“Mengutas
Kemandirian dalam Dinamika Integrasi Peradaban”*
Joni Firmansyah**
Pemerintahan
sebagai suatu disiplin ilmu merupakan bentuk afiliasi simsbiosis mutualisme
yang saling menguntungkan dan saling ketergantungan antara kebutuhan rakyat
terhadap keresahan problematika minim ataupun miskinnya sosok seorang pemimpin.
Menurut romantisme sejarah, pemerintahan dalam bahasa Arabnya disebut Hukumat, dibeberapa negara dunia,
pemerintahan tidak dibedakan. Inggris menyebutnya Government, dan Prancis menyebut Gouvernment, yang keduanya dari perkataan latin, Gubernacalum. Tetapi, di Amerika Serikat
disebut Administration, sedangkan di
negeri Belanda, mereka mengartikan Regering
sebagai penggunaan kekuasaan negara oleh yang berwenang untuk menentukan
keputusan dan kebijaksanaan dalam rangka mewujudkan tujuan negara, dan sebagai
penguasa menetapkan perintah- perintah.
Melihat
perkembangan dinamika Ilmu Pemerintahan di Indonesia saat ini, ada suatu
ketidakseimbangan antara realitas fakta integritas tehadap kajian ilmu secara
teoritis. Artinya, Ilmu Pemerintahan di Indonesia hanya “ada” sebagai sebuah
simbol yang tak berkontraksi terhadap eksistensi perjalanan bangsa. Dalam
konteks ini, kita bisa melihat Indonesia dari sisi kemandirian sosial
masyarakatnya secara general yang memandang ilmu pemerintahan dengan sebelah
mata, minoritas, maupun kawakan marginalitas dalam masyarakat. Kita tidak bisa
menitikberatkan Ilmu Pemerintahan sebagai suatu sistem kaderisasi yang gagal
manakala kegagalan itu berada pada proses pengkaderannya yang absurd. Jika kita
berkaca pada dinamika struktur Indonesia yang cenderung bersifat integralis,
kekuasaan yang dibagi- bagi dengan asumsi bahwa baiknya kekuasaan itu tak
dikuasai oleh segelintir orang yang nantinya menimbulkan ketiranian, nyatanya justru
melemahkan sistem kemandirian Ilmu Pemerintahan dikarenakan adanya sikap dan
sifat rivalitas antar generasi. Jadi, suatu kemandirian akan tercapai manakala
ada sinkronisasi antara generasi tua dan generasi mudanya yang terbentuk dan
tercipta dalam suatu network atau
jaringan yang membentuk tapal batas ide dan norma sosial yang dijadikan acuan.
Konsep ini sudah terbukti dan menjadi romantisme sejarah para founding fathers Ilmu Pemerintahan dalam
menularkan animo dan stigmatisasi untuk generasi selanjutnya. Konsep yang sudah
dilakoni oleh Socrates yang mendidik Aristoteles hingga Plato, Karl Marx yang
mendidik Lenin dan Stalin, Dr. Sun yat sen yang mengilhami Soekarno, hingga
Rasulullah yang mengkader Abu bakar, Umar Bin Khattab dan Ali Bin abi Thalib
sehingga mampu menciptakan suatu peradaban yang terhebat yang pernah tercatat
dalam sejarah. Semua founding fathers
tersebut, benar- benar menerapkan ilmu secara konseptual, bukan sebagai rivalitas
diantara mereka.
Hal
ini tak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh seorang Jusuf Kalla dalam
sebuah pidatonya bahwa suatu kemandirian akan muncul dan hanya terjadi apabila ada
singkronisasi antara kajian ilmu yang strategis terhadap para pemilik modal.
Dengan artian, Indonesia takkan pernah bisa mandiri tanpa adanya sokongan dari
luar, yang tentunya dengan kesepakatan yang jelas serta menguntungkan diantara
keduanya. Begitupun halnya dengan disiplin Ilmu pemerintahan yang takkan pernah
bisa mandiri apabila seluruh generasinya bergerak dan berderap secara
individualistis, karena arah dan alur tujuan negara bergantung pada generasi
yang secara aplikatif mempelajari ilmu pemerintahan sebagai landasan ideology
mereka. Apabila generasi ini bergerak secara individual, tentunya negarapun
akan bergerak dengan cara yang sama, sehingga yang ada bukan hanya disiplin
ilmu yang tak mandiri, melainkan wadah yang dalam hal ini disebut negara yang
tak mandiri juga, sehingga hanya menghasilkan negara autopilot semata.
*Disampaikan dalam rangkaian acara
National Governance Day 2012, UNPAD 17- 22 April 2012
** Mahasiswa Ilmu Pemerintahan
Fisip Undip Angk. 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar