Senin, 28 Mei 2012

Analisis Psikologi Kebijakan Pemerintah



  Studi Kasus : Analisa Dampak Psikologi Pemerintah dan Masyarakat Terkait Kebijakan Pemerintah Menaikkan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM ) 2012

Disusun Oleh :


Joni Firmansyah 

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Menurut  buku “ Subsidi BBM buat (si) Apa?” yang diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sudah pasti mengundang protes. Ini adalah kebijakan yang sangat tidak popular. Banyak orang menilai, keputusan itu tidak berpihak pada rakyat banyak atau kaum papa. Jika mungkin, tentu Pemerintah menghindari kebijakan yang tidak menyenangkan banyak orang ini. Namun, pada suatu kondisi tertentu seperti saat ini, mau tak mau pemerintah terpaksa mengambil langkah yang tidak popular demi kepentingan yang lebih besar.
Bahan bakar minyak (BBM) adalah sumber daya utama dalam pengelolaan negara. BBM telah menjadi kebutuhan premier yang tak dapat ditawar- tawar dalam kebutuhan suatu negara. Dalam pelaksanaan kebutuhan tersebut, negara nampaknya tak dapat menempatkan posisinya bagi masyarakat. Negara, yang pada dasarnya dikelola oleh pemerintah, diklaim tak lagi memihak rakyat lantaran menaikkan harga Bahan Bakar Minyak sesuai keputusan sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat yang tercantum dalam pasal 7 ayat 6 (6a), yang pada intinya akan menaikkan harga BBM 6 bulan semenjak putusan ini ditetapkan.
Melihat fenomena ini, ada semacam kekhawatiran dan keputusasaan pemerintah dalam menempatkan dirinya sebagai instrumen negara yang mengatur hajat hidup orang banyak. Menaikkan harga Bahan Bakar Minyak memang suatu keputusan yang sangat controversial. Hal ini didukung dan di back up oleh banyak versi. Diantaranya ialah versi ekonomi, yang dianggap oleh tak memihak rakyat, versi politik yang menjadikan fenomena BBM sebagai panggung pencitraan partai politik, maupun versi- versi lainnya yang dianggap tak pro terhadap rakyat. Melihat situasi yang demikian, pemerintah hanya memberikan suatu solusi, yaitu memberikan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebagai pengganti upah dari subsidi BBM yang dinaikkan, dari Rp. 4.500/ liter, menjadi Rp. 6000/ liter. Adapun jumlah BLSM yang diberikab kepada rakyat oleh pemerintah ialah sebesar Rp. 150.000/ bulan untuk setiap kepala keluarga. Dari kebijakan ini, muncul lagi suatu animo baru bagi masyarakat yang dianggap sebagai bentuk penjajahan tersdelubung bagi rakyat. Menurut ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarno Putri, dalam statementnya yang penulis tangkap pada suatu diskusi public di salah satu media televisi swasta, TVone,[1] menyatakan bahwa BLSM adalah bentuk pembodohan serta bentuk pemanjaan kepada rakyat. Masyarakat sepertinya dididik untuk tidak menjadi masyarakat yang tangguh, yang selalu bergantung kepada pemerintah, penumbuhan mental cengeng dan tak berani berjuang.
Melihat banyak yang menentang, dilematisasi muncul kembali dalam tubuh birokrat kita. Pemerintah nampaknya semakin “galau” untuk menetapkan kebijakan yang pada kala itu akan ditetapkan pada tanggal 1 April 2012. Pemerintah tak mampu menetapkan kebijakan ini lantaran mendapat pressure ddari berbagai kalangan, terutama aktivis mahasiswa yang turun kejalan dan sebagian diantaranya bertindak anarkis. Secara psikologis, pemerintah dibuat bingung oleh kebijakan yang dicetuskannya sendiri, namun secara realistis, masyarakat butuh kebijakan yang nyata, yang pro kerakyatan, bukan tipu daya untuk memperkaya pribadi ataupun golongan tertentu.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut :
a.       Efek psikologi bagi masyarakat atas kebijakan menaikkan harga BBM.
b.      Efek psikologi Partai Politik dalam menentukan sikap terhadap kebijakan menaikkan harga BBM.
c.       Solusi yang ditawarkan dari fenomena kenaikan BBM.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Efek Psikologi Masyarakat dalam Kebijakan Menaikkan Harga BBM
Dalam mata kuliah Partisipasi Politik, penulis mendapatkan ada semacam teori yang sedikit dapat menjelaskan mengenai cara dan corak masyarakat dalam menentukan pilihan maupun sikap dalam memilih peran atas kebijakkan pemerintah menaikkan hrga BBM. Teori ini bernama Social-Psichological Model (Michigan Model), yaitu suatu teori yang menjelaskan bahwa masyarakat akan dapat memilih dan memberikan perhatian karena ada kesamaan psikologis, adanya aspek psikologis yang satu serta ketergantungan terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam fenomena ini, kebijakan yang dicetuskan pemerintah nampaknya tak memiliki kesinambungan yang cocok bagi situasi psikologis masyarakat Indonesia saat ini. Banyaknya ketidaksamaan keadaan menjadikan rakyat tak siap untuk menerima suatu perubahan yang dinilai cukup drastis tanpa ada pengetahuan (sosialisasi) yang jelas sebelumnya dari pemerintah. Kesalahan yang terjadi sejak dini inilah yang menjadikan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sendiri ini akhirnya “termentahkan” karena situasi psikologis masyarakat yang tak siap. Ini diperkuat atas fenomena harga yang dianggap tak sepadan dan tak sejalan dengan kondisi rakyat. Dalam buku “Subsidi BBM buat (si)Apa?”, yang diterbitkan oleh Kementrian ESDM Indonesia, harga jual Premium dan solar saat ini yaitu Rp. 4500 per liter, jauh lebih rendah dari harga pokoknya. Pemerintah, dalam hal ini, nampaknya sedikit gelisah, karena pemerintah harus menambal kekurangan itu dengan mengambil uang (subsidi) dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Harga minyak dunia dan konsumsi dalam negeri semakin melonjak mengakibatkan subsidi untuk premium dan solar menjadi semakin besar. Dalam menghitung APBN 2012, Pemerintah dan DPR menyepakati harga minyak mentah sebesar US$ 90 per barel sebagai patokan. Kenyataannya, selalam Februari 2012, rata- rata harga minyak mentah sudah  US$ 122, 17 per barel, akibatnya subsidi untuk solar ddan premium sepanjang 2012 diperkirakan akan melonjak ddari Rp. 123,6 triliun menjadi Rp.191,1 triliun. Jika harga minyak dunia naik terus, subsidi akan menggelembung diluar kemampuan anggaran negara. Lantas, pemerintah harus bagaimana? Ya sudah pasti akan menaikkan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) yang semula Rp. 4.500 menjadi Rp. 6.000/ liter nya. Selanjutnya, apakah kebijakan ini dapat diterima oleh rakyat disaat pemasukan mereka pun terbatas? Inilah dilematisasi yang terjadi di awal tahun 2012 ini, dimana terjadi pertentangan antara kebijakan sosial yang tak sejalan dengan psikologis masyarakatnya.[2]
Selanjutnya, aspek psikologis masyarakat semakin kuat dalam menolak kebijakan ini disaat pengaruh kenaikkan BBM ini sedikit memberikan dampak deskriminasi golongan dalam masyarakat. Deskriminasi ini terlihat dikala pemerintah menaikkan harga yang tak dapat dijangkau oleh kaum masyarakat kecil menengah kebawah. Hal ini dipandang sebagai suatu bentuk deskriminasi lantaran pemerintah hanya mengikuti harga minyak dunia yang notabenenya dikuasai pihak asing dan diaplikasikan hanya bagi golongan atas. Artinya, kebijakan ini seyogyanya tak sejalan dengan keadaan masyarakat secara nyata. Dalam suatu diskusi yang penulis ikuti pada tanggal 27 maret 2012, bertempat di gedung A lantai 3 Fisip Undip, terkait dengan isu kenaikan BBM yang diselenggarakan oleh Teknik Industri Undip bekerjasama dengan Kementrian ESDM, membentuk suatu acara diskusi dengan tema “Justifikasi Kenaikan Harga BBM”, menerangkan bahwa sekitar 30% minyak mentah Indonesia diambil oleh pihak asing sebagai “upah” kilang minyak, 30% untuk konsumsi negara, dan 40% nya sebagai bahan baku untuk dijual oleh negara. Berdasarkan hal ini, negara nampaknya telah dijustifikasi langsung oleh pihak asing tanpa sadar karena Indonesia masih terikat kontrak minyak dengan mereka. Dalam konteks ini, Indonesia tak bisa ditempatkan secara “optimistic view”, dikarenakan kebijakan akan kontrak BBM ini bersifat “environmentalist ideology”, dimana hal ini dianggap alamiah tanpa adanya intervensi pemerintah.[3]
Hal lainnya yang mengusik bagi masyarakat ialah penilaian bahwa, BBM merupakan bahan baku bagi berbagai kegiatan, pengaruhnya akan mendorong kenaikan harga umum secara kumulatif. Pengaruh ini akan terjadi melalui beberapa cara yang terjadi secara langsung melalui kenaikan biaya transport. Pengaruhnya secara sangat sederhana dapat dihitung dengan melihat besarnya proporsi biaya BBM dari total biaya transport, karena biaya transport tidak seluruhnya terdiri dari biaya untuk BBM. Kemudian, berapa proporsi biaya transport dari total ongkos produksi? Kalau andainya biaya untuk BBM dianggap rata-rata 50 persen dari total biaya transport dan biaya transport 30 persen dari total biaya produksi, maka pengaruh langsung terhadap kenaikan harga pokok adalah = (0,50 x 0,30) x 0,30 % = 0,05 atau hanya 5 persen. Jurus kedua, melalui pengaruh psikologi. Pengaruh ini sulit dihitung, karena bekerjanya tidak selalu bersifat objektif secara ekonomis, tetapi melalui berbagai pengaruh yang bersifat subjektif. Orang boleh berasumsi, tetapi sulit diperhitungkan secara objektif.[4]
Itulah beberapa analisis terkait dampak psikologi yang terjadi dalam masyarakat akibat kesalahan pengambilan kebijakan bagi masyarakat. Ini tentunya menjadi keresahan yang mengganggu kestabilitas negara serta animo masyarakat terhadap pemerintah.
2.2. Efek Psikologi Partai Politik dalam Menentukan Sikap Terhadap Kebijakan Menaikkan Harga BBM.
Dalam fenomena kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM, ada hal menarik yang sangat mencolok dalam kubu lembaga legislatif Indonesia. Sebagai lembaga yang menjadi partner pemerintah tersebut, tentunya pengambilan keputusan akan kebijakan ini seyogyanya menjadi bahasan mereka sebagai wakil rakyat. Sayangnya, para legislator dalam lembaga legislasi saat ini justru mementingkan kepentingan partai yang diusungnya. Artinya, keputusan partai yang menjadi acuan tanpa mengindahkan amanat rakyat, padahal partai dianggap sebagai representasi golongan yang berjuang hanya untuk kelompok. Ini sesuai dengan teori rational person yang membahas untung rugi, dimana salah satu konsepnya ialah konsep yang membahas mengenai konsep konsistensi kelompok acuan, yaitu seseorang akan lebih cenderung mengikuti kelompok acuannya dalam pengambilan keputusannya. Problematika inilah yang terjadi dalam tubuh legislatif kita saat menentukan sikap terkait kebijakan ini. Bertajuk pada pemberitaan media bahwa Rancangan Undang- Undang ini akan disahkan pada 1 April yang lalu, timbul pro- kontra dalam tubuh lembaga legislasi. Seperti yang kita ketahui, ada 9 fraksi dalam DPR Indonesia. Fraksi koalisi pemerintah terdiri dari 6 fraksi, yaitu Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golongan Karya (GOLKAR), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sementara partai oposisi pemerintah, terdiri dari 3 partai yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), dan Partai Gerindra. Namun, pada saat muncul isu terkait kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM, ada partai- partai yang justru membelot dari koalisi yang seharusnya mendukung kebijakan yang diambil pemerintah, sebut sdaja partai tersebut adalah PKS. Partai ini, sejak awal telah menetapkan ikrar dengan lantang bahwa fraksi mereka bertentangan dengan jalan yang diambil pemerintah. Melihat situasi ini, nampaknya partai- partai Indonesia saat ini tengah dalam rangka mempersiapkan dirinya guna menuju panggung politik akbar tahun 2014 nantinya. Dalam kajian Ilmu Politik, ini disebut Politik Pencitraan. Dalam sebuah tulisan dari Ari Pradhanawati yang tertuang melalui pemikirannya yang berjudul “Perilaku Pemilih di Era Politik Pencitraan dan Pemasaran Politik”, Majalah FORUM Fisip UNDIP edisi Februari 2011 hal. 8, menyatakan bahwa politik pencitraan ( imagologi politic), merupakan sebuah fenomena warisan dari Pemilu Legislatif (Pileg) 2004 dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2004 yang diselenggarakan secara langsung, yang lebih mengutamakan popular votes, yaitu mengutamakan figur kandidat. Namun, pada dasarnya politik pencitraan juga tidak terlepas dari pemasaran politik yang dilakukan parpol atau kandidat yang lebih banyak dibangun dari iklan- iklan politik, dalam hal ini, melalui sikap partai yang ingin terlihat pro terhadap rakyat. Sehingga, dari kasus ini, kita dapat melihat dan menganalisa partai- partai yang ingin mencari sensasi, fantasi ataukah benar- benar mencari solusi. Sifat politik yang selalu dinamis menjadikan partai – partai politik ini sedikit tak jelas menunjukkan sikapnya secara terbuka dalam penyelesaian problematika kenaikkan harga BBM ini. Hal tersebut terlihat pada Sidang Paripurna pada tanggal 30 Maret 2012 yang menghasilkan, 2 partai walk out, satu partai koalisi menolak dan berpihak pada oposisi serta menghasilkan ayat tambahan pada UU no 7 ayat 6, yang ditambahkan ayat 6a, sehingga menambah kisruh dan panasnya situasi politik Indonesia. Sekali lagi, ini adalah permasalahan sikap, persepsi, maupun keyakinan yang mempengaruhi faktor- faktor psikologi partai politik dalam mengedepankan aspirasi rakyat. Menurut Yusril Ihza Mahendra sebagai pakar hukum tata negara dalam diskusi interaktif Indonesia Lawyers Club (ILC) pada tanggal 8 April 2012 menyatakan bahwa, ketika badan legislatif mengikuti usulan Partai Golkar untuk menambahkan pasal 6 menjadi pasala 6a, menimbulkan kesenjangan harga sementara bagi rakyat. Harga bahan baku naik, harga transportasi dan akomodasi semakin naik, harga minyak goreng yang tak ada hubungannya dengan BBM juga ikut naik. Tentunya, BBM belum naik, namun masyarakat sudah merasakan kemelaratan sementara yang menimbulkan kesenjangan kehidupan masyarakat yang tak seperti biasanya. [5] Melihat fenomena ini, dapat disimpulkan bahwa legislatif negeri ini tak pernah mempertimbangkan bahwa kebijakan yang diterapkan ini nantinya tak sejalan apabila memang harus diuji materi dan diaplikasikan dalam implikasi kehidupan masyarakat.
Hal diatas semakin diperkuat oleh pendapat pengamat ekonomi-politik, Ichsanuddin Noorsy, yang menyatakan bahwa menaikkan harga BBM merupakan salah satu bentuk pengkhianatan terhadap bangsa. Menurutnya, menaikkan harga BBM dengan dalih pengurangan subsidi semakin menunjukkan perekonomian Indonesia terperangkap dalam sistem neoliberal. Celakanya, kenaikkan BBM ini sudah masuk ke wilayah politik praktis Amerika Serikat dalam rangka menyokong kandidat Presiden 2014 yang pro-neoliberal. Dengan artian, partai- partai politik saat ini benar- benar telah siap untuk menempatkan dirinya agar tak tersingkir dari “zona aman” sistem perpolitikan negara ini.[6]
Begitu pula halnya dengan asumsi dari Said Zainal Abidin, yang menyatakan bahwa sistem perpolitikkan Indonesia bersifat Subjek Conditional, yaitu  dukungan terhadap pemerintah pada suatu waktu dalam masyarakat. Kalau dukungan kepada pemerintah yang berkuasa sedang baik, pengaruh negatif dari suatu kebijakan kurang terasa. Tapi kalau dukungan masyarakat sedang turun, kelemahan sedikit dari suatu kebijakan akan menimbulkan reaksi negatif yang besar. Aspek lain adalah cara mempresentasikan kebijakan atau pengumuman terhadap kenaikan itu. Kalau pengumuman dilakukan dengan terlebih dahulu menimbulkan pro dan kontra serta persentase kenaikannya besar dan dilakukan secara sekaligus, pengaruh psikologi lonjakan harga umum dipasaran cenderung besar. Besarnya jauh melampau pengaruh langsung yang seharusnya terjadi.[7]
Itulah dilematisasi yang terjadi dalam lembaga legislatif dan sistem perpolitikan Indonesia saat ini, dimana para decision maker kita lebih mengutamakan sistem yang menguntungkan satu golongan tertentu, tanpa melihat dampak yang dirasakan oleh golongan lainnya. Jika diamati pada kebijakan pengurangan subsidi dengan menaikkan harga BBM di Indonesia, hal ini sebenarnya sudah merupakan persoalan rutin yang selalu terjadi hampir setiap tahun dalam masyarakat. Memang sudah begitu sejak dahulu, sampai kini dan mungkin sampai nanti. Sejak Orde Lama, sampai Orde Baru, begitu juga sampai kini dalam Orde Reformasi. Itulah yang selalu dialami oleh bangsa ini. Belum ada suatu inisiatif untuk mendobrak tradisi lama yang mungkin sudah dirasakan mudah dan mendapat keuntungan besar.[8] Sikap maupun pemikiran partai politik diatas lebih menunjukkan kepada hasrat untuk menguasai, menjadikan negeri ini sebagai panggung tirani, serta kepercayaan politik yang masih sangat lemah. Akibatnya, kebijakan yang diambil hanya berupa asumsi yang mengambang dan tak diseleseikan dengan segera oleh pembuat kebijakan tersebut.
2.3. Solusi yang ditawarkan dalam menyikapi Fenomena Kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM
Dalam dinamika pengambilan kebijakan diatas, pemerintah harus sadar dan paham serta kembali meninjau bahwa pengelolaan sektor  Migas Indonesia sepenuhnya diatur dalma UU. No. 22 tahun 2001. Undang- undang ini mengatur bahwa pertamina dan pihak swasta memiliki hak yang sama dalam eksplorasi dan eksploitasi migas Indonesia. Selanjutnya perlu diketahui bahwa ada 16 titik Industri hulu migas di penjuru Indonesia yang dikuasai oleh perusahaan swasta asing. Undang- undang ini sudah dinilai Inkonstitusional karena terdapat tiga ketentuan yang janggal. Pertama, ialah transformasi BUMN dalam bentuk persero yang menyamakannya dengan perusahaan swasta lain. Kedua, perusahaan swasta asing dapat melakukan kontrak eksplorasi dan eksploutasi migas Indonesia selama maksimal 30 tahun dan perpanjangan kontrak minimal 50 tahun. Ketiga, perusahaan swasta asing hanya wajib menyerahkan hasil produksinya maksimal sebanyak 25% untuk kebutuhan dalam negeri. Inilah yang membuat negara kita tidak memiliki kedaulatan energy sehingga tidak memiliki antisipasi yang baik terhadap kenaikan minyak dunia.[9]
Lantas, setelah mengetahui kerumitan UU yang mengatur kebijakan migas Indonesia, mengapa pemerintah hanya diam saja dan menjadi penonton setia atas ketiranian perusahaan swasta asing yang mengobrak- abrik sumber daya Indonesia?. Ini semata- mata karena mental dan kapasitas para decision maker yang masih belum mampu untuk berdikari serta berani (brave) untuk mengambil keputusan sendiri sehingga mengorbankan hajat hidup rakyat yang seharusnya merasakan hasil alamnya sendiri. Program BLSM yang ditawarkan pemerintah kepada rakyat tak lain dan tak bukan sebagai bentuk pengajaran kemunduran mental masyarakat untuk bekerja keras dan berswasembada. Penyamarataan jumlah anggaran yang diberikan kepada rakyat dianggap tidak adil oleh sebagian masyarakat miskin, dengan profesi yang berbeda. Misalnya saja, pemerintah dalam hal ini sama sekali tak menentukan kriteria  masyarakat miskin yang seperti apa. Survey tahun 2009, [10] menyatakan bahwa pada saat pemerintah memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) 2009, jumlah masyarakat miskin naik sebanyak 120%. Saat ini, pemerintah pun kembali tak menentukan kriteria masyarakat miskin Indonesia secara jelas dan pasti. Petani itu masyarakat miskin, nelayanpun masyarakat miskin, tapi apakah kebutuhan minyak seorang nelayan dan seorang petani itu sama? Namun mengapa pemerintah menyamaratakan pembagian iuran BLSM itu sama bagi semua profesi? Secara psikologis, aspek pendapatan modal ( BLSM), menentukan minat dan semangat untuk bekerja bagi setiap profesi. Apabila seorang nelayan yang menggunakan kapasitas minyak yang banyak, sementara seorang petani berbanding terbalik dalam penggunaannya, tentunya akan menimbulkan disintegrasi sosial yang outputnya nanti akan muncul antipasti terhadapa pemerintah. Hal inilah, sama sekali yang tak terpikirkan oleh pemerintah negeri ini.
Meninjau dari pembahasan tersebut, ada beberapa solusi yang seyogyanya dapat ditempuh dan menjadi bahan rujukan pemerintah dalam mengambil kebijakan, antara lain :
1.      Progresifkan kinerja Dewan Energi Nasional dalam proyek diversifikasi energi yang targetnya tercapai pada tahun 2025.[11]
2.      Segera wujudkan kedaulatan energi, agar terciptanya kemapanan sosial yang mampu bersaing dengan negara lain, cita- cita ini dapat ditempuh dengan revisi UU. No. 22 tahun 2001 tentang migas.
3.      Optimalkan kinerja pemerintah dan lembaga legislatif dengan optimalisasi pendapatan negara dari sektor migas untuk dikembalikan lagi dalam bentuk subsidi kepada rakyat.
4.      Cegah kebocoran APBN yang 70% nya berpotensi dari anggaran belanja barang pemerintah, agar dapat dialokasikan ke subsidi yang bermanfaat.
5.      Terapkan kebijakan yang pro rakyat, jauh dari passion politik untuk menguasai agar terciptanya Indonesia yang bebas intrik, Indonesia yang berdulat serta pro kerakyatan.
Demikianlah solusi yang ditawarkan dalam penanggulangan masalah yang mengatur hajat hidup orang banyak. Secara psikologis, rakyat pada dasarnya tak membutuhkan penerapan secara tekstual, melainkan suatu kebijakan yang ketika mereka mendapatkan masalah, kebijakan tersebut dapat membantu dan turut andil dalam penyelesaiannya. Namun, pemerintah republik ini belum mampu mewujudkan dinamika kebijakan yang selaras dan seimbang dengan keadaan rakyat Indonesia.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, penulis menyimpulkan bahwa aspek psikologis sangat berpengaruh terhadap cara pengambilan keputusan bagi kelangsungan hajat hidup masyarakat. BBM merupakan bahan baku bagi berbagai kegiatan, pengaruhnya akan mendorong kenaikan harga umum secara kumulatif. Pengaruh ini akan terjadi melalui beberapa cara yang terjadi secara langsung melalui kenaikan biaya transport. Pengaruhnya secara sangat sederhana dapat dihitung dengan melihat besarnya proporsi biaya BBM dari total biaya transport, karena biaya transport tidak seluruhnya terdiri dari biaya untuk BBM.
Secara  psikologis, pemerintah seyogyanya dapat ditunjukkan dengan memahami terlebih dahulu kondisi dan keadaan masyarakat Indonesia agar pemerintah dapat menentukan sikap dan kebijakan yang pas, terukur (Measurable) dan tepat sasaran. Dalam kondisi Indonesia saat ini, menaikkan harga subsidi,  tak lain dan tak bukan dapat menimbulakn disintegrasi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang tentunya akan mengganggu stabilitas pemerintahan Indonesia.
3.2. Saran
Pemerintah sebagai pengatur kehidupan berbangsa bernegara, harus capable dan credible dan mengaplikasikan sebuah kebijakan. Secara sosial budaya, sebagai negara yang multicultural, ketidaksamaan persepsi dapat menyebabkan perpecahan dan perbedaan visi. Akibatnya, akan muncul disintegrasi dan ketidakteraturan sosial dalam dinamika bermasyarakat. Sehingga, disarankan pemerintah untuk lebih peka dan memahami bahwa dinamisasi yang terjadi dalam masyarakat, tidak hanya dilakoni oleh suatu golongan saja, melainkan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, karena apabila ada ketidakadilan, maka akan mengganggu psikologi dan passion masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Auliarahman, Reza. 2012. Penyelamatan APBN atau mengorbankan Kepentingan Rakyat Kecil. Semarang : Buletin BEM KM UNDIP edisi Maret 2012
Tabloid Hitam Putih “ Kenaikan Harga BBM ditunda?” edisi 1 bulan April 2012
Kementerian ESDM Indonesia, “ Subsidi buat (si)Apa?”,Menjelaskan Kenaikan Harga Premium dan Solar. 2012. Jakarta
Majalah FORUM FISIP UNDIP edisi 1 Februari 2011. Politik Pencitraan dan Pemasaran Politik. Semarang : Fisip Undip
Pradhanawati, Ari. 2011. Perilaku Memilih di Era Politik Pencitraan dan Pemasaran Politik. Semarang : Tabloid FORUM Fisip Undip
Fitriah MA dalam Kuliah Partisipasi Politik : Prilaku Memilih Masyarakat Indonesia
www.google.com/ Badan Pusat Statistik 2012
Said Zainal Abidin. 2012.  “Pengaruh kebijakan menaikkan harga”, : Detik.com



[1] Diskusi Interaktif tanggal 27 maret 2012 di TVone
[2] Disadur dari buku “Subsidi untuk (si)Apa?” hal. 2.
[3] Ideologi environmentalist, merupakan salah satu pemikiran Jean Jacques Rousseau yang menekankan pada ketiadaan intervensi pemerintah akan semakin baik bagi masyarakat, Namun, bagi Indonesia, apabila tak ada campur tangan pemerintah, justru semakin merajalelanya eksploitasi kekayaan negara oleh pihak asing.

[5] Yusril Ihza Mahendra dalam ILC tanggal 8 April 2012.
[6] Disadur dari tabloid Hitam Putih BEM KM UNDIP edisi Maret 2012.
[8] Said Zainal Abidin dalam “Pengaruh kebijakan menaikkan harga”, Detik.com
[9] Reza Auliarahman dalam “Penyelamatan APBN atau Mengorbankan Kepentingan Rakyat Kecil”, Tabloid Hitam Putih BEM KM UNDIP edisi Maret 2012
[10] Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012
[11] Buletin Hitam Putih BEM KM UNDIP edisi Maret.

1 komentar:

  1. terimakasih banyak kak , sangat membantu :)
    smoga bermanfaat ..

    BalasHapus