Kilasan Singkat Kehidupan dari Ia
yang Selalu Terasingkan
MASA KANAK- KANAK
Namaku
Joni Firmansyah. Aku lahir pada tanggal 19 Juni 1991 di sebuah desa kecil yang
bernama Labuhan Sangor, di pinggiran pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Sesuai dengan letak geografis daerah tempatku dilahirkan, maka lingkungan
pertama kali yang kutemui ialah lingkungan perairan dengan keindahan alam
bahari sebagai awal plot kehidupan saya. Tak butuh waktu yang terlalu lama bagiku
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut, karena darah nelayan
mengalir dalam diriku. Kakekku adalah seorang nelayan, begitupun dengan seluruh
garis keturunannya, termasuk Ibuku. Dalam kehidupan kami, laut menjadi sahabat
yang tak pernah lekang oleh waktu dan selalu setia menemani dalam keadaan
apapun. Seluruh masyarakat dikampung tersebut bergantung kepada kebaikan laut
yang menjadi sumber mata pencaharian dalam pemenuhan hajat hidup mereka.
Sementara Ibuku sebagai seorang nelayan, maka Ayah sebagai kepala keluarga
memiliki pandangan yang berbeda untuk memperbaiki keadaan ekonomi kami. Sebelum
menikah dengan Ibu, Ayah adalah seorang supir truk penjual ikan. Beliau
mengantarkan hasil tangkapan ikan penduduk untuk dijual di pusat kota Sumbawa.
Ayah bukanlah penduduk asli desa tempat dimana aku dilahirkan, melainkan
perantauan yang berasal dari Desa Plampang yang memiliki adat serta istiadat
yang berbeda dari desa tempat Ibu berasal. Mungkin, sudah suratan takdir yang
mempertemukan mereka. Ibarat sebuah pepatah, “Asam digunung, garam dilaut,
pasti bertemu di belanga jua”. Mungkin itulah gambaran yang bisa aku ceritakan terkait
kisah cinta mereka mulai berawal. Semuanya telah digariskan dan menjadi rahasia
Tuhan, aku tak perlu tahu.
Berbekal
kemampuan Ayah mengemudikan kendaraan, kamipun memutuskan untuk meninggalkan
desa tempat kelahiranku. Beratkah? Tidak! Karena usiaku saat itu masihlah belia
dan kutahu alasan Ibu sepakat dengan keputusan Ayah, yaitu untuk hidup kami
yang lebih baik. Usiaku saat itu belumlah genap 3 tahun pada saat kami
meninggalkan desa itu. Kami sekeluarga mulai meninggalkan desa itu dengan
menumpang truk ikan yang biasa dikemudikan Ayah. Namun, yang menjadi pembeda
saat ini ialah kami sebagai penumpang, karena juragan truk tersebut telah
menemukan supir yang menggantikan Ayah. Satu hal yang kuingat selama perjalanan
tersebut, yaitu aku bersandar di bahu Ibu dan tertidur selama perjalanan. Saat
aku membuka mata, aku telah berada diatas kasur yang menurutku tak terlalu
empuk, dengan langit- langit kamar berwarna putih, begitupun dengan dinding-
dindingnya. Awalnya aku mengira kau berada di Rumah Sakit, namun tak kutemukan
seorang perawat dan dokter diruangan tersebut. Hanya Ibu dan Ayah yang tengah
membersihkan ruangan tersebut sehingga layak untuk kami tempati. Aku masih
ingat, saat pertama kalinya aku melangkah keluar ruangan tersebut. Tampak
jejeran bus- bus besar disepanjang pelataran parkir yang membentang luas di
depanku. Aku hanya terdiam, karena layaknya anak- anak pada umumnya, aku tak
punya alasan untuk bertanya kepada Ibu, mengapa kita disini. Tak ada yang
spesial dengan tempat ini, menurutku. Aku hanya melihat sekeliling tempat kami
tinggal. Hari masih gelap, karena saat aku terbangun, jam masih menunjukkan
pukul 3 pagi. Pintu- pintu rumah yang lain masih tertutup dan kuputuskan untuk
tidur lagi. Akupun mencari Ibu. Saat kutemukan, aku melihat Ibu tersenyum. Kutahu,
ia sangat bahagia.
Aku
terbangun. Aku keluar dari ruangan tersebut dan menyaksikan bus- bus besar tadi
datang silih berganti. Kulihat Ayah turun dari salah satu bus tersebut. Aku
baru tahu, kalau Ayahku akan mengemudikan salah satu dari bus- bus tersebut,
dan tempat kami tinggal adalah rumah yang dipersiapkan oleh armada bus untuk
supir- supir yang belum memiliki rumah. Ah, aku anak gudang sekarang, karena
tempat aku tinggal selain disebut sebagai rumah, lebih layak disebut sebagai
gudang.
Tapi tak mengapa, karena aku suka
tempat ini. Namun, tak perlu waktu lama aku tinggal digudang ini. Ibu telah
membeli sebuah tanah di salah satu kelurahan di pusat kota ini. Alasannya
sederhana, karena aku harus membutuhkan lingkungan yang baik, sebelum aku masuk
taman kanak- kanak. Aku tahu bahwa usiaku sudah layak untuk masuk sekolah. Maka
akupun siap untuk meninggalkan lingkunganku saat ini. Beratkah? Tidak! Karena
disini hanya aku yang berstatus anak- anak. Sisanya ialah orang dewasa dengan
berbagai macam latar belakang pekerjaan. Supir, adalah bidang pekerjaan dengan
strata tertinggi. Status sebagai sopir dapat disamakan sebagai Kolonel dalam
angkatan bersenjata, karena pangkat Jenderal tentunya disandang oleh bos besar
pemilik tempat ini. Ayahku seorang supir, maka yang kutahu ia adalah Kolonel
ditempat ini. Penguasa dengan pangkat tertinggi. Jabatan selanjutnya ialah
Kernet, dengan pangkat sebagai Letnan Kolonel (Letkol) karena berfungsi
membantu supir dalam mengemudikan bus- bus besar tersebut. Tak terlalu buruk, karena
jika tak ada supir, maka kernet adalah penguasa kedua. Selanjutnya ialah
Teknisi Mesin dengan pangkat Letnan. Fungsinya ialah memperbaiki bus- bus
tersebut manakala mengalami masalah dalam operasi kendaraan. Kemudian, ada
agen- agen atau biasa disebut calo. Mereka berpangkat Sersan dengan tugas
menjual tiket keberangkatan penumpang. Jabatan selanjutnya ialah penumpang
ketinggalan bus. Aku tak tahu harus member mereka pangkat seperti apa, karena
mereka selalu hadir dengan wajah yang berbeda- beda. Maka kuputuskan mereka
sebagai tentara negara lain. Tak perlu dipikirkan, menurutku. Selanjutnya ialah
Aku, sebagai seorang paling muda dilingkungan ini. Apa pangkatku? Kopral!
Alasannya sederhana, karena hanya Kopral yang turun untuk berperang. Terkadang
ada yang selamat, tapi kutahu juga bahwa tak sedikit yang mati di medan juang.
Tetapi tak mengapa, aku bangga!
Jalan
Cendrawasih no. 24, Brang Biji, kec. Sumbawa, kab. Sumbawa, Nusa Tenggara Barat
adalah alamat rumahku yang baru. Lingkungan yang baru ini adalah pelabuhan
terakhir dari perjalanan kapal keluarga kami. Dalam lingkungan ini, aku
menemukan banyak sekali pengalaman dan teman yang berharga untuk membantu
tumbuh- kembangku sebagai anak- anak. Aku telah sekolah, tepatnya masih kelas
Nol Besar di Taman Kanak- Kanak RA. Bustanul Jannah. Ibu yang mengantarkanku
setiap kali aku berangkat sekolah. Bahkan, Ibu selalu menungguiku hingga kelas
bubar. Bukan karena aku manja, tapi lebih karena Ibu takut terjadi apa- apa
denganku jikalau aku berangkat sendiri. Ibu sayang padaku.
Tak
perlu waktu lama bagiku untuk menyelesaikan pendidikan pertamaku tersebut. Satu
tahun berada di TK telah sangat cukup bagiku untuk mahir membaca, menulis dan
berhitung. Ibu selalu membelikan majalah BOBO buatku sebagai bahan bacaan. Namun,
akhir- akhir ini aku sudah jarang mendapat majalah itu lagi. Semenjak
kepindahan kami dirumah yang baru, ekonomi keluargaku sedikit menurun, sehingga
mengharuskan Ibu membantu ekonomi keluarga. Tidak hanya Ibu menurutku, akupun
punya tanggung jawab untuk membantu ekonomi keluarga sebagai anak tertua,
karena selepas pendidikanku di taman kanak- kanak, Ibu melahirkan dan aku telah
menjadi seorang kakak. Adikku laki- laki, namanya Rustam Rizky Effendi.
Akhirnya, aku punya teman untuk bermain bola, pikirku. Maka kuputuskan untuk
membantu orang tua. Karena usiaku yang masih dibawah umur dan akupun akan masuk
Sekolah Dasar (SD), maka Ibu membelikanku sepasang kambing untuk aku gembala.
Ya! Profesi terbaruku setelah usai menjadi kopral di gudang bus itu ialah sebagai
penggembala kambing.
Aku
mulai masuk Sekolah Dasar (SD) pada usia 7 tahun. Usia yang normal menurutku,
karena ada teman- temanku yang masuk SD di usia 8 tahun. Dalam batas
ketidakmampuan ekonomi keluarga, Ayah dan Ibu tetap bersikeras menyekolahkanku
di SD 11 Sumbawa, salah satu SD terfavorit di Kabupaten Sumbawa. Ditengah-
tengah profesiku sebagai penggembala kambing, aku masih sempat belajar selepas
aku bersekolah, yaitu disaat aku menggembala kambingku itu. Bagiku, bersekolah
merupakan suatu kewajiban mutlak dan harus dilaksanakan. Ibuku yang mengajarkan
demikian karena beliau tidak ingin mengulang masa kelamnya saat beliau masih
bersekolah dulu. Ibuku adalah seorang yang cerdas. Beliau adalah siswa dengan
nilai Ujian Nasional (UN) tertinggi di Kabupaten Sumbawa untuk tingkat Sekolah
Dasar, di SD Labuhan Sangor, tempat aku dilahirkan. Beliaupun pernah menjuarai
lomba cerdas- cermat antar kecamatan didesa kami. Namun, selepas SD Ibu tak
mampu melanjutkan sekolah ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) lantaran
kakek tak memiliki cukup biaya. Ibu sangat bersedih saat itu. Mulai saat itu,
Ibu berjanji dalam hatinya bahwa kelak anaknya nanti harus merasakan pendidikan
setinggi- tingginya. Karena Ibu percaya, hanya dengan pendidikan derajat seseorang
akan naik dan diakui dalam masyarakat. Itulah mengapa pendidikan selalu menjadi
prioritas utama dalam keluarga kami. Salah satu kebiasaan yang ditularkan Ibu
kepadaku ialah hobi beliau membaca, dan kebiasaan itu juga melekat dalam
diriku. Sepulang sekolah, kusempatkan diriku untuk meminjam buku di
perpustakaan sekolah dan kubawa pulang untuk kubaca selama aku menggembala
kambing. Buku apapun itu selalu kubaca, dari buku fiksi, romantika, hingga buku
ajaran agama lainpun aku gemari. Bagiku, membaca adalah kegiatan mengunjungi
dimensi dunia lain, dunia para penulis yang sengaja dibagikan kepada pembaca
untuk diakui keberadaannya dan dimengerti maksud dan tujuan penulisannya.
Mempelajari sastra adalah kesenangan tersendiri bagiku, yang selalu ditemani
dengan kambing- kambingku itu. Itulah mengapa aku selalu ditunjuk untuk
mewakili sekolahku dalam setiap lomba yang melibatkan sastra sebagai tema
utamanya. Dimulai dari lomba baca puisi, lomba pidato, mengarang dan lomba
cerdas cermat. Tetapi, ada satu momen yang tak pernah kulupakan saat aku
mengikuti lomba baca puisi. Perlu kawan- kawan ketahui bahwa ketika aku masih
duduk di bangku Sekolah Dasar, aku tak mampu melafalkan huruf “R” dengan benar.
Jika kupaksakan, lafal yang terdengar ialah mirip huruf “L”, sehingga aku
sering di olok- olok teman- temanku. Maka, hari naas bagikupun tiba, disaat aku
diminta membacakan puisi di depan ratusan penonton, ada kalimat yang berbunyi,
“Sebuah lubang peluru bundar didadanya” dan, “Kita sedang perang!”. Akupun
dengan santai melafalkannya,” Sebuah lubang pelulu bundal didadanya” dan, “Kita
sedang pelang!”. Sontak!, seluruh penonton yang hadirpun tertawa terbahak-
bahak. Dewan juri, guru- guru, dan teman- temanku ikut tertawa. Kepercayaan
diriku mulai goyah, peluhku mengalir deras. Wajahku menjadi merah padam,
kutahan rasa Maluku dengan gemetar. Kupandangi seluruh penonton yang
menertawaiku. Tiba- tiba mataku mendapati sosok Ibuku di sudut panggung. Ibu
tidak tertawa, beliau hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Entah mengapa,
bulu kudukku merinding, ada energi lain yang member semangat kepadaku. Darahku
mulai berdesir, ketakutanku perlahan- lahan menghilang. Aku tegakkan kepalaku
dan mulai percaya diri kembali. Kubacakan puisi tersebut dengan lantang hingga
akhir. Tepuk tangan meriah mengiringi langkahku menuruni panggung. Aku merasa
sebagai kopral menang perang saat itu. Tak begitu buruk menurutku, karena juara
3 menjadi milikku malam itu. Ah, ini semua karena Ibu. Jika beliau tak
menganggukkan kepalanya saat aku mulai ragu, mungkin aku akan menjadi kopral
yang mati menggenaskan saat itu. Cukup dengan satu senyuman dan anggukkan
kepala, aku menang dalam pertarungan itu. Ditengah keterbatasanku yang cadel, aku masih bisa menang dan berani
melawan ketidakmungkinan. Sepertinya aku naik pangkat menjadi komandan kopral, untuk
malam itu saja.
MASA
REMAJA
Kambingku
yang semula hanya dua ekor, sekarang telah menjadi puluhan ekor. Kini aku tak
sendiri lagi mengurusi kambing- kambing itu. Adikku yang kedua telah mampu
membantuku mengurusi kambing kami. Kini aku telah memiliki dua adik, disaat aku
bersiap menghadapi Ujian Nasional tingkat Sekolah Dasar. Tabunganku hasil
menggembala kambing telah cukup untuk masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)
terbaik di Kabupaten Sumbawa. Saat itu aku bisa merasakan bagaimana menikmati
hasil jerih payah sendiri. Tak perlu lagi ku menengadahkan tangan untuk meminta
kepada orang tua, karena berkat kambing- kambing itu, aku mampu mengurusi
diriku sendiri. Ayahku masih menjadi supir bus- bus besar. Pangkat beliau tak
pernah naik, selalu berpangkat Kolonel. Aku hanya mungkin bisa bermimpi,
jikalau beliau menjadi Jenderal mungkin aku tak perlu mengurusi kambing, karena
aku pasti mengurusi bis- bis besar itu, membantu ayah mengurusi bawahannya,
yaitu kolonel- kolonel baru dengan antek- anteknya.
Ujian
usai, nilaiku bisa dikatakan gemilang. Akupun berhasil masuk ke SMP Negeri 1
Sumbawa, sesuai cita- citaku. Di tahun pertamaku, namaku disekolah itu masih
biasa- biasa saja. Orang masih mengenalku sebagai seorang penggembala kambing.
Hingga suatu ketika, kuberanikan diriku untuk ikut serta dalam pemilihan Ketua
Osis disekolahku. Kompetitorku sebanyak dua orang, salah seorang diantara
mereka adalah rekan sekelasku, namanya Artur. Ia adalah anak seorang pengacara
sukses di daerahku. Rumor yang beredar, ia adalah keturunan langsung raja- raja
Sumbawa masa lampau. Tapi menurutku tak ada yang spesial dari pribadinya,
kecuali kehebatannya dalam bidang seni dan olah raga. Untuk bidang olah raga,
aku masih bisa menandingi. Tapi kalau urusan seni, aku angkat tangan. Bagiku,
ia adalah seorang seniman yang memiliki Titik Nada Mutlak, artinya seorang
seniman yang mampu mencipta ataupun menggubah lagu sesuai keinginannya. Melalui
jaringan keluarganya yang pasti ada disetiap kelas, ia memenangi kompetisi
pemilihan ketua Osis secara mutlak. Tak apa, karena namaku bertengger di urutan
kedua. Maka dapat dipastikan, aku menjadi Wakil Ketua Osis. Akhirnya, Osis
menjadi organisasi kedua yang kugeluti setelah Pramuka. Aku telah mengikuti
gerakan kepanduan sejak masih kelas 4 SD. Menjadi orang nomor dua disekolah
elit itu, bagiku tak mengapa, walaupun orang takkan pernah mengingat yang
kedua, tapi setidaknya Tuhan menyimpan doaku untuk menjadi yang pertama.
Kulaporkan hal ini pada Ibu, beliau hanya tersenyum sambil berkata, “Tuhan
tahu, tapi menunggu”.
Aku
telah mengikuti organisasi yang bernama Pramuka sejak SD dulu. Prestasiku dapat
dikatakan sangat gemilang dalam lembaga ini. Tak pernah kurasakan diriku
menjadi seorang anggota, tak pernah diperintah kecuali oleh seniorku karena
akulah yang selalu memerintah. Kiprahku sebagai anak Pramuka berbanding lurus
dengan kiprahku sebagai penggembala kambing. Orang- orang selalu mengenalku
sebagai penggembala kambing dan sebagai anak Pramuka. Posisiku yang selalu
menjadi Pratama atau pemimpin regu utama menjadikan namaku luas dikenal rekan
seangkatanku. Aku sangat ahli dalam penggunaan kompas, memainkan bendera semaphore dan cerdik bermain kode- kode
morse. Aku bisa menentukan arah mata angin tanpa harus melihat kompas dan
matahari. Aku bisa meninggalkan jejak untuk dijadikan petunjuk oleh rekan
setelahku jika kami tengah mengikuti hiking.
Bahkan, aku mampu mengirim pesan tanpa harus menggunakan telephone dan handphone,
serta menaksir tinggi bangunan serta luas jalan hanya dengan menggunakan
sebatang lidi. Aku benar- benar merasa bahwa menjadi seorang Pramuka yang
disandingkan dengan status penggembala kambing, adalah pasangan yang paling
mempesona dan sempurna didunia.
Tahun
2006 adalah tahun paling luar biasa dalam hidupku. Selain terpilih sebagai
Wakil Ketua Osis, akupun terpilih sebagai delegasi Kabupaten Sumbawa dalam
Jambore Nasional Pramuka di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Posisiku dalam
kontingen tersebut sangatlah strategis, tak lain dan tak bukan sebagai Pratama.
Dalam kegiatan tersebut, awal kalinya ku menginjakkan kaki ditanah Jawa, tanah
para legenda Indonesia. Seperti yang disebutkan dalam buku Sejarah Indonesia kelas 5 SD dulu, bahwasanya tanah Jawa adalah
tanah yang melahirkan orang- orang hebat. Soekarno, Bung Tomo, Joko Tingkir,
Sunan Kalijaga dan sebagainya berasal dari Pulau Jawa. Terlebih lagi, posisi
Ibu Kota Indonesia berada di Pulau Jawa, maka sudah pasti Presiden berada di
Pulau Jawa. Oleh karena itu, sepanjang perjalanan di Pulau Jawa, aku selalu
mengenakan pakaian terbaikku. Paling tidak, saat aku berpapasan dengan
Presiden, aku tak terlalu terlihat memalukan.
Pratama
adalah jabatan fungsional yang sangat penting. Jabatan ini lebih tinggi
daripada jabatan kopral saat aku tinggal digudang bus dulu. Aku bertanggung
jawab atas 20 orang anak buahku. Sekali mereka membuat kesalahan, maka akulah
yang menjadi sasaran dari pembinaku. Itulah mengapa aku sangat disegani dalam
kontingen ini. Walaupun perawakanku kecil, namun suaraku lebih lantang dari
mereka. Hingga suatu ketika, ada panggilan untuk seluruh kontingen supaya
mengirimkan 3 delegasinya agar mengikuti upacara pembukaan bersama Presiden
Republik Indonesia. Seeerrrrrr!!, dadaku berdesir. Cita- citaku untuk bertemu
Presiden nampaknya akan terwujud. Tanpa banyak membuang waktu, kutunjuk 2 orang
rekanku agar ikut bersamaku dalam upacara tersebut. Tak sabar kumenunggu hari
esok untuk bertemu Presiden. Segera kupejamkan mata agar mata ini cepat
terlelap dan hari esok segera datang. Bersabar, mungkin ajian yang paling pas
saat itu.
Hari
yang kutunggu- tunggu itupun tiba. Aku berseragam Pramuka lengkap, dari kacu,
baret, selempang TKK, tanda jabatan dan lainnya. Aku tampak gagah pagi itu,
walapun jam baru menunjukkan pukul 6 pagi. Mungkin inilah yang dinamakan
semangat. Sebelum berangkat, tak lupa kuseruput sedikit teh yang dibuatkan
untukku oleh rekanku yang melaksanakan korve
tenda pagi itu. Kupacu langkahku dengan segera, tetapi tetap memperhatikan
letak baju pramukaku agar tak lusuh. Tak ingin aku tampil kucel dihadapan orang nomor satu di negeri ini. Sesampainya aku
dilapangan tempat upacara yang akan berlangsung, tak kutemukan seorangpun
disana. Aku sadar, ini masih terlalu pagi, tak mengapa menurutku. Sambil
menunggu, aku berjalan mengitari lapangan, seraya mencari posisi yang paling
strategis agar aku terlihat manakala Presiden memandang. Setelah kudapatkan,
kuambil posisi tersebut dan kuminta dua orang
temanku untuk berbaris dibelakangku. Kumenunggu, hingga tampak beberapa
peserta upacara memasuki lapangan upacara. Bersabar, adalah ajian paling
mujarab saat ini. Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, namun belum ada tanda-
tanda upacara akan dimulai. Aku masih setia menunggu. Apapun keadaannya, tak
akan menyurutkan semangatku untuk bertemu dengan Presiden. Waktu terus
bergulir, jam menunjukkan pukul 10 dan peserta telah memenuhi lapangan upacara.
Semangatku yang semula meletup- letup kini semakin menipis. Kupaksakan agar aku
tetap bersemangat namun sangatlah susah. Hingga akhirnya, diujung
keputusasaanku, akhirnya Yang Terhormat Presiden Republik Indonesia memasuki
lapangan upacara, tepat pukul 11.30. Matahari telah terik, dan ia baru terlihat
batang hidungnya. Menurut Protokoler Kepresidenan, ada agenda yang harus
dihadiri oleh Presiden terlebih dahulu, yaitu bertemu dengan Duta Besar Jepang.
Semangatku yang semula meletup, kini berubah menjadi amarah. Presiden lebih
mementingkan orang Jepang yang pernah menjajah Indonesia daripada anak bangsa
sendiri. Mulai saat itu, aku berjanji akan memperbaiki keadaan pemerintahan
republik ini. Aku harus menjadi pejabat publik, akan kurubah sistem birokrasi
negeri ini. Itu janji yang kusimpan dalam hatiku, yang nantinya dijawab Tuhan.
Aku percaya itu!
Tiga
tahun di SMP telah kulalui. Kini aku bersiap untuk menjadi seorang pelajar SMA.
Akupun telah memiliki adik lagi. Kini kami 4 bersaudara, laki- laki semua, tak
ada srikandi yang bisa kami jaga nantinya. Ayahkupun tak pernah naik pangkat,
selalu menjadi seorang kolonel hingga saat ini. Ibuku? Ah Ibu selalu menarik
untuk kuceritakan. Ini bermula dari kelahiran adik terakhirku. Keadaan ekonomi
keluarga kami tak kunjung membaik. Akupun sudah tak lagi berstatus sebagai
penggembala kambing. Seluruhnya telah habis kami jual untuk menyambung hidup.
Pernah Ayah berhenti menjadi supir dan menjadi pegawai proyek, namun tak juga
merubah keadaan apapun dalam keluarga kami. Namun hal itu bukan alasan surutnya
prestasiku disekolah. Aku akhirnya berhasil terdaftar sebagai siswa SMAN 1
Sumbawa dengan hasil Ujian Nasional SMP yang sangat memuaskan. Di tahun
pertamaku sebagai seorang pelajar SMA, aku terpilih sebagai delegasi sekolah
dalam agenda Duta Anak Indonesia untuk wilayah NTB. Bagiku, hal tersebut
merupakan rangkaian prestasi yang telah digariskan Tuhan untuk setiap manusia,
tinggal bagaimana kita membaca titah Tuhan yang tak tersampaikan dengan lisan
tersebut. Organisasi Pramuka tetap aku geluti hingga aku menjadi Pradana di
sekolahku yang baru ini. Akupun terdaftar sebagai pengurus Osis SMAN 1 Sumbawa,
serta sebagai Duta Anak Indonesia. Semuanya aku geluti hanya untuk satu tujuan,
yaitu menjadi seseorang yang berpendidikan setinggi mungkin, karena hanya
dengan jalan itu derajat keluarga kami akan dipandang lebih oleh orang lain.
Keadaan
ekonomi yang buruk, mengharuskan Ibu meninggalkan kami. Beliau mendaftar
sebagai seorang TKI untuk bekerja diluar negeri. Beratkah? Sangat berat! Tak
pernah aku merasa seberat ini apabila ditinggalkan sesuatu. Ayah mau tak mau
harus mengikhlaskan Ibu meninggalkan dirinya, karena penghasilan Ayah sebagai
supir tak mampu menutupi kebutuhan hidup keluarga kami. Dapat dibayangkan beban
yang harus kutanggung saat itu. Selagi Ayah bekerja sebagai supir, menghabiskan
waktu berhari- hari dan tidak pulang kerumah. Sebagai TKI, tentunya Ibu akan
meninggalkan kami selama 2 tahun kedepan. Aku yang saat itu masih kelas 1 SMA,
harus mengurusi 3 adik- adik yang masih sangatlah kecil. Adikku yang pertama,
bernama Rustam Rizky Effendi, baru kelas 3 SD, adikku yang kedua, Rustomi Rifky
Affandi, masih kelas 1 SD, serta adikku yang terakhir, Ruswandi Hatami
Ferdiansyah belum sekolah. Untuk meringankan beban, kutitipkan adik terakhirku
kepada kakek, ayah dari Ibu dikampung kelahiranku. Usianya saat itu barulah 3
tahun dan telah harus kehilangan Ibu. Kehidupan kami bertiga mungkin tak lebih
baik daripada kehidupan adik terakhir kami. Ayah seringkali jarang pulang
kerumah dan kebutuhan kami bertigapun seringkali tak terpenuhi. Kami pernah
memakan satu bungkus mie instan sebagai makan siang kami dan harus dibagi tiga.
Kamipun pernah berjalan kaki bersama- sama untuk pergi kesekolah sejauh 5
kilometer di pagi buta karena tak memiliki ongkos. Bahkan, kami bertiga pernah
menjadi pengumpul barang- barang plastik hanya untuk membeli buku saat
pergantian semester. Adikku yang pertama, sering menjadi penjaga koin dalam
kedai billiard disamping rumah kami,
ataupun sebagai tukang parker dalam sebuah pertandingan sepak bola. Adikku yang
kedua, karena fisiknya lemah, lebih banyak menjadi pesuruh ibu- ibu rumah
tangga disekitar rumah kami agar ia mendapat upah. Bagaimana denganku? Selain
menjadi Duta Anak Indonesia, Ketua Pramuka, aku berhasil menjadi Ketua Osis
SMAN 1 Sumbawa setelah berhasil menang mutlak dari pesaingku saat mencalonkan
diri sebagai Ketua Osis SMP dulu, Artur. Maka aku teringat Ibu, karena kini
kubuktikan ucapan Ibu, “Tuhan tahu, tapi menunggu”. Karena keterbatasan ekonomi
tersebut, aku pernah menjadi kacung
pertandingan bola tenis, pernah juga menjadi tukang sapu lapangan Kantor Bupati
Sumbawa. Namun semenjak menjadi Ketua Osis, aku lebih banyak mendapat tambahan
keuangan dari agenda- agenda Osis diluar kota yang memberikan biaya transport.
Jikalau tak ada agenda dan kiriman Ayah maupun Ibu jarang kami terima, maka
menjadi kacung bola tenis lebih
terhormat daripada harus mencuri.
Telah
dua tahun berlalu, artinya Ibu akan segera kembali. Pulang kepada anak- anaknya
yang selalu merindunya. Segera kuberitahu kakek dikampung agar segera membawa
adik terakhirku untuk pulang. Aku tak mau ia tidak turut serta menyambut Ibu
dirumah. Tepat bulan Oktober, sebuah mobil berhenti didepan rumah. Seorang
perempuan berjilbab panjang turun dari mobil tersebut. Hatiku berdesir. Sesuai
perhitunganku, bulan tersebut adalah bulan kepulangan Ibu. Wanita itu tersenyum
padaku yang mematung di depan pintu. Aku kenal dengan senyuman itu, sangat
kenal sekali. Ya! Itu Ibuku. Adik- adikku berhamburan lari memeluk beliau. Air
mata mereka berlinang membasahi jilbab yang menutup sebagian tubuh Ibu. Namun,
setetes air matapun tak mengalir dari mata beliau. Hari itu aku menyaksikan
seorang perempuan paling tegar telah lahir kedunia, ialah Ibuku.
Kurasakan
waktu berlalu begitu cepat. Aku telah menyelesaikan waktu wajib belajarku
selama 3 tahun di SMA. Ujian Nasional tingkat SMA juga telah berlalu dan aku
tinggal menunggu hasilnya. Banyak rekan- rekan seangkatanku yang mendaftarkan
dirinya ke perguruan tinggi pilihan mereka. Bagiku, hal tersebut hanyalah
rekaan nasib yang telah dititahkan Tuhan untuk digapai oleh manusia. Selama
mereka hanya menerka tanpa merencanakan, maka takkan pernah ada hasil yang
mereka raih. Aku terkenang janji kecil dalam hatiku saat kecewa lantaran sikap
Presiden yang tak pernah menepati janji, sewaktu aku mengikuti Jambore Nasional
dulu. Telah terpatri dalam hatiku bahwa aku harus masuk jurusan Ilmu
Pemerintahan, apapun resikonya. Maka kucoba mendaftarkan diriku untuk masuk ke
salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Berbekal sertifikat dan piagam
penghargaan yang tebalnya sekitar 7 cm, kumantapkan hati untuk menggapai satu
kursi disana. Selain itu, kupersiapkan rencana cadangan jikalau aku tak
diterima di universitas tersebut. Kucoba mendaftarkan diriku di Universitas
Mataram, salah satu kampus terbaik di Nusa Tenggara Barat. Pendidikan Kewarganegaraan
menjadi jurusan yang kupilih. Paling tidak, jikalau aku tak diterima di jurusan
ilmu pemerintahan, aku masih bisa mengajar disiplin ilmu tersebut, pikirku.
Tiba- tiba tanpa sengaja aku mencuri dengar obrolan kawan- kawanku mengenai
salah satu universitas negeri yang ada di Jawa Tengah. Sontak, telingaku mulai
berdiri. Sebagai pencinta sejarah, aku paham betul daerah yang bernama Jawa
Tengah. Provinsi yang menyimpan sejuta kisah peradaban, baik peradaban kuno
hingga masa penjajahan. Terlebih lagi setelah ku ketahui bahwa di universitas
tersebut terdapat jurusan ilmu pemerintahan. Maka tanpa banyak menunggu,
kudaftarkan diriku ke Universitas Diponegoro, sesuai info yang kudapatkan dari
teman- temanku. Tentu saja dengan jurusan yang paling kunanti, Ilmu
Pemerintahan.
Seminggu
kemudian, sebuah surat dikirimkan untukku dari Yogyakarta. Isinya adalah bahwa
aku diterima di universitas tersebut dengan predikat A, artinya aku mendapat
keringanan biaya selama setahun penuh. Ku diskusian hal tersebut kepada orang
tuaku. Menurut mereka, aku harus bersabar untuk menunggu jawaban dari
Universitas Diponegoro. Ibu menguatkanku, bahwasanya ini adalah lingkaran
nasib, percayalah bahwa Tuhan telah merencanakan segala sesuatu untuk indah
pada waktunya. Benar saja, dua minggu kemudian aku mendapat kabar dari kawanku
yang berada di Semarang, bahwa aku diterima di Undip dengan jurusan Ilmu
Pemerintahan. Ah, bukan main senangnya hatiku. Saat itu aku merasa telah
menjadi mahasiswa Undip seutuhnya, bahkan menjadi warga Kota Semarang. Namun,
ada beban yang mengganjal hatiku saat itu. Untuk registrasi ulang, setiap
mahasiswa yang terjaring dalam program PSSB Undip, wajib membayar biaya
registrasi sebesar Rp.3.889.000 dengan batas waktu dua minggu sejak surat
pemberitahuan ini kami terima. Aku hanya bisa menunduk, karena kutahu kedua
orang tuaku tak memiliki uang sebanyak itu untuk melunasinya. Uang tiga juta
rupiah mungkin tak terlalu banyak, tetapi bagi keluarga kami itu lebih dari
cukup untuk menunjang pendidikan. Oleh karena itu, Ibu memutuskan untuk
menggadai motor satu- satunya dirumah kami. Motor tersebut adalah hasil
keringat Ibu saat menjadi TKI setahun yang lalu. Apa mau dikata, hal tersebut
memang harus dilakukan. Bagi Ibu, pengorbanan tersebut tidaklah seberapa asalkan
anak- anaknya dapat menempuh pendidikan yang lebih baik. Bagi beliau, sekali
layar terkembang, maka pantang biduk surut kembali. Itu janji Ibu!
Singkat
cerita, aku telah tiba di Semarang. Menjadi mahasiswa tak sesulit seperti apa
yang kubayangkan. Kini aku telah aktif dalam berbagai lembaga kemahasiswaan.
Bagiku, berorganisasi adalah sebuah keniscayaan untuk berubah. Apapun
organisasinya, tentulah menjadi wadah untuk belajar. Akupun kini tak terlalu
bergantung dengan kiriman orang tua, karena kutahu bahwasanya Ayah dan Ibu
masih memiliki tanggungan, yaitu tiga adikku yang masih duduk di sekolah
menengah dan dasar. Sejak diterima di Undip, aku telah mengantongi 3 beasiswa
dari institusi yang berbeda. Paling tidak, hal tersebut dapat menutupi
kebutuhanku selama berkuliah disini. Organisasiku juga berjalan beriringan
dengan prestasi akdemikku. Selain selalu mendapat IP yang cumlaude, akupun aktif turun kejalan untuk berdemonstrasi menuntut
perubahan, mengingatkan penguasa agar menegakkan keadilan. Saat ini aku
menjabat sebagai Menteri Sosial Politik di BEM KM Undip 2013. Tentunya aku
sudah tidak menjadi kopral lagi sewaktu aku kecil dulu. Akupun seringkali mendapat
undangan untuk bertemu langsung dengan Presiden, namun selalu kutolak. Bagiku
ia adalah sebuah cinta yang layu sebelum berkembang. Jikalau dulu aku
menantinya dengan penuh hormat, kini ia hanyalah sebuah isu yang selalu
dipergunjingkan oleh seluruh mahasiswa Indonesia, termasuk aku. Demonstrasi
terhadap dirinya pernah ku komandani bersama mahasiswa lainnya. Ia benar- benar
bunga yang mati disaat negeri ini tengah bersemi. Ayah saat ini masih dengan
status sosialnya sebagai supir bus- bus besar. Tak pernah naik pangkat, selalu
saja menjadi kolonel. Sementara itu, Ibu kini telah mampu mendayagunakan dirinya
untuk menunjang ekonomi kami, bahkan berlipat- lipat jumlahnya dibandingkan
sebelumnya. Beliau kini menjadi juragan ikan di Pasar Tradisional didaerah
kami. Penghasilan beliau tidak seberapa, namun cukup untuk membeli ikan sebagai
lauk kami sekeluarga, tidak seperti dulu yang menjadikan satu bungkus mie
instan untuk disantap kami bertiga. Semuanya kulalui dengan penuh cinta, karena
hanya cinta yang dapat membangkitkan semangat kita agar tidak tunduk pada
takdir. Selagi aku masih mampu untuk bermimpi, bukan sebuah hal yang mustahil
untuk kugapai. Mungkin pembaca sedikit bingung, mengapa tak ada kisah romantika
dalam autobiografi ini? Aku akan menceritakannya nanti, saat cinta yang
kumiliki layak untuk diceritakan.