjar Pranowo selalu mencari simpati masyarakat ke desa- desa tanpa diketahui oleh media. Gerakan underground yang dibangun oleh Ganjar Pranowo nampaknya akan menjadi kejutan bagi pasangan lainnya dalam penghitungan suara nantinya. Kita akan lihat, mampukah Ganjar dan Heru mempertahankan rezim Soekarno untuk 5 tahun yang akan datang?
Hal lainnya yang menjadi kekuatan dari Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko ialah masih fenomenalnya figur para elit PDIP. Hingga saat ini, masyarakat tradisional Jateng mengenal PDIP tidak dengan nama PDIP, melainkan dengan sebutan, “Partai Ibu Mega”, itulah mengapa Jawa Tengah selalu diistimewakan oleh Megawati Soekarno Putri yang telah menjadi Ketua Umum PDIP selama 20 tahun tersebut. Kuatnya figur Megawati, konon menjadi alasan mengapa Rustriningsih tidak dipilih sebagai cagub dari PDIP, lantaran akan menggeser figur Megawati itu sendiri. Figur lainnya yang menjadi idola masyarakat Jawa Tengah ialah adanya kehadiran Joko Widodo sebagai sosok yang fenomenal bagi masyarakat Jawa Tengah. Kiprah Jokowi sebagai Walikota Surakarta cukup memikat hati masyarakat Jateng yang selalu memposisikan Jokowo sebagai antipati Bibit Waluyo. Jikalau blusukan Jokowi ke Jawa Barat dan Sumatera Utara tidak mampu mengubah suara PDIP yang berada di urutan nomor dua, belum tentu hal tersebut mempengaruhi eksistensi dirinya di Jawa Tengah. Figur Ganjar sendiri tidaklah terlalu buruk. Dari seluruh cagub dan cawagub Jateng tahun ini, Ganjar yang paling muda. Artinya sosok Ganjar adalah figur yang dinantikan oleh masyawarakat Jateng lantaran perawakan dan pembawaan dirinya yang masih tergolong muda, karena nilai jual performance saat ini sangatlah tinggi. Hal itu diakui oleh pasangan “Ganteng” di Sumatera Utara sehingga dapat memenangkan pilgub disana.
Kekuatan dan kelemahan pasangan Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko telah kami paparkan, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam benak saya manakala PDIP menunjuk Heru Sudjatmiko sebagai cawagub yang mendampingi Ganjar Pranowo. Ia terpilih sebagai anggota DPR RI di dapil 7, wilayah Kebumen, Purbalingga, dan Banjarnegara. Padahal Heru Sudjatmiko adalah Bupati Purbalingga. Artinya secara hitungan strategi massa sangatlah tidak cocok karena berada pada locus yang sama. PDIP juga lebih memilih untuk bertarung seorang diri, tanpa membangun fusi dan koalisi bersama partai lain. Padahal partai- partai seperti Gerindra dan Hanura adalah koalisi sejatinya, namun PDIP lebih memilih untuk berkancah seorang diri. Oleh karena itu, mari kita lihat sejauh mana kekuatan mesin partai PDIP dalam memenangkan kader partainya untuk merebut kusri Jateng 1 serta mempertahankan hegemoni PDIP di Jawa Tengah.
2.3.  Kekuatan Pasangan Hadi Prabowo dan Don Murdono
Hadi Prabowo adalah cagub yang paling terakhir mendaftarkan dirinya ke KPU Jateng untuk ikut serta dalam perhelatan akbar Pilkada Jateng yang akan digelar pada tanggal 26 Mei 2013 nantinya. Dari segi kekuatan, Hadi Prabowo memanglah sangat kuat. Akibat tak direstui untuk maju dari PDI Perjuangan, Hadi Prabowo nampaknya sedikit gamang untuk menentukan kendaraan politiknya lantaran sebelumnya ia telah berikrar hanya ingin maju melalui PDI Perjuangan. Untuk itu, ia menggaet Don Murdono, Bupati Sumedang yang juga merupakan adik dari Murdoko, kader loyalis PDI Perjuangan. Artinya, dapat dipastikan suara PDI Perjuangan akan terpecah dan jaringan yang dimiliki oleh Murdoko tentunya akan diakuisisi oleh pasangan Hadi Prabowo dan Don Murdono tersebut. Selain itu, Hadi Prabowo menggunakan pendekatan struktural untuk memenangkan kursi Jateng 1 ini. Saat ini, ia masih menjabat sebagai Sekretaris Daerah yang tentunya memiliki peran strategis untuk mengamankan seluruh suara Pegawai Negeri Sipil di Jawa Tengah. Jaringan yang dimiliki oleh Hadi Prabowo tak perlu diragukan lagi. Hampir diseluruh daerah Jawa Tengah terdapat baliho serta posko pemenangan dirinya. Selain daripada itu, Hadi Prabowo adalah Ketua Ikatan Alumni Undip (IKA Undip) yang tentunya akan menggerakkan para alumni Undip untuk berpihak padanya. Alasannya sederhana, tentunya karena gengsi, mengingat pasangan Bibit Waluyo dan Sudijono diusung pula oleh alumni Unnes. Sehingga nantinya aka nada perang alumni dua kampus besar yang ada di Jawa Tengah, yaitu Undip dan Unnes.
            Kekuatan lainnya yang dimiliki oleh pasangan ini ialah banyaknya partai yang mengusung mereka, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Gerindra, Partai Hanura, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) serta PKNU yang dalam hal ini tidak lolos dalam verifikasi KPU Pusat untuk pemilu 2014. Tentunya koalisi ini memiliki kelebihan dan kekurangan dalam aktualisasinya nanti. Pergesekan kepentingan ini sangatlah rentan mengingat koalisi yang dibangun adalah koalisi yang rapuh. Walaupun ada tokoh- tokoh sentral yang mendukung Hadi Prabowo dan Don Murdono seperti Prabowo Subiyanto, Anis Matta dan lainnya, tak dapat dipungkiri apabila kepentingan setiap partai mendominasi untuk mencitrakan dirinya mengingat tahun 2014 adalah puncak segalanya. Kekuatan- kekuatan yang dihimpun oleh Hadi Prabowo dan Don Murdono tampaknya tak sebatas pada koalisi partai, melainkan kepada stakeholder akar rumput yang paling bawah sekalipun. Itulah mengapa Hadi Prabowo menggandeng PKS lantaran partai tersebut memiliki massa solid dari bawah hingga ke atas, serta menggandeng PKNU karena masyarakat Jawa Tengah yang masih berkutat dengan garis Islam Tradisional. Poros kekuatan Hadi Prabowo juga terletak pada aliansi Partai Gerindra dan Hanura sebagai partai modernis- demokratis yang mengidentikkan dirinya sebagai partai nasionalis. Koalisi yang dibangun ini dapat dikatakan sebagai koalisi paling komplit karena merangkul segala bentuk aliran ideologi yang ada di Jawa Tengah, termasuk hegemoni para Kyai dan Ulama.
            Secara historis, Jawa Tengah merupakan daerah dengan penduduk bermayoritas Muslim. Namun, secara real, Jawa Tengah merupakan basis partai- partai yang beraliran Hellenisme, sebut saja PDI Perjuangan, serta partai- partai agamis kedaerahan lainnya yang tersebar di Jawa Tengah. Sehingga, secara wilayah, Jawa Tengah dapat dikatakan sebagai basis massa golongan jawa abangan, ataupun Islam Tradisional yang sejatinya menjadi ciri khas tersendiri bagi daerah tersebut.[4] Partai- partai abangan, seringkali disebut sebagai partai nasionalis yang berasaskan kebangsaan. Al Chaidar menyatakan, bahwasanya partai Islam memiliki perbedaan dengan partai sekuler yang ada di Indonesia, atau biasa disebut sebagai partai nasionalis tadi.[5] Pada saat ditelaah lebih mendalam, partai- partai di wilayah Jawa Tengah memiliki basis massanya tersendiri dalam golongan- golongan tertentu. Sebut saja PDI Perjuangan, yang memiliki fans fanatik di kota Surakarta yang terdiri atas masyarakat priyayi, ataupun para pemilih NU yang mayoritasnya santri dan kyai. Imam Yahya dalam bukunya “Gagasan Fiqh Partai Politik dalam Khazanah Klasik” menyimpulkan bahwa ditengah masyarakat santri, kiai adalah sosok manusia yang disegani, dihormati, dan kadang ditakuti. Rasa segan dan nyaman itulah, yang menurut penulis dijadikan alasan mengapa fatwa kiai sangatlah dihormati dan harus diikuti. Kemampuan seorang kiai dalam memberikan solusi, terkadang menjadikan posisi kiai sebagai ujung tombak dalam setiap permasalahan.[6] Begitu kuatnya hegemoni para kyai ternyata justru memihak kepada Hadi Prabowo dan Don Murdono. Itulah mengapa saya menyebutkan bahwa koalisi yang dimiliki oleh Hadi Prabowo dan Don Murdono merupakan koalisi yang sangat komplit.
            Namun demikian, pasangan Hadi Prabowo dan Don Murdono juga bukanlah pasangan yang sempurna. Selain koalisi rapuh, pasangan ini terkesan tak merakyat, tidak askeitisme, yaitu sikap bersahaja yang konon paling berpengaruh bagi prilaku memilih. Apalagi didalam memimpin, Hadi Prabowo terkesan Directive, yaitu gaya memimpin dengan pendekatan otoriter, yang seringkali terkesan ingin dihormati. Itulah peta kekuatan dari pasangan Hadi Prabowo dan Don Murdono sebagai pasangan dengan dukungan terbanyak serta memiliki posisi struktural yang paling kuat daripada kompetitornya yang lain.


BAB III
PENUTUP
1.1.  Kesimpulan
Tanggal 26 Mei sebentar lagi dan gejolak politik telah bergeliat di Jawa Tengah. Ada 3 pasang calon yang telah mendaftarkan dirinya ke KPU Jateng. Mereka terdiri dari nomor urut 1, yaitu pasangan Hadi Prabowo dan Don Murdono. Pasangan nomor urut 2, yaitu Bibit Waluyo dan Sudijono. Sementara pasangan nomor urut 3 yaitu Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko. Melihat potensi kekuatan dan kelemahan seperti yang telah kami ulas diatas, kami memprediksikan bahwa pasangan Hadi Prabowo dan Don Murdono akan memenangkan Pilkada Jateng 2013 nanti. Hal ini didukung dari kekuatan politik yang dimiliki oleh Hadi Prabowo dan Don Murdono yang telah mengakuisisi 6 partai pengusung dengan aliran ideologi yang berbeda- beda.
Walaupun demikian, peluang Hadi Prabowo dan Don Murdono tidak bisa dikatakan cukup besar, mengingat persaingan politik yang terjadi sangatlah ketat. Rezim PDI Perjuangan begitu kokoh sehingga mereka berani untuk tampil sendiri dalam pertarungan politik tahun ini. Begitupun halnya dengan pasangan Bibit Waluyo dan Sudijono yang sejatinya adalah incumbent dengan posisi yang cukup kuat. Oleh karena itu, jikalau pasangan HP- DON menang, maka selisihnya takkan jauh berbeda dengan pasangan lainnya.
1.2. Saran
Poin penting yang perlu diperhatikan dalam perhelatan demokrasi ialah partisipasi pemilih. Dalam konteks ini, penyelenggara pemilu memiliki andil yang besar untuk mencerdaskan  masyarakat agar memilih sesuai kapasitas calon gubernur. Hal yang paling mendasar untuk dinilai ialah gaya kepemimpinan serta kemampuan berkomunikasi yang baik agar hajat hidup serta hasrat masyarakat akan tercapai. Semoga dengan adanya Pilkada Jateng, dapat lahir pemimpin yang .mampu membawa perubahan positif bagi Jawa Tengah dan Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Majalah
Chaidar,  Al. 2000.  Pemilu  1999:  Pertarungan  Ideologis  Partai  Partai  Islam  versus  Partai Sekuler, Darul Falah, Jakarta.
Pradhanawati, Ari. 2011. Perilaku Pemilih Di Era Politik Pencitraan Dan Pemasaran Politik. Semarang : Forum Fisip Undip. Hal. 9
Yahya, Dr. Imam. 2010. Gagasan fiqh Partai Politik dalam Khazanah Klasik. Semarang : Walisongo Press.
Web dan Internet
http://www.merdeka.com/politik/mengukur-kekuatan-3-pasang-calon-di-pilgub-jateng.html, diunduh pada hari Minggu, 21 April 2013 pukul 12.25 WIB


[1] http://www.merdeka.com/politik/mengukur-kekuatan-3-pasang-calon-di-pilgub-jateng.html, diunduh pada hari Minggu, 21 April 2013 pukul 12.25 WIB
[3] Ari Pradhanawati. 2011. Perilaku Pemilih Di Era Politik Pencitraan Dan Pemasaran Politik. Semarang : Forum Fisip Undip. Hal. 9
[4] Partai Islam adalah partai yang dipimpin oleh tokoh Islam, memakai asas Islam maupun bukan   Islam   sebagai   fondamen   partai,   dan   dalam   meraih   simpati   untuk   merebut   suara menjadikan kalangan Islam sebagai basis utama dukungan. Adapun partai sekuler adalah partai yang   dipimpin   oleh   tokoh-tokoh   yang   memandang   partai   secara   pragmatis   sebagai   alat pembentuk  bulat  lonjongnya  negeri  ini,  dan  bertujuan  kepada  negara  sekuler  yang  makmur, bahagia,  dan  sejahtera.
[5] Chaidar,  Al,  1419,  Pemilu  1999:  Pertarungan  Ideologis  Partai  Partai  Islam  versus  Partai
Sekuler, Darul Falah, Jakarta.
[6] Dr. Imam Yahya. 2010. Gagasan fiqh Partai Politik dalam Khazanah Klasik. Semarang : Walisongo Press