Salah
satu bentuk kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengentaskan
kemiskinan ialah dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada rakyat
miskin di Indonesia. Dalam fenomena ini, pemerintah mengucurkan dana tunai/
dana langsung yang diterima oleh masyarakat melalui aparatur pemerintahan yang
sebelumnya telah melakukan survey terkait penduduk mana saja yang berhak
menerima dana tersebut. Kebijakan ini dilakukan untuk merangsang pertumbuhan
ekonomi bagi masyarakat kecil dan menengah untuk meningkatkan taraf hidup
mereka, mengingat masih banyaknya penduduk yang dikategorikan miskin di
Indonesia.
Secara
historis, kebijakan pemerintah terkait dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT)
tersebut diakibatkan semakin bertambahnya jumlah masyarakat miskin di
Indonesia, walaupun sebenarnya jumlah penduduk miskin pada orde baru menunjukkan
penurunan di setiap tahun. Pada tahun 1976 jumlah penduduk miskin mencapai 54,2
juta (40,08%) , pada tahun 1987 menurun menjadi 30 juta (17,42%), pada tahun
2006 sebelum krisis tinggal 22,5 juta (11,3%), namun setelah krisis ekonomi
sampai pertengahan tahun 1998 jumlah penduduk miskin mencapai 79,8 juta
(BPS,1998). Jumlah penduduk miskin sebenarnya menunjukkan penurunan pada tahun
2003-2005, namun pemerintah menaikkan harga BBM secara berlebihan (sekitar
100%) pada bulan oktober 2005 sehingga berdampak pada meningkatnya jumlah
penduduk miskin di Indonesia. Tercatat jumlah penduduk miskin pada bulan maret
2006 melonjak menjadi 39,05 juta, padahal pada bulan februari hanya sebesar
35,1 juta jiwa, dan saat ini, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 mencapai 29,13
juta orang (11,96 persen), berkurang 0,89 juta orang (0,53 persen) dibandingkan
dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49
persen).[1]
Penyebab
kemiskinan di Indonesia sangat beragam, dimulai dari pendidikan yang rendah,
etos kerja yang kurang, hingga budaya konsumerisme yang tinggi serta korupsi
yang tumbuh subur. Itulah mengapa pemerintah memberikan dana BLT sebagai
“perangsang” perekonomian masyarakat. Namun, imbas dari kebijakan ini justru
menciptakan budaya malas bagi masyarakat itu sendiri. Rakyat, pada akhirnya
menjadikan BLT sebagai harapan untuk memenuhi kebutuhan dan hajat hidup mereka.
Akibatnya, bukan sebuah peningkatan ekonomi yang terjadi, namun justru etos
kerja masyarakat yang semakin menurun. Kebijakan ini ternyata semakin
mempersubur budaya korupsi di daerah. Hal ini tercermin dalam pengalokasian
dana BLT yang diberikan kepada masyarakat. Ada sebuah stigma, bahwa proses
kolusi terjadi dalam pengaplikasian kebijakan ini. Misalnya, penduduk yang
mendapatkan bantuan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan aparatur yang
berwenang, walaupun penduduk tersebut tidak tergolong miskin. Ini diperkuat
dengan tidak adanya standarisasi yang diberikan pemerintah terkait kriteria apa
saja yang ditetapkan sebagai penduduk miskin. Walaupun pemerintah telah
menetapkan penduduk miskin ialah mereka yang menurut Badan Pusat Statistik
(BPS) mendefinisikan garis kemiskinan
dari “besarnya rupiah yang dibelanjakan
untuk memenuhi kebutuhan komsumsi setara dengan 2.100 kalori per kapita per
hari ditambah kebutuhan pokok lainnya seperti sandang pangan, perumahan,
kesehatan.” [2]
Kebijakan
penanggulangan kemiskinan melalui BLT, secara umum masih terdapat banyak
kelemahan. Setidaknya ada empat kelemahan dalam penerapan kebijakan BLT yang
telah dilaksanakan oleh pemerintah. Pertama, kebijakan BLT
dilaksanakan secara seragam (general) tanpa melihat konteks sosial, ekonomi,
dan budaya disetiap wilayah (komunitas). Kedua, definisi
dan pengukuran kemiskinan lebih banyak di pengaruhi pihak luar (externally
imposed) dan memakai parameter yang terlalu ekonomis. Implikasinya adalah
konsep penanganan kemiskinan mengalami bias sasaran dari hakikat kemiskinan itu
sendiri. Ketiga, penanganan program pengentasan kemiskinan
mengalami birokratisasi yang dalam, sehingga banyak yang gagal akibat belitan
prosedur yang terlampau panjang. Keempat, kebijakan
penanganan kemiskinan sering ditumpangi oleh kepentingan politik yang amat
kental sehingga tidak mempunyai muatan atau makna dalam penguatan perekonomian
masyarakat miskin.
Kebijakan
BLT nyatanya belum cocok mengatasi permasalahan ini, sehingga kebijakan itu
tidak berhasil karena program yang dirancang dalam pengentasan kemiskinan tidak
sesuai dengan kebutuhan yag diperlukan masyarakat miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar