Kamis, 27 Juli 2017

Konsep Pemikiran Negara Bangsa Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam Konteks Islam dan Nasionalisme di Indonesia

ISU- ISU ISLAM KONTEMPORER
Konsep Pemikiran Negara Bangsa Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam Konteks Islam dan Nasionalisme di Indonesia
Oleh : Joni Firmansyah (Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia)

1. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
            Secara historis Islam mempunyai kontribusi besar terhadap aktifitas negara dan pembentukan negara Indonesia. Islam mempunyai tempat tersendiri sebagai pandangan hidup atau worldview di dalam praktek sosial masyarakat Indonesia. Islam juga menjadi ideologi yang ampuh dalam perlawanan rakyat Indonesia ketika melawan kolonial Belanda. Maka, kita bisa melihat bagaimana perlawanan-perlawanan tersebut banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam terhadap kesewenang-wenangan kolonialisme. Pada tahun 1930-an polemik antara kalangan Islam dan kalangan kebangsaan tentang hubungan Islam dengan negara menghangat. Khususnya antara Sukarno yang kemudian menjadi presiden pertama Indonesia dan Natsir yang kemudian menjadi ketua umum Masyumi. Yang pertama mencontohkan Turki yang sekuler dan yang melepaskan diri dari Islam dalam kehidupan bernegara, dan yang kedua agar negara Indonesia tidak lepas dari Islam.[1]
            Perdebatan antara Islam sebagai dasar negara bisa dicatat dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945 dan dalam perdebatan -perdebatan sidang Konstituante tahun 1956-1959. Dalam sidang ini terjadi perdebatan ideologis yang sangat tajam antara wakil-wakil kaum Muslimin dengan golongan nasionalis-sekuler, yang menimbulkan panasnya situasi politik ketika itu. Perjuangan tersebut karena Islam bukan sekedar sistem teologis, melainkan juga sebuah jalan hidup (way of life) yang memiliki standar etika dan moral serta prinsip-prinsip dan norma-norma dasar dalam kehidupan masyarakat dan negara. Dalam sejarah Islam, ajaran-ajaran Islam ini sebagian besar telah dipraktikkan dalam kehidupan pribadi, sosial, dan politik semenjak periode nabi sampai datangnya kolonialisme Barat.[2]
      Para pemimpin Islam pada sidang BPUPKI menginginkan agar negara di format berdasarkan agama, sehingga Indonesia menjadi negara berdasarkan asas Islam. Sedangkan kelompok nasionalis-sekuler berargumen bahwa negara Indonesia yang tidak hanya dihuni oleh orang-orang Islam, sehingga mereka menghendaki konstruksi negara Indonesia tidak berdasarkan suatu agama tertentu (Islam), karena dikhawatirkan terjadi diskriminasi terhadap agama-agama lain. Pihak Islam sendiri berpendapat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun syariat Islam tidak berjalan. Setelah mengalami perdebatan yang panjang akhirnya ditemukanlah titik temu dan kompromi berupa Piagam Jakarta. Piagam Jakarta adalah hasil kerja sebuah panitia kecil dalam BPUPKI. Dalam piagam ini, Pancasila diterima sebagai dasar negara, tetapi urutan silanya mengalami perubahan. Sila ketuhanan ditempatkan pada posisi pertama, selain itu juga diberikan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Piagam ini adalah hasil rumusan panitia sembilan diantaranya: Sukarno, Mohammad Hatta, A.A Maramis, Abikusumo Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Mohammad Yamin. Tetapi kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta hanya bertahan selama 57 hari karena ada sebagian orang dari belahan Timur yang menganggap itu diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Maka demi persatuan, akhirnya anak kalimat itu pada tanggal 18 Agustus 1945 dihapus dari pembukaan UUD 1945.
      Perjuangan untuk menegakkan syariah Islam di Indonesia kemudian dilanjutkan dalam sidang Konstituante tahun 1956-1959. Menurut Wilopo sebagai ketua Konstituante tahun 1959 mengatakan bahwa pekerjaan konstituante tinggal 10% yang belum selesai, yaitu soal dasar negara. Ada tiga dasar negara yang diajukan dalam konstituante yaitu Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi. Kalangan Islam mengemukakan Islam sebagai dasar negara. Dasar sosial ekonomi banyak dikemukakan oleh orang-orang kiri, termasuk golongan Partai Buruh. Dasar lain adalah Pancasila yang di dukung kaum nasionalis, sosialis, dan komunis.[3] Karena perdebatan mengalami deadlock maka Sukarno mengeluarkan dekrit yang membubarkan konstituante dan mengembalikan UUD 1945 sebagai dasar negara. Dalam zaman kekuasaan presiden Suharto, dalam rangka politik, cita-cita umat Islam dalam berhubungan dengan negara, dipangkas habis. Selain itu, dasar Islam sebagai asas suatu organisasi, baik itu organisasi masyarakat atau partai yang di zaman Belanda dibiarkan oleh penguasa kolonial, di zaman Suharto tidak dibenarkan. Dasar negara satu-satunya yang dibolehkan adalah Pancasila sebagai asas tunggal.[4]
1.2  Rumusan Masalah
      Setelah jatuhnya rezim Orde Baru yang ditandai dengan terbukanya keran politik yang sebelumnya tersumbat memberikan dampak kepada setiap kelompok yang ada di Indonesia untuk menyuarakan kepentingannya. Begitu juga dengan sebagian kelompok Islam yang memperjuangkan formalisasi syariat Islam. Salah satu indikasi formalisasi adalah ketika amandemen UUD 1945 ketika masa reformasi yang menginginkan dikembalikannya Piagam Jakarta. Selain itu banyaknya peraturan daerah (Perda) yang bernuansa syariat Islam di berbagai daerah. Fenomena menguatnya wacana formalisasi Islam sebagai dasar negara terdengar kembali, yang sebenarnya wacana ini pernah muncul ketika masa perjuangan kemerdekaan Indonesia terutama dimotori oleh tokoh-tokoh terutama yang tergabung dalam partai Masyumi. Begitupun tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, dan Hamka adalah orang-orang yang memperjuangkan gagasan tentang negara Islam.
      Pandangan negara-Islam maupun formalisasi syariat Islam merupakan fenomena sosio-politik-keagamaan yang bisa dilihat menggembirakan sekaligus juga menimbulkan problematik tersendiri. Menggembirakan karena wacana tersebut bisa menjadi indikator semangat keagamaan umat Islam di Indonesia sedang bangkit, tetapi menjadi problematis karena wacana tersebut bisa menimbulkan masalah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal perdebatan antara tokoh-tokoh yang memperjuangkan negara Islam dan yang memperjuangkan negara nasional memberikan kompromi dalam format Pancasila dan UUD 1945. Selain mendapatkan tantangan dari kelompok nasionalis maupun umat beragama non Muslim. Wacana Islam sebagai dasar negara dan formalisasi syariat Islam juga mendapatkan resistensi oleh sebagian kelompok umat Islam itu sendiri. Bahkan ormas-ormas besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah pun tidak setuju dengan hal ini.[5] Menguatnya gerakan Islam fundamentalis dalam transisi demokrasi pasca Orde Baru telah menarik perhatian beberapa cendekawan Muhammadiyah seperti Ahmad Syafii Maarif, Moeslim Abdurrahman, Syafii Anwar, Haedar Nashir, dan Din Syamsuddin. Para cendekiawan ini khawatir dengan masa depan demokrasi di Indonesia. Menurut Haedar Nashir, karakter dasar dan kultur Muhammadiyah adalah salah satu faktor yang mempengaruhi komitmen para cendekiawan ini untuk mengawal agenda demokratisasi. Meskipun organisasi ini dikenal puritan, namun pada prinsipnya Muhammadiyah memiliki dedikasi terhadap nasionalisme dan nilai-nilai kemodernan.[6] Ahmad Syafii Maarif adalah salah satu mantan ketua Muhammadiyah dan tokoh intelektual Islam Indonesia yang keberatan apabila Islam dijadikan dasar negara dan formalisasi syariat Islam. Sebagai salah satu tokoh besar tentu saja pandangan-pandangannya tentang relasi agama dan nasionalisme menemukan momentumnya pada masa sekarang terutama setalah reformasi. Karena itu penting untuk diketengahkan pemikiran Syafii Maarif yang moderat, inklusif, dan substansialistik.
            Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut maka dibuatlah sebuah pertanyaan berikut:
1.     Bagaimana relasi agama dengan negara dan konsep nasionalisme menurut pemikiran Ahmad Syafii Maarif?


1.1  Kerangka Konseptual dan Teori
a.      Relasi Agama (Islam) dengan Negara
     Islam dalam perkembangannya tidak hanya dipahami sebagai sebuah agama tetapi juga sebagai sebuah ideologi dan gerakan politik, bahkan sebagai sebuah peradaban yang pengaruhnya cukup luas. Karena itu perspektif Islam tentang politik memberikan kontribusi dalam teori mengenai hubungan antara agama dengan negara. Secara garis besar terdapat hubungan antara agama dengan negara.[1] Pertama, Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak berhubungan dengan urusan-urusan kenegaraan. Nabi Muhammad dalam perspektif ini, hanyalah seorang rasul atau utusan Tuhan sebagaimana halnya Rasul- rasul sebelumnya dengan tugas untuk mengajak manusia kembali kepada kehidupan mulia dan berbudi pekerti baik. Nabi Muhammad tidak pernah berniat, apalagi bertugas untuk mendirikan dan mengepalai negara. Negara Islam dianggap tidak mempunyai landasan teologis dari doktrin Islam. Konsep ini merupakan landasan bagi konsep negara nasional atau sekuler.
     Kedua, Islam bukan semata-mata agama dalam pengertian Barat yang hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan. Islam merupakan agama sempurna yang mengatur segala aspek hidup manusia, termasuk kehidupan politik dan negara. Karena itu dalam pandangan ini, umat Islam dalam bernegara tidak perlu meniru sistem kenegaraan Barat, tetapi harus mengacu kepada sistem kenegaraan Islam, yakni sistem yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW, dan khulafaurrasyidin di masa awal Islam (abad ke 5-6 M). Pemikiran ini juga menimbulkan berbagai derivasi dengan adanya keberagaman sistem pemerintahan di negara-negara yang mengklaim diri sebagai negara Islam, seperti Pakistan dan Republik Islam Iran. Tetapi, setidaknya ada kesepakatan bahwa negara disebut Negara-Islam jika memberlakukan seperangkat aturan yang disebut “hukum Islam”. Perspektif ini melahirkan konsep Negara-Islam.
     Ketiga, menolak pandangan bahwa Islam adalah agama serba lengkap dan bahwa Islam memiliki konsep yang komprehensif dan terperinci sampai kepada konsep kenegaraan. Islam memang ajaran yang bersifat kaffah atau menyeluruh, tetapi totalitas tersebut hadir dalam bentuk petunjuk-petunjuk pokok saja. Islam menyediakan pandangan-pandangan etis bagi pengaturan masyarakat dan negara. Islam memang tidak menyebut secara tekstual tentang pelaksanaan kenegaraan, tetapi memberikan prinsip moral sebagai landasan etika dalam kehidupan politik kenegaraan. Prinsip-prinsip tersebut merupakan landasan yang sangat diperlukan untuk membangun negara yang dapat mewujudkan kebaikan bersama (common goods), kerangka berpikir ini menjadi landasan bagi konsep negara-religius.
b.      Negara Nasional
     Konsep negara nasional berbeda dengan konsep berdasarkan agama, dimana konsep ini berasal dari tradisi Barat yang berkembang setelah gerakan renaissance. Secara formal, sistem negara bangsa secara umum dikaitkan dengan Piagam Wesphalia pada tahun 1648.[2] Konsep negara nasional lahir dari pemikiran sekuler yang memisahkan antara agama dengan negara. Agama adalah aturan mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan, sedangkan negara mengatur hubungan sesama manusia. Tetapi negara tetap memberikan kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan keyakinan yang dianutnya.
     Menurut Sukarno, negara nasional tidak hendak mengerdilkan agama. Bahkan, dalam negara  nasional, agama akan dimerdekakan dari negara dan sebaliknya memerdekakan negara dari agama, sehingga masing-masing bisa kuat.[3] Sedangkan menurut Ali Abd al Raziq (1888-1966), menolak kaitan antara agama dan negara yang mengemukakan pandangan tentang tidak adanya referensi mengenai pendirian Negara-Islam oleh Nabi Muhammad. Hal ini dikutipnya dari sebuah kisah tentang seseorang yang datang menghadap Nabi Muhammad SAW, untuk menangani suatu masalah. Saat orang tersebut berdiri di depan beliau, badannya kemudian menggigil karena ketakutan luar biasa. Nabi Muhammad kemudian mendekatinya dan berkata: “tenanglah, saya bukan raja atau seorang penakluk, saya putra seorang perempuan Quraisy yang biasa makan daging kering di Makkah”. Raziq juga mengutip hadis yang bercerita bahwa ketika Nabi diberikan pilihan oleh Malaikat Israfil, menjadi seorang raja sekaligus Nabi atau menjadi seorang nabi saja. Nabi Muhammad SAW, memandang malaikat (Jibril) sebagai konsultannya. Jibril memandang ke bumi, menunjukkan kerendahan hati sebagai petunjuk kepada Nabi untuk menjadi seorang yang rendah hati. Nabi kemudian berkata: “seorang nabi yang mengabdi”. Dari kisah ini Raziq menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang raja dan tidak pula meminta pangkat.[4] Negara-nasional mengidealkan terwujudnya sebuah persaudaraan baru di atas persaudaraan lama dalam bernegara. Persaudaraan baru itu berupa dihilangkannya kelompok-kelompok horizontal maupun vertikal, dan hanya dikenal satu macam persaudaraan, yaitu persaudaraan nasional. Kalau persaudaraan lama masih dipertahankan, persaudaraan baru dalam negara-nasional tidak akan efektif.[5]
     Bangsa atau nation adalah fenomena kompleks yang dibentuk oleh sekumpulan faktor. Secara kultural, sebuah bangsa adalah sebuah kelompok masyarakat yang disatukan oleh sebuah bahasa, agama, sejarah dan tradisi yang sama, meskipun bangsa-bangsa memperlihatkan beragam tingkat heterogenitas kultural. Secara politis sebuah bangsa adalah sebuah kelompok masyarakat yang menganggap diri mereka sebagai sebuah komunitas politik yang alami, secara klasik diekspresikan melalui usaha-usaha untuk mencapai kenegaraan yang berdaulat. Secara psikologis sebuah bangsa adalah sekelompok masyarakat yang dicirikan oleh sebuah loyalitas atau rasa cinta bersama dalam bentuk patriotisme.[6]
c.       Negara-Islam
     Pada masa awal perkembangan Islam yang mempunyai karakteristik unik dan kejayaan di bidang politik. Sejarah awal Islam, lekat dengan penuturan tentang kejayaan sejak periode Nabi Muhammad SAW di Madinah sampai masa-masa beliau wafat. Kejayaan politik kemudian terjalin dengan kesuksesan ekspansi militer yang dilakukan oleh para sahabat Nabi, terutama di bawah kepemimpinan Umar Ibn Khattab. Inilah yang memunculkan pandangan bahwa Islam adalah agama yang terkait erat dengan masalah kenegaraan.[7] Kelompok Sunni dalam Islam menggunakan istilah khilafah sedangkan dalam kelompok Syiah menggunakan istilah imamah untuk merujuk kepada gagasan sistem politik. Kedua istilah itu diambil dari ayat Al Quran yang kemudian ditafsirkan sesuai dengan kepercayaan madzhab yang dianut sebagai landasan politik. Setelah sekian lama menggunakan istilah ini, kemudian muncul alternatif baru menggantikan kedua istilah tersebut, yakni negara-Islam.[8] Pemikiran tentang Islam adalah agama yang universal dan mengatur segala kehidupan manusia, yang konsekuensinya adalah negara dan agama menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Konsep negara Islam muncul dari pemikiran bahwa agama wajib dilaksanakan oleh para pemeluknya. Karena pelaksanaan agama adalah wajib, maka diperlukan sebuah institusi untuk mengaturnya. Negara adalah institusi yang paling tepat dan mempunyai otoritas dalam membuat aturan untuk melaksanakan ajaran agama tersebut.
     Al-Mawardi menyatakan bahwa Islam adalah agama dan negara.[9] Negara Islam perlu dibentuk karena agama Islam mengandung peraturan-peraturan yang garis besarnya telah tertuang dalam al-Quran dan hadits Nabi Muhammad. Agar aturan-aturan tersebut dapat dilaksanakan atau dijalankan sebagaimana mestinya, maka perlu adanya sesuatu kekuatan yang memerankan fungsi kekuasaan negara.[10] Rasyid Ridha adalah orang yang mempunyai andil besar dalam pemikiran ini, yang menurutnya premis pokok dari konsep negara-Islam adalah syariat sebagai sumber hukum tertinggi. Menurut Fahmi Huwaydi negara-Islam mempunyai landasan bahwa Allah adalah sumber hukum, dan rakyat adalah sumber kekuasaan. Seorang penguasa dalam negara-Islam tidak mempunyai kekebalan, karena hukum berada di atas segalanya. Hukum yang dimaksudkan adalah al-Quran dan Hadis Nabi. Usaha manusia untuk menciptakan hukum juga diakui, asalkan tidak bertentangan dengan al-Quran dan Hadis.[11] Jadi, konsep negara Islam dilandasi oleh pandangan bahwa tidak ada pemisahan antara agama dengan organisasi politik.

d.      Nasionalisme-Religius
     Nasionalisme-religius merupakan titik temu antar konsep negara-Islam dengan negara-nasional yang sekuler. Konsep nasionalisme-religius berdasarkan kepada perspektif bahwa penyatuan maupun pemisahan agama dengan negara secara ekstrim dipandang bukanlah formula yang ideal. Sebab, penyatuan antara keduanya menyebabkan penyelewengan kekuasaan atas nama agama, dan sebaliknya pemisahan secara ekstrim antara keduanya sama dengan meminggirkan agama. Padahal, agama adalah salah satu sumber nilai dalam kehidupan sebagian besar manusia.[12] Nurcholish Madjid mengatakan gagasan negara-Islam lebih merupakan respons sosiologis yang dipengaruhi konteks lokalitas dan konteks zaman. Bahkan, istilah negara-Islam baru muncul setelah Pakistan.[13] Munculnya cita-cita pembentukan negara-Islam disebabkan oleh pola pikir apologetik dan formalistik yang dipengaruhi oleh fikihisme.[14] Disebut apologetik karena umat Islam melihat ideologi-ideologi Barat-modern, seperti demokrasi dan sosialisme menampilkan prinsip menyeluruh. Hal ini menyebabkan umat Islam mengalami kompleks rendah diri (inferiority complex). Sebagai kompensasi dari rasa rendah diri tersebut, mereka menggagas sebuah ideologi politik untuk menunjukkan bahwa Islam lebih unggul daripada ideologi-ideologi politik lain, atau setidaknya Islam berada pada tingkatan yang sederajat.[15] Konsep yang menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam politik merupakan salah satu varian dari konsep nasionalisme-religius.
     Nasionalisme-religius menolak ide-ide negara sekular, tetapi tidak menolak sama sekali politik sekular, termasuk gagasan negara-bangsa modern. Menurut Marx Juergensmeyer, konsepsi ini lahir karena harapan-harapan material yang ditawarkan oleh sekularisme lebih banyak menyebabkan rasa frustasi, terutama di kalangan individu atau masyarakat yang marjinal atau dimarjinalkan, jika harapan itu tidak tercapai. Sebaliknya, nilai-nilai religius dapat mencegah rasa frustasi dan kekecewaan karena harapan-harapan tersebut tidak harus dicapai pada kehidupan di dunia, tetap kehidupan setelah di dunia.[16] Nasionalisme religius muncul bersamaan dengan kebangkitan agama-agama di belahan dunia. Konsepsi nasionalisme-religius sesungguhnya bisa dirunut dari pemikiran Ibnu Khaldun yang memandang bahwa dalam banyak kasus agama memiliki peranan penting dalam memupuk persatuan dan solidaritas. Agama dalam hal ini hadir sebagai jalan untuk menghilangkan persaingan, iri, dan dengki yang biasanya muncul dalam kelompok solidaritas. Agama membuat seluruh individu dalam kelompok solidaritas memiliki visi dan pandangan yang sama dalam melihat kebutuhan akan hadirnya negara.[17]
2. PEMBAHASAN
2.1 Biografi Singkat Ahmad Syafii Maarif
            Dikutip dari laman resmi tokohindonesia.com[18], Ahmad Syafii Maarif dilahirkan pada 31 mei 1935 di sebuah desa udik di Sumpurkudus, Sumatra Barat, sebuah daerah yang sumber penghasilannya dari perdagangan serba kecil dan tani. Putra Bungsu dari empat bersaudara pasangan Ma'rifah Rauf dan Fathiyah ini, waktu ecilnya mempunyai hobi menjala, memancing ikan dan menembak dengan 'bedil' angin. Disamping itu dia juga aktif berolah raga joging, badminton serta tenis meja, tapi sekarang yang tersisa hanya joging dan Badminton. Sebelum meraih Ph.D di Chicago, Syafii kecil memulai pendidikannya di sekolah rakyat negeri, tetapi tidak punya ijazah, sebab masih zaman revolusi, dan merangkap di Madrasah Mualimin Lintau, Sumatra Barat sampai kelas tiga. Sebelum ke Lintau dia nggangur tiga tahun karena revolusi, kemudian dia belajar di Mualimin Yogyakarta sampai selesai. Lulus di Yogyakarta ia di ditugaskan ke Lombok Timur sebagai pengajar sekolah Muhammadiyah selama satu tahun, lalu pindah ke Jawa memulai belajar di FKIP Cokroaminoto Solo sampai sarjana muda pada usianya 29 tahun. Di kampus inilah dia aktif di HMI cabang Solo dan menjadi ketua bidang pendidikan HMI cabang Solo periode 1963-1964. Dan pada tahun 1968 menyelesaikan sarjananya di FKIP Yogyakarta. Kemudian, meninggalkan Indonesia untuk belajar sejarah pada program master di universitas Ohio, AS.
            Guru besar UNY Yogyakarta ini juga pernah menjadi dosen pasca sarjana IAIN Yogyakarta. Dan sebelumnya terpilih menjadi ketua PP Muhammadiyah pada 1999-2004, tokoh yang juga pernah aktif di GPII dan Pemuda Muhammadiyah, menggantikan Amien Rais yang memilih serius di partai politik PAN, walaupun suasana sangat menyedihkan saat dua putranya, hanya tinggal Muhammad Hafizh yang baru selesai S2 di Rotterdam Belanda jurusan Manajemen Perkotaan. Dalam dunia internasional, Syafii berpendapat bahwa bangsa Indonesia harus lebih mengintensifkan dengan Masyarakat Eropa, khususnya Belanda dan Jerman. Alasannya pertama; mereka telah banyak membantu Indonesia, dan masa depan mereka bisa menjadi 'kompetitor' Amerika Serikat dan ini adalah asas paling penting bagi politik luar negeri Indonesia, walapun pendapat ini dimungkinkan para diplomat EU selalu memberikan 'conflict management' pada anti Amerika dan Israel, sehingga, yang terjadi di Jakarta bahwa gerakan anti-semitic dan Israel telah mendapat dukungan dan pengaruhnya dari para kebijakan kebijakan anggota EU dan para diplomatnya. Dari sinilah gerakan anti semitisme berkembang dan mendapat dukungan dari para deplomat EU di Jakarta. Maarif, yang juga akrab dengan panggilan Syafii, ahli di bidang pemikiran Islam. Ia mengambil seluruh pendidikan menengahnya di Mualimin Muhammadiyah. Mula-mula di Lintau, Sumatera Barat, kemudian di Yogyakarta. Setelah mengambil pendidikan FKIP Cokroaminoto Surakarta di Solo, ia kembali ke Yogyakarta untuk menyelesaikan FKIS IKIP, 1968.

2.2. Landasan Teologis Menurut Ahmad Syafii Maarif
            Konsep teologis dalam alam pikiran Syafii Maarif lebih bersifat universal dan mengedepankan toleransi. Memang ada fase yang perubahan dari pola Syafii Maarif, yang dapat terlihat sebelum ia berangkat melanjutkan studi di USA dan selepas studi atau sekembalinya ke Indonesia. Jika sebelumnya Syafii Maarif lebih cenderung dogmatis, selepas dari USA, pola pemikiran Syafii Maarif mulai terbuka, bahkan sangat toleran. Ia terkenal dengan argumen- argumen yang berbeda dengan intelektual lainnya. Tetapi, ketika berbicara mengenai intelektualitas yang berkaitan dengan Muhammadiyah, menurutnya intelektual Muhammadiyah adalah intelektualisme Islam dengan penafsiran Al Quran yang benar dan tepat sebagai sentralnya. Syafii Maarif juga menyebutkan, untuk melihat posisi ilmu pengetahuan dalam Islam, kita harus menelusurinya dalam Al Quran dan Sunnah Nabi sebagai sumber autentik agama terakhir.[19] Dari hal tersebut kita dapat melihat bahwa landasan teologis yang dikembangkan oleh Syafii Maarif, bermuara pada Al Quran yang autentik atau asli. Terlepas adanya perkembangan pemikiran, sejatinya harus sejalan dengan apa yang telah dimaktubkan didalam Al Quran sebagai sumber dari segala sumber ilmu. Namun, Syafii tidak membantah bahwa intelektual Islam tidak boleh terkungkung pada dogma lama yang sangat dogmatis, hingga menutup peluang manusia untuk berpikir dan mengembangkan pengetahuan.
            Dalam membangun landasan pemikirannya, Syafii Maarif menyabutkan ada 3 hal penting yang menjadi pondasinya. Ketiga hal tersebut juga diterapkan dalam membangun Muhammadiyah sebagai basis pengembangan ilmu pengetahuan.[20] Pertama, ia menyebutnya sebagai ideologi doktrin langit. Hal ini berkenaan dengan wahyu Tuhan yang sudah disampaikan kepada umat manusia sejak zaman Nabi Nuh sampai dengan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul penutup. Dalam konteks ini, maka Al Quran adalah satu- satunya doktrin langit saat ini yang berlaku untuk umat Islam dimanasa Nabi Muhammad SAW dan sesudahnya. Doktrin langit ini melarang keras manusia untuk berbuat jahat dan korupsi dimuka bumi sebab muaranya pasti akan membencanai diri sendiri disamping merusak dan merugikan orang lain. Kedua, merupakan konsep amar ma'ruf nahi munkar yang dimaksudkan sebagai perintah dan larangan agama yang bertujuan yakni agar manusia secara perorangan atau kolektif tetap berada diatas jalan lurus dan dalam binkai moral yang jelas. Menurut Syafii Maarif, kepada Al Quran lah kita harus berkonsultasi dan menemukan inti dari konsep amar ma'ruf nahi munkar tersebut. Mengerjakan konsep tersebut merupakan tugas rasul, tugas umat dan komunitas yang beriman, tugas mereka yang mempunyai kedudukan kokoh di muka bumi, termasuk didalamnya pemerintah. Oleh sebab itu, konsep ini tidak hanya dilekatkan dalam diri pribadi, namun seharusnya menjadi konsep umat dan konsep penguasa dalam menjalankan pemerintahan sesuai dengan syariat Islam.
            Ketiga, konsep Islam sebagai universitas yang terbuka. Menurut Syafii Maarif, konsep Islam sebagai universitas yang terbuka merupakan gerakan Islam modern yang terbuka bagi segenap pemikiran dan menjadi komunitas ilmu. Konsep ini juga diterapkan dalam membangun Muhammadiyah. Aspek pemikiran dan ilmu merupakan amal teoritis yang tidak kalah penting dengan amal praktis. Dengan pemikiran dan ilmu, persoalan- persoalan kekinian yang tidak ada contohnya di zaman terdahulu dapat dijawab dan diberikan solusinya. Pemikiran dan ilmu membentuk wawasan yang dengan itu seseorang dapat memahami Al Quran dengan lebih baik. Islam sebagai universitas terbuka akan menjawab tantangan berupa bagaimana memberi sustansi strategis kepada seruan 'kembali kepada Al Quran dan al Sunnah'. Sebuah seruan yang hanya merujukkan semua persoalan kehidupan pada kebenaran mutlak bukan kepada pemikiran- pemikiran manusia, aliran- aliran atau faham.
            Ketiga konsep tersebut, kemudian membentuk landasan teologis Syafii Maarif dalam memandang sesuatu. Sejatinya ketiga konsep tersebut memberikan jawaban atas kegelisahan Syafii dalam melihat realitas masyarakat saat ini, yang hanya melihat Islam tidak secara substansial. Dengan menerapkan model pemikiran semacam ini, maka akan ada banyak sudut pandang dan aspek yang muncul, sebagai bentuk kekayaan intelektual dan proses memahami Al Quran sebagai petunjuk umat. Maka tidak heran jika konsep Syafii Maarif dalam melihat negara, memiliki perbedaan daripada intelektual Islam lainnya, yang cenderung menghegemonikan Islam secara menyeluruh, ditengan multikulturalisme Indonesia.

2.3. Konsep Relasi Agama dan Negara Nasional Menurut Syafii Maarif
Ahmad Syafii Maarif termasuk tokoh dan pemikir muslim yang tidak setuju dengan konsep Negara Islam. Dengan latar belakang disiplin keilmuan sejarah memberikan kemantapan bagi dirinya tentang pilihan sikapnya, karena telah menelusuri banyak literatur sejarah baik klasik maupun modern, bahwa istilah negara Islam sesungguhnya tidaklah orisinil dari tradisi Islam. Istilah ini oleh Syafii dipandang baru muncul pada abad ke-20 sebagai upaya konfrontasi atau lawan tanding konsep kenegaraan yang dikemukakan oleh pemikir-pemikir politik Barat yang dianggap sekuler yang menganut sistem kepercayaan bukan Islam. Islam sebagai sebuah entitas ajaran, dipandang oleh sebagian umat Islam yang berkecenderungan kepada formalitas Islam, harus mempunyai kerangka konseptual yang juga meliputi masalah-masalah kenegaraan. Pendapat ini mutlak untuk memenuhi klaim Islam sebagai agama yang kaffah atau menyeluruh. Pandangan ini ditolak oleh Syafii Maarif dengan mendialogkan langsung dengan Al Quran dan tradisi awal Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad. Penelusuran dan upaya mendialogkan yang menghasilkan pandangan memang tidak ditemukan pandangan yang mendukung.
Syafii Maarif melihat bahwa munculnya istilah ini karena umat Islam mengalami trauma sejarah yang sangat parah selama penjajahan Barat atas hampir semua bangsa muslim di dunia. Kondisi ini membuat umat Islam mengalami inferiority complex (kompleks rendah diri). Untuk menghilangkannya, langkah yang bisa ditempuh adalah menghapus segala sesuatu yang bernuansa bangsa-bangsa yang telah melakukan penjajahan tersebut. Selain itu, terdapat ketidakpercayaan umat Islam kepada sistem politik sekuler yang dianggap mengusir Tuhan dari kehidupan dunia. Dengan kata lain, sesungguhnya umat Islam ingin menampilkan sistem politik sendiri yang mempunyai karakteristik berbeda dengan sistem politik yang telah berkembang dan digunakan oleh masyarakat Barat.[21] Ini mengindikasikan konsep negara Islam lebih kepada respon terhadap Barat, sehingga mencari legitimasi dengan konsep universalitas Islam.
Syafii Maarif melihat bahwa konsep politik kenegaraan oleh para pemikir muslim untuk mengisi kekosongan dan hasil ijtihad yang dibutuhkan oleh umat Islam karena tuntutan situasi dan kondisi. Sebagai produk ijtihad maka perbedaan-perbedaan menjadi hal yang tidak bisa dihindari.
Nabi tidak menetapkan pola teori tentang negara yang harus diikuti oleh umat Islam di berbagai negeri, asal prinsip syura dijalankan dan dihormati sepenuhnya. Apa yang disebut teori politik Islam dan dihormati sepenuhnya. Apa yang disebut teori politik Islam dalam bentuk khilafah atau imamah sebagaimana dikembangkan oleh para yuris seperti al-Baqillani dan al-Mawardi pada abad pertengahan, tidak lebih dari sekedar usaha intelektual untuk memenuhi dan menjawab tuntutan sejarah dan tantangan zaman.[22]
“Kalau tujuh kata atau delapan perkataan yang menjadi ciri khas Piagam, yaitu dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya sebagai pengiring sila Ketuhanan dicantumkan dalam Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, pasti dalam implementasinya akan menemui kesulitan yang tidak kecil. Perkataan kewajiban sudah tentu memuat perintah yang wajib dilaksanakan oleh setiap pemeluk Islam. Pasal ini jelas memerlukan tangan kekuasaan untuk merumuskan sebuah UU bagi pelaksanaan syariat Islam itu. Dan kalau tidak hati-hati, ini akan dapat menjadi bumerang bagi citra Islam pada masa datang. Namun, dari kaca mata agama, melaksanakan syariat bagi umat Islam adalah sebuah kewajiban. Persoalannya adalah perlukah perintah wajib itu dicantumkan dalam UUD? Bukankah melalui Pasal 29 ayat 1 dan 2 terbuka peluang lebar bagi umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya seluas dan sebebas mungkin? Salah satu bentuk konkretnya adalah disahkannya UU zakat, sampai dimana pelaksanaan UU ini dalam realitas? Ini yang perlu dipantau.[23]
   Menurut Maarif jika amandemen Pasal 29 UUD 1945 dilakukan akan memarginalkan banyak orang Islam, atau kelompok masyarakat yang selama ini masuk dalam kelompok Islam pinggiran, yang justru akan lari dari Islam. Bukankah hal itu justu akan merugikan upaya dakwah Islam itu sendiri. Menurutnya mengapa kita menggantungkan harapan soal syariat Islam kepada negara yang membuktikan bahwa umat Islam sedemikian tidak berdaya, sehingga penerapan syariat Islam pun harus diatur negara.[24] Dalam penerapan syariat Islam bukan persoalan siap atau tidak siap. Tetapi dilihat secara realitas sosial, infrastruktur atau perangkat lunak sumber daya manusia Muslim kita masih sangat rapuh. Manusia Indonesia, meski mayoritas Muslim, kebanyakan melaksanakan syariat Islam baru sebatas simbol, dan belum pada substansi.[25]
   Dengan mayoritas Muslim terbesar yang kemudian menuntut penerapan syariat Islam sebagai dasar hukum negara, menurut Maarif akan memberikan dampak perpecahan bukan hanya antara kelompok Muslim dan non Muslim, tetapi juga perpecahan antara sesama Muslim. Ahmad Syafii menyebutkan:
Memang kita negara dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia. Namun perlu diingat, secara historis, masuknya Islam ke Indonesia adalah lebih banyak karena proses akulturasi dengan budaya setempat. Dampak dari penyebaran agama Islam yang seperti ini maka saat ini kita melihat ada tiga kelompok warga masyarakat Islam di Indonesia. Pertama, kelompok Islam marginal yang biasa disebut Islam abangan. Kedua, Islam santri yang cenderung sinkretis. Ketiga, Islam santri yang memang benar-benar mencoba menerapkan Islam sesuai syariatnya.
Bila syariat Islam dijadikan dasar hukum negara, kelompok Islam santri yang terakhir ini mungkin akan dapat menyesuaikan diri. Tapi, kelompok Islam yang lain memiliki kecenderungan untuk menolak. Padahal, jumlah kuantitatif Muslim yang cenderung sinkretis dan abangan cukup besar. Anda bisa bayangkan apa yang terjadi bila syariat Islam ini benar-benar diterapkan sebagai dasar hukum negara. Perpecahan tak hanya terjadi antara kelompok Muslim dan non Muslim saja, tapi juga perpecahan antar sesama umat Islam itu sendiri. Ini jelas berbahaya.[26]
   Penerapan syariat Islam dikhawatirkan menjadi bumerang bagi syariat Islam itu sendiri karena Islam yang selama ini diyakini sebagai agama rahmatan lil’alamin. Dampaknya adalah orang Islam kebanyakan hanya akan menjalankan syariat Islam sebatas kulitnya saja atau simbol, tetapi tidak sampai kepada substansinya. Lebih utama adalah bagaimana pondasi keislaman yang harus kokoh terlebih dahulu, yang tidak memerlukan intervensi negara. Menurut Maarif persoalannya juga bukan cenderung berpikir sekuler, tetapi negara atau institusi politik jelas merupakan alat penting untuk mencapai tujuan moral Islam. Tapi, soal untuk menjadi negara yang Islami kita perlu alat yang bernama negara Islam, dan ini soal akademik. Apapun namanya alat ini, asal bisa menjadi instrumen yang efektif untuk mencapai tujuan  Islam, tidak perlu dipersoalkan. Karena itu pada muktamar Muhammadiyah, Maarif menolak mencantumkan asas Islam menjadi landasan kehidupan organisasi. Karena menurutnya, dicantumkan atau tidak asas tersebut, Islam akan tetap menjadi landasan kehidupan organisasi. Kalau kita mengkaji ataupun membaca artikel-artikel Syafii Maarif maka dalam beberapa tulisan tersebut Maarif suka menggunakan kata-kata menggarami, hal ini terinspirasi oleh perkataan yang digunakan oleh Bung Hatta: “Pakailah filsafat garam; tak terlihat tetapi terasa, janganlah menjadi filsafat gincu; tampak tetapi tak terasa.”
2.4. Analisis dan Kritik Konsep Negara Bangsa Menurut Ahmad Syafii Maarif
            Konsep Negara-Bangsa yang ditawarkan oleh Syafii Maarif, justru bertolak belakang dari apa yang umumnya digaungkan oleh para pemikir Islam lainnya. Jika banyak pemikir Islam lebih cenderung menempatkan konsep Islam sebagai dasar dan hukum negara, Syafii Maarif justru menolaknya. Ia menyebutkan, konsep negara yang menggunakan landasan agama dinilai tidak cocok, terlebih di Indonesia. Banyaknya aliran kebudayaan, proses akulturasi serta Islam yang dipandang berbeda membuat konsep agama, khususnya Islam, dinilai tidak relevan di Indonesia. Oleh sebab itu, didalam beberapa pernyataannya, Syafii Maarif menyebutkan bahwa penerapan syariat Islam justru akan menjadi bumerang  bagi Islam sendiri. Mengapa? Karena umat Islam hanya menjalankan syariat sebatas kulitnya saja, bukan pada substansinya. Oleh karena itu, ada baiknya jika agama dan negara dipisahkan, namun bukan memisahkan secara sepenuhnya. Menurutnya, agama adalah aturan moral bagi individu dalam suatu negara, walaupun konsep dan dasar negara bukanlah berbasis agama, khususnya Islam.
            Apa yang disampaikan oleh Syafii tersebut, sejalan dengan konsep negara Nasionalisme- Religius, dimana titik temu antar konsep negara-Islam dengan negara-nasional yang sekuler. Konsep nasionalisme-religius berdasarkan kepada perspektif bahwa penyatuan maupun pemisahan agama dengan negara secara ekstrim dipandang bukanlah formula yang ideal. Sebab, penyatuan antara keduanya menyebabkan penyelewengan kekuasaan atas nama agama, dan sebaliknya pemisahan secara ekstrim antara keduanya sama dengan meminggirkan agama. Padahal, agama adalah salah satu sumber nilai dalam kehidupan sebagian besar manusia. Tetapi, ada beberapa hal yang memang dapat diperdebatkan dalam pernyataan Syafiie Maarif. Adalah Deliar Noor misalnya, ia mengkritik beberapa argumen Syafii Maarif terkait implementasi syariat Islam yang justru hanya dijalankan sebagai sebuah simbol, bukan pada substansi. Benar, substansi lebih penting dari simbol. Tetapi, simbol sangat pula berperan dalam hidup ini, terutama untuk memadatkan apa yang kita maksudkan. Simbol bisa menggembirakan, menumbuhkan kebanggaan, memudahkan pemahaman. Tetapi, substansi lebih dipahami oleh cerdik cendekia, mereka yang umumnya sudah mengaji masalah, mengerti masalah, mengerti pula hukum. Orang awam biasanya lebih mengikuti, dan simbol lebih memudahkan ikutan tersebut.[27]
            Terkait apa yang disampaikan oleh Deliar Noor tersebut, memang ada benarnya. Ia lebih melihat bahwa simbol memiliki peranan yang penting ditengah kondisi masyarakat Indonesia yang memang belum sepenuhnya mandiri. Tetapi, bisa saja Syafii juga berpikiran yang sama terhadap apa yang menjadi kekhawatiran bagi Deliar Noor tersebut. Karena kondisi masyarakat yang tidak mandiri inilah, membuat Syafii lebih menegaskan substansi yang hanya dimiliki oleh sebagian kecil orang dengan tingkat pemahaman yang tinggi. Bagi Syafii, konsep Islam belum sepenuhnya layak diterapkan di Indonesia. Hal tersebut diperkuat dengan kondisi masyarakat Indonesia yang masih belum mengetahui dan membedakan dirinya berdasarkan identifikasi secara keagamaan. Oleh sebab itu, menurut Syafii, ada baiknya jika konsep negara lebih kepada gagasan secara universal, khususnya kesepakatan yang diperoleh melalui UUD 1945. Dengan demikian, konsep negara- bangsa yang mengedepankan universalitas justru akan lebih mudah untuk diterima, daripada penerapan syariat Islam secara holistik. Berdasarkan hal tersebut, Syafii lebih melihat agama hanya sebagai pedoman individu, bukan menjadi aktualisasi didalam masyarakat, apalagi negara.

3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Ahmad Syafii Maarif termasuk tokoh dan pemikir muslim yang tidak setuju dengan konsep Negara Islam. Dengan latar belakang disiplin keilmuan sejarah memberikan kemantapan bagi dirinya tentang pilihan sikapnya, karena telah menelusuri banyak literatur sejarah baik klasik maupun modern, bahwa istilah negara Islam sesungguhnya tidaklah orisinil dari tradisi Islam. Istilah ini oleh Syafii dipandang baru muncul pada abad ke-20 sebagai upaya konfrontasi atau lawan tanding konsep kenegaraan yang dikemukakan oleh pemikir-pemikir politik Barat yang dianggap sekuler yang menganut sistem kepercayaan bukan Islam. Bila syariat Islam dijadikan dasar hukum negara, kelompok Islam santri yang terakhir ini mungkin akan dapat menyesuaikan diri. Tapi, kelompok Islam yang lain memiliki kecenderungan untuk menolak. Padahal, jumlah kuantitatif Muslim yang cenderung sinkretis dan abangan cukup besar. Anda bisa bayangkan apa yang terjadi bila syariat Islam ini benar-benar diterapkan sebagai dasar hukum negara. Perpecahan tak hanya terjadi antara kelompok Muslim dan non Muslim saja, tapi juga perpecahan antar sesama umat Islam itu sendiri. Ini jelas berbahaya.
            Didalam membangun konsep negara- bangsa, Syafii Maarif menekankan pembangunan konsep tersebut pada 3 hal penting, yang hampir sama pada saat ia menerapkannya di Muhammadiyah. Pertama, mengedepankan Al Quran sebagai konsep dan doktrin dari langit, dimana didalamnya tiada keraguan. Namun, mengkaji Al Quran secara mendalam pun juga harus diterapkan. Manakala terjadi perbedaan pendapat, maka disitulah letak kecerdasan seseorang diuji dan bentuk. Kedua, menggunakan konsep amar ma'ruf nahi munkar, sebagai pedoman dan acuan dalam membentuk kepribadian seseorang, baik didalam masyarakat ataupun diterapkan didalam negara. Konsep inilah yang hadir sebagai bentuk nyata dan tinglah laku daripada memahami Al Quran sebagai sebuah pedoman hidup, dimana didalamnya berisi larangan dan perintah yang harus dijalankan. Ketiga, konsep Islam sebagai universitas terbuka, dimana memahami Al Quran merupakan bentuk elaborasi ilmu pengetahuan dan pengembangan pendidikan. Al Quran kemudian menjadi bahan diskusi untuk menjawab segala permasalahan umat saat ini, yang tidak muncul pada masa sebelumnya. Sehingga, pandangn Syafii terhadap negara bangsa, banyak dipengaruhi atas 3 konsep ini.
            Konsep Negara-Bangsa yang ditawarkan oleh Syafii Maarif, justru bertolak belakang dari apa yang umumnya digaungkan oleh para pemikir Islam lainnya. Jika banyak pemikir Islam lebih cenderung menempatkan konsep Islam sebagai dasar dan hukum negara, Syafii Maarif justru menolaknya. Ia menyebutkan, konsep negara yang menggunakan landasan agama dinilai tidak cocok, terlebih di Indonesia. Banyaknya aliran kebudayaan, proses akulturasi serta Islam yang dipandang berbeda membuat konsep agama, khususnya Islam, dinilai tidak relevan di Indonesia. Menurutnya, agama adalah aturan moral bagi individu dalam suatu negara, walaupun konsep dan dasar negara bukanlah berbasis agama, khususnya Islam. Apa yang disampaikan oleh Syafii tersebut, sejalan dengan konsep negara Nasionalisme- Religius, dimana titik temu antar konsep negara-Islam dengan negara-nasional yang sekuler. Konsep nasionalisme-religius berdasarkan kepada perspektif bahwa penyatuan maupun pemisahan agama dengan negara secara ekstrim dipandang bukanlah formula yang ideal. Sebab, penyatuan antara keduanya menyebabkan penyelewengan kekuasaan atas nama agama, dan sebaliknya pemisahan secara ekstrim antara keduanya sama dengan meminggirkan agama. Padahal, agama adalah salah satu sumber nilai dalam kehidupan sebagian besar manusia.
3.2 Implikasi Teoritis
            Sejalan atas apa yang telah disampaikan oleh Ahmad Syafii Maarif diatas, maka dapat terlihat bahwa Syafii Maarif lebih melihat bahwa konsep negara- bangsa yang paling ideal ialah model Nasionalisme- Religius. Dalam model tersebut, asas nasionalisme akan tetap terjaga, dan religiusitas menjadi domain penjaganya, namun hanya dalam lingkup individu, tidak holistik hingga sampai pada tataran konsepsi bernegara. Dengan adanya model tersebut, individu akan terikat terhadap aturan agama yang normatif, tetapi tetap dapat menjadi bagian dari suatu negara karena konsep nasionalisme dan kepemilikan bersama lebih diutamakan. Jika konsep Islam diterapkan, maka akan terjadi benturan- benturan sosial, tidak hanya antar umat Islam sendiri, melainkan juga oleh pemeluk agama lain. Konsep Islamisme, telah banyak diinterpretasikan secara bebas oleh berbagai macam pemeluknya, yang tentunya memberikan pemahaman yang berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu, ada baiknya yang menjadi pilihan utama dari konsep negara- bangsa adalah suatu kesepakatan yang tertuang dalam UUD 1945, dimana setiap pemeluk agama apapun, dapat menjadi bagian langsung dari suatu negara.
            Terlepas dari beragam bentuk pernyataannya yang kontroversial, padangan Syafii Maarif memang memiliki daya nalar yang tinggi. Ia tidak menginginkan Islam menjadi bumerang bagi pemeluknya sendiri karena konsep agama yang tidak dipahami secara kaffah, akan menghadirkan pemahaman pada tataran kulit, bukan isi. Padahal, sebagai suatu konsep, agama harus benar- benar diandang secara substansial dan holistik, tidak setengah- setengah. Hal tersebut memang dapat menjadi bahan perdebatan, namun berdasarkan teori yang ada, justru apa yang menjadi concern Syafii Maarif adalah Islam sebagai agama yang rahmatan lil'alamin dapat menjadi pengikat individu terhadap negaranya. Jika ingin dikupas lebih dalam lagi, Syafii Maarif masih mengkhawatirkan bahwa pemeluk ajaran Islam dapat konsisten dalam menjalankan ajaran agamanya, jika tidak paham atas substansi yang tertuang didalam Islam itu sendiri. Walalupun demikian, Syafii Maarif mencoba untuk memberikan sebuah solusi atau jalan tengah, yaitu melalui UUD 1945 sebagai bentuk ikatan bagi setiap pemeluk agama di Indonesia. Dengan cara itu, maka perpecahan dan perbedaan pandangan tidak akan menjadi sebuah hambatan dalam menjalankan tugas dan fungsi negara guna memberikan pelayanan terbaik bagi segenap hajat hidup orang banyak.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdillah, Masykuri. 2011, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, Jakarta: PT      Gramedia Pustaka Utama
Abdul Raziq, Ali. 2001. dalam Charles Churzman, Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam
Al-Mawardi, Imam. 2000, Al-Ahkam al-sulthaniyyah: Prinsip-prinsip Penyelenggaraan     Negara Islam, Jakarta: Darul Falah
Heywood, Andrew. 2014, Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Jurgensmeyer, Marx. 1998, Menentang Negara Sekular: Kebangkitan Global Nasionalisme Religius, Bandung Mizan
Kuntowijoyo. 1999, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan
Madjid, Nurcholish. 1998, Dialog Keterbukaan: Aktualisasi Nilai-Nilai Islam dalam Wacana        Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina
---------1987, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan
Mulia, Musdah. 2001, Negara Islam, Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta: Paramadina
M. Natsir. 2001, Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Dakwah
Noer, Deliar. 2003. Islam dan Politik, Jakarta: Yayasan Risalah
Rasyid Moten, Abdul . 2001. Ilmu Politik Islam, Bandung: Pustaka
Syadzali, Munawir. 1990. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta:          UI Press,
Sukarno. 1959, Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta: Panitya Di Bawah Bendera Revolusi Kontemporer tentang Isu-Isu Global, Jakarta: Paramadina
Syafii Maarif, Ahmad et all, 2010. Peran Muhammadiyah dalam Perkembangan Global:   Refleksi Satu Abad Kiprah Muhammdiyah dalam Pembentukan Indonesia Modern,       Jakarta: UMJ Press
----------2004, Mencari Autentisitas, Jakarta: PSAP
----------1985, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Islam dan Masalah    Kenegaraan, JakartaL: LP3ES
----------2001, Syariat Islam Yes,  Syariat Islam No: Dilema Piagam jakarta dalam            Amandemen UUD 1945, Jakarta: Paramadina
Zainuddin, Rahman, Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibn Khaldun, Jakarta:         Gramedia
Jurnal, Internet dan Lainnya
Mohammad Nasih, Dinamika Antara Islam dan Nasionalisme di Turki dan Indonesia (1985-        2010), Jakarta: FISIP UI,
Hafidz Siroji, Konstruksi Ideologi Muhammadiyah, Studi Wacana Pemikiran Amien Rais dan Syafii Maarif. Tesis, Fisip UI, 2004
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/463-bersahaja-dan-kritis


[1] Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990, hal 1-3 dalam Mohammad Nasih, Dinamika Antara Islam dan Nasionalisme di Turki dan Indonesia (1986-2010), Depok: FISIP UI, 17-18
[2] Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam, Bandung: Pustaka, 2001, hal 105
[3] Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta: Panitya Di Bawah Bendera Revolusi, 1959, hal 406
[4] Ali Abdul Raziq, dalam Charles Churzman, Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, Jakarta: Paramadina, 2001, hal 13
[5] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1999, hal 58-59
[6] Andrew Heywood, Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014, Hal 186
[7] Musdah Mulia, Negara Islam, Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta: Paramadina, 2001, hal 1
[8] Abdul Rasyid Moeten, Op Cit, hal 105
[9] Imam al-Mawardi, Al-Ahkam al-sulthaniyyah: Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, Jakarta: Darul Falah, 2000
[10] M. Natsir, Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Dakwah, 2001, hal 78
[11] Munawir Syadzali, Op Cit, hal 283-284
[12] Mohammad Nasih, Dinamika Antara Islam dan Nasionalisme di Turki dan Indonesia (1985-2010), Jakarta: FISIP UI, hal 32
[13] Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Aktualisasi Nilai-Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 1998, hal 155-180
[14] Ibid, hal 255
[15] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987, hal 254
[16] Marx Jurgensmeyer, Menentang Negara Sekular: Kebangkitan Global Nasionalisme Religius, Bandung Mizan, 1998, hal 406
[17] Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibn Khaldun, Jakarta: Gramedia, hal 165-167
[18] Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/463-bersahaja-dan-kritis
[19] Hafidz Siroji, Konstruksi Ideologi Muhammadiyah, Studi Wacana Pemikiran Amien Rais dan Syafii Maarif. Tesis, Fisip UI, 2004. Hlm. 127
[20] Ibid. Hlm 153- 166
[21] Ahmad Syafii Maarif, Mencari Autentisitas, Jakarta: PSAP, 2004, hal 69
[22] Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Islam dan Masalah Kenegaraan, JakartaL: LP3ES, 1985, hal 202
[23] Ahmad Syafii Maarif, Mencari..., Op Cit, hal 71
[24] Ahmad Syafii Maarif, et all, Syariat Islam Yes,  Syariat Islam No: Dilema Piagam jakarta dalam Amandemen UUD 1945, Jakarta: Paramadina, 2001, hal 42
[25] Ibid, hal 43
[26] Ibid, hal 43
[27] Deliar Noor, Syariat Islam Yes,  Syariat Islam No: Syariat Islam: Menanggapi Pendapat A. Syafii Maarif. Op.Cit, Hlm. 48

[1] Deliar Noer, Islam dan Politik, Jakarta: Yayasan Risalah, 2003. Hlm. 5
[2] Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011, hal 101
[3] Deliar Noer, Op Cit, hal 6
[4] Ibid, hal 14
[5] Masykuri Abdillah, Op Cit, hal 100
[6] Ahmad Syafii Maarif, et all, Peran Muhammadiyah dalam Perkembangan Global: Refleksi Satu Abad Kiprah Muhammdiyah dalam Pembentukan Indonesia Modern, Jakarta: UMJ Press, 2010, hal 243

1 komentar:

  1. Jamboreen | Casino and Hotel | Jammy
    Located in the heart 하남 출장마사지 of the Mississippi 동두천 출장안마 River lies 서귀포 출장마사지 Jamboreen, nestled in the heart 안동 출장샵 of the Mississippi River in 영주 출장안마 scenic southeastern Mississippi. Jamboreen has a

    BalasHapus