Kamis, 27 Juli 2017

Analisis Kebijakan Pemerintah dan Peran Aktor non Pemerintah dalam Proses Implementasi Kebijakan

Studi Kasus: Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia
Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Layak Trayek sebagai Implementasi Undang- Undang no. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Oleh: Joni Firmansyah (Pascasarjana Ilmu Politik UI)

I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
            Berbagai macam upaya telah dilakukan sebagai alternatif masyarakat dalam menggunakan moda transportasi. Misalnya untuk menghadapi kondisi kemacetan Jakarta dibangun transportasi massal seperti, Bus Transjakarta (Busway) dan APTB (Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway). Kemudian untuk diperkeretaapian telah dioperasikan Commuter Line untuk Jabodetabek, dan baru-baru ini adalah Mass Rapid Transit Jakarta (Moda Raya Terpadu) yang masih dalam proses pembangunan. Hal tersebut dilakukan guna mencapai kriteria konsep smart city yang bertujuan dapat mengurai kemacetan di Jakarta. Namun ternyata hal itu belum cukup untuk menangani permasalahan tersebut. Dalam mecapai kriteria dalam konsep kota pintar perlu didukung oleh teknologi yang pintar pula terutama dalam menghadapi kondisi kemacetan.[1] Guna mengatasi persoalan tersebut, muncullah beberapa inovasi yang berbasis teknologi didalam bidang transportasi. Diantaranya adalah Ubertaxi, Grab, GOJEK dll yang dapat diakses melalui sarana internet. Namun rupanya, perkembangan teknologi di Indonesia diikuti oleh tidak siapnya masyarakat Indonesia yang "dipaksa" untuk memahami dan mengikuti perkembangan zaman. Munculnya beberapa penolakan dari beberapa kalangan, menunjukkan bahwa masih ada resistensi dan tidak akurnya antara perkembangan teknologi dan kondisi sosial masyarakat.
            Pesatnya perkembangan aplikasi online mengenai angkutan seperti dua sisi mata uang. Aplikasi berdampak pada kondisi lalu lintas tidak tertib dan memunculkan kontroversi di masyarakat. Karena itu, pemerintah perlu menyusun peraturan soal aplikasi online tersebut. Di sisi lain, teknologi aplikasi online angkutan saat ini memanjakan masyarakat dalam mendapatkan transportasi yang mudah, murah, dan cepat. Perkembangan aplikasi online berbasis android harus dibarengi peraturan yang mengikat untuk mendukung aplikasi tersebut, sehingga para stakeholder atau pebisnis aplikasi tidak seenaknya membuat aplikasi.[2]
            Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Layak Trayek merupakan suatu aturan pemerintah yang bertujuan untuk mengatur, mengakomodasi dan mengelola moda transportasi yang berbasis online, sebagai jawaban atas perkembangan era teknologi yang terus meningkat dengan pesat. Beberapa bulan yang lalu, sempat terjadi selisih paham dan konflik antara para driver moda transportasi publik, yaitu antara para driver transportasi konvensional (taxi, bajai, angkot dll) dengan driver moda transportasi online (uber taxi, grabbike, gojek dll). Perselisihan ini mengerucut pada beberapa isu. Pertama, aspek legalitas dari moda transportasi online yang dianggap ilegal karena tidak memiliki payung hukum. Mereka dianggap sebagai pendatang baru yang tidak paham aturan dan cenderung liar. Kedua, aspek pendapatan. Transportasi online bagi sebagian masyarakat dinilai lebih efisien dan ekonomis. Harga yang dicantumkan lebih cocok dikantong masyarakat, daripada transportasi konvensional yang penuh akan negosiasi terlebih dahulu. Kondisi ini kemudian membuat transportasi online lebih banyak diminati ketimbang transportasi konvensional. Sehingga, perolehan pendapatan dari para driver transportasi konvensional jauh lebih sedikit dan berkurang. Kondisi ini kemudian membuat para driver konvensional protes karena "pasar" mereka mulai mendapat saingan.
            Atas gejolak yang begitu panjang tersebut, akhirnya mendesak pemerintah untuk segera turun tangan didalam menyelesaikan problematika tersebut. Setelah melalui beberapa proses mediasi dan negosiasi, akhirnya ditetapkanlah suatu peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan untuk mengatur moda transportasi online di Indonesia. Peraturan Menteri Perhubungan tersebut tertuang dalam PM no. 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Layak Trayek. Peraturan Menteri ini didasari oleh beberapa pertimbangan, yaitu Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5025), Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587), serta beberapa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri.[3] Beberapa undang- undang dan peraturan- peraturan tersebut kemudian menghadirkan Peraturan Menteri Perhubungan sebagai bagian dari kebijakan pemerintah, baik untuk kesejahteraan warga masyarakat maupun menciptakan efisiensi ruang lingkup pasar di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
            Hadirnya Peraturan Menteri Perhubungan no. 32 Tahun 2016 tersebut, merupakan angin segar bagi beberapa stakeholder dan pemilik bisnis moda transportasi online. Dengan adanya Peraturan Menteri tersebut, akhirnya mereka memiliki payung hukum untuk menjalankan bisnisnya tanpa harus merasa was- was atas beberapa resistensi yang pernah terjadi. Namun demikian, ada beberapa kecacatan didalam formulasi kebijakan ini. Kecacatan ini nampaknya menjadi sebuah hal yang patut untuk dibicarakan lebih mendalam, terkait izin moda transportasi online serta payung hukum yang berada diatas mereka. Pertama, hadirnya Peraturan Menteri ini terkesan hadir secara diam- diam. Hal ini dipertegas oleh Harian Umum KOMPAS yang menyebutkan bahwa:[4]
            "Permen ini terkesan diam-diam karena tiba-tiba muncul di laman publikasi produk           hukum di situs resmi Kemenhub, tanpa ada informasi tentang uji publik saat masih          menjadi rancangan peraturan menteri (RPM), layaknya PM-PM lainnya."

Kondisi ini tentunya kemudian menimbulkan tanda tanya, terkait posisi yang diambil oleh pemerintah sebagai aktor pembuat kebijakan yang terlihat tergesa- gesa. Entah pemerintah mungkin menyadari jika kondisi ini dibiarkan berlarut- larut, ditakutkan akan menimbulkan polemik yang lebih jauh. Sehingga pemerintah mengambil langkah pragmatis dengan cara mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) tanpa mempertimbangkan Undang- Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dimana menurut pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, dalam sebuah FGD yang membahas terkait moda transportasi online menyebutkan bahwa, " Pilihannya cuma dua, benahi undang-undangnya (UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan) atau larang."[5] Dari sini, nampak bahwa pemerintah justru tidak melihat Undang- Undang sebagai suatu instrumen penting yang harusnya lebih dahulu diperhatikan, kemudian mendesak Lembaga Perwakilan atau DPR untuk merevisi undang- undang tersebut. Pemerintah, sebagai aktor politik, menyadari jika harus merevisi undang- undang, nampaknya akan memakan waktu yang cukup lama.
            Kedua, aspek selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah tidak diikutsertakannya jenis kendaraan bermotor roda dua didalam Peraturan Menteri Perhubungan no. 32 Tahun 2016. Hal ini dikarenakan, menurut Direktur Jenderal Perhubungan Darat Pudji Hartanto Iskandar, moda roda dua tidak dianggap sebagai kendaraan umum dalam UU.[6] Padahal menurut pasal 1 UU no. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan pada poin 7, 8, 9 dan 10:
7. Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.
8. Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel.
9. Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.
10. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran."
            Dari pengertian diatas, pada poin 7, undang- undang tersebut tidak secara jelas menyebutkan jenis kendaraan apa saja yang termasuk kendaraan bermotor, dan jenis- jenis kendaraan apa saja yang boleh dijadikan sebagai sarana transportasi umum. Karena seperti yang kita ketahui, moda roda dua adalah jenis kendaraan bermotor dan hingga saat ini umumnya digunakan oleh 2 orang dan mulai digunakan sebagai alat transportasi umum, dan undang- undang ini tidak mengaturnya.
            Adanya kesimpangsiuran didalam undang- undang tersebut, rupanya menuai kejelasan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. Didalam pasal 3, pada poin 1 dan 2 PP tersebut, disebutkan bahwa:
(1) Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan:
a. Kendaraan Bermotor; dan b. Kendaraan Tidak Bermotor.
(2) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan dalam:
a. Sepeda motor; b. Mobil Penumpang; c. Mobil Bus; dan d. Mobil Barang.
Dari penjelasan diatas, maka sepeda motor sebagai moda transportasi roda dua, masuk dalam kategori kendaraan bermotor, tetapi tidak juga disebutkan secara eksplisit apakah sepeda motor masuk sebagai kategori kendaraan bermotor umum atau tidak, karena kedua peraturan tersebut tidak menjelaskan hal tersebut. Padahal, pada poin 1 di PP tersebut, disebutkan bahwa kendaraan bermotor masuk dalam kategori angkutan orang, tetapi mengapa tidak dijelaskan sepeda motor yang sebagai angkutan orang, dapat pula dijadikan sebagai angkutan umum. Karena tak adanya kejelasan, maka Permenhub no. 32 tahun 2016 kemudian mengadopsi bahwa kendaraan bermotor, yaitu sepeda motor tidak termasuk didalam keputusan permenhub tersebut. Padahal, saat ini justru kendaraan bermotor roda dua menjadi salah satu solusi dari beberapa masalah transportasi, diantaranya adalah kemacetan.
            Karena adanya ketimpangan hukum dan selisih pendapatan, membuat pihak pengelola transportasi online mendesak untuk adanya peraturan yang mengatur hajat hidup mereka. Di sisi lain, ada pula pihak dari transportasi konvensional yang meminta agar transportasi online dihapuskan saja. Setelah melalui kisruh, hingga demonstrasi, yang panjang, tanpa suara atau secara diam- diam, muncul suatu Peraturan Menteri yang melegalkan adanya transportasi online, dengan mengecualikan kendaraan roda dua. Tentu saja peraturan ini kembali menimbulkan sengketa, karena driver roda dua masih dalam posisi ilegal. Kondisi ini kemudian menghadirkan beberapa asumsi terkait Permenhub yang tidak mengakomodasi kepentingan orang banyak dan proses pengambilan keputusan untuk menjadi suatu kebijakan yang terlihat tergesa- gesa, karena desakan dari beberapa pihak.
            Hadirnya beberapa pihak, seperti halnya kelompok paguyuban transportasi darat, kelompok atau komunitas Grabike, Komunitas GOJEK dan sebagainya, memberikan tekanan yang cukup serius sehingga dapat mendorong hadirnya suatu kebijakan publik, meskipun tidak menyelesaikan seluruh masalah. Permasalahan ini akan dianalisis didalam paper singkat ini terkait aktor- aktor non pemerintah mana saja yang terlibat didalam pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan serta bagaimana reformulasi dari kebijakan tersebut, agar dapat diterima oleh semua pihak, meskipun kebijakan tersebut tidak mampu memuaskan semua golongan.
            Berdasarkan uraian diatas, maka penulis menyusun 2 pertanyaan untuk menguraikan fenomena tersebut:
1. Bagaimana aktor- aktor non pemerintah dan masyarakat sipil serta kelompok kepentingan ikut berpengaruh didalam pembentukan permenhub no. 32 tahun 2016 tersebut?
2. Bagaimana reformulasi yang semestinya dilakukan untuk memaksimalkan implementasi kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan tersebut?
1.3. Kerangka Teoritis
1.3.1 Teori Analisis Kebijakan Publik
            Thomas R. Dye menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah mencari tahu apa yang dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukannya, dan apa bedanya. Analisis kebijakan sering dibatasi oleh perselisihan sifat masalah sosial, oleh subjektivitas dalam interpretasi hasil, dengan keterbatasan desain penelitian kebijakan, dan dengan kompleksitas perilaku manusia.[7] Membuat atau merumuskan suatu kebijaksanaan, apalagi kebijaksanaan negara, bukanlah suatu proses yang sederhana dan mudah. Hal ini disebabkan karena terdapat banyak faktor atau kekuatan- kekuatan yang berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijaksanaan negara tersebut. Suatu kebijaksanaan negara dibuat bukan untuk kepentingan politis (misalnya guna mempertahan kan status quo pembuat keputusan) tetapi justru untuk meningkatkan kesejahteraan hidup anggota masyarakat secara keseluruhan.[8]
            Meskipun tidak harus berkaitan dengan kepentingan politik, tetapi justru kebijakan publik selalu bersinggungan dengan proses- proses politik.[9] Hal ini dikarenakan 2 hal yang menjadi alasan mengapa kedua hal tersebut saling berkaitan. Pertama, karena ada barang dan jasa publik, dimana sifat barang dan jasa membutuhkan tata kelola bersama. Karena ada tata kelola bersama itulah, dibutuhkannya lembaga politik yang memiliki otoritas untuk mengatur arus barang dan jasa, yang dalam hal ini adalah pemerintah, DPR dan lembaga negara lainnya. Kedua, dengan memperhatikan lahir dan hadirnya negara. Hal ini dapat ditinjau dari hadirnya kontrak sosial yang disampaikan oleh John Locke dan J.J Rousseau, dimana hadirnya negara ialah sebagai pelindung dan penjamin isu krusial umat manusia, yaitu ketentraman dan kenyamanan. Karena setiap manusia membutuhkan ketentraman dan kenyamanan itulah, maka hadirlah negara sebagai suatu entitas politik untuk menjamin hal tersebut. Itulah singgungan antara urusan politik dan urusan publik, dimana didalam fenomena hadirnya transportasi online dapat dijadikan salah satu pisau analisis, atas cacatnya peraturan kementerian perhubungan yang hadir sebagai payung hukum dari fenomena tersebut.
1.3.2. Teori Aktor
            Aktor atau figur memainkan peran yang krusial didalam proses kebijakan publik.[10] Aktor didalam formulasi kebijakan terdiri atas 2 tipe. Pertama, tipe outside. Mereka berada diluar pemerintahan tetapi memiliki peran yang cukup dominan untuk mengawal pemerintahan dan mendesak pemerintahan. Didalam tipe ini adalah kelompok kepentingan, Non- Government Organization (NGO), Media Massa, Kelompok Profesional dan Lembaga Internasional. Kedua, tipe inside. Mereka yang termasuk didalam kelompok ini adalah aktor penting didalam formulasi kebijakan dan pelaksana dari implementasi kebijakan. Mereka yang termasuk didalam kelompok ini adalah Eksekutif/ Birokrasi, Lembaga Perwakilan dan Lembaga Yudikatif.
            Didalam menganalisis aktor- aktor didalam pengambilan kebijakan, terdapat 5 jenis aktor. Pertama, aktor rasional, yang berusaha untuk mencapai beberapa target yaitu akurat dalam identifikasi masalah, memperhitungkan faktor yang akan muncul terkait permasalahan, dan kritis didalam mencari program alternatif. Kedua, aktor politik yang ditandai dengan proses kompromi dan tawar menawar didalam pengambilan keputusan. Ketiga, aktor organisasi yang menegaskan peran penting organisasi dalam pengambilan keputusan dan tunduk pada SOP yang telah ditetapkan oleh organisasi. Keempat, aktor elit, merupakan kelompok yang sangat kuat dan jumlahnya terbatas namun memiliki pengaruh yang luas dimana kekuatan yang mereka miliki dipergunakan untuk melindungi kepentingan dan kekuasaan yang mereka miliki. Kelima, aktor istimewa, yang mengakui peran kepribadian dalam politik. Faktor- faktor seperti kemampuan pribadi, keterampilan komunikasi, kharisma dan sebagainya menjadi poin penting yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembuatan kebijakan.
            Didalam menganalisis peran aktor non pemerintah tersebut, tentu saja akan hadir beberapa kelompok masyarakat yang memposisikan dirinya kedalam bentuk para aktor- aktor tersebut. Sehingga nantinya akan dapat diidentifikasi peran apa yang mereka lakukan didalam proses hadirnya kebijakan publik tersebut.
1.3.3. Teori Civil Society/ Masyarakat Sipil
            Chazan dalam Triwibowo menyebutkan bahwa civil society adalah kelompok- kelompok asosiasi yang bisa berfungsi sebagai pengerem kekuasaan negara (sehingga dengan sendirinya selalu berseberangan dengan negara), sebagai perantara yang budiman antara kepentingan negara dan aspirasi lokal, atau sebagai rangkaian kelembagaan sosial yang saling berinteraksi antarsesamanya dalam suatu struktur formal yang bisa memfasilitasi atau menghambat tata kelola negara.[11]
            Berbicara mengenai civil society, maka kitapun harus memahami yang dimaksud dengan gerakan sosial. Gerakan sosial merupakan bentuk aktivisme civil society yang khas. Gerakan sosial menjadi khas karena aktor- aktor yang terlibat diikat oleh identitas kolektif yang dibangun diatas dasar kebutuhan dan kesadaran akan keterhubungan (connections). Habermas menyebutkan bahwa gerakan sosial adalah 'ruang antara' (intermediary space) yang menjembatani civil society dengan negara. Melalui ruang tersebut, gerakan sosial mampu mempolitisasi civil society tanpa harus mereproduksi kontrol regulasi dan intervensi seperti apa yang dilakukan oleh negara. Dalam pandangan Melucci, proses politisasi dalam 'ruang antara' itu telah memampukan gerakan sosial untuk menyampaikan pesan mereka kepada masyarakat secara keseluruhan dan kepada aktor politik diluar civil society. Maka gerakan sosial adalah sumber harapan (source of hope) bagi revitalisasi demokrasi menghadapi perkembangan masyarakat yang makin kompleks, yaitu suatu tatanan yang lebih didominasi oleh social forces daripada social classes. Di negara berkembang, menurut Kauffman saat mengamati bentuk- bentuk gerakan populer akar rumput di tujuh negara (Kosta Rika, Republik Dominika, Kuba, Nikaragua, Jamaika, Chile, dan Haiti) menyimpulkan bahwa gerakan- gerakan tersebut bisa menjadi wadah bagi pengorganisasian, pemberdayaan, dan mobilisasi bagi kaum yang tertindas untuk melawan penindas serta menjadi wahana bagi perubahan menuju tatanan masyarakat yang lebih demokratis. Gerakan sosial di negara berkembang, tidak hanya di Amerika Latin namun juga di Asia Tenggara, secara mendasar telah menempatkan bekerjanya sistem serta struktur politik dan pemerintahan yang demokratis sebagai tujuan utama yang harus diwujudkan.[12]
II. PEMBAHASAN
2.1. Peran Aktor Non- Pemerintah dan Masyarakat Sipil dalam Implementasi Kebijakan Publik
            Adanya penolakan dan resistensi oleh beberapa pihak yang tergabung dalam beberapa organisasi para pengemudi transportasi konvensional yang melakukan beberapa aksi penolakan terhadap kehadiran transportasi online tersebut, melibatkan beberapa pihak. Salah satu organisasi tersebut adalah Paguyuban Pengendara Angkutan Darat (PPAD) yang mengklaim bahwa aksi penolakan yang disampaikan oleh para pengemudi transportasi konvensional tersebut merupakan suatu upaya untuk melihat kembali posisi transportasi online yang tidak mengikuti aturan yang berlaku. Sebagai masyarakat sipil, mereka memprotes akan adanya penyelenggaraan transportasi online didalam wilayah kerja mereka. Aksi penolakan tersebut bukanlah yang pertama. Dalam beberapa waktu terakhir, di beberapa tempat telah ada kasus yang memberitakan bagaimana terjadi resistensi antara kedua pengemudi kendaraan tersebut yang sampai kepada tahap adu fisik. Hingga sampai kisruh antara taksi reguler dengan taksi berbasis aplikasi masih belum menemui titik temu yang melegakan. Terbukti dari aksi demonstrasi para sopir taksi reguler yang menunjukkan ketidakpuasan atas sikap pemerintah yang belum tegas.[13]
            Didalam melihat fenomena tersebut, ada beberapa peran dari para aktor non- pemerintah yang tergabung didalam kelompok kepentingan, civil society maupun organisasi lainnya yang menarik untuk diulas. Beberapa dari mereka memainkan peran didalam hadirnya Peraturan Kementerian Perhubungan no. 32 tahun 2016 serta dalam implementasinya. Pertama, para pengemudi transportasi konvensional yang tergabung dalam beberapa paguyuban dan kelompok kepentingan lainnya. Mereka memainkan peran sebagai aktor organisasi, meskipun langkah penolakan yang mereka lakukan tidak mencerminkan standar operasional dari organisasi manapun. Tetapi, tujuan dari aksi tersebutlah yang mencerminkan bahwa mereka adalah aktor organisasional. Mereka mendesak pemerintah untuk menghapuskan transportasi online karena tidak resmi, tidak jelas, tidak terikat dengan pemerintah dan tidak dilindungi oleh payung hukum apapun. Mereka melihat justru dengan hadirnya transportasi online, membuat pasar mereka lebih sempit dan persaingan menjadi lebih ketat. Mereka mengedepankan asas kepatutan karena mereka berada dibawah organisasi bisnis yang dilindungi oleh undang- undang dan hukum yang berlaku. Atas dasar inilah, transportasi online semisal taxi online dan kendaraan roda dua online dinilai tidak taat aturan, dan organisasi bisnis yang memayungi mereka tidak tertib organisasi karena tidak terikat pada peraturan apapun.
            Kedua, aktor non- pemerintah selanjutnya adalah para pemodal dan pemilik perusahaan. Dalam hal ini adalah pemilik Uber Taxi, Grab maupun GOJEK. Peran mereka tidaklah boleh dilupakan karena posisi mereka sebagai top management dari hadirnya transportasi online tersebut. Mereka dapat digolongkan sebagai aktor politik. Hal ini dikarenakan posisi mereka yang mengedepankan proses tawar- menawar dan negosiasi. Masih eksisnya kendaraan berbasis online sampai hari ini merupakan bukti bahwa mereka memiliki bargaining position yang kuat, padahal Peraturan Kementerian Perhubungan ini baru akan dijalankan pada bulan Oktober yang lalu, sementara Permenhub tersebut telah dikeluarkan sejak April 2016. Bahkan, kendaraan roda dua tidak termasuk didalam permenhub dan UU tetapi hingga hari ini masih eksis dan beroperasi. Artinya, mereka mampu bernegosiasi dengan pemerintah untuk selanjutnya mengamankan kepentingan mereka. Pada titik ini, para pemilik modal tersebut dapat pula dikategorikan sebagai aktor elit dengan jumlah yang terbatas namun mampu mengamankan kepentingan mereka sendiri. Kebijakan tersebut kemudian memberikan gambaran bahwa sebelum diimplementasikan saja, sudah menunjukkan ada bagian yang kurang dan harus dibenahi. Seharusnya fokus pemerintah adalah Undang- Undang no. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dimana implementasi kebijakan dari UU tersebut masih menuai kontroversi.
            Ketiga, para driver kendaraan online itu sendiri. Didalam hal ini, posisi para driver tersebut lebih kepada interest group atau kelompok kepentingan. Sebagai masyarakat sipil, merekapun menuntut adanya kejelasan aturan terkait profesi tersebut. Mereka pun turut serta mendesak para pemangku kebijakan untuk segera mengeluarkan suatu peraturan agar mereka dapat dinyatakan legal. Dalih mereka adalah bahwa perkembangan teknologi tidak dapat dihentikan dan masyarakat harus siap dalam penyesuaian tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa aksi demonstrasi para driver tersebut, tetapi aksi itu justru tidak ditujukan langsung kepada pemerintah, melainkan kepada perusahaan tempat mereka bernaung. Mereka kemudian meminta kepada perusahaan agar menjalin kerjasama dan komunikasi dengan pemerintah atas nasib mereka selanjutnya. Mereka pun melakukan beberapa ancaman, yaitu dengan mogok kerja serta tetap melakukan demonstrasi. Dari kejadian tersebut, mereka mencoba untuk membuka ruang antara diri mereka sendiri dan pemerintah, agar aspirasi mereka dapat didengar dan kebijakan dapat segera direalisasikan. Didalam menganalisis fenomena hadirnya Permenhub tersebut, terdapat tiga aktor penting yang bermain sesuai dengan role player mereka masing- masing. Tujuannya adalah untuk mencari kejelasan hukum atas nasib mereka masing- masing. Dimana tentu saja kejelasan hukum ini hadir, tetapi tidak dapat memuaskan semua pihak, terutama pihak pengemudi kendaraan konvensional yang meminta agar transportasi online dihapuskan.
            Dalam hal ini, pemerintah sebagai aktor penting, juga menyadari bahwa ada kekurangan pada diri mereka. Hal itu dipertegas oleh Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan yang menyatakan bahwa pemerintah tidak mengantisipasi berkembangnya teknologi yang membuat moda transportasi berbasis aplikasi menjamur seperti saat ini. Dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak diatur tentang adanya ojek online seperti GOJEK.[14] Hal ini menunjukkan bahwa implementasi UU tersebut masih ada kecacatan dan tidak mengakomodasi seluruh pihak terkait. Sehingga pemerintah segera mengambil langkah- langkah strategis, namun dinilai tidak pas, yaitu mengeluarkan Peraturan Menteri tetapi tidak mengajukan perubahan terhadap undang- undang sebagai payung hukum yang lebih tinggi daripada peraturan menteri. Hal ini terkesan bahwa apa yang dilakukan pemerintah, bertujuan untuk memberikan kepuasan sesaat dan tidak menyelesaikan masalah. Hadirnya Permenhub dinilai tidak akomodatif terhadap semua pihak, timpang sebelah dan mementingkan golongan tertentu. Permenhub hanya menjadi obat tetapi tidak menyehatkan atau hanya menjadi langkah- langkah alternatif, bukan menyelesaikan akar permasalahan. Karena yang semestinya diperbaharui adalah Undang- Undang no. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
2.2. Kritik dan Reformulasi Kebijakan Publik
            Peraturan Menteri Perhubungan no. 32 Tahun 2016 lebih dilihat sebagai implementasi dari Undang- Undang no. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ditujukan untuk mengatur sistem transportasi dan kendaraan yang berbasis internet atau online untuk dapat beroperasi dengan leluasa di Indonesia, tanpa resistensi maupun penolakan dari pihak manapun. Tetapi didalam implementasi kebijakan tersebut, terdapat beberapa catatan yang seharusnya lebih diperhatikan oleh pemerintah, maupun pemangku kebijakan lainnya. Hal ini tidak hanya menjadikan peraturan menteri perhubungan tersebut tidak efektif, tetapi juga tidak mampu mengakomodasi segala bentuk kepentingan warga negara demi kebaikan bersama. Ada beberapa catatan penting yang semestinya lebih diperhatikan, dan menjadi bahan pertimbangan reformulasi kebijakan ini. Pertama, semestinya yang diatur didalam kebijakan ini bersifat menyeluruh atau holistik. Kebijakan ini hanya diperuntukkan oleh para pengemudi taxi online saja, tidak untuk kendaraan lainnya yang beroperasi menggunakan aplikasi internent, seperti halnya ojek online. Seharusnya kebijakan ini diperuntukkan juga untuk mereka agar tidak terjadi protes dikemudian hari, karena justru yang paling membutuhkan suatu payung hukum adalah para pengguna moda transportasi roda dua, mengingat begitu banyaknya pertikaian yang melibatkan para pengemudi roda dua.
            Kedua, pemerintah harus dengan jelas untuk mempertegas apakah kendaraan roda dua masuk didalam kategori angkutan umum atau tidak. Karena seperti halnya yang kita ketahui, suatu kendaraan roda dua mampu untuk membawa lebih dari satu orang. Dengan inovasi terbaru dari para produsen kendaraan tersebut, suatu kendaraan roda dua kini mampu membawa penumpang dan barang. Sehingga, tidak menutup kemungkinan bahwa kendaraan tersebut layak untuk digunakan dalam rangka mengangkut penumpang dan diajadikan angkutan umum. Bisa jadi kebijakan Permenhub no. 32 tahun 2016 ini tidak mengikutsertakan kendaraan roda dua didalam kebijakan ini, karena dalam UU no. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga tidak dijabarkan dengan cara seksama ruang lingkup dan deskripsi mana saja yang termasuk didalam angkutan umum. Kondisi yang tidak jelas seperti ini bukan tidak mungkin akan membawa konflik dikemudian hari jika tidak diperhatikan dengan lebih seksama.
            Ketiga, semestinya yang harus diperbaiki dan di reformulasi terlebih dahulu adalah UU terkait Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bukan langsung mengeluarkan Peraturan Menteri. Jika UU sebagai payung hukum yang lebih tinggi daripada Permenhub masih ada kecacatan, sudah pasti aturan- aturan dibawahnya akan mengalami cacat formula juga. Jika hal ini dibiarkan maka yang terjadi adalah bias kebijakan yang tidak tepat karena rancangan kebijakan hanya bersifat refresif, bukan preventif. Permenhub yang tidak mampu mnegakomodasi seluruh kepentingan masyarakat ini membuat kondisi masyarakat yang tidak harmonis, karena masih ada pihak- pihak yang merasa dirugikan. Bagaimana halnya dengan para pengemudi kendaraan konvensional? Mereka mau tidak mau harus menerima keputusan pemerintah yang memilih untuk melegalkan kendaraan online. Padahal, menurut mereka, hadirnya kendaraan online tersebut justru menghambat laju pendapatan yang mereka miliki. Dalam hal ini mereka kemudian menjadi kelompok yang minoritas, dan pemerintah mengabaikan kepemtingan mereka. Seharusnya, pemerintah tidak hanya memberikan izin dan kemudian masalah selesai, tetapi harus juga mempertimbangkan aspek keadilan sosial kepada kelompok yang lainnya. Misalnya, mengingat perkembangan teknologi yang meningkat dengan pesat, maka pemerintah mengharuskan seluruh kendaraan umum yang belum memiliki akses internet, agar dapat menyediakan sarana transportasi online agar muncul persaingan yang sehat dan kesempatan yang sama. Tetapi di dalam Permenhub ini, sama sekali tidak ditemukan aspek- aspek tersebut.
III. Penutup
3.1. Kesimpulan
            Didalam menganalisis aktor non-pemerintah yang mendorong hadirnya suatu kebijakan, terdapat tiga jenis aktor yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan pengaturan kendaraan berbasis aplikasi online. Mereka terdiri sebagai aktor organisasi, yaitu para driver kendaraan konvensional yang menuntut agar para perusahaan penyedia transportasi online untuk tunduk pada kebijakan yang saat ini berlaku. Mereka juga meminta pemerintah agar melarang dan menghapuskan moda transportasi online tersebut karena dinilai melanggar hukum, liar dan tidak taat atura. Aktor kedua yaitu para pemodal dan pemilik perusahaan. Mereka memainkan peran sebagai aktor politik dan aktor elit. Setiap kebijakan yang hadir, termasuk Permenhub no. 32 Tahun 2016 tersebut merupakan hasil negosiasi dan kompromi antara pasar dan pemerintah. Sebagai aktor elit, mereka lebih berupaya untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Aktor yang ketiga adalah para pengemudi online. Mereka berposisi sebagai interest group yang berupaya mendesak para pemilik perusahaan untuk mendesak pemerintah agar mereka memperoleh aspek legal formal. Meskipun telah hadir Permenhub no. 32 Tahun 2016 tersebut, rupanya masih ada ketidakadilan bagi sebagian kalangan.
            Ada beberapa catatan dan kritik terkait Permenhub no. 32 Tahun 2016 tersebut, untuk kemudian dapat dijadikan rujukan sebagai bahan reformulasi kebijakan. Pertama, semestinya yang diatur didalam kebijakan ini bersifat menyeluruh atau holistik. Kebijakan ini hanya diperuntukkan oleh para pengemudi taxi online saja, tidak untuk kendaraan lainnya yang beroperasi menggunakan aplikasi internent, seperti halnya ojek online. Kedua, pemerintah harus dengan jelas untuk mempertegas apakah kendaraan roda dua masuk didalam kategori angkutan umum atau tidak. Ketiga, semestinya yang harus diperbaiki dan di reformulasi terlebih dahulu adalah UU terkait Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bukan langsung mengeluarkan Peraturan Menteri. Segenap kritik- kritik tersebut diupayakan agar terciptanya kebaikan bersama yang sesuai dengan harapan masyarakat. Tujuan hadirnya suatu kebijakan ialah menyelesaikan masalah, namun jika formulasi kebijakan tersebut tidak jelas, maka bukannya menyelesaikan masalah, namun justru menambah masalah baru.
3.2. Saran dan Rekomendasi
            Ada beberapa rekomendasi dan saran yang dapat diberikan kepada para pemangku kebijakan, maupun para aktor non pemerintah agar kebijakan- kebijakan selanjutnya dapat pro terhadap kepentingan semua golongan, yaitu:
1.     Pemerintah bersama DPR harus kembali meninjau Undang- Undang no. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dengan memperbaiki UU tersebut, maka pemerintah dapat mempersiapkan suatu kebijakan yang tepat bagi permasalahan moda transportasi online tersebut.
2.     Permenhub no. 32 Tahun 2016 ini seyogyanya harus diperbaiki dan direvisi kembali. Kementerian Perhubungan harus mempertimbangkan nasig pengemudi roda dua dan nasib para pengemudi kendaraan konvensional. Memberikan izin, bukan berarti menyelesaikan masalah. Sehingga, hadirnya Permenhub no. 32 Tahun 2016 ini sama sekali tidak menyelesaikan masalah, karena akar masalah tidak tersentuh sama sekali.
3.     Para interest group, masyarakat sipil, paguyuban dan aktor non pemerintah lainnya untuk tetap mengawal perkembangan kebijakan ini. Harapannya dengan dikawalnya kebijakan ini, akan dapat menghadirkan kebaikan dan manfaat yang dapat dinikmati bersama, tanpa harus merasa ada pihak yang tidak diuntungkan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Darmawan Triwibowo. Gerakan Sosial Wahana Civil Society bagi Demokratisasi. Jakarta:            LP3ES Indonesia, 2006.

Irfan Islamy, Prinsip- Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 1991

Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Fourteenth Edition. New Jersey: Pearson    Education. 2013
Widya Wulandari, Analisis Efektivitas Transportasi Ojek Online Sebagai Pilihan Moda       Transportasi di Jakarta (Studi Kasus: GO-JEK Indonesia). Skripsi. Jakarta: Universitas    Esa Unggul.

Internet dan Lainnya
Kuliah Kebijakan Publik bersama Andrinof. A. Chaniago. Fisip UI, 5 Oktober 2016

Kuliah Kebijakan Publik bersama Julian Aldrin Pasha. Fisip UI, 28 September 2016

http://nasional.sindonews.com/read/1035305/149/aplikasi-online-angkutan-perlu-aturan-1440118213
http://jdih.dephub.go.id/assets/uudocs/permen/2016/PM_32_Tahun_2016
http://tekno.kompas.com/read/2016/04/21/08470037/Diam-diam.Kemenhub.Sudah.Terbitkan.Aturan.Taksi.Online.Ini.Poin-poinnya
http://setkab.go.id/soal-ojektaksi-online-pemerintah-punya-pilihan-perbaiki-undang-undang-atau-dilarang/
http://www.indotelko.com/kanal?c=bid&it=indonesia-aturan-transportasi-online
http://inet.detik.com/read/2016/03/23/064214/3171165/398/menebak-cara-pemerintah-atasi-kisruh-transportasi-online



[1] Widya Wulandari, Analisis Efektivitas Transportasi Ojek Online Sebagai Pilihan Moda Transportasi di Jakarta (Studi Kasus: GO-JEK Indonesia). Skripsi. Jakarta: Universitas Esa Unggul. Hlm. 2
[2] Lihat: http://nasional.sindonews.com/read/1035305/149/aplikasi-online-angkutan-perlu-aturan-1440118213
[3] Lihat: http://jdih.dephub.go.id/assets/uudocs/permen/2016/PM_32_Tahun_2016.pdf Diunduh pada Hari Kamis, 27 Oktober 2016, pukul 18.24 WIB
[4] Lihat: http://tekno.kompas.com/read/2016/04/21/08470037/Diam-diam.Kemenhub.Sudah.Terbitkan.Aturan.Taksi.Online.Ini.Poin-poinnya
[5] Lihat: http://setkab.go.id/soal-ojektaksi-online-pemerintah-punya-pilihan-perbaiki-undang-undang-atau-dilarang/
[6] Lihat: http://www.indotelko.com/kanal?c=bid&it=indonesia-aturan-transportasi-online
[7] Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Fourteenth Edition. New Jersey: Pearson Education. 2013. Hlm. 11
[8] Irfan Islamy, Prinsip- Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 1991. Hlm. 77
[9] Kuliah Kebijakan Publik bersama Andrinof. A. Chaniago. Fisip UI, 5 Oktober 2016
[10] Kuliah Kebijakan Publik bersama Julian Aldrin Pasha. Fisip UI, 28 September 2016
[11] Darmawan Triwibowo. Gerakan Sosial Wahana Civil Society bagi Demokratisasi. Jakarta: LP3ES Indonesia, 2006. Hlm. 2
[12] Ibid. Hlm. 5-6
[13] Lihat: http://inet.detik.com/read/2016/03/23/064214/3171165/398/menebak-cara-pemerintah-atasi-kisruh-transportasi-online
[14] Lihat: http://inet.detik.com/read/2016/03/23/064214/3171165/398/menebak-cara-pemerintah-atasi-kisruh-transportasi-online