Kamis, 26 Januari 2012

Susu Kuda Liar sebagai Kewirausahaan Lokal Masyarakat Sumbawa dalam Cerminan Tatanan Etika Global


Entrepreneur sebagai suatu langkah awal manusia untuk mencapai keinginan dan mencukupi kebutuhan, telah memberikan suatu gambaran ringkas bahwa segala sesuatu dapat dicapai jika setiap pelaku usaha memiliki niat dan kemauan yang kuat. Di tengah era globalisasi, persaingan yang besar, tantangan yang kuat, telah memberikan suatu gambaran nyata kepada para pelaku usaha untuk memberikan suatu kontribusi efektif bagi masyarakat dengan memberikan suatu pola hubungan timbal balik, antara kebutuhan masyarakat dengan kapasitas yang dimiliki oleh pelaku usaha. Langkah ini akan terwujud, apabila setiap pelaku usaha memiliki suatu strategi jitu serta semangat juang yang tinggi terhadap suatu persaingan, agar muncul suatu keseimbangan efektif dan adanya pola hubungan dagang yang masiv, tanpa ada rasa untuk saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya.

Sumbawa, merupakan suatu negeri antah-berantah bagi masyarakat Indonesia yang sangat terkenal akan susu kudanya sebagai sources pendapatan serta peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Susu yang dimaksud disini, merupakan hasil perasan langsung masyarakat sumbawa yang berprofesi sebagai pencari susu, terhadap kuda- kuda liar yang hidup bebas pada habitatnya, ditengah padang sabana yang membentang sepanjang pulau Sumbawa. Ada keunikan yang menonjol disini, dimana kegiatan ini selain sebagai sumber pendapatan, juga sebagai corak tatanan budaya yang sinergis dalam rangka mensinergikan kearifan lokal di daerah. Pada dasarnya, setiap budaya memiliki kekhasannya tersendiri, namun dalam konteks ini, Sumbawa tak hanya menjadikan Susu Kuda Liar sebagai sebuah komoditi, melainkan suatu aktualisasi penerapan nilai dan norma, urgensi hukum maupun penerapan Pancasila secara kedaerahan.

Selanjutnya, berbicara mengenai kewirausahaan ataupun entrepreneur di tengah globalisasi saat ini, nampaknya Indonesia tengah bergelayut, terjerumus, terjebak dalam praktik kapitalisme dari globalisasi itu sendiri. Indonesia tak mampu lagi mensinergikan serta menyeimbangkan ataupun menyelaraskan kearifan lokal didaerah, sebagai filterisasi ataupun local genius dalam perkembangan globalisasi itu sendiri. Misalnya saja, dampak dari kapitalisme ialah, masyarakat Indonesia pada umumnya, ataupun masyarakat Sumbawa khususnya, akan lebih merasa nyaman dan senang mengkonsumsi susu produk luar negeri daripada susu yang dihasilkan didaerahnya sendiri. Selain terkesan elegan, alasan lainnya ialah lebih aman ataupun sekedar menunjukkan gengsi. Degradasi inilah yang menyebabkan suatu komoditi didaerah menjadi termentahkan, lantaran konsumerisme masyarakatnya lebih ganas daripada eksistensi etika moral mereka. Sekarang, kita merujuk pada kejadian atau peristiwa yang tengah bergejolak didaerah kita, ditanah kita sendiri, yaitu di Bima misalnya. Suatu ketidakpuasan akibat konsumerisme elit masyarakat, ditambah minusnya protection rakyat sekitar, akhirnya menimbulkan konflik yang tercermin dari pergolakan kaum proletariat (buruh) dengan kaum borjuis (pemilik modal) yang pada akhirnya mengakibatkan rakyat terabaikan, kearifan lokal hilang serta nilai dan norma dianggap semu, sehingga tatanan kenegaraanpun ikut terseret. Lantas, ini salah siapa? Konsumerisme globalisasi dan kapitalismelah jawabannya. Dimana kedua hal ini adalah sumber kekuatan penggerak dalam segala dimensi era ini. Kapitalisme muncul sebagai kekuatan besar, namun nyatanya juga memiliki cacat cela yang tak terbantahkan, yaitu tak semua pemilik modal mampu mengakomodasikan modalnya dalam sektor yang menjanjikan.

Oleh karena itu, perspektif masyarakat sumbawa yang selalu menjargonkan “ Samawa Mampis Rungan”, sudah selayaknyalah dijadikan paradigma dan landasan untuk bergerak, berderap dan melaju dalam mensinergiskan dinamika tatanan kehidupan global masyarakat Sumbawa, agar nilai dan kultur, serta karakter daerah tak “termentahkan” seiring mengganasnya dampak negatif globalisasi. Peningkatan sektor usaha, serta penguatan masyarakat menengah, adalah landasan pacu pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam tataran yang lebih baik. Susu kuda liar, adalah prospek yang jelas serta menjanjikan masyarakat Sumbawa untuk mengenalkan, mempromosikan serta menjadikannya sebagai icon daerah guna menunjukkan sinergisitas masyarakat Sumbawa yang nyaman nyawe, lema balong mampis rungan....

Sabtu, 21 Januari 2012

Tunggulah Sayang


Sabarlah Ibu,
Anakmu kan pulang, tapi tidak sekarang..
Jalan yang ditempuh masih sangat panjang..
Belukar dan kerikil pastikan menghadang..
Walaupun pertolongan Allah pasti selalu terbentang...

Tenanglah Ayah,
Anakmu takkan pernah jengah..
Walaupun jalan ini harus dibayar dengan darah..
Tapi aku takkan pernah menyerah menengadah..
Dan aku tak kenal kata untuk mengalah..

Istiqomalah Cyntaa...
Perjalanan ini adalah bagian  romantika..
Walaupun dimensi ruang dan waktu kita yang berbeda..
Tapi asaku kan selalu menyala..
Dan gumamku selalu berkata...Selamat datang Cinta...

Senin, 09 Januari 2012

Siluet Pergerakan..


Mengapa engkau diam, kawan..
Saat negerimu yang menawan harus diam tertawan..
Merajuk asa dan harapan dalam epiknya belaian..
Menangis, meraung,  diam tanpa perlawanan...

            Dimana pedulimu, wahai ikhwan...
            Saat empat pilar syaitan menyebrangi ufuk ditengah ketenangan..
            Terangkum dalam kebencian, kesombongan, keserakahan dan ketidakadilan..
            Bersemi dan bergeliat dalam siluet kegelapan..

Kami butuhkan semangatmu, wahai akhwat..
Saat yatim- yatim itu menjadi penjahat..
Menyeruak dalam tipu daya dan muslihat..
Dalam dinginnya buaian malam yang pekat..

            Apa jadinya negeri ini, sayang,,,
            Semangat yang hilang dalam bayang- bayang..
            Bergelayut menjadi asa yang hilang,,
            Saat pergerakan ini tengah terbuai dalam tidur yang panjang..


Ditulis dalam bayang malam...
10 Januari 2012, pukul 01.01

Joni Firmansyah
Mahasiswa Semester 3 Ilmu Pemerintahan Fisip Undip..

Aktualisasi Elemen Gerakan dalam Bingkai Pergerakan


Ditengah dinamika politik yang selalu berderap dan melaju, eksistensi pergerakan elemen mahasiswa saat ini berada pada titik degradasi yang kontradiksi dengan tujuan luhur pergerakan. Dalam kurun dekade terakhir ini, selalu muncul stigma yang menjadi paradigma yang mengglobal dalam benak masyarakat Indonesia. Segala bentuk aksi, diplomasi serta demo-demo dijalan, dipandang sebagai suatu bentuk anarkisme mahasiswa yang tak paham etika, tak paham norma serta tak mampu merasakan indahnya estetika. Masyarakat selalu memberikan judgement negatif atas segala kondisi mahasiswa yang selalu dianggap sebagai agen perubahan, nnamun tak memiliki semangat “moral’ untuk berubah. Masyarakat tak peduli akan background pergerakannya, baik itu yang nasionalis seperti GMNI, atau HMI maupun KAMMI. Mereka tak peduli, asalkan ada aksi, artinya anarkisme tengah terjadi.
Ini memang ironi, namun kita tak sepenuhnya menyalahkan masyarakat saat ini. Sebagai agen perubahan yang mengerti kondisi masyarakat, serta paham alur gerakan, harusnya kita lebih mawas diri dan sedikit melihat, apakah gerakan kita telah memenuhi apa yang dipikirkan oleh masyarakat?. Misalnya saja dinamika yang terjadi dalam pergerakan dakwah. Saya adalah kader dakwah. Saya berjuang dalam aktualisasi pergerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Namun, apa yang saya rasakan sekarang, nyatanya jauh bertolak belakang dari apa yang sudah saya bayangkan terdahulu. Dalam aktualisasi aksi, terlihat bahwa para kader saat ini lebih melihat untuk bergerak hanya dalam ranah politik praktis dikampus, hanya memikirkan gerakan (KAMMI) saat terjadi pemira dikampus, membangun konsolidasi sana-sini, manipulasi itu-ini dan lainnya. Mereka tidak kalah dengan para pejabat anggota DPR yang urusannya manipulasi sana dan sini, rebutan kursi serta mensetting dinamisasi partai. Jadi, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa saat ini adalah pejabat-pejabat politik yang punya kartu mahasiswa.
Pada dasarnya, ini dinamika, kawan. Namun apa yang telah terjadi saat ini sama sekali tak menunjukkan bagaimana kader dakwah itu seutuhnya. Terlalu ambisius namun pada akhirnya melempem seperti KPK. Dalam suatu diskusi politik dengan teman- teman dari elemen gerakan lain, ada sebuah paradigma menarik yang menyatakan, setiap orang yang menginginkan jabatan, hanya ada dua hal yang dipikirkannya, apakah ia bekerja karena ambisi, ataukah karena sense of duty (keinginan untuk bekerja). Dalam konteks ini, nampaknya kita mampu dan bisa membedakan apakah kader kita benar- benar bekerja atas keinginan sendiri ataukah memang hanya karena ambisi, hanya karena reputasi, hanya karena ingin dianggap sebagai politisi yang mumpuni, praktisi ulung, namun pada akhirnya hanya bisa melempem, lesu di tengah- tengah dan hilang dari edaran pergerakan. Kita tentunya tak ingin hal itu terjadi.
Oleh karena itu, dalam sebuah tulisan sederhana ini, penulis sedikit beretorika mengutip kata-kata hebat dari bapak Inu kencana syafiie dalam bukunya “Filsafat AlFatihah”, bahwa apapun yang dilakukan anak manusia dimuka bumi ini, haruslah sesuai dengan akal logika, moral etika dan seni estetika, agar legitimasi pergerakan kita tetap diridhoi Allah SWT, diterima dalam dinamika masyarakat serta berdampak pada kemajuan umat serta mampu merubah wajah dunia dalam eksistensi Agama Allah yang hakiki. Wassalam

Joni Firmansyah
Kader KAMMI KOMISARIAT FISIP UNDIP
Mahasiswa Semester 3 Jur. Ilmu Pemerintahan.
087863585656