BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
KPU
Jateng sudah menutup pendaftaran pasangan calon untuk bertarung dalam Pemilu
Gubernur (Pilgub) 26 Mei mendatang. Ada tiga pasangan calon yang mendaftar.
Pendaftar pertama adalah Bibit Waluyo-Sudijono
Sastroatmodjo. Pasangan cagub incumbent
dengan Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) ini diusung oleh Partai
Demokrat, PAN dan Golkar, dengan total 37 kursi di DPRD Jateng. Pendaftar kedua
yakni Ganjar Pranowo-
Heru Sudjatmoko. Pasangan anggota DPR dan Bupati Purbalingga ini hanya diusung
oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang memiliki 23 kursi.
Sementara, pendaftar ketiga adalah Hadi Prabowo-Don Murdono. Pasangan
Sekretaris Daerah Provinsi Jateng dan Bupati Sumedang ini diusung oleh 6
partai. Mereka adalah PKS, PKB, Gerindra, PPP, Hanura, PKNU, dengan total 40
kursi. Dari total kekuatan partai, Hadi Prabowo-Don Murdono yang terkuat dengan
total 40 kursi. Namun, itu adalah hasil Pemilu 2009 yang sangat mungkin
kekuatannya sudah bergeser sekarang. Terlebih, efektivitas mesin partai juga
menjadi faktor utama untuk meraih kemenangan.[1]
Jawa
Tengah seringkali disebut- sebut sebagai basis massa Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP). Meski demikian, ada semacam penurunan elektabilitas partai
yang melanda partai berlambang banteng ini. Hal ini terlihat dari penurunan
suara yang terjadi sepanjang dua pemilu terakhir ini. Pada Pemilu 1999 suara
PDIP 32.2 persen, Pemilu 2004 turun menjadi 27.9 persen. Terakhir dalam Pemilu
2009 jatuh lagi menjadi 24.8 persen, artinya data itu menunjukkan pudarnya
kekuatan banteng secara signifikan di Jateng. Sebagai “Jantung Indonesia”, Jawa
Tengah merupakan titik balik eksistensi partai dalam kancah nasional yang akan
tiba pada tahun 2014 nanti. Pertarungan politik di Jawa Tengah, tentunya akan
semakin seru manakala para Cagub dan Cawagub saling “tikam” diantara mereka.
Ada yang berasal dari rumpun yang sama, ada pula yang berasal bukan dari
internal/ kader partai. Keseluruhan fenomena ini akan kami bahas tuntas melalui
peninjauan kekuatan tiga pasang calon untuk Pilgub Jateng 2013 ini.
1.2. Rumusan Masalah
A. Bagaimana
Peta Kekuatan Pasangan Bibit Waluyo dan Sudijono?
B. Apa
saja yang dimiliki oleh Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko dalam Pilkada Jateng
2013?
C. Sekuat
apakah Hadi Prabowo dan Don Murdono?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Peta Kekuatan Pasangan Bibit
Waluyo dan Sudijono
Dalam
sebuah riset yang dilakukan oleh mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan pada tahun
2012 yang lalu, dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Partisipasi Politik
terkait elektabilitas masyarakat Jateng terhadap figur gubernur 2013,
menghasilkan data bahwa figur purnawirawan TNI masih diminati oleh masyarakat
Jateng dengan sampel 1000 orang menghasilkan 42% untuk data tersebut. Artinya,
masyarakat Jawa Tengah masih mengkehendaki purnawirawan TNI sebagai pemimpin
Jateng selanjutnya. Dalam konteks ini, Bibit Waluyo sebagai mantan Pangkostrad TNI
memiliki peluang lagi untuk merebut kursi no 1 di Jawa Tengah.
Bibit
Waluyo adalah seorang Letjen (Purn) dan Sudijono adalah Rektor Unnes. Jabatan
terakhir Bibit di militer adalah Pangkostrad pada tahun 2002, ia memenangi Pilkada
Jateng pada tahun 2008 bersama Rustriningsih dengan persentase suara 44%,
telak. Bibit Waluyo yang asli Klaten juga pernah menjadi Pangdam Diponegoro
pada tahun 1997, darisanalah kedekatan dirinya dgn tokoh- tokoh Jateng
terjalin. Pada Pilkada 2008, Bibit dan Rustriningsih menang telak dengan
persentase 44% suara, padahal kala itu ada 5 pasang calon yang terbilang sangat
kuat. Bibit kuat di jaringan atas sampai militer,setidaknya sampai kecamatan
komando Bibit bisa terlaksana dengan presisi. Rustriningsih kuat di kalangan
bawah, sebagai kader PDIP pula, sehingga dapat menang telak. Bibit dinilai kurang
cakap dalam membangun pola komunikasi, sehingga sering kali apa yang diucapkan tidak
ditangkap dengan baik, itulah mengapa dirinya selalu bergesekan dengan media.
Sementara itu, cawagub Bibit Waluyo adalah Sudijono Sastroatmojo, yang baru
saja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Rektor Unnes untuk maju dalam
pilkada Jateng. Bibit Waluyo dinilai sangat dekat sekali dengan Susilo Bambang Yudhoyono,
Presiden Republik Indonesia saat ini, karena itulah akhirnya ia maju dari Partai
Demokrat. Selanjutnya, yang menjelaskan majunya Sudijono dari Partai Golkar
adalah selentingan dirinya sebagai kader Golkar. Dikampusnya Sudijono cukup
"otoriter", namun royal berbagi anggaran pada pihak-pihak yang tak
kritis di kampus. BEM KM Unnes saaja mendapat 150 juta pertahunnya. Diharapkan
Sudijono mampu menghimpun jaringan alumni UNNES yang tersebar di seluruh
Jateng. UNNES dulunya adalah IKIP, suara para gurupun diamankan. Ini yang
menjelaskan mengapa ketua PGRI Jateng, Sulistyo, tak jadi maju pada pilkada
kali ini.[2]
Ada
sebuah modal besar yang dimiliki oleh pasangan Bibit dan Sudijono ini, yaitu gelar
incumbent yang dimiliki oleh Bibit
Waluyo. Berkaca dari fenomena Pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara, para incumbent kembali dapat merebut kursi
kekuasaan lantaran masih kuatnya pengaruh mereka. Sebagai incumbent, tentunya hal ini menguntungkan karena dapat menggunakan
seluruh akses dan fasilitas jabatan sebagai media kampanye. Hal ini tentu tidak
melanggar kode etik pemilu lantaran status yang dimiliki oleh seorang incumbent masih sah dimata hukum. Oleh
sebab itu, pasangan Bibit- Sudijono tak boleh dipandang sebelah mata karena
eksistensi Bibit Waluyo sebagai seorang gubernur, yang disertakan dengan
jaringan- jaringan yang dimilikinya, tentulah sangatlah patut untuk
diperhitungkan. Keunggulan lainnya yang dimiliki Bibit Waluyo ialah
pembawaannya terhadap masyarakat pedesaan, terlepas statement medianya yang
selalu kontroversial. Di mata publik Jawa Tengah, yang masih dipenuhi oleh
masyarakat pedesaan, pencitraan Bibit Waluyo yang cenderung ndeso memiliki kekuatannya tersendiri.
Raut muka disertai mimic wajah serta gaya bicara yang ceplas- ceplos memberikan
kesan bahwa Bibit Waluyo adalah figur yang memiliki rasa sepenanggungan dengan
masyarakat pedesaan. Ada rasa saling memahami dan rasa saling kasihan yang
terjadi antara masyarakat Jawa Tengah dan Bibit Waluyo. Setidaknya Bibit Waluyo
masih memiliki modal sosial yang bisa ia jual sebagai produk politik. Mengambil
pandangan Francis Fukuyama, bahwa modal sosial memegang peranan yang sangat
penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern.[3]
Kekuatan lainnya yang dimiliki oleh pasangan ini ialah merapatnya salah satu
kampus besar di Jawa Tengah, yaitu Universitas Negeri Semarang. Walaupun bukan
sebuah hal yang patut diunggulkan, setidaknya pergerakan alumni UNNES cukuplah
signifikan, mengingat gengsi yang dipertaruhkan untuk memenangkan pasangan ini.
Kekuatan
yang dimiliki oleh pasangan ini nampaknya juga memiliki kerapuhan. Hal ini
dikarenakan figur Bibit Waluyo yang selalu kontroversial. Walaupun ia didukung
oleh Partai Demokrat, Partai Golkar dan PAN, namun Bibit tak mampu merangkul
media. Pencitraan yang ia lakukan selalu termentahkan lantaran statemen yang ia
sampaikan terkadang menimbulkan kontroversi. Mungkin pasangan ini lupa bahwa
media memiliki kekuatan yang sangatn kuat, walaupun hanya dikonsumsi oleh
masyarakat menengah keatas, namun hal ini bukan tidak mungkin akan mengganggu
elektabilitas dirinya dalam pemilihan nantinya.
2.2.
Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko dalam Pilkada Jateng 2013
Pasangan
kedua adalah Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko. Jujur, ini adalah sebuah kejutan,
terutama untuk Heru Sudjatmiko. Memang, Ganjar sudah diisukan bakal maju. Ada
beberapa alasan kuat yang mendukung gagasan majunya Ganjar Pranowo sebagai
gubernur. Pertama, di DPP PDIP kubu
intelektual anak muda sedang kuat-kuatnya. Kubu intelektual muda di PDIP ini
"dipimpin" oleh Pramono Anung. Mereka telah berhasil mengusung Jokowi,
Rieke dan Efendi Simbolon. Generasi tua seperti Taufik Kiemas, Cahyo Kumolo merasa
tersisihkan dengan kubu Pramono tersebut. Itulah alasan mengapa beberapa kali Taufik
Kiemas cenderung berbeda pendapat dengan Mega. Alasan kedua adalah
menyebrangnya Bibit Waluyo ke Partai Demokrat. Artinya basis massa PDIP sebagai
pengusung tunggal pasangan ini telah hilang. Lalu yang ketiga adalah
dipojokkannya Rustriningsih dengan menunjuk Ganjar sebagai calon gubernur.
Ada
beberapa kelebihan dan kekurangan dari pasangan ini. Diantaranya telah saya
sebutkan diatas. Sebagai partai tunggal yang mengusung pasangan ini, PDIP
dituntut untuk bekerja keras. Hal ini dikarenakan pecahnya soliditas internal
partai yang memberikan ruang terbuka bagi kompetitor lainnya untuk menjatuhkan
hegemoni PDIP di Jawa Tengah. Sebagai basis massa PDIP yang paling solid, Jawa
Tengah adalah jantung Indonesia, barang siapa yang Berjaya di Jawa Tengah, maka
dapat dipastikan akan berkarya dalam pentas nasional. Selanjutnya, nampaknya tagline yang diusung oleh pasangan ini
kurang begitu mengena bagi masyarakat Jawa Tengah. Pangsa pasar bagi pemilih
Jawa Tengah adalah mereka masyarakat tradisional yang kurang dalam tataran
pendidikan. Dalam hal ini, Ganjar dan Heru mengangkat tagline “Membangun Jawa Tengah dengan Trisakti Bung Karno”.
Selanjutnya, yang menjadi permasalahan saat ini ialah, apakah masyarakat Jawa
Tengah paham mengenai Tri Sakti Bung Karno tersebut? Sebagai pasangan yang
dieluh-eluhkan untuk melanjutkan hegemoni banteng merah PDI perjuangan, Ganjar
dan Heru tentunya sangatlah hati- hati dalam melangkah untuk menarik minat
masyarakat Jawa Tengah. Namun demikian, saya melihat bahwa gerakan intelektual
muda yang dibangun oleh Ganjar Pranowo cukup memuaskan. Walaupun basis massa
PDIP terpecah, namun basis kaum mudanya tetaplah eksis. Ganjar Pranowo sangatlah
fenomenal dikalangan mahasiswa, apalagi yang berideologi sama dengan dirinya.
PDIP saat ini nampaknya memposisikan dirinya sebagai Passion Partie, yaitu gerakan yang mengandalkan basis massa paling
bawah untuk bergerak. Itulah mengapa Ganjar Pranowo selalu mencari simpati
masyarakat ke desa- desa tanpa diketahui oleh media. Gerakan underground yang dibangun oleh Ganjar
Pranowo nampaknya akan menjadi kejutan bagi pasangan lainnya dalam penghitungan
suara nantinya. Kita akan lihat, mampukah Ganjar dan Heru mempertahankan rezim
Soekarno untuk 5 tahun yang akan datang?
Hal
lainnya yang menjadi kekuatan dari Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko ialah
masih fenomenalnya figur para elit PDIP. Hingga saat ini, masyarakat
tradisional Jateng mengenal PDIP tidak dengan nama PDIP, melainkan dengan
sebutan, “Partai Ibu Mega”, itulah mengapa Jawa Tengah selalu diistimewakan
oleh Megawati Soekarno Putri yang telah menjadi Ketua Umum PDIP selama 20 tahun
tersebut. Kuatnya figur Megawati, konon menjadi alasan mengapa Rustriningsih
tidak dipilih sebagai cagub dari PDIP, lantaran akan menggeser figur Megawati
itu sendiri. Figur lainnya yang menjadi idola masyarakat Jawa Tengah ialah
adanya kehadiran Joko Widodo sebagai sosok yang fenomenal bagi masyarakat Jawa
Tengah. Kiprah Jokowi sebagai Walikota Surakarta cukup memikat hati masyarakat
Jateng yang selalu memposisikan Jokowo sebagai antipati Bibit Waluyo. Jikalau blusukan Jokowi ke Jawa Barat dan
Sumatera Utara tidak mampu mengubah suara PDIP yang berada di urutan nomor dua,
belum tentu hal tersebut mempengaruhi eksistensi dirinya di Jawa Tengah. Figur
Ganjar sendiri tidaklah terlalu buruk. Dari seluruh cagub dan cawagub Jateng
tahun ini, Ganjar yang paling muda. Artinya sosok Ganjar adalah figur yang
dinantikan oleh masyawarakat Jateng lantaran perawakan dan pembawaan dirinya
yang masih tergolong muda, karena nilai jual performance saat ini sangatlah tinggi. Hal itu diakui oleh pasangan
“Ganteng” di Sumatera Utara sehingga dapat memenangkan pilgub disana.
Kekuatan
dan kelemahan pasangan Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko telah kami paparkan,
namun ada sesuatu yang mengganjal dalam benak saya manakala PDIP menunjuk Heru
Sudjatmiko sebagai cawagub yang mendampingi Ganjar Pranowo. Ia terpilih sebagai
anggota DPR RI di dapil 7, wilayah Kebumen, Purbalingga, dan Banjarnegara.
Padahal Heru Sudjatmiko adalah Bupati Purbalingga. Artinya secara hitungan
strategi massa sangatlah tidak cocok karena berada pada locus yang sama. PDIP juga lebih memilih untuk bertarung seorang
diri, tanpa membangun fusi dan koalisi bersama partai lain. Padahal partai-
partai seperti Gerindra dan Hanura adalah koalisi sejatinya, namun PDIP lebih
memilih untuk berkancah seorang diri. Oleh karena itu, mari kita lihat sejauh
mana kekuatan mesin partai PDIP dalam memenangkan kader partainya untuk merebut
kusri Jateng 1 serta mempertahankan hegemoni PDIP di Jawa Tengah.
2.3. Kekuatan Pasangan Hadi Prabowo dan Don
Murdono
Hadi
Prabowo adalah cagub yang paling terakhir mendaftarkan dirinya ke KPU Jateng
untuk ikut serta dalam perhelatan akbar Pilkada Jateng yang akan digelar pada
tanggal 26 Mei 2013 nantinya. Dari segi kekuatan, Hadi Prabowo memanglah sangat
kuat. Akibat tak direstui untuk maju dari PDI Perjuangan, Hadi Prabowo
nampaknya sedikit gamang untuk
menentukan kendaraan politiknya lantaran sebelumnya ia telah berikrar hanya
ingin maju melalui PDI Perjuangan. Untuk itu, ia menggaet Don Murdono, Bupati
Sumedang yang juga merupakan adik dari Murdoko, kader loyalis PDI Perjuangan.
Artinya, dapat dipastikan suara PDI Perjuangan akan terpecah dan jaringan yang
dimiliki oleh Murdoko tentunya akan diakuisisi oleh pasangan Hadi Prabowo dan
Don Murdono tersebut. Selain itu, Hadi Prabowo menggunakan pendekatan
struktural untuk memenangkan kursi Jateng 1 ini. Saat ini, ia masih menjabat
sebagai Sekretaris Daerah yang tentunya memiliki peran strategis untuk
mengamankan seluruh suara Pegawai Negeri Sipil di Jawa Tengah. Jaringan yang
dimiliki oleh Hadi Prabowo tak perlu diragukan lagi. Hampir diseluruh daerah
Jawa Tengah terdapat baliho serta posko pemenangan dirinya. Selain daripada
itu, Hadi Prabowo adalah Ketua Ikatan Alumni Undip (IKA Undip) yang tentunya
akan menggerakkan para alumni Undip untuk berpihak padanya. Alasannya
sederhana, tentunya karena gengsi, mengingat pasangan Bibit Waluyo dan Sudijono
diusung pula oleh alumni Unnes. Sehingga nantinya aka nada perang alumni dua
kampus besar yang ada di Jawa Tengah, yaitu Undip dan Unnes.
Kekuatan lainnya yang dimiliki oleh
pasangan ini ialah banyaknya partai yang mengusung mereka, yaitu Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Gerindra, Partai Hanura, Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) serta PKNU yang dalam hal ini
tidak lolos dalam verifikasi KPU Pusat untuk pemilu 2014. Tentunya koalisi ini
memiliki kelebihan dan kekurangan dalam aktualisasinya nanti. Pergesekan
kepentingan ini sangatlah rentan mengingat koalisi yang dibangun adalah koalisi
yang rapuh. Walaupun ada tokoh- tokoh sentral yang mendukung Hadi Prabowo dan
Don Murdono seperti Prabowo Subiyanto, Anis Matta dan lainnya, tak dapat
dipungkiri apabila kepentingan setiap partai mendominasi untuk mencitrakan
dirinya mengingat tahun 2014 adalah puncak segalanya. Kekuatan- kekuatan yang
dihimpun oleh Hadi Prabowo dan Don Murdono tampaknya tak sebatas pada koalisi
partai, melainkan kepada stakeholder
akar rumput yang paling bawah sekalipun. Itulah mengapa Hadi Prabowo
menggandeng PKS lantaran partai tersebut memiliki massa solid dari bawah hingga
ke atas, serta menggandeng PKNU karena masyarakat Jawa Tengah yang masih
berkutat dengan garis Islam Tradisional. Poros kekuatan Hadi Prabowo juga
terletak pada aliansi Partai Gerindra dan Hanura sebagai partai modernis-
demokratis yang mengidentikkan dirinya sebagai partai nasionalis. Koalisi yang
dibangun ini dapat dikatakan sebagai koalisi paling komplit karena merangkul
segala bentuk aliran ideologi yang ada di Jawa Tengah, termasuk hegemoni para
Kyai dan Ulama.
Secara historis, Jawa Tengah
merupakan daerah dengan penduduk bermayoritas Muslim. Namun, secara real, Jawa Tengah merupakan basis
partai- partai yang beraliran Hellenisme,
sebut saja PDI Perjuangan, serta partai- partai agamis kedaerahan lainnya yang
tersebar di Jawa Tengah. Sehingga, secara wilayah, Jawa Tengah dapat dikatakan
sebagai basis massa golongan jawa abangan, ataupun Islam Tradisional yang
sejatinya menjadi ciri khas tersendiri bagi daerah tersebut.[4]
Partai- partai abangan, seringkali disebut sebagai partai nasionalis yang
berasaskan kebangsaan. Al Chaidar menyatakan, bahwasanya partai Islam memiliki
perbedaan dengan partai sekuler yang ada di Indonesia, atau biasa disebut
sebagai partai nasionalis tadi.[5]
Pada saat ditelaah lebih mendalam, partai- partai di wilayah Jawa Tengah
memiliki basis massanya tersendiri dalam golongan- golongan tertentu. Sebut
saja PDI Perjuangan, yang memiliki fans fanatik
di kota Surakarta yang terdiri atas masyarakat priyayi, ataupun para pemilih NU
yang mayoritasnya santri dan kyai. Imam Yahya dalam bukunya “Gagasan Fiqh Partai Politik dalam Khazanah
Klasik” menyimpulkan bahwa ditengah masyarakat santri, kiai adalah sosok
manusia yang disegani, dihormati, dan kadang ditakuti. Rasa segan dan nyaman
itulah, yang menurut penulis dijadikan alasan mengapa fatwa kiai sangatlah dihormati dan harus diikuti. Kemampuan seorang
kiai dalam memberikan solusi, terkadang menjadikan posisi kiai sebagai ujung tombak
dalam setiap permasalahan.[6]
Begitu kuatnya hegemoni para kyai ternyata justru memihak kepada Hadi Prabowo
dan Don Murdono. Itulah mengapa saya menyebutkan bahwa koalisi yang dimiliki
oleh Hadi Prabowo dan Don Murdono merupakan koalisi yang sangat komplit.
Namun demikian, pasangan Hadi
Prabowo dan Don Murdono juga bukanlah pasangan yang sempurna. Selain koalisi
rapuh, pasangan ini terkesan tak merakyat, tidak askeitisme, yaitu sikap bersahaja yang konon paling berpengaruh
bagi prilaku memilih. Apalagi didalam memimpin, Hadi Prabowo terkesan Directive, yaitu gaya memimpin dengan
pendekatan otoriter, yang seringkali terkesan ingin dihormati. Itulah peta
kekuatan dari pasangan Hadi Prabowo dan Don Murdono sebagai pasangan dengan
dukungan terbanyak serta memiliki posisi struktural yang paling kuat daripada
kompetitornya yang lain.
BAB III
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Tanggal
26 Mei sebentar lagi dan gejolak politik telah bergeliat di Jawa Tengah. Ada 3
pasang calon yang telah mendaftarkan dirinya ke KPU Jateng. Mereka terdiri dari
nomor urut 1, yaitu pasangan Hadi Prabowo dan Don Murdono. Pasangan nomor urut
2, yaitu Bibit Waluyo dan Sudijono. Sementara pasangan nomor urut 3 yaitu
Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko. Melihat potensi kekuatan dan kelemahan
seperti yang telah kami ulas diatas, kami memprediksikan bahwa pasangan Hadi
Prabowo dan Don Murdono akan memenangkan Pilkada Jateng 2013 nanti. Hal ini
didukung dari kekuatan politik yang dimiliki oleh Hadi Prabowo dan Don Murdono
yang telah mengakuisisi 6 partai pengusung dengan aliran ideologi yang berbeda-
beda.
Walaupun
demikian, peluang Hadi Prabowo dan Don Murdono tidak bisa dikatakan cukup
besar, mengingat persaingan politik yang terjadi sangatlah ketat. Rezim PDI
Perjuangan begitu kokoh sehingga mereka berani untuk tampil sendiri dalam pertarungan
politik tahun ini. Begitupun halnya dengan pasangan Bibit Waluyo dan Sudijono
yang sejatinya adalah incumbent
dengan posisi yang cukup kuat. Oleh karena itu, jikalau pasangan HP- DON
menang, maka selisihnya takkan jauh berbeda dengan pasangan lainnya.
1.2.
Saran
Poin
penting yang perlu diperhatikan dalam perhelatan demokrasi ialah partisipasi
pemilih. Dalam konteks ini, penyelenggara pemilu memiliki andil yang besar
untuk mencerdaskan masyarakat agar
memilih sesuai kapasitas calon gubernur. Hal yang paling mendasar untuk dinilai
ialah gaya kepemimpinan serta kemampuan berkomunikasi yang baik agar hajat
hidup serta hasrat masyarakat akan tercapai. Semoga dengan adanya Pilkada
Jateng, dapat lahir pemimpin yang .mampu membawa perubahan positif bagi Jawa Tengah
dan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
dan Majalah
Chaidar, Al. 2000. Pemilu 1999:
Pertarungan Ideologis Partai
Partai Islam versus
Partai Sekuler, Darul Falah, Jakarta.
Pradhanawati, Ari.
2011. Perilaku Pemilih Di Era Politik Pencitraan Dan Pemasaran Politik.
Semarang : Forum Fisip Undip. Hal. 9
Yahya, Dr. Imam. 2010. Gagasan fiqh Partai Politik dalam Khazanah
Klasik. Semarang : Walisongo Press.
Web
dan Internet
http://www.merdeka.com/politik/mengukur-kekuatan-3-pasang-calon-di-pilgub-jateng.html,
diunduh pada hari Minggu, 21 April 2013 pukul 12.25 WIB
http://m.beritahukum.com/detail_berita.php?judul=Sosok+%26+Peta+Kekuatan+Peserta+Pilkada+Jateng+2013&subjudul=PilGub,
diunduh pada hari Minggu, 21 April 2013 pukul 12.25 WIB
[1] http://www.merdeka.com/politik/mengukur-kekuatan-3-pasang-calon-di-pilgub-jateng.html,
diunduh pada hari Minggu, 21 April 2013 pukul 12.25 WIB
[3]
Ari Pradhanawati. 2011. Perilaku Pemilih Di Era Politik Pencitraan Dan
Pemasaran Politik. Semarang : Forum Fisip Undip. Hal. 9
[4] Partai
Islam adalah partai yang dipimpin oleh tokoh Islam, memakai asas Islam maupun
bukan Islam sebagai
fondamen partai, dan
dalam meraih simpati
untuk merebut suara menjadikan kalangan Islam sebagai
basis utama dukungan. Adapun partai sekuler adalah partai yang dipimpin
oleh tokoh-tokoh yang
memandang partai secara
pragmatis sebagai alat pembentuk bulat
lonjongnya negeri ini,
dan bertujuan kepada
negara sekuler yang
makmur, bahagia, dan sejahtera.
[5] Chaidar, Al,
1419, Pemilu
1999: Pertarungan Ideologis
Partai Partai Islam
versus Partai
Sekuler,
Darul Falah, Jakarta.
[6]
Dr. Imam Yahya. 2010. Gagasan fiqh Partai
Politik dalam Khazanah Klasik. Semarang : Walisongo Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar