ISU- ISU ISLAM
KONTEMPORER
Konsep Pemikiran
Negara Bangsa Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam Konteks Islam dan Nasionalisme
di Indonesia
Oleh : Joni Firmansyah (Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia)
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah
Secara
historis Islam mempunyai kontribusi besar terhadap aktifitas negara dan
pembentukan negara Indonesia. Islam mempunyai tempat tersendiri sebagai
pandangan hidup atau worldview di
dalam praktek sosial masyarakat Indonesia. Islam juga menjadi ideologi yang
ampuh dalam perlawanan rakyat Indonesia ketika melawan kolonial Belanda. Maka,
kita bisa melihat bagaimana perlawanan-perlawanan tersebut banyak dilakukan
oleh tokoh-tokoh Islam terhadap kesewenang-wenangan kolonialisme. Pada tahun
1930-an polemik antara kalangan Islam dan kalangan kebangsaan tentang hubungan
Islam dengan negara menghangat. Khususnya antara Sukarno yang kemudian menjadi
presiden pertama Indonesia dan Natsir yang kemudian menjadi ketua umum Masyumi.
Yang pertama mencontohkan Turki yang sekuler dan yang melepaskan diri dari
Islam dalam kehidupan bernegara, dan yang kedua agar negara Indonesia tidak
lepas dari Islam.[1]
Perdebatan antara Islam sebagai dasar negara bisa dicatat
dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
tahun 1945 dan dalam perdebatan -perdebatan sidang Konstituante tahun 1956-1959.
Dalam sidang ini terjadi perdebatan ideologis yang sangat tajam antara
wakil-wakil kaum Muslimin dengan golongan nasionalis-sekuler, yang menimbulkan
panasnya situasi politik ketika itu. Perjuangan tersebut karena Islam bukan
sekedar sistem teologis, melainkan juga sebuah jalan hidup (way of life) yang memiliki standar etika
dan moral serta prinsip-prinsip dan norma-norma dasar dalam kehidupan
masyarakat dan negara. Dalam sejarah Islam, ajaran-ajaran Islam ini sebagian
besar telah dipraktikkan dalam kehidupan pribadi, sosial, dan politik semenjak periode
nabi sampai datangnya kolonialisme Barat.[2]
Para
pemimpin Islam pada sidang BPUPKI menginginkan agar negara di format
berdasarkan agama, sehingga Indonesia menjadi negara berdasarkan asas Islam.
Sedangkan kelompok nasionalis-sekuler berargumen bahwa negara Indonesia yang
tidak hanya dihuni oleh orang-orang Islam, sehingga mereka menghendaki konstruksi
negara Indonesia tidak berdasarkan suatu agama tertentu (Islam), karena
dikhawatirkan terjadi diskriminasi terhadap agama-agama lain. Pihak Islam
sendiri berpendapat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun syariat
Islam tidak berjalan. Setelah mengalami perdebatan yang panjang akhirnya
ditemukanlah titik temu dan kompromi berupa Piagam Jakarta. Piagam Jakarta
adalah hasil kerja sebuah panitia kecil dalam BPUPKI. Dalam piagam ini,
Pancasila diterima sebagai dasar negara, tetapi urutan silanya mengalami
perubahan. Sila ketuhanan ditempatkan pada posisi pertama, selain itu juga
diberikan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.” Piagam ini adalah hasil rumusan panitia sembilan
diantaranya: Sukarno, Mohammad Hatta, A.A Maramis, Abikusumo Tjokrosujoso,
Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Mohammad
Yamin. Tetapi kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta hanya bertahan
selama 57 hari karena ada sebagian orang dari belahan Timur yang menganggap itu
diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Maka demi persatuan, akhirnya anak
kalimat itu pada tanggal 18 Agustus 1945 dihapus dari pembukaan UUD 1945.
Perjuangan
untuk menegakkan syariah Islam di Indonesia kemudian dilanjutkan dalam sidang
Konstituante tahun 1956-1959. Menurut Wilopo sebagai ketua Konstituante tahun
1959 mengatakan bahwa pekerjaan konstituante tinggal 10% yang belum selesai,
yaitu soal dasar negara. Ada tiga dasar negara yang diajukan dalam konstituante
yaitu Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi. Kalangan Islam mengemukakan Islam
sebagai dasar negara. Dasar sosial ekonomi banyak dikemukakan oleh orang-orang
kiri, termasuk golongan Partai Buruh. Dasar lain adalah Pancasila yang di
dukung kaum nasionalis, sosialis, dan komunis.[3]
Karena perdebatan mengalami deadlock
maka Sukarno mengeluarkan dekrit yang membubarkan konstituante dan
mengembalikan UUD 1945 sebagai dasar negara. Dalam zaman kekuasaan presiden
Suharto, dalam rangka politik, cita-cita umat Islam dalam berhubungan dengan
negara, dipangkas habis. Selain itu, dasar Islam sebagai asas suatu organisasi,
baik itu organisasi masyarakat atau partai yang di zaman Belanda dibiarkan oleh
penguasa kolonial, di zaman Suharto tidak dibenarkan. Dasar negara satu-satunya
yang dibolehkan adalah Pancasila sebagai asas tunggal.[4]
1.2
Rumusan Masalah
Setelah
jatuhnya rezim Orde Baru yang ditandai dengan terbukanya keran politik yang
sebelumnya tersumbat memberikan dampak kepada setiap kelompok yang ada di
Indonesia untuk menyuarakan kepentingannya. Begitu juga dengan sebagian
kelompok Islam yang memperjuangkan formalisasi syariat Islam. Salah satu
indikasi formalisasi adalah ketika amandemen UUD 1945 ketika masa reformasi
yang menginginkan dikembalikannya Piagam Jakarta. Selain itu banyaknya
peraturan daerah (Perda) yang bernuansa syariat Islam di berbagai daerah. Fenomena
menguatnya wacana formalisasi Islam sebagai dasar negara terdengar kembali,
yang sebenarnya wacana ini pernah muncul ketika masa perjuangan kemerdekaan
Indonesia terutama dimotori oleh tokoh-tokoh terutama yang tergabung dalam
partai Masyumi. Begitupun tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo,
Abdul Kahar Muzakkir, dan Hamka adalah orang-orang yang memperjuangkan gagasan
tentang negara Islam.
Pandangan
negara-Islam maupun formalisasi syariat Islam merupakan fenomena
sosio-politik-keagamaan yang bisa dilihat menggembirakan sekaligus juga
menimbulkan problematik tersendiri. Menggembirakan karena wacana tersebut bisa
menjadi indikator semangat keagamaan umat Islam di Indonesia sedang bangkit,
tetapi menjadi problematis karena wacana tersebut bisa menimbulkan masalah
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal perdebatan antara
tokoh-tokoh yang memperjuangkan negara Islam dan yang memperjuangkan negara
nasional memberikan kompromi dalam format Pancasila dan UUD 1945. Selain
mendapatkan tantangan dari kelompok nasionalis maupun umat beragama non Muslim.
Wacana Islam sebagai dasar negara dan formalisasi syariat Islam juga
mendapatkan resistensi oleh sebagian kelompok umat Islam itu sendiri. Bahkan
ormas-ormas besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah pun tidak
setuju dengan hal ini.[5]
Menguatnya gerakan Islam fundamentalis dalam transisi demokrasi pasca Orde Baru
telah menarik perhatian beberapa cendekawan Muhammadiyah seperti Ahmad Syafii
Maarif, Moeslim Abdurrahman, Syafii Anwar, Haedar Nashir, dan Din Syamsuddin.
Para cendekiawan ini khawatir dengan masa depan demokrasi di Indonesia. Menurut
Haedar Nashir, karakter dasar dan kultur Muhammadiyah adalah salah satu faktor
yang mempengaruhi komitmen para cendekiawan ini untuk mengawal agenda
demokratisasi. Meskipun organisasi ini dikenal puritan, namun pada prinsipnya
Muhammadiyah memiliki dedikasi terhadap nasionalisme dan nilai-nilai kemodernan.[6]
Ahmad Syafii Maarif adalah salah satu mantan ketua Muhammadiyah dan tokoh
intelektual Islam Indonesia yang keberatan apabila Islam dijadikan dasar negara
dan formalisasi syariat Islam. Sebagai salah satu tokoh besar tentu saja
pandangan-pandangannya tentang relasi agama dan nasionalisme menemukan
momentumnya pada masa sekarang terutama setalah reformasi. Karena itu penting
untuk diketengahkan pemikiran Syafii Maarif yang moderat, inklusif, dan
substansialistik.
Berdasarkan
latar belakang dan permasalahan tersebut maka dibuatlah sebuah pertanyaan
berikut:
1. Bagaimana relasi agama dengan negara dan konsep nasionalisme
menurut pemikiran Ahmad Syafii Maarif?
1.1
Kerangka Konseptual dan Teori
a.
Relasi Agama (Islam) dengan Negara
Islam
dalam perkembangannya tidak hanya dipahami sebagai sebuah agama tetapi juga
sebagai sebuah ideologi dan gerakan politik, bahkan sebagai sebuah peradaban
yang pengaruhnya cukup luas. Karena itu perspektif Islam tentang politik memberikan
kontribusi dalam teori mengenai hubungan antara agama dengan negara. Secara
garis besar terdapat hubungan antara agama dengan negara.[1]
Pertama, Islam adalah agama dalam
pengertian Barat, yang tidak berhubungan dengan urusan-urusan kenegaraan. Nabi
Muhammad dalam perspektif ini, hanyalah seorang rasul atau utusan Tuhan
sebagaimana halnya Rasul- rasul sebelumnya dengan tugas untuk mengajak manusia
kembali kepada kehidupan mulia dan berbudi pekerti baik. Nabi Muhammad tidak
pernah berniat, apalagi bertugas untuk mendirikan dan mengepalai negara. Negara
Islam dianggap tidak mempunyai landasan teologis dari doktrin Islam. Konsep ini
merupakan landasan bagi konsep negara nasional atau sekuler.
Kedua, Islam bukan semata-mata agama
dalam pengertian Barat yang hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan
Tuhan. Islam merupakan agama sempurna yang mengatur segala aspek hidup manusia,
termasuk kehidupan politik dan negara. Karena itu dalam pandangan ini, umat
Islam dalam bernegara tidak perlu meniru sistem kenegaraan Barat, tetapi harus
mengacu kepada sistem kenegaraan Islam, yakni sistem yang dipraktikkan oleh
Nabi Muhammad SAW, dan khulafaurrasyidin di
masa awal Islam (abad ke 5-6 M). Pemikiran ini juga menimbulkan berbagai
derivasi dengan adanya keberagaman sistem pemerintahan di negara-negara yang
mengklaim diri sebagai negara Islam, seperti Pakistan dan Republik Islam Iran.
Tetapi, setidaknya ada kesepakatan bahwa negara disebut Negara-Islam jika
memberlakukan seperangkat aturan yang disebut “hukum Islam”. Perspektif ini
melahirkan konsep Negara-Islam.
Ketiga, menolak pandangan bahwa Islam adalah agama serba lengkap
dan bahwa Islam memiliki konsep yang komprehensif dan terperinci sampai kepada
konsep kenegaraan. Islam memang ajaran yang bersifat kaffah atau menyeluruh, tetapi totalitas tersebut hadir dalam
bentuk petunjuk-petunjuk pokok saja. Islam menyediakan pandangan-pandangan etis
bagi pengaturan masyarakat dan negara. Islam memang tidak menyebut secara
tekstual tentang pelaksanaan kenegaraan, tetapi memberikan prinsip moral
sebagai landasan etika dalam kehidupan politik kenegaraan. Prinsip-prinsip
tersebut merupakan landasan yang sangat diperlukan untuk membangun negara yang
dapat mewujudkan kebaikan bersama (common
goods), kerangka berpikir ini menjadi landasan bagi konsep negara-religius.
b.
Negara Nasional
Konsep
negara nasional berbeda dengan konsep berdasarkan agama, dimana konsep ini
berasal dari tradisi Barat yang berkembang setelah gerakan renaissance. Secara formal, sistem negara bangsa secara umum
dikaitkan dengan Piagam Wesphalia pada tahun 1648.[2]
Konsep negara nasional lahir dari pemikiran sekuler yang memisahkan antara
agama dengan negara. Agama adalah aturan mengenai hubungan antara manusia
dengan Tuhan, sedangkan negara mengatur hubungan sesama manusia. Tetapi negara
tetap memberikan kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama dan beribadah
sesuai dengan keyakinan yang dianutnya.
Menurut
Sukarno, negara nasional tidak hendak mengerdilkan agama. Bahkan, dalam
negara nasional, agama akan dimerdekakan
dari negara dan sebaliknya memerdekakan negara dari agama, sehingga
masing-masing bisa kuat.[3]
Sedangkan menurut Ali Abd al Raziq (1888-1966), menolak kaitan antara agama dan
negara yang mengemukakan pandangan tentang tidak adanya referensi mengenai
pendirian Negara-Islam oleh Nabi Muhammad. Hal ini dikutipnya dari sebuah kisah
tentang seseorang yang datang menghadap Nabi Muhammad SAW, untuk menangani
suatu masalah. Saat orang tersebut berdiri di depan beliau, badannya kemudian
menggigil karena ketakutan luar biasa. Nabi Muhammad kemudian mendekatinya dan
berkata: “tenanglah, saya bukan raja atau seorang penakluk, saya putra seorang
perempuan Quraisy yang biasa makan daging kering di Makkah”. Raziq juga
mengutip hadis yang bercerita bahwa ketika Nabi diberikan pilihan oleh Malaikat
Israfil, menjadi seorang raja sekaligus Nabi atau menjadi seorang nabi saja.
Nabi Muhammad SAW, memandang malaikat (Jibril) sebagai konsultannya. Jibril
memandang ke bumi, menunjukkan kerendahan hati sebagai petunjuk kepada Nabi
untuk menjadi seorang yang rendah hati. Nabi kemudian berkata: “seorang nabi
yang mengabdi”. Dari kisah ini Raziq menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad bukanlah
seorang raja dan tidak pula meminta pangkat.[4]
Negara-nasional mengidealkan terwujudnya sebuah persaudaraan baru di atas
persaudaraan lama dalam bernegara. Persaudaraan baru itu berupa dihilangkannya
kelompok-kelompok horizontal maupun vertikal, dan hanya dikenal satu macam
persaudaraan, yaitu persaudaraan nasional. Kalau persaudaraan lama masih
dipertahankan, persaudaraan baru dalam negara-nasional tidak akan efektif.[5]
Bangsa
atau nation adalah fenomena kompleks
yang dibentuk oleh sekumpulan faktor. Secara kultural, sebuah bangsa adalah
sebuah kelompok masyarakat yang disatukan oleh sebuah bahasa, agama, sejarah
dan tradisi yang sama, meskipun bangsa-bangsa memperlihatkan beragam tingkat
heterogenitas kultural. Secara politis sebuah bangsa adalah sebuah kelompok
masyarakat yang menganggap diri mereka sebagai sebuah komunitas politik yang
alami, secara klasik diekspresikan melalui usaha-usaha untuk mencapai
kenegaraan yang berdaulat. Secara psikologis sebuah bangsa adalah sekelompok
masyarakat yang dicirikan oleh sebuah loyalitas atau rasa cinta bersama dalam
bentuk patriotisme.[6]
c.
Negara-Islam
Pada
masa awal perkembangan Islam yang mempunyai karakteristik unik dan kejayaan di
bidang politik. Sejarah awal Islam, lekat dengan penuturan tentang kejayaan
sejak periode Nabi Muhammad SAW di Madinah sampai masa-masa beliau wafat.
Kejayaan politik kemudian terjalin dengan kesuksesan ekspansi militer yang
dilakukan oleh para sahabat Nabi, terutama di bawah kepemimpinan Umar Ibn
Khattab. Inilah yang memunculkan pandangan bahwa Islam adalah agama yang
terkait erat dengan masalah kenegaraan.[7]
Kelompok Sunni dalam Islam menggunakan istilah khilafah sedangkan dalam kelompok Syiah menggunakan istilah imamah untuk merujuk kepada gagasan
sistem politik. Kedua istilah itu diambil dari ayat Al Quran yang kemudian
ditafsirkan sesuai dengan kepercayaan madzhab yang dianut sebagai landasan
politik. Setelah sekian lama menggunakan istilah ini, kemudian muncul
alternatif baru menggantikan kedua istilah tersebut, yakni negara-Islam.[8]
Pemikiran tentang Islam adalah agama yang universal dan mengatur segala
kehidupan manusia, yang konsekuensinya adalah negara dan agama menjadi sesuatu
yang tidak bisa dipisahkan. Konsep negara Islam muncul dari pemikiran bahwa
agama wajib dilaksanakan oleh para pemeluknya. Karena pelaksanaan agama adalah
wajib, maka diperlukan sebuah institusi untuk mengaturnya. Negara adalah institusi
yang paling tepat dan mempunyai otoritas dalam membuat aturan untuk
melaksanakan ajaran agama tersebut.
Al-Mawardi
menyatakan bahwa Islam adalah agama dan negara.[9]
Negara Islam perlu dibentuk karena agama Islam mengandung peraturan-peraturan
yang garis besarnya telah tertuang dalam al-Quran dan hadits Nabi Muhammad.
Agar aturan-aturan tersebut dapat dilaksanakan atau dijalankan sebagaimana
mestinya, maka perlu adanya sesuatu kekuatan yang memerankan fungsi kekuasaan
negara.[10]
Rasyid Ridha adalah orang yang mempunyai andil besar dalam pemikiran ini, yang
menurutnya premis pokok dari konsep negara-Islam adalah syariat sebagai sumber
hukum tertinggi. Menurut Fahmi Huwaydi negara-Islam mempunyai landasan bahwa
Allah adalah sumber hukum, dan rakyat adalah sumber kekuasaan. Seorang penguasa
dalam negara-Islam tidak mempunyai kekebalan, karena hukum berada di atas
segalanya. Hukum yang dimaksudkan adalah al-Quran dan Hadis Nabi. Usaha manusia
untuk menciptakan hukum juga diakui, asalkan tidak bertentangan dengan al-Quran
dan Hadis.[11]
Jadi, konsep negara Islam dilandasi oleh pandangan bahwa tidak ada pemisahan
antara agama dengan organisasi politik.
d.
Nasionalisme-Religius
Nasionalisme-religius
merupakan titik temu antar konsep negara-Islam dengan negara-nasional yang
sekuler. Konsep nasionalisme-religius berdasarkan kepada perspektif bahwa
penyatuan maupun pemisahan agama dengan negara secara ekstrim dipandang
bukanlah formula yang ideal. Sebab, penyatuan antara keduanya menyebabkan
penyelewengan kekuasaan atas nama agama, dan sebaliknya pemisahan secara
ekstrim antara keduanya sama dengan meminggirkan agama. Padahal, agama adalah
salah satu sumber nilai dalam kehidupan sebagian besar manusia.[12]
Nurcholish Madjid mengatakan gagasan negara-Islam lebih merupakan respons
sosiologis yang dipengaruhi konteks lokalitas dan konteks zaman. Bahkan,
istilah negara-Islam baru muncul setelah Pakistan.[13]
Munculnya cita-cita pembentukan negara-Islam disebabkan oleh pola pikir
apologetik dan formalistik yang dipengaruhi oleh fikihisme.[14]
Disebut apologetik karena umat Islam melihat ideologi-ideologi Barat-modern,
seperti demokrasi dan sosialisme menampilkan prinsip menyeluruh. Hal ini
menyebabkan umat Islam mengalami kompleks rendah diri (inferiority complex). Sebagai kompensasi dari rasa rendah diri
tersebut, mereka menggagas sebuah ideologi politik untuk menunjukkan bahwa
Islam lebih unggul daripada ideologi-ideologi politik lain, atau setidaknya
Islam berada pada tingkatan yang sederajat.[15]
Konsep yang menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam politik
merupakan salah satu varian dari konsep nasionalisme-religius.
Nasionalisme-religius
menolak ide-ide negara sekular, tetapi tidak menolak sama sekali politik
sekular, termasuk gagasan negara-bangsa modern. Menurut Marx Juergensmeyer,
konsepsi ini lahir karena harapan-harapan material yang ditawarkan oleh
sekularisme lebih banyak menyebabkan rasa frustasi, terutama di kalangan
individu atau masyarakat yang marjinal atau dimarjinalkan, jika harapan itu
tidak tercapai. Sebaliknya, nilai-nilai religius dapat mencegah rasa frustasi
dan kekecewaan karena harapan-harapan tersebut tidak harus dicapai pada
kehidupan di dunia, tetap kehidupan setelah di dunia.[16]
Nasionalisme religius muncul bersamaan dengan kebangkitan agama-agama di
belahan dunia. Konsepsi nasionalisme-religius sesungguhnya bisa dirunut dari
pemikiran Ibnu Khaldun yang memandang bahwa dalam banyak kasus agama memiliki
peranan penting dalam memupuk persatuan dan solidaritas. Agama dalam hal ini
hadir sebagai jalan untuk menghilangkan persaingan, iri, dan dengki yang
biasanya muncul dalam kelompok solidaritas. Agama membuat seluruh individu
dalam kelompok solidaritas memiliki visi dan pandangan yang sama dalam melihat
kebutuhan akan hadirnya negara.[17]
2. PEMBAHASAN
2.1
Biografi Singkat Ahmad Syafii Maarif
Dikutip
dari laman resmi tokohindonesia.com[18],
Ahmad Syafii Maarif
dilahirkan pada 31 mei 1935 di sebuah desa udik di Sumpurkudus, Sumatra Barat,
sebuah daerah yang sumber penghasilannya dari perdagangan serba kecil dan tani.
Putra Bungsu dari empat bersaudara pasangan Ma'rifah Rauf dan Fathiyah ini,
waktu ecilnya mempunyai hobi menjala, memancing ikan dan menembak dengan
'bedil' angin. Disamping itu dia juga aktif berolah raga joging, badminton
serta tenis meja, tapi sekarang yang tersisa hanya joging dan Badminton.
Sebelum meraih Ph.D di Chicago, Syafii kecil memulai pendidikannya di sekolah
rakyat negeri, tetapi tidak punya ijazah, sebab masih zaman revolusi, dan
merangkap di Madrasah Mualimin Lintau, Sumatra Barat sampai kelas tiga. Sebelum
ke Lintau dia nggangur tiga tahun karena revolusi, kemudian dia belajar di
Mualimin Yogyakarta sampai selesai. Lulus di Yogyakarta ia di ditugaskan ke
Lombok Timur sebagai pengajar sekolah Muhammadiyah selama satu tahun, lalu
pindah ke Jawa memulai belajar di FKIP Cokroaminoto Solo sampai sarjana muda
pada usianya 29 tahun. Di kampus inilah dia aktif di HMI cabang Solo dan
menjadi ketua bidang pendidikan HMI cabang Solo periode 1963-1964. Dan pada
tahun 1968 menyelesaikan sarjananya di FKIP Yogyakarta. Kemudian, meninggalkan
Indonesia untuk belajar sejarah pada program master di universitas Ohio, AS.
Guru besar UNY Yogyakarta ini juga
pernah menjadi dosen pasca sarjana IAIN Yogyakarta. Dan sebelumnya terpilih
menjadi ketua PP Muhammadiyah pada 1999-2004, tokoh yang juga pernah aktif di
GPII dan Pemuda Muhammadiyah, menggantikan Amien Rais yang memilih serius di
partai politik PAN, walaupun suasana sangat menyedihkan saat dua putranya,
hanya tinggal Muhammad Hafizh yang baru selesai S2 di Rotterdam Belanda jurusan
Manajemen Perkotaan. Dalam dunia internasional, Syafii berpendapat bahwa bangsa
Indonesia harus lebih mengintensifkan dengan Masyarakat Eropa, khususnya
Belanda dan Jerman. Alasannya pertama; mereka telah banyak membantu Indonesia,
dan masa depan mereka bisa menjadi 'kompetitor' Amerika Serikat dan ini adalah
asas paling penting bagi politik luar negeri Indonesia, walapun pendapat ini
dimungkinkan para diplomat EU selalu memberikan 'conflict management' pada anti Amerika dan Israel, sehingga, yang
terjadi di Jakarta bahwa gerakan anti-semitic dan Israel telah mendapat
dukungan dan pengaruhnya dari para kebijakan kebijakan anggota EU dan para
diplomatnya. Dari sinilah gerakan anti semitisme berkembang dan mendapat
dukungan dari para deplomat EU di Jakarta. Maarif, yang juga akrab dengan
panggilan Syafii, ahli di bidang pemikiran Islam. Ia mengambil seluruh
pendidikan menengahnya di Mualimin Muhammadiyah. Mula-mula di Lintau, Sumatera
Barat, kemudian di Yogyakarta. Setelah mengambil pendidikan FKIP Cokroaminoto
Surakarta di Solo, ia kembali ke Yogyakarta untuk menyelesaikan FKIS IKIP,
1968.
2.2. Landasan Teologis Menurut Ahmad Syafii
Maarif
Konsep teologis dalam alam pikiran
Syafii Maarif lebih bersifat universal dan mengedepankan toleransi. Memang ada
fase yang perubahan dari pola Syafii Maarif, yang dapat terlihat sebelum ia
berangkat melanjutkan studi di USA dan selepas studi atau sekembalinya ke
Indonesia. Jika sebelumnya Syafii Maarif lebih cenderung dogmatis, selepas dari
USA, pola pemikiran Syafii Maarif mulai terbuka, bahkan sangat toleran. Ia
terkenal dengan argumen- argumen yang berbeda dengan intelektual lainnya.
Tetapi, ketika berbicara mengenai intelektualitas yang berkaitan dengan Muhammadiyah,
menurutnya intelektual Muhammadiyah adalah intelektualisme Islam dengan
penafsiran Al Quran yang benar dan tepat sebagai sentralnya. Syafii Maarif juga
menyebutkan, untuk melihat posisi ilmu pengetahuan dalam Islam, kita harus
menelusurinya dalam Al Quran dan Sunnah Nabi sebagai sumber autentik agama
terakhir.[19]
Dari hal tersebut kita dapat melihat bahwa landasan teologis yang dikembangkan
oleh Syafii Maarif, bermuara pada Al Quran yang autentik atau asli. Terlepas
adanya perkembangan pemikiran, sejatinya harus sejalan dengan apa yang telah
dimaktubkan didalam Al Quran sebagai sumber dari segala sumber ilmu. Namun,
Syafii tidak membantah bahwa intelektual Islam tidak boleh terkungkung pada
dogma lama yang sangat dogmatis, hingga menutup peluang manusia untuk berpikir
dan mengembangkan pengetahuan.
Dalam membangun landasan
pemikirannya, Syafii Maarif menyabutkan ada 3 hal penting yang menjadi
pondasinya. Ketiga hal tersebut juga diterapkan dalam membangun Muhammadiyah
sebagai basis pengembangan ilmu pengetahuan.[20] Pertama, ia menyebutnya sebagai ideologi
doktrin langit. Hal ini berkenaan dengan wahyu Tuhan yang sudah disampaikan
kepada umat manusia sejak zaman Nabi Nuh sampai dengan Nabi Muhammad SAW
sebagai nabi dan rasul penutup. Dalam konteks ini, maka Al Quran adalah satu-
satunya doktrin langit saat ini yang berlaku untuk umat Islam dimanasa Nabi
Muhammad SAW dan sesudahnya. Doktrin langit ini melarang keras manusia untuk
berbuat jahat dan korupsi dimuka bumi sebab muaranya pasti akan membencanai
diri sendiri disamping merusak dan merugikan orang lain. Kedua, merupakan konsep amar
ma'ruf nahi munkar yang dimaksudkan sebagai perintah dan larangan agama
yang bertujuan yakni agar manusia secara perorangan atau kolektif tetap berada
diatas jalan lurus dan dalam binkai moral yang jelas. Menurut Syafii Maarif,
kepada Al Quran lah kita harus berkonsultasi dan menemukan inti dari konsep amar ma'ruf nahi munkar tersebut.
Mengerjakan konsep tersebut merupakan tugas rasul, tugas umat dan komunitas
yang beriman, tugas mereka yang mempunyai kedudukan kokoh di muka bumi, termasuk
didalamnya pemerintah. Oleh sebab itu, konsep ini tidak hanya dilekatkan dalam
diri pribadi, namun seharusnya menjadi konsep umat dan konsep penguasa dalam
menjalankan pemerintahan sesuai dengan syariat Islam.
Ketiga,
konsep Islam sebagai universitas yang terbuka. Menurut Syafii Maarif, konsep
Islam sebagai universitas yang terbuka merupakan gerakan Islam modern yang
terbuka bagi segenap pemikiran dan menjadi komunitas ilmu. Konsep ini juga
diterapkan dalam membangun Muhammadiyah. Aspek pemikiran dan ilmu merupakan
amal teoritis yang tidak kalah penting dengan amal praktis. Dengan pemikiran
dan ilmu, persoalan- persoalan kekinian yang tidak ada contohnya di zaman
terdahulu dapat dijawab dan diberikan solusinya. Pemikiran dan ilmu membentuk
wawasan yang dengan itu seseorang dapat memahami Al Quran dengan lebih baik.
Islam sebagai universitas terbuka akan menjawab tantangan berupa bagaimana
memberi sustansi strategis kepada seruan 'kembali
kepada Al Quran dan al Sunnah'. Sebuah seruan yang hanya merujukkan semua
persoalan kehidupan pada kebenaran mutlak bukan kepada pemikiran- pemikiran
manusia, aliran- aliran atau faham.
Ketiga konsep tersebut, kemudian
membentuk landasan teologis Syafii Maarif dalam memandang sesuatu. Sejatinya
ketiga konsep tersebut memberikan jawaban atas kegelisahan Syafii dalam melihat
realitas masyarakat saat ini, yang hanya melihat Islam tidak secara
substansial. Dengan menerapkan model pemikiran semacam ini, maka akan ada
banyak sudut pandang dan aspek yang muncul, sebagai bentuk kekayaan intelektual
dan proses memahami Al Quran sebagai petunjuk umat. Maka tidak heran jika
konsep Syafii Maarif dalam melihat negara, memiliki perbedaan daripada
intelektual Islam lainnya, yang cenderung menghegemonikan Islam secara
menyeluruh, ditengan multikulturalisme Indonesia.
2.3.
Konsep Relasi Agama dan Negara Nasional Menurut Syafii Maarif
Ahmad Syafii Maarif termasuk tokoh dan
pemikir muslim yang tidak setuju dengan konsep Negara Islam. Dengan latar
belakang disiplin keilmuan sejarah memberikan kemantapan bagi dirinya tentang
pilihan sikapnya, karena telah menelusuri banyak literatur sejarah baik klasik
maupun modern, bahwa istilah negara Islam sesungguhnya tidaklah orisinil dari tradisi
Islam. Istilah ini oleh Syafii dipandang baru muncul pada abad ke-20 sebagai
upaya konfrontasi atau lawan tanding konsep kenegaraan yang dikemukakan oleh
pemikir-pemikir politik Barat yang dianggap sekuler yang menganut sistem
kepercayaan bukan Islam. Islam sebagai sebuah entitas ajaran, dipandang oleh
sebagian umat Islam yang berkecenderungan kepada formalitas Islam, harus mempunyai
kerangka konseptual yang juga meliputi masalah-masalah kenegaraan. Pendapat ini
mutlak untuk memenuhi klaim Islam sebagai agama yang kaffah atau menyeluruh. Pandangan ini ditolak oleh Syafii Maarif
dengan mendialogkan langsung dengan Al Quran dan tradisi awal Islam di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad. Penelusuran dan upaya mendialogkan yang
menghasilkan pandangan memang tidak ditemukan pandangan yang mendukung.
Syafii Maarif melihat bahwa munculnya
istilah ini karena umat Islam mengalami trauma sejarah yang sangat parah selama
penjajahan Barat atas hampir semua bangsa muslim di dunia. Kondisi ini membuat
umat Islam mengalami inferiority complex
(kompleks rendah diri). Untuk menghilangkannya, langkah yang bisa ditempuh
adalah menghapus segala sesuatu yang bernuansa bangsa-bangsa yang telah
melakukan penjajahan tersebut. Selain itu, terdapat ketidakpercayaan umat Islam
kepada sistem politik sekuler yang dianggap mengusir Tuhan dari kehidupan
dunia. Dengan kata lain, sesungguhnya umat Islam ingin menampilkan sistem
politik sendiri yang mempunyai karakteristik berbeda dengan sistem politik yang
telah berkembang dan digunakan oleh masyarakat Barat.[21]
Ini mengindikasikan konsep negara Islam lebih kepada respon terhadap Barat,
sehingga mencari legitimasi dengan konsep universalitas Islam.
Syafii Maarif melihat bahwa konsep
politik kenegaraan oleh para pemikir muslim untuk mengisi kekosongan dan hasil
ijtihad yang dibutuhkan oleh umat Islam karena tuntutan situasi dan kondisi.
Sebagai produk ijtihad maka perbedaan-perbedaan menjadi hal yang tidak bisa
dihindari.
Nabi tidak menetapkan pola teori tentang negara yang harus
diikuti oleh umat Islam di berbagai negeri, asal prinsip syura dijalankan dan
dihormati sepenuhnya. Apa yang disebut teori politik Islam dan dihormati
sepenuhnya. Apa yang disebut teori politik Islam dalam bentuk khilafah atau
imamah sebagaimana dikembangkan oleh para yuris seperti al-Baqillani dan
al-Mawardi pada abad pertengahan, tidak lebih dari sekedar usaha intelektual
untuk memenuhi dan menjawab tuntutan sejarah dan tantangan zaman.[22]
“Kalau tujuh kata atau delapan perkataan yang menjadi ciri
khas Piagam, yaitu dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya sebagai pengiring sila Ketuhanan dicantumkan dalam Pasal 29
ayat 1 UUD 1945, pasti dalam implementasinya akan menemui kesulitan yang tidak
kecil. Perkataan kewajiban sudah tentu memuat perintah yang wajib dilaksanakan
oleh setiap pemeluk Islam. Pasal ini jelas memerlukan tangan kekuasaan untuk
merumuskan sebuah UU bagi pelaksanaan syariat Islam itu. Dan kalau tidak
hati-hati, ini akan dapat menjadi bumerang bagi citra Islam pada masa datang.
Namun, dari kaca mata agama, melaksanakan syariat bagi umat Islam adalah sebuah
kewajiban. Persoalannya adalah perlukah perintah wajib itu dicantumkan dalam
UUD? Bukankah melalui Pasal 29 ayat 1 dan 2 terbuka peluang lebar bagi umat
Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya seluas dan sebebas mungkin? Salah satu
bentuk konkretnya adalah disahkannya UU zakat, sampai dimana pelaksanaan UU ini
dalam realitas? Ini yang perlu dipantau.[23]”
Menurut
Maarif jika amandemen Pasal 29 UUD 1945 dilakukan akan memarginalkan banyak
orang Islam, atau kelompok masyarakat yang selama ini masuk dalam kelompok
Islam pinggiran, yang justru akan lari dari Islam. Bukankah hal itu justu akan
merugikan upaya dakwah Islam itu sendiri. Menurutnya mengapa kita menggantungkan
harapan soal syariat Islam kepada negara yang membuktikan bahwa umat Islam
sedemikian tidak berdaya, sehingga penerapan syariat Islam pun harus diatur
negara.[24]
Dalam penerapan syariat Islam bukan persoalan siap atau tidak siap. Tetapi
dilihat secara realitas sosial, infrastruktur atau perangkat lunak sumber daya
manusia Muslim kita masih sangat rapuh. Manusia Indonesia, meski mayoritas
Muslim, kebanyakan melaksanakan syariat Islam baru sebatas simbol, dan belum
pada substansi.[25]
Dengan
mayoritas Muslim terbesar yang kemudian menuntut penerapan syariat Islam
sebagai dasar hukum negara, menurut Maarif akan memberikan dampak perpecahan
bukan hanya antara kelompok Muslim dan non Muslim, tetapi juga perpecahan
antara sesama Muslim. Ahmad Syafii menyebutkan:
Memang kita negara dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar
di dunia. Namun perlu diingat, secara historis, masuknya Islam ke Indonesia
adalah lebih banyak karena proses akulturasi dengan budaya setempat. Dampak
dari penyebaran agama Islam yang seperti ini maka saat ini kita melihat ada
tiga kelompok warga masyarakat Islam di Indonesia. Pertama, kelompok Islam
marginal yang biasa disebut Islam abangan. Kedua, Islam santri yang cenderung
sinkretis. Ketiga, Islam santri yang memang benar-benar mencoba menerapkan
Islam sesuai syariatnya.
Bila syariat Islam dijadikan dasar hukum negara, kelompok
Islam santri yang terakhir ini mungkin akan dapat menyesuaikan diri. Tapi,
kelompok Islam yang lain memiliki kecenderungan untuk menolak. Padahal, jumlah
kuantitatif Muslim yang cenderung sinkretis dan abangan cukup besar. Anda bisa
bayangkan apa yang terjadi bila syariat Islam ini benar-benar diterapkan
sebagai dasar hukum negara. Perpecahan tak hanya terjadi antara kelompok Muslim
dan non Muslim saja, tapi juga perpecahan antar sesama umat Islam itu sendiri.
Ini jelas berbahaya.[26]
Penerapan
syariat Islam dikhawatirkan menjadi bumerang bagi syariat Islam itu sendiri
karena Islam yang selama ini diyakini sebagai agama rahmatan lil’alamin.
Dampaknya adalah orang Islam kebanyakan hanya akan menjalankan syariat Islam
sebatas kulitnya saja atau simbol, tetapi tidak sampai kepada substansinya.
Lebih utama adalah bagaimana pondasi keislaman yang harus kokoh terlebih
dahulu, yang tidak memerlukan intervensi negara. Menurut Maarif persoalannya
juga bukan cenderung berpikir sekuler, tetapi negara atau institusi politik
jelas merupakan alat penting untuk mencapai tujuan moral Islam. Tapi, soal
untuk menjadi negara yang Islami kita perlu alat yang bernama negara Islam, dan
ini soal akademik. Apapun namanya alat ini, asal bisa menjadi instrumen yang
efektif untuk mencapai tujuan Islam,
tidak perlu dipersoalkan. Karena itu pada muktamar Muhammadiyah, Maarif menolak
mencantumkan asas Islam menjadi landasan kehidupan organisasi. Karena
menurutnya, dicantumkan atau tidak asas tersebut, Islam akan tetap menjadi
landasan kehidupan organisasi. Kalau kita mengkaji ataupun membaca
artikel-artikel Syafii Maarif maka dalam beberapa tulisan tersebut Maarif suka
menggunakan kata-kata menggarami, hal ini terinspirasi oleh perkataan yang
digunakan oleh Bung Hatta: “Pakailah filsafat garam; tak terlihat tetapi
terasa, janganlah menjadi filsafat gincu; tampak tetapi tak terasa.”
2.4.
Analisis dan Kritik Konsep Negara Bangsa Menurut Ahmad Syafii Maarif
Konsep Negara-Bangsa yang ditawarkan oleh Syafii Maarif,
justru bertolak belakang dari apa yang umumnya digaungkan oleh para pemikir
Islam lainnya. Jika banyak pemikir Islam lebih cenderung menempatkan konsep
Islam sebagai dasar dan hukum negara, Syafii Maarif justru menolaknya. Ia
menyebutkan, konsep negara yang menggunakan landasan agama dinilai tidak cocok,
terlebih di Indonesia. Banyaknya aliran kebudayaan, proses akulturasi serta
Islam yang dipandang berbeda membuat konsep agama, khususnya Islam, dinilai
tidak relevan di Indonesia. Oleh sebab itu, didalam beberapa pernyataannya,
Syafii Maarif menyebutkan bahwa penerapan syariat Islam justru akan menjadi
bumerang bagi Islam sendiri. Mengapa?
Karena umat Islam hanya menjalankan syariat sebatas kulitnya saja, bukan pada
substansinya. Oleh karena itu, ada baiknya jika agama dan negara dipisahkan,
namun bukan memisahkan secara sepenuhnya. Menurutnya, agama adalah aturan moral
bagi individu dalam suatu negara, walaupun konsep dan dasar negara bukanlah
berbasis agama, khususnya Islam.
Apa yang
disampaikan oleh Syafii tersebut, sejalan dengan konsep negara Nasionalisme-
Religius, dimana titik temu antar konsep negara-Islam dengan negara-nasional
yang sekuler. Konsep nasionalisme-religius berdasarkan kepada perspektif bahwa
penyatuan maupun pemisahan agama dengan negara secara ekstrim dipandang
bukanlah formula yang ideal. Sebab, penyatuan antara keduanya menyebabkan
penyelewengan kekuasaan atas nama agama, dan sebaliknya pemisahan secara
ekstrim antara keduanya sama dengan meminggirkan agama. Padahal, agama adalah
salah satu sumber nilai dalam kehidupan sebagian besar manusia. Tetapi, ada
beberapa hal yang memang dapat diperdebatkan dalam pernyataan Syafiie Maarif.
Adalah Deliar Noor misalnya, ia mengkritik beberapa argumen Syafii Maarif
terkait implementasi syariat Islam yang justru hanya dijalankan sebagai sebuah
simbol, bukan pada substansi. Benar, substansi lebih penting dari simbol.
Tetapi, simbol sangat pula berperan dalam hidup ini, terutama untuk memadatkan
apa yang kita maksudkan. Simbol bisa menggembirakan, menumbuhkan kebanggaan,
memudahkan pemahaman. Tetapi, substansi lebih dipahami oleh cerdik cendekia,
mereka yang umumnya sudah mengaji masalah, mengerti masalah, mengerti pula
hukum. Orang awam biasanya lebih mengikuti, dan simbol lebih memudahkan ikutan
tersebut.[27]
Terkait apa
yang disampaikan oleh Deliar Noor tersebut, memang ada benarnya. Ia lebih
melihat bahwa simbol memiliki peranan yang penting ditengah kondisi masyarakat
Indonesia yang memang belum sepenuhnya mandiri. Tetapi, bisa saja Syafii juga
berpikiran yang sama terhadap apa yang menjadi kekhawatiran bagi Deliar Noor
tersebut. Karena kondisi masyarakat yang tidak mandiri inilah, membuat Syafii
lebih menegaskan substansi yang hanya dimiliki oleh sebagian kecil orang dengan
tingkat pemahaman yang tinggi. Bagi Syafii, konsep Islam belum sepenuhnya layak
diterapkan di Indonesia. Hal tersebut diperkuat dengan kondisi masyarakat
Indonesia yang masih belum mengetahui dan membedakan dirinya berdasarkan
identifikasi secara keagamaan. Oleh sebab itu, menurut Syafii, ada baiknya jika
konsep negara lebih kepada gagasan secara universal, khususnya kesepakatan yang
diperoleh melalui UUD 1945. Dengan demikian, konsep negara- bangsa yang
mengedepankan universalitas justru akan lebih mudah untuk diterima, daripada
penerapan syariat Islam secara holistik. Berdasarkan hal tersebut, Syafii lebih
melihat agama hanya sebagai pedoman individu, bukan menjadi aktualisasi didalam
masyarakat, apalagi negara.
3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ahmad Syafii Maarif termasuk tokoh dan pemikir muslim yang
tidak setuju dengan konsep Negara Islam. Dengan latar belakang disiplin
keilmuan sejarah memberikan kemantapan bagi dirinya tentang pilihan sikapnya,
karena telah menelusuri banyak literatur sejarah baik klasik maupun modern,
bahwa istilah negara Islam sesungguhnya tidaklah orisinil dari tradisi Islam.
Istilah ini oleh Syafii dipandang baru muncul pada abad ke-20 sebagai upaya
konfrontasi atau lawan tanding konsep kenegaraan yang dikemukakan oleh
pemikir-pemikir politik Barat yang dianggap sekuler yang menganut sistem
kepercayaan bukan Islam. Bila syariat Islam dijadikan dasar hukum negara,
kelompok Islam santri yang terakhir ini mungkin akan dapat menyesuaikan diri.
Tapi, kelompok Islam yang lain memiliki kecenderungan untuk menolak. Padahal,
jumlah kuantitatif Muslim yang cenderung sinkretis dan abangan cukup besar.
Anda bisa bayangkan apa yang terjadi bila syariat Islam ini benar-benar
diterapkan sebagai dasar hukum negara. Perpecahan tak hanya terjadi antara
kelompok Muslim dan non Muslim saja, tapi juga perpecahan antar sesama umat
Islam itu sendiri. Ini jelas berbahaya.
Didalam
membangun konsep negara- bangsa, Syafii Maarif menekankan pembangunan konsep
tersebut pada 3 hal penting, yang hampir sama pada saat ia menerapkannya di
Muhammadiyah. Pertama, mengedepankan
Al Quran sebagai konsep dan doktrin dari langit, dimana didalamnya tiada
keraguan. Namun, mengkaji Al Quran secara mendalam pun juga harus diterapkan.
Manakala terjadi perbedaan pendapat, maka disitulah letak kecerdasan seseorang
diuji dan bentuk. Kedua, menggunakan
konsep amar ma'ruf nahi munkar,
sebagai pedoman dan acuan dalam membentuk kepribadian seseorang, baik didalam
masyarakat ataupun diterapkan didalam negara. Konsep inilah yang hadir sebagai
bentuk nyata dan tinglah laku daripada memahami Al Quran sebagai sebuah pedoman
hidup, dimana didalamnya berisi larangan dan perintah yang harus dijalankan. Ketiga, konsep Islam sebagai universitas
terbuka, dimana memahami Al Quran merupakan bentuk elaborasi ilmu pengetahuan
dan pengembangan pendidikan. Al Quran kemudian menjadi bahan diskusi untuk
menjawab segala permasalahan umat saat ini, yang tidak muncul pada masa
sebelumnya. Sehingga, pandangn Syafii terhadap negara bangsa, banyak
dipengaruhi atas 3 konsep ini.
Konsep
Negara-Bangsa yang ditawarkan oleh Syafii Maarif, justru bertolak belakang dari
apa yang umumnya digaungkan oleh para pemikir Islam lainnya. Jika banyak
pemikir Islam lebih cenderung menempatkan konsep Islam sebagai dasar dan hukum
negara, Syafii Maarif justru menolaknya. Ia menyebutkan, konsep negara yang
menggunakan landasan agama dinilai tidak cocok, terlebih di Indonesia.
Banyaknya aliran kebudayaan, proses akulturasi serta Islam yang dipandang
berbeda membuat konsep agama, khususnya Islam, dinilai tidak relevan di Indonesia.
Menurutnya, agama adalah aturan moral bagi individu dalam suatu negara,
walaupun konsep dan dasar negara bukanlah berbasis agama, khususnya Islam. Apa
yang disampaikan oleh Syafii tersebut, sejalan dengan konsep negara
Nasionalisme- Religius, dimana titik temu antar konsep negara-Islam dengan
negara-nasional yang sekuler. Konsep nasionalisme-religius berdasarkan kepada
perspektif bahwa penyatuan maupun pemisahan agama dengan negara secara ekstrim
dipandang bukanlah formula yang ideal. Sebab, penyatuan antara keduanya
menyebabkan penyelewengan kekuasaan atas nama agama, dan sebaliknya pemisahan
secara ekstrim antara keduanya sama dengan meminggirkan agama. Padahal, agama
adalah salah satu sumber nilai dalam kehidupan sebagian besar manusia.
3.2 Implikasi
Teoritis
Sejalan atas apa yang telah disampaikan oleh Ahmad Syafii
Maarif diatas, maka dapat terlihat bahwa Syafii Maarif lebih melihat bahwa
konsep negara- bangsa yang paling ideal ialah model Nasionalisme- Religius.
Dalam model tersebut, asas nasionalisme akan tetap terjaga, dan religiusitas
menjadi domain penjaganya, namun hanya dalam lingkup individu, tidak holistik
hingga sampai pada tataran konsepsi bernegara. Dengan adanya model tersebut,
individu akan terikat terhadap aturan agama yang normatif, tetapi tetap dapat
menjadi bagian dari suatu negara karena konsep nasionalisme dan kepemilikan
bersama lebih diutamakan. Jika konsep Islam diterapkan, maka akan terjadi
benturan- benturan sosial, tidak hanya antar umat Islam sendiri, melainkan juga
oleh pemeluk agama lain. Konsep Islamisme, telah banyak diinterpretasikan
secara bebas oleh berbagai macam pemeluknya, yang tentunya memberikan pemahaman
yang berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu, ada baiknya yang menjadi pilihan
utama dari konsep negara- bangsa adalah suatu kesepakatan yang tertuang dalam
UUD 1945, dimana setiap pemeluk agama apapun, dapat menjadi bagian langsung
dari suatu negara.
Terlepas
dari beragam bentuk pernyataannya yang kontroversial, padangan Syafii Maarif
memang memiliki daya nalar yang tinggi. Ia tidak menginginkan Islam menjadi
bumerang bagi pemeluknya sendiri karena konsep agama yang tidak dipahami secara
kaffah, akan menghadirkan pemahaman
pada tataran kulit, bukan isi. Padahal, sebagai suatu konsep, agama harus
benar- benar diandang secara substansial dan holistik, tidak setengah-
setengah. Hal tersebut memang dapat menjadi bahan perdebatan, namun berdasarkan
teori yang ada, justru apa yang menjadi concern
Syafii Maarif adalah Islam sebagai agama yang rahmatan lil'alamin dapat menjadi pengikat individu terhadap
negaranya. Jika ingin dikupas lebih dalam lagi, Syafii Maarif masih
mengkhawatirkan bahwa pemeluk ajaran Islam dapat konsisten dalam menjalankan
ajaran agamanya, jika tidak paham atas substansi yang tertuang didalam Islam
itu sendiri. Walalupun demikian, Syafii Maarif mencoba untuk memberikan sebuah
solusi atau jalan tengah, yaitu melalui UUD 1945 sebagai bentuk ikatan bagi
setiap pemeluk agama di Indonesia. Dengan cara itu, maka perpecahan dan
perbedaan pandangan tidak akan menjadi sebuah hambatan dalam menjalankan tugas
dan fungsi negara guna memberikan pelayanan terbaik bagi segenap hajat hidup
orang banyak.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Abdillah,
Masykuri. 2011, Islam dan Dinamika Sosial
Politik di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
Abdul
Raziq, Ali. 2001. dalam Charles Churzman, Wacana
Islam Liberal, Pemikiran Islam
Al-Mawardi,
Imam. 2000, Al-Ahkam al-sulthaniyyah:
Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara
Islam, Jakarta: Darul Falah
Heywood,
Andrew. 2014, Politik, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Jurgensmeyer,
Marx. 1998, Menentang Negara Sekular:
Kebangkitan Global Nasionalisme Religius, Bandung Mizan
Kuntowijoyo.
1999, Identitas Politik Umat Islam,
Bandung: Mizan
Madjid,
Nurcholish. 1998, Dialog Keterbukaan:
Aktualisasi Nilai-Nilai Islam dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina
---------1987,
Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,
Bandung: Mizan
Mulia,
Musdah. 2001, Negara Islam, Pemikiran
Politik Husain Haikal, Jakarta: Paramadina
M.
Natsir. 2001, Agama dan Negara Dalam
Perspektif Islam, Jakarta: Media Dakwah
Noer,
Deliar. 2003. Islam dan Politik,
Jakarta: Yayasan Risalah
Rasyid
Moten, Abdul . 2001. Ilmu Politik Islam, Bandung: Pustaka
Syadzali, Munawir. 1990. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan
Pemikiran, Jakarta: UI Press,
Sukarno.
1959, Di Bawah Bendera Revolusi,
Jakarta: Panitya Di Bawah Bendera Revolusi Kontemporer tentang Isu-Isu Global,
Jakarta: Paramadina
Syafii Maarif, Ahmad et all, 2010. Peran Muhammadiyah dalam Perkembangan
Global: Refleksi Satu Abad Kiprah
Muhammdiyah dalam Pembentukan Indonesia Modern, Jakarta: UMJ Press
----------2004,
Mencari Autentisitas, Jakarta: PSAP
----------1985,
Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante, Islam dan Masalah Kenegaraan,
JakartaL: LP3ES
----------2001, Syariat Islam Yes, Syariat Islam
No: Dilema Piagam jakarta dalam Amandemen
UUD 1945, Jakarta: Paramadina
Zainuddin,
Rahman, Kekuasaan dan Negara, Pemikiran
Politik Ibn Khaldun, Jakarta: Gramedia
Jurnal, Internet dan Lainnya
Mohammad
Nasih, Dinamika Antara Islam dan
Nasionalisme di Turki dan Indonesia (1985- 2010),
Jakarta: FISIP UI,
Hafidz Siroji, Konstruksi Ideologi Muhammadiyah, Studi
Wacana Pemikiran Amien Rais dan Syafii Maarif. Tesis, Fisip UI, 2004
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/463-bersahaja-dan-kritis
[1]
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara:
Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990, hal 1-3 dalam
Mohammad Nasih, Dinamika Antara Islam dan
Nasionalisme di Turki dan Indonesia (1986-2010), Depok: FISIP UI, 17-18
[2] Abdul
Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam,
Bandung: Pustaka, 2001, hal 105
[3]
Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi,
Jakarta: Panitya Di Bawah Bendera Revolusi, 1959, hal 406
[4] Ali
Abdul Raziq, dalam Charles Churzman, Wacana
Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, Jakarta:
Paramadina, 2001, hal 13
[5]
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam,
Bandung: Mizan, 1999, hal 58-59
[6]
Andrew Heywood, Politik, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2014, Hal 186
[7]
Musdah Mulia, Negara Islam, Pemikiran
Politik Husain Haikal, Jakarta: Paramadina, 2001, hal 1
[8] Abdul
Rasyid Moeten, Op Cit, hal 105
[9] Imam
al-Mawardi, Al-Ahkam al-sulthaniyyah:
Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, Jakarta: Darul Falah, 2000
[10] M.
Natsir, Agama dan Negara Dalam Perspektif
Islam, Jakarta: Media Dakwah, 2001, hal 78
[11]
Munawir Syadzali, Op Cit, hal 283-284
[12]
Mohammad Nasih, Dinamika Antara Islam dan
Nasionalisme di Turki dan Indonesia (1985-2010), Jakarta: FISIP UI, hal 32
[13]
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan:
Aktualisasi Nilai-Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer,
Jakarta: Paramadina, 1998, hal 155-180
[14] Ibid, hal 255
[15]
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987, hal 254
[16] Marx
Jurgensmeyer, Menentang Negara Sekular:
Kebangkitan Global Nasionalisme Religius, Bandung Mizan, 1998, hal 406
[17]
Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara,
Pemikiran Politik Ibn Khaldun, Jakarta: Gramedia, hal 165-167
[18] Sumber:
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/463-bersahaja-dan-kritis
[19] Hafidz Siroji, Konstruksi
Ideologi Muhammadiyah, Studi Wacana Pemikiran Amien Rais dan Syafii Maarif.
Tesis, Fisip UI, 2004. Hlm. 127
[21] Ahmad
Syafii Maarif, Mencari Autentisitas,
Jakarta: PSAP, 2004, hal 69
[22] Ahmad
Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan
dalam Konstituante, Islam dan Masalah Kenegaraan, JakartaL: LP3ES, 1985,
hal 202
[23] Ahmad
Syafii Maarif, Mencari..., Op Cit,
hal 71
[24] Ahmad Syafii Maarif, et all, Syariat Islam Yes, Syariat Islam No: Dilema Piagam jakarta dalam
Amandemen UUD 1945, Jakarta: Paramadina, 2001, hal 42
[25] Ibid,
hal 43
[26] Ibid,
hal 43
[27] Deliar Noor, Syariat Islam Yes, Syariat Islam
No: Syariat Islam: Menanggapi Pendapat A. Syafii Maarif. Op.Cit, Hlm. 48
[1]
Deliar Noer, Islam dan Politik,
Jakarta: Yayasan Risalah, 2003. Hlm. 5
[2]
Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika
Sosial Politik di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011, hal
101
[3]
Deliar Noer, Op Cit, hal 6
[4] Ibid, hal 14
[5]
Masykuri Abdillah, Op Cit, hal 100
[6] Ahmad
Syafii Maarif, et all, Peran Muhammadiyah
dalam Perkembangan Global: Refleksi Satu Abad Kiprah Muhammdiyah dalam
Pembentukan Indonesia Modern, Jakarta: UMJ Press, 2010, hal 243
Jamboreen | Casino and Hotel | Jammy
BalasHapusLocated in the heart 하남 출장마사지 of the Mississippi 동두천 출장안마 River lies 서귀포 출장마사지 Jamboreen, nestled in the heart 안동 출장샵 of the Mississippi River in 영주 출장안마 scenic southeastern Mississippi. Jamboreen has a