Senin, 19 Januari 2015

Cerita Pertama: Cadel Itu Istimewa


Dari 26 abjad di dunia, aku paling tidak bisa menyebutkan huruf “R”. Padahal mulut kita sama, mampu bersuara, terkecuali mereka yang berkebutuhan khusus (bisu) sejak lahir. Saat usiaku masih belia, (karena pada saat menulis cerita ini usiaku sudah “lumayan” tua, tapi tidak terlalu tua untuk bersanding dengan kalian yang muda- muda), aku berbicara layaknya balita dan sangat takut dengan kosa kata yang memiliki huruf “R”. Misalnya kata “kerumah” akan menjadi “kelumah”, “sayur”  menjadi “sayul” dan “ular” menjadi “ulal”. Terdengar aneh memang, tapi itulah aku. Pribadi yang cuek dan gak peduli dengan apa yang orang bilang, kecuali mereka menyinggung tinggi badan. Ya, selain cadel, pertumbuhan badan ku tergolong terlambat. Entah tumbuh kembang badanku terlambat bangun, ataukah dijalanan macet hingga harus terlambat sampai kepadaku. Layaknya alasan- alasan klasik orang- orang masa kini yang kerap terlambat. Tapi tak ada alasan aku harus marah dengan semua itu, karena aku meyakini bahwa kemuliaan seseorang diukur seberapa cerdas ia mengerti sesuatu. Banyak orang yang tinggi, ganteng, bisa ngomong “R” tapi kalau diajak bicara, berdiskusi, berfikir, masyaAllah lemotnya bukan main. Tapi ada pula orang yang berkekurangan, gak ganteng, gak tinggi, tapi kalau diajak diskusi akan sangat mempesona. Cieeeee… Hahaha. Tengok saja Pak Jusuf Kalla, Napoleon Bonaparte, Hitler, mereka pendek semua tapi menjadi orang yang luar biasa. Pak JK sudah jadi Wakil Presiden 2 kali dalam 2 periode, Napoleon Bonaparte berhasil menguasai Prancis dan menaklukkan Eropa. Bahkan ada yang mengatakan, bahwa Napoleon harus berjinjit untuk mengalungkan medali kepada prajurit berprestasinya. Lain lagi dengan Hitler, ia tak perlu tinggi badan untuk menaklukkan sepertiga Eropa, meskipun sendirian. Merinding kan?
Kita kembali lagi kepada urusan yang berkaitpaut dengan Cadel. Kalian kalau lihat orang cadel bagaimana sih? Gokil kan? Aku dulu cadel, dan berteman dengan banyak orang cadel. Saat kami berinteraksi dan berkomunikasi, aku suka tertawa terbahak- bahak dengan kalimat yang ia keluarkan, begitupun sebaliknya. Kami memiliki dunia kami sendiri yang orang lain belum tentu bisa menikmatinya. Artinya, kesenangan itu kita yang buat, bukan mereka, bukan orang lain, tapi kita. Orang- orang tersebut, aku yakin dan semoga kalian pun meyakini justru memiliki rasa percaya diri yang tak ada habisnya. Ingat kawan, rasa percaya diri (PeDe) adalah investasi jangka panjang yang tak merugikan. Kalau kamu PeDe, maka jangankan mereka, duniapun akan berada dalam genggamanmu! Hal tersebut telah aku buktikan dan sangat manjur manfaatnya. Meskipun cadel, aku adalah siswa berprestasi. Dari lomba pidato, lomba mengarang sampai lomba bawa lari sendok aku selalu jadi juara, kalau gak juara satu ya bisa juara dua atau tigalah. Tergantung lombanya apa dulu, kalau aku suka, pasti aku menang. :D
Pernah suatu ketika, seorang guruku datang ke kelas. Saat itu aku kelas 5 SD.
“Permisi bu, Joni ada?” sapa Bu Endang kepada Bu Yul, Guru yang mengajar hari itu.
“Ada…, Jon?” Panggil Ibu Yul. Saat itu aku sedang mengerjakan tugas.
“Ya, bu” Jawabku.
“Joni, ikut saya ke ruang guru, sekarang!” Perintah Bu Endang. Deg! Jantungku mau copot. Aku bertanya- tanya dalam hati, wanita mana lagi yang aku tolak cintanya sehingga aku harus ke ruang guru? Hahaha.
Akupun bangkit dari tempat duduk, dan mulai mengikuti Bu Endang keruang guru. Jarang ruang kelasku dan ruang guru mungkin hanya 10 meter, tapi deg- degan nya itu bikin langkahku terasa 1000 meter. Jauuuuuh sekali. Aku yakin, teman- teman pun pernah merasakan hal yang sama. Dipanggil guru, tapi tak diberi tahu sebab musababnya. Bagi kalian yang popular di sekolah mungkin pernah merasakan, tapi bagi kalian yang tidak, I’m sorry yaa. :p
Sampailah aku didepan ruang guru. Bu Endang langsung duduk dan berkata, “Ini orangnya!” Aduh, kenapa lagi ini. Jantung sudah megap- megap ini. Kalau cuma karena buang sampah sembarangan tadi pagi, tak mungkin seserius ini. Didalam ruangan tersebut, telah hadir Wali Kelas, Kepala Sekolah dan beberapa guru. Semuanya melotot kepadaku. Biasanya kalau ada orang yang melotot, aku melotot balik! Ayahku pernah berkata, kau tidak boleh kalah dalam pandang- memandang! Tapi kalau aku melotot balik, dikeluarkan aku dari sekolah.
“Ayo Joni, duduk disini” Bu Endang mempersilahkanku duduk.
“Begini Jon, sekolah kita akan mengikuti lomba baca puisi. Hasil kesepakatan kami, kamu yang akan mewakili” ujar Bu Endang. Duh, lomba baca puisi? Adakah kecocokan dari aku yang bertampang garang bak Sylvester Stalonne dalam serial Rambo ini diminta baca puisi? Yakin aku gempar dunia. Tampang sudah Rambo, badan security, diminta pula baca puisi berdayu- dayu macam Hello Kitty. Mau jadi apa sekolahku. Tapi tak apalah, akan kucoba. Demi nama baik sekolah, aku maju ke medan juang. Hahaha. Selepasnya aku dari ruang guru, hatiku lega bukan kepalang. Tapi jujur, kini jika mendengar nama Endang dan Yul, hatiku suka berdesir sendiri. Bukan karena mereka nama guruku, tapi dulu aku punya mantan kekasih dan namanya Endang dan Yul. Cerewet minta ampunlah mereka. Suka pusing aku dibuatnya, kalau ada yang bernama sama, aku akan jauh- jauh. Ini namanya Trauma Cinta Masa Lalu!
Sampailah berita itu dirumah. Aku tak tahu Ibuku tahu darimana berita ini. Bagi beliau, anaknya ikut lomba beliau bangganya bukan main. Ikut lomba adalah kebanggaan, perkara menang itu bonus, yang penting kau dikenal orang. Ah, filosofi ini cocok sekali seperti filosofi caleg- caleg yang sedang kampanye. Tak apa kau rugi saat kampanye, asal kau dikenal orang. Ternyata caleg- caleg itu menggila bersumber dari filosofi Ibuku, bukan main. Tetapi, ada gurat risau di wajah beliau. Rasa antusias yang menurutku lebay yang biasanya ditunjukan oleh beliau tak nampak hari itu. Ada apa gerangan wahai iIbu? Tanyaku dalam hati. Selepas sholat magrib, Ibu bertanya padaku.
“Kau ikut lomba apa?” tanyanya.
“Baca puisi, bu” Jawabku.
“Bisa kau?” Tanyanya lagi.
Aidaaah, kalau cuma baca bu, semua orang bisa” Jawabku santai.
“Nah! Itu yang Ibu pikirkan daritadi. Mengapa engkau? Kalau cuma sekedar baca, seperti katamu dan semua orang bisa, mengapa engkau?” sahut Ibu, ada nada khawatir kutangkap dari kalimatnya.
“Memangnya kenapa bu? Membacaku tak baik kah?” Tanyaku dengan polos.
“Kau sudah tidak cadel, sudah bisa ngomong lancar, hm?” Sebut Ibuku.
“Oh” pekikku. Pelan, nyaris tak bersuara, tapi sakitnya sangat terasa. Dalam, menimbulkan kelam. Benar kata Ibu, mengapa aku? Kalau cuma alasan membaca lantas mengapa aku. Ada setitik embun di sudut mataku saat itu, untung saja temaramnya lampu rumah kami mampu menyembunyikannya.
“Baiklah, besok akan kusampaikan kepada Bu Endang, aku diganti saja” Jawabku mantap.
“Jangan” Sahut Ibu, Sendu.
“Majulah, disaat yang lain tengah bermimpi, kau diberi kesempatan untuk memberi, maka berikanlah yang terbaik. Mereka adalah gurumu, mereka paling paham akan kemampuanmu. Majulah” Ibuku melarangku untuk mundur. Dari sekian banyak orang yang kuhormati, kata- kata Ibu adalah warning keras dalam hidupku. Saat aku bimbang, aku mengadu pada Ibu. Saat Ibu setuju, mantaplah hatiku. Saat beliau menolak, gundahlah jiwaku. Dalam hidup, laki- laki diberi kesempatan untuk diikuti dan tunduk pada mahkluk Tuhan yang beranama perempuan. Laki- laki akan diikuti oleh Istrinya, dan akan tunduk pada Ibunya. Maka pilihlah perempuan yang akan mengikutimu dan berbaktilah pada perempuan yang membuatmu tunduk kepadanya.
“Baik, bu” Sahutku mantap. Malam itu, kubuktikan bahwa semangat seorang anak terletak pada Ibunya. Meskipun dunia menertawai, tapi Ibu akan mendampingi. Embun disudut mata, mulai menetes. Pertanda malam sudah mulai larut, dan jiwa harus segera surut menuju peraduan. Aku bergegas tidur, karena mulai besok, aku tak hanya sekolah, tapi mulai belajar cara menaklukkan dunia, belajar mengalahkan rasa takut yang paling dalam. Sudah kukatakan, cadel itu istimewa bukan?
Esok harinya aku mulai berlatih membaca puisi. Guru- guruku pun tahu aku cadel, tapi bagi mereka ini tidak masalah. Adalah seorang guru yang bernama Ibu Sugiyati, beliaulah yang selalu menjadi mentorku dalam setiap perlombaan. Orangnya cantik, tapi sangat tegas. Aku tidak ada masalah dengan hal tersebut, yang menjadi masalah ialah puisi yang akan kubawakan. Judulnya adalah Pahlawan Tak Dikenal, karya Toto Sudharto Bachtiar. Berikut puisinya :
PAHLAWAN TAK DIKENAL
Oleh: Toto Sudarto Bachtiar
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang
Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda

Langkahku gontai, bibirku keluh, tenggorokanku meradang. Ada 27 kata yang menggunakan huruf “R”, ada 27 kata yang membuatku harus menahan nafas dan diminta untuk tidak melawan. Membaca puisi lebih sulit daripada berpidato karena membutuhkan penghayatan yang maksimal. Aku diminta menyelami kembali makna puisi yang bercerita tentang perjuangan pergerakan kemerdekaan. Bagaimana bisa? Aku saja sudah susah bergerak macam buaya ditinggal kawin pasangannya, galau ditepi sungai dan ditemukan mati mengambang karena putus cinta. Hahaha
Satu minggu lamanya aku berlatih membaca puisi, satu minggu pula aku menjalani kursus rutin belajar melapalkan huruf “R” dengan ayahku. Beliau menyarankan bahwa perkara tidak bisa menyebutkan huruf “R” ialah karena lidahku kurang panjang dan tak bisa bergetar. Saban hari, kursus ini selalu dilakukan setelah sholat subuh. Ini masalah? Tidak! Masalahnya adalah untuk membuat lidahku bergetar, aku harus makan cabe, karena rasa pedas pada cabe akan membuat lidahku mudah bergetar. Ini teori belum memiliki hak paten, tapi aku dipaksa melakukannya. Ini namanya kekerasan pada anak, tapi ini kekerasan yang kunikmati.
“Ayo makan cabenya” perintah Ayahku.
“Baik pak” sahutku. Mulailah cabe berwarna merah maroon kumasukkan ke mulutku. Untuk rasa dan akibatnya, tak perlu kuceritakan. Kawan- kawan pastinya pernah merasakan pedasnya rasa cabe, tapi tidak sambil melapalkan huruf “R” bukan?. Nah, yang lebih pedas lagi adalah melihat cabe- cabean, dan kita digodanya. Ah, itu pedasnya double.
Maka mulailah aku melapalkan huruf “R” dengan perlahan- lahan. “E, er, e, eeer, rrrrr” Ayahku mencontohkan cara pengucapannya. Itulah ritual kami setelah sholat subuh, sepanjang hari selama seminggu. Disaat dzikir ditutup dengan doa- doa, maka mulailah Ayah ke dapur, mengambil beberapa buah cabe dan menyerahkannya padaku. Akupun juga berlalu kedapur, mengambil segelas air dan setoples gula sebagai penawar rasa pedas. Mana mungkin kubiarkan mulut terasa panas dan air liur meleleh tumpah tanpa mampu dihentikan sembari mengucapkan “E, er, e, eeer, rrrrr”. Ini benar- benar penyiksaan, tapi begitulah orang tua. Mereka tahu seberapa banyak porsi “penyiksaan” diberikan kepada anaknya agar menjadi pribadi berkualitas kelak. Akupun sudah bisa membuktikan manfaatnya, beberapa tahun setelah ritual aneh tersebut kugeluti.
Seminggu berlalu, tibalah hari perlombaan. Acara digelar di Stadion sepak bola daerah kami, namanya Stadion Brang Biji Sumbawa. Lomba baca puisi merupakan rangkaian dari beberapa acara dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia. Malam puncak digelar dengan pesta rakyat dan beberapa lomba- lomba, diantaranya lomba baca puisi dan lomba pidato. Kusesalkan pula mengapa aku tak ikut lomba baca pidato saja. Karena dengan demikian, aku tak perlu makan cabe selepas sholat subuh. Bukan huruf “R” yang kudapat, melainkan rasa panas di lambung dan berakhir di toilet, berjam- jam pula lamanya. Perlombaan pun dimuali, MC telah membuka acara. Aku adalah kontestan ke lima, dari sepuluh kontestan yang hadir pada perlombaan tersebut. Dari kesepuluh kontestan, kulihat hanya ada dua orang yang berjenis kelamin laki- laki. Meskipun demikian, menurutku hanya aku yang laki- laki, karena kawan laki- laki itu tak mau lepas dari gendongan Ibunya. Ia selalu merengek- rengek meminta dibelikan ini dan itu. Hingga inguspun masih dibersihkan oleh Ibunya. Jadi kupastikan ia bukan laki- laki tulen, karena laki- laki tidak berlaku demikian. Bagiku ia tak lebih dari laki- laki KaWe versi anak- anak. Hahaha
Empat kontestan sebelumnya sudah tampil dan sangat memukau. Tiga perempuan, dan kawan laki- laki ku tadi. Telah kulihat penampilannya, akibat kesalahan membaca sebuah kata ia diteriaki penonton. Maklum, penonton didaerah kami luar biasa serunya, termasuk luar biasa gaduhnya. Tak usah sebut sepak bola, menonton adu layangan hingga menonton lomba baca puisi anak- anak saja gaduhnya bukan main. Kalau dalam sepak bola, wasit salah meniup peluit, habislah dosa wasit tersebut akibat sumpah serapah supporter kami. Begitupun pula dengan lomba baca puisi ini, bedanya sumpah serapah tak keluar dari mulut mereka, namun hanya berupa ejekan yang cukup layak diberikan kepada anak- anak. Kesalahan pembacaan kata oleh kawan KaWe ku tadi nampaknya fatal untuknya. Ia disoraki hingga kakinya gemetar. Kulirik Ibunya, ia menelungkupkan kedua tangan di dada, takut anaknya kalah mental. Dan benar adanya, belum habis bait ketiga puisi, anaknya meraung- raung, menangis mencari Ibunya. Bukannya diam, penonton malah tertawa terpingkal- pingkal. Ibunya melompat ke podium, memeluk anaknya. Naluri seorang Ibu tak pernah salah, sekaligus tak pernah menyerah. Dari perilakunya kita belajar tentang pengorbanan dan arti cinta sesungguhnya. Pada momen tersebut, aku tidak tertawa karena dalam hati Ibuku pun akan berlaku demikian jika keadilan tidak berpihak padaku. Tetapi mau tak mau, akupun ikut menikmati meskipun hanya ditandai dengan sebuah senyuman. Ini hiburan menurutku, untuk menghilangkan rasa gugup yang sedari tadi membuat dada ini tak hentinya ber-marching band.
Tibalah giliranku, namaku dipanggil dengan lantang. Penonton riuh bertepuk tangan, sebelumnya mereka sudah melihatku ikut lomba pidato dan merekapun tahu kapasitasku. Bagi penonton, lomba apapun sama saja karena yang mereka cari adalah hiburan yang dapat menghilangkan beban hidup, meskipun sejenak. Aku naik menuju podium, kuraih pengeras suara dan mulai menghela nafas. Aku mulai melihat penonton, dan kucari Ibuku. Aku butuh beliau melalui senyumannya, dan kudapati beliau di sudut podium, dengan santai menatapku sembari tersenyum. Begitu anggun, sangat mempesona buatku. Ku mulai membaca puisi tersebut dengan penuh penghayatan.
“Pahlawan Tak Dikenal, Kalya Toto Sudhalto Bachtial” Sontak! Penonton tertawa terbahak- bahak. Aku bimbang, aku mulai goyah. Belum sempat aku menghunus pedang, aku telah ditikam terlebih dahulu. Belum sempat aku menghela nafas, aku telah mati terkapar. Ibu, mana Ibu? Aku harus mendapatkan suntikan semangat sebelum laga ini berakhir. Kembali kudapati Ibu, masih dengan posisi yang sama. Begitu tenang, anggun dan santai. Beliau tersenyum dan hanya menganggukkan kepala. Seeeerrr! Aku merinding, Ibu yang begitu tenang telah mengajariku arti ketenangan hanya dengan anggukan kepalanya. Maka mulai saat itu, aku masa bodoh. Aku tak peduli penonton akan tertawa, meraung, menangis, aku tak peduli! Harus kutuntaskan hasratku agar tak menjadi penyakit hati yang berkepanjangan. Kubacakan puisi tersebut dengan lantang, “Senyum bekunya mau belkata, KITA SEDANG PELANG!!!” Dengan segenap keberanian aku melawan tirani dalam diri. Aku tak boleh diperbudak, dan menyerah hanya karena huruf “R”. Kumulai dengan senyum Ibu dan lafaz bismillah dalam hati. Puisi usai, kuakhiri dengan hamdallah. Kulihat penonton, nampak cukup puas dengan penampilanku. Dalam hati, mereka tak puaspun aku tak peduli. Ini adalah peperangan antara aku dan rasa takutku. Lega rasanya disaat aku tampil sebagai pemenang atas diri sendiri. Urusan menang lombanya, sesuai saran Ibu itu hanyalah bonus.
Sepuluh peserta telah tampil. Kawan KaWe ku yang sedari tadi menangis telah reda tangisnya. Kuperhatikan, nampak gula- gula salju digenggamannya. Benar- benar bukan laki- laki tulen, ucapku dalam hati. Dewan juripun telah selesai berembug dan telah menentukan siapa yang menjadi juaranya. MC mulai mengumumkan, akupun takzim mendengarnya.
“Berdasarkan keputusan dewan Juri, menetapkan SDN 2 Sumbawa sebagai Juara Pertama” Penonton riuh luar biasa. Kulihat pemenangnya, seorang perempuan. Langkahnya anggun, menarik menurutku. Ini penilaian anak yang masih belia, masih lugu tanpa embel- embel tertentu. Hehehe.
“Juara Kedua, diraih oleh SDN Karang Dima” Penonton bertepuk tangan kembali. Pupus harapanku untuk menjadi juara. Sekali lagi pikirku, ini hanyalah bonus.
“Juara Ketiga, SDN 11 Sumbawaaaaaaaaa” Aku terdiam, itu adalah sekolahku. Aku juara tiga. Penonton riuh bukan main, lebih riuh dari sebelumnya. Aku adalah juara tiga, juara baca puisi tingkat kabupaten. Juara baca puisi yang seorang laki- laki karena biasanya selalu dimenangkan oleh perempuan. Juara baca puisi dengan perjuangan keras makan cabe selama seminggu. Amboi, benar- benar moment yang tak terlupakan. Kurasakan Ibu memelukku, begitu hangat. Akupun naik kembali keatas podium, guna menerima piala dan penghargaan lainnya. Belum usai acara, tiba- tiba terdengar tangisan keras. Kawanku yang KaWe tadi, menangis sejadi- jadinya lantaran ia tak menjadi pemenang. Kulihat Ibunya telah bersimbah peluh untuk menenangkannya. Benar- benar bukan laki- laki sejati! Masih anak- anak saja sudah menyusahkan seorang wanita. Bukan main..
Sesampainya aku dirumah, kulaporkan pada Ayah, mentor kursus dalam mengatasi cadelku. Kusampaikan kalau aku juara 3. Ayah hanya magut- magut, dan dengan santai beliau berkata, “Ayah tahu kau akan juara tiga, tidak lebih!”
Akupun terheran- heran, “Ayah tahu darimana?”
Ayah menjawab, “Dari jumlah cabe yang kau makan tiap pagi. Itu kurang banyak! Seandainya kau makan cabe lebih banyak, kau pasti juara satu!”

Aku hanya geleng- geleng kepala J