Minggu, 12 Mei 2013

KURSI JAWA TENGAH 1 MILIK SIAPA?


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
KPU Jateng sudah menutup pendaftaran pasangan calon untuk bertarung dalam Pemilu Gubernur (Pilgub) 26 Mei mendatang. Ada tiga pasangan calon yang mendaftar. Pendaftar pertama adalah Bibit Waluyo-Sudijono Sastroatmodjo. Pasangan cagub incumbent dengan Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) ini diusung oleh Partai Demokrat, PAN dan Golkar, dengan total 37 kursi di DPRD Jateng. Pendaftar kedua yakni Ganjar Pranowo- Heru Sudjatmoko. Pasangan anggota DPR dan Bupati Purbalingga ini hanya diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang memiliki 23 kursi. Sementara, pendaftar ketiga adalah Hadi Prabowo-Don Murdono. Pasangan Sekretaris Daerah Provinsi Jateng dan Bupati Sumedang ini diusung oleh 6 partai. Mereka adalah PKS, PKB, Gerindra, PPP, Hanura, PKNU, dengan total 40 kursi. Dari total kekuatan partai, Hadi Prabowo-Don Murdono yang terkuat dengan total 40 kursi. Namun, itu adalah hasil Pemilu 2009 yang sangat mungkin kekuatannya sudah bergeser sekarang. Terlebih, efektivitas mesin partai juga menjadi faktor utama untuk meraih kemenangan.[1]
Jawa Tengah seringkali disebut- sebut sebagai basis massa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Meski demikian, ada semacam penurunan elektabilitas partai yang melanda partai berlambang banteng ini. Hal ini terlihat dari penurunan suara yang terjadi sepanjang dua pemilu terakhir ini. Pada Pemilu 1999 suara PDIP 32.2 persen, Pemilu 2004 turun menjadi 27.9 persen. Terakhir dalam Pemilu 2009 jatuh lagi menjadi 24.8 persen, artinya data itu menunjukkan pudarnya kekuatan banteng secara signifikan di Jateng. Sebagai “Jantung Indonesia”, Jawa Tengah merupakan titik balik eksistensi partai dalam kancah nasional yang akan tiba pada tahun 2014 nanti. Pertarungan politik di Jawa Tengah, tentunya akan semakin seru manakala para Cagub dan Cawagub saling “tikam” diantara mereka. Ada yang berasal dari rumpun yang sama, ada pula yang berasal bukan dari internal/ kader partai. Keseluruhan fenomena ini akan kami bahas tuntas melalui peninjauan kekuatan tiga pasang calon untuk Pilgub Jateng 2013 ini.
1.2.  Rumusan Masalah
A.    Bagaimana Peta Kekuatan Pasangan Bibit Waluyo dan Sudijono?
B.     Apa saja yang dimiliki oleh Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko dalam Pilkada Jateng 2013?
C.     Sekuat apakah Hadi Prabowo dan Don Murdono?


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Peta Kekuatan Pasangan Bibit Waluyo dan Sudijono
Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan pada tahun 2012 yang lalu, dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Partisipasi Politik terkait elektabilitas masyarakat Jateng terhadap figur gubernur 2013, menghasilkan data bahwa figur purnawirawan TNI masih diminati oleh masyarakat Jateng dengan sampel 1000 orang menghasilkan 42% untuk data tersebut. Artinya, masyarakat Jawa Tengah masih mengkehendaki purnawirawan TNI sebagai pemimpin Jateng selanjutnya. Dalam konteks ini, Bibit Waluyo sebagai mantan Pangkostrad TNI memiliki peluang lagi untuk merebut kursi no 1 di Jawa Tengah.
Bibit Waluyo adalah seorang Letjen (Purn) dan Sudijono adalah Rektor Unnes. Jabatan terakhir Bibit di militer adalah Pangkostrad pada tahun 2002, ia memenangi Pilkada Jateng pada tahun 2008 bersama Rustriningsih dengan persentase suara 44%, telak. Bibit Waluyo yang asli Klaten juga pernah menjadi Pangdam Diponegoro pada tahun 1997, darisanalah kedekatan dirinya dgn tokoh- tokoh Jateng terjalin. Pada Pilkada 2008, Bibit dan Rustriningsih menang telak dengan persentase 44% suara, padahal kala itu ada 5 pasang calon yang terbilang sangat kuat. Bibit kuat di jaringan atas sampai militer,setidaknya sampai kecamatan komando Bibit bisa terlaksana dengan presisi. Rustriningsih kuat di kalangan bawah, sebagai kader PDIP pula, sehingga dapat menang telak. Bibit dinilai kurang cakap dalam membangun pola komunikasi, sehingga sering kali apa yang diucapkan tidak ditangkap dengan baik, itulah mengapa dirinya selalu bergesekan dengan media. Sementara itu, cawagub Bibit Waluyo adalah Sudijono Sastroatmojo, yang baru saja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Rektor Unnes untuk maju dalam pilkada Jateng. Bibit Waluyo dinilai sangat dekat sekali dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia saat ini, karena itulah akhirnya ia maju dari Partai Demokrat. Selanjutnya, yang menjelaskan majunya Sudijono dari Partai Golkar adalah selentingan dirinya sebagai kader Golkar. Dikampusnya Sudijono cukup "otoriter", namun royal berbagi anggaran pada pihak-pihak yang tak kritis di kampus. BEM KM Unnes saaja mendapat 150 juta pertahunnya. Diharapkan Sudijono mampu menghimpun jaringan alumni UNNES yang tersebar di seluruh Jateng. UNNES dulunya adalah IKIP, suara para gurupun diamankan. Ini yang menjelaskan mengapa ketua PGRI Jateng, Sulistyo, tak jadi maju pada pilkada kali ini.[2]
Ada sebuah modal besar yang dimiliki oleh pasangan Bibit dan Sudijono ini, yaitu gelar incumbent yang dimiliki oleh Bibit Waluyo. Berkaca dari fenomena Pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara, para incumbent kembali dapat merebut kursi kekuasaan lantaran masih kuatnya pengaruh mereka. Sebagai incumbent, tentunya hal ini menguntungkan karena dapat menggunakan seluruh akses dan fasilitas jabatan sebagai media kampanye. Hal ini tentu tidak melanggar kode etik pemilu lantaran status yang dimiliki oleh seorang incumbent masih sah dimata hukum. Oleh sebab itu, pasangan Bibit- Sudijono tak boleh dipandang sebelah mata karena eksistensi Bibit Waluyo sebagai seorang gubernur, yang disertakan dengan jaringan- jaringan yang dimilikinya, tentulah sangatlah patut untuk diperhitungkan. Keunggulan lainnya yang dimiliki Bibit Waluyo ialah pembawaannya terhadap masyarakat pedesaan, terlepas statement medianya yang selalu kontroversial. Di mata publik Jawa Tengah, yang masih dipenuhi oleh masyarakat pedesaan, pencitraan Bibit Waluyo yang cenderung ndeso memiliki kekuatannya tersendiri. Raut muka disertai mimic wajah serta gaya bicara yang ceplas- ceplos memberikan kesan bahwa Bibit Waluyo adalah figur yang memiliki rasa sepenanggungan dengan masyarakat pedesaan. Ada rasa saling memahami dan rasa saling kasihan yang terjadi antara masyarakat Jawa Tengah dan Bibit Waluyo. Setidaknya Bibit Waluyo masih memiliki modal sosial yang bisa ia jual sebagai produk politik. Mengambil pandangan Francis Fukuyama, bahwa modal sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern.[3] Kekuatan lainnya yang dimiliki oleh pasangan ini ialah merapatnya salah satu kampus besar di Jawa Tengah, yaitu Universitas Negeri Semarang. Walaupun bukan sebuah hal yang patut diunggulkan, setidaknya pergerakan alumni UNNES cukuplah signifikan, mengingat gengsi yang dipertaruhkan untuk memenangkan pasangan ini.
Kekuatan yang dimiliki oleh pasangan ini nampaknya juga memiliki kerapuhan. Hal ini dikarenakan figur Bibit Waluyo yang selalu kontroversial. Walaupun ia didukung oleh Partai Demokrat, Partai Golkar dan PAN, namun Bibit tak mampu merangkul media. Pencitraan yang ia lakukan selalu termentahkan lantaran statemen yang ia sampaikan terkadang menimbulkan kontroversi. Mungkin pasangan ini lupa bahwa media memiliki kekuatan yang sangatn kuat, walaupun hanya dikonsumsi oleh masyarakat menengah keatas, namun hal ini bukan tidak mungkin akan mengganggu elektabilitas dirinya dalam pemilihan nantinya.
2.2. Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko dalam Pilkada Jateng 2013
Pasangan kedua adalah Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko. Jujur, ini adalah sebuah kejutan, terutama untuk Heru Sudjatmiko. Memang, Ganjar sudah diisukan bakal maju. Ada beberapa alasan kuat yang mendukung gagasan majunya Ganjar Pranowo sebagai gubernur.  Pertama, di DPP PDIP kubu intelektual anak muda sedang kuat-kuatnya. Kubu intelektual muda di PDIP ini "dipimpin" oleh Pramono Anung. Mereka telah berhasil mengusung Jokowi, Rieke dan Efendi Simbolon. Generasi tua seperti Taufik Kiemas, Cahyo Kumolo merasa tersisihkan dengan kubu Pramono tersebut. Itulah alasan mengapa beberapa kali Taufik Kiemas cenderung berbeda pendapat dengan Mega. Alasan kedua adalah menyebrangnya Bibit Waluyo ke Partai Demokrat. Artinya basis massa PDIP sebagai pengusung tunggal pasangan ini telah hilang. Lalu yang ketiga adalah dipojokkannya Rustriningsih dengan menunjuk Ganjar sebagai calon gubernur.
Ada beberapa kelebihan dan kekurangan dari pasangan ini. Diantaranya telah saya sebutkan diatas. Sebagai partai tunggal yang mengusung pasangan ini, PDIP dituntut untuk bekerja keras. Hal ini dikarenakan pecahnya soliditas internal partai yang memberikan ruang terbuka bagi kompetitor lainnya untuk menjatuhkan hegemoni PDIP di Jawa Tengah. Sebagai basis massa PDIP yang paling solid, Jawa Tengah adalah jantung Indonesia, barang siapa yang Berjaya di Jawa Tengah, maka dapat dipastikan akan berkarya dalam pentas nasional. Selanjutnya, nampaknya tagline yang diusung oleh pasangan ini kurang begitu mengena bagi masyarakat Jawa Tengah. Pangsa pasar bagi pemilih Jawa Tengah adalah mereka masyarakat tradisional yang kurang dalam tataran pendidikan. Dalam hal ini, Ganjar dan Heru mengangkat tagline “Membangun Jawa Tengah dengan Trisakti Bung Karno”. Selanjutnya, yang menjadi permasalahan saat ini ialah, apakah masyarakat Jawa Tengah paham mengenai Tri Sakti Bung Karno tersebut? Sebagai pasangan yang dieluh-eluhkan untuk melanjutkan hegemoni banteng merah PDI perjuangan, Ganjar dan Heru tentunya sangatlah hati- hati dalam melangkah untuk menarik minat masyarakat Jawa Tengah. Namun demikian, saya melihat bahwa gerakan intelektual muda yang dibangun oleh Ganjar Pranowo cukup memuaskan. Walaupun basis massa PDIP terpecah, namun basis kaum mudanya tetaplah eksis. Ganjar Pranowo sangatlah fenomenal dikalangan mahasiswa, apalagi yang berideologi sama dengan dirinya. PDIP saat ini nampaknya memposisikan dirinya sebagai Passion Partie, yaitu gerakan yang mengandalkan basis massa paling bawah untuk bergerak. Itulah mengapa Ganjar Pranowo selalu mencari simpati masyarakat ke desa- desa tanpa diketahui oleh media. Gerakan underground yang dibangun oleh Ganjar Pranowo nampaknya akan menjadi kejutan bagi pasangan lainnya dalam penghitungan suara nantinya. Kita akan lihat, mampukah Ganjar dan Heru mempertahankan rezim Soekarno untuk 5 tahun yang akan datang?
Hal lainnya yang menjadi kekuatan dari Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko ialah masih fenomenalnya figur para elit PDIP. Hingga saat ini, masyarakat tradisional Jateng mengenal PDIP tidak dengan nama PDIP, melainkan dengan sebutan, “Partai Ibu Mega”, itulah mengapa Jawa Tengah selalu diistimewakan oleh Megawati Soekarno Putri yang telah menjadi Ketua Umum PDIP selama 20 tahun tersebut. Kuatnya figur Megawati, konon menjadi alasan mengapa Rustriningsih tidak dipilih sebagai cagub dari PDIP, lantaran akan menggeser figur Megawati itu sendiri. Figur lainnya yang menjadi idola masyarakat Jawa Tengah ialah adanya kehadiran Joko Widodo sebagai sosok yang fenomenal bagi masyarakat Jawa Tengah. Kiprah Jokowi sebagai Walikota Surakarta cukup memikat hati masyarakat Jateng yang selalu memposisikan Jokowo sebagai antipati Bibit Waluyo. Jikalau blusukan Jokowi ke Jawa Barat dan Sumatera Utara tidak mampu mengubah suara PDIP yang berada di urutan nomor dua, belum tentu hal tersebut mempengaruhi eksistensi dirinya di Jawa Tengah. Figur Ganjar sendiri tidaklah terlalu buruk. Dari seluruh cagub dan cawagub Jateng tahun ini, Ganjar yang paling muda. Artinya sosok Ganjar adalah figur yang dinantikan oleh masyawarakat Jateng lantaran perawakan dan pembawaan dirinya yang masih tergolong muda, karena nilai jual performance saat ini sangatlah tinggi. Hal itu diakui oleh pasangan “Ganteng” di Sumatera Utara sehingga dapat memenangkan pilgub disana.
Kekuatan dan kelemahan pasangan Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko telah kami paparkan, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam benak saya manakala PDIP menunjuk Heru Sudjatmiko sebagai cawagub yang mendampingi Ganjar Pranowo. Ia terpilih sebagai anggota DPR RI di dapil 7, wilayah Kebumen, Purbalingga, dan Banjarnegara. Padahal Heru Sudjatmiko adalah Bupati Purbalingga. Artinya secara hitungan strategi massa sangatlah tidak cocok karena berada pada locus yang sama. PDIP juga lebih memilih untuk bertarung seorang diri, tanpa membangun fusi dan koalisi bersama partai lain. Padahal partai- partai seperti Gerindra dan Hanura adalah koalisi sejatinya, namun PDIP lebih memilih untuk berkancah seorang diri. Oleh karena itu, mari kita lihat sejauh mana kekuatan mesin partai PDIP dalam memenangkan kader partainya untuk merebut kusri Jateng 1 serta mempertahankan hegemoni PDIP di Jawa Tengah.
2.3.  Kekuatan Pasangan Hadi Prabowo dan Don Murdono
Hadi Prabowo adalah cagub yang paling terakhir mendaftarkan dirinya ke KPU Jateng untuk ikut serta dalam perhelatan akbar Pilkada Jateng yang akan digelar pada tanggal 26 Mei 2013 nantinya. Dari segi kekuatan, Hadi Prabowo memanglah sangat kuat. Akibat tak direstui untuk maju dari PDI Perjuangan, Hadi Prabowo nampaknya sedikit gamang untuk menentukan kendaraan politiknya lantaran sebelumnya ia telah berikrar hanya ingin maju melalui PDI Perjuangan. Untuk itu, ia menggaet Don Murdono, Bupati Sumedang yang juga merupakan adik dari Murdoko, kader loyalis PDI Perjuangan. Artinya, dapat dipastikan suara PDI Perjuangan akan terpecah dan jaringan yang dimiliki oleh Murdoko tentunya akan diakuisisi oleh pasangan Hadi Prabowo dan Don Murdono tersebut. Selain itu, Hadi Prabowo menggunakan pendekatan struktural untuk memenangkan kursi Jateng 1 ini. Saat ini, ia masih menjabat sebagai Sekretaris Daerah yang tentunya memiliki peran strategis untuk mengamankan seluruh suara Pegawai Negeri Sipil di Jawa Tengah. Jaringan yang dimiliki oleh Hadi Prabowo tak perlu diragukan lagi. Hampir diseluruh daerah Jawa Tengah terdapat baliho serta posko pemenangan dirinya. Selain daripada itu, Hadi Prabowo adalah Ketua Ikatan Alumni Undip (IKA Undip) yang tentunya akan menggerakkan para alumni Undip untuk berpihak padanya. Alasannya sederhana, tentunya karena gengsi, mengingat pasangan Bibit Waluyo dan Sudijono diusung pula oleh alumni Unnes. Sehingga nantinya aka nada perang alumni dua kampus besar yang ada di Jawa Tengah, yaitu Undip dan Unnes.
            Kekuatan lainnya yang dimiliki oleh pasangan ini ialah banyaknya partai yang mengusung mereka, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Gerindra, Partai Hanura, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) serta PKNU yang dalam hal ini tidak lolos dalam verifikasi KPU Pusat untuk pemilu 2014. Tentunya koalisi ini memiliki kelebihan dan kekurangan dalam aktualisasinya nanti. Pergesekan kepentingan ini sangatlah rentan mengingat koalisi yang dibangun adalah koalisi yang rapuh. Walaupun ada tokoh- tokoh sentral yang mendukung Hadi Prabowo dan Don Murdono seperti Prabowo Subiyanto, Anis Matta dan lainnya, tak dapat dipungkiri apabila kepentingan setiap partai mendominasi untuk mencitrakan dirinya mengingat tahun 2014 adalah puncak segalanya. Kekuatan- kekuatan yang dihimpun oleh Hadi Prabowo dan Don Murdono tampaknya tak sebatas pada koalisi partai, melainkan kepada stakeholder akar rumput yang paling bawah sekalipun. Itulah mengapa Hadi Prabowo menggandeng PKS lantaran partai tersebut memiliki massa solid dari bawah hingga ke atas, serta menggandeng PKNU karena masyarakat Jawa Tengah yang masih berkutat dengan garis Islam Tradisional. Poros kekuatan Hadi Prabowo juga terletak pada aliansi Partai Gerindra dan Hanura sebagai partai modernis- demokratis yang mengidentikkan dirinya sebagai partai nasionalis. Koalisi yang dibangun ini dapat dikatakan sebagai koalisi paling komplit karena merangkul segala bentuk aliran ideologi yang ada di Jawa Tengah, termasuk hegemoni para Kyai dan Ulama.
            Secara historis, Jawa Tengah merupakan daerah dengan penduduk bermayoritas Muslim. Namun, secara real, Jawa Tengah merupakan basis partai- partai yang beraliran Hellenisme, sebut saja PDI Perjuangan, serta partai- partai agamis kedaerahan lainnya yang tersebar di Jawa Tengah. Sehingga, secara wilayah, Jawa Tengah dapat dikatakan sebagai basis massa golongan jawa abangan, ataupun Islam Tradisional yang sejatinya menjadi ciri khas tersendiri bagi daerah tersebut.[4] Partai- partai abangan, seringkali disebut sebagai partai nasionalis yang berasaskan kebangsaan. Al Chaidar menyatakan, bahwasanya partai Islam memiliki perbedaan dengan partai sekuler yang ada di Indonesia, atau biasa disebut sebagai partai nasionalis tadi.[5] Pada saat ditelaah lebih mendalam, partai- partai di wilayah Jawa Tengah memiliki basis massanya tersendiri dalam golongan- golongan tertentu. Sebut saja PDI Perjuangan, yang memiliki fans fanatik di kota Surakarta yang terdiri atas masyarakat priyayi, ataupun para pemilih NU yang mayoritasnya santri dan kyai. Imam Yahya dalam bukunya “Gagasan Fiqh Partai Politik dalam Khazanah Klasik” menyimpulkan bahwa ditengah masyarakat santri, kiai adalah sosok manusia yang disegani, dihormati, dan kadang ditakuti. Rasa segan dan nyaman itulah, yang menurut penulis dijadikan alasan mengapa fatwa kiai sangatlah dihormati dan harus diikuti. Kemampuan seorang kiai dalam memberikan solusi, terkadang menjadikan posisi kiai sebagai ujung tombak dalam setiap permasalahan.[6] Begitu kuatnya hegemoni para kyai ternyata justru memihak kepada Hadi Prabowo dan Don Murdono. Itulah mengapa saya menyebutkan bahwa koalisi yang dimiliki oleh Hadi Prabowo dan Don Murdono merupakan koalisi yang sangat komplit.
            Namun demikian, pasangan Hadi Prabowo dan Don Murdono juga bukanlah pasangan yang sempurna. Selain koalisi rapuh, pasangan ini terkesan tak merakyat, tidak askeitisme, yaitu sikap bersahaja yang konon paling berpengaruh bagi prilaku memilih. Apalagi didalam memimpin, Hadi Prabowo terkesan Directive, yaitu gaya memimpin dengan pendekatan otoriter, yang seringkali terkesan ingin dihormati. Itulah peta kekuatan dari pasangan Hadi Prabowo dan Don Murdono sebagai pasangan dengan dukungan terbanyak serta memiliki posisi struktural yang paling kuat daripada kompetitornya yang lain.


BAB III
PENUTUP
1.1.  Kesimpulan
Tanggal 26 Mei sebentar lagi dan gejolak politik telah bergeliat di Jawa Tengah. Ada 3 pasang calon yang telah mendaftarkan dirinya ke KPU Jateng. Mereka terdiri dari nomor urut 1, yaitu pasangan Hadi Prabowo dan Don Murdono. Pasangan nomor urut 2, yaitu Bibit Waluyo dan Sudijono. Sementara pasangan nomor urut 3 yaitu Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko. Melihat potensi kekuatan dan kelemahan seperti yang telah kami ulas diatas, kami memprediksikan bahwa pasangan Hadi Prabowo dan Don Murdono akan memenangkan Pilkada Jateng 2013 nanti. Hal ini didukung dari kekuatan politik yang dimiliki oleh Hadi Prabowo dan Don Murdono yang telah mengakuisisi 6 partai pengusung dengan aliran ideologi yang berbeda- beda.
Walaupun demikian, peluang Hadi Prabowo dan Don Murdono tidak bisa dikatakan cukup besar, mengingat persaingan politik yang terjadi sangatlah ketat. Rezim PDI Perjuangan begitu kokoh sehingga mereka berani untuk tampil sendiri dalam pertarungan politik tahun ini. Begitupun halnya dengan pasangan Bibit Waluyo dan Sudijono yang sejatinya adalah incumbent dengan posisi yang cukup kuat. Oleh karena itu, jikalau pasangan HP- DON menang, maka selisihnya takkan jauh berbeda dengan pasangan lainnya.
1.2. Saran
Poin penting yang perlu diperhatikan dalam perhelatan demokrasi ialah partisipasi pemilih. Dalam konteks ini, penyelenggara pemilu memiliki andil yang besar untuk mencerdaskan  masyarakat agar memilih sesuai kapasitas calon gubernur. Hal yang paling mendasar untuk dinilai ialah gaya kepemimpinan serta kemampuan berkomunikasi yang baik agar hajat hidup serta hasrat masyarakat akan tercapai. Semoga dengan adanya Pilkada Jateng, dapat lahir pemimpin yang .mampu membawa perubahan positif bagi Jawa Tengah dan Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Majalah
Chaidar,  Al. 2000.  Pemilu  1999:  Pertarungan  Ideologis  Partai  Partai  Islam  versus  Partai Sekuler, Darul Falah, Jakarta.
Pradhanawati, Ari. 2011. Perilaku Pemilih Di Era Politik Pencitraan Dan Pemasaran Politik. Semarang : Forum Fisip Undip. Hal. 9
Yahya, Dr. Imam. 2010. Gagasan fiqh Partai Politik dalam Khazanah Klasik. Semarang : Walisongo Press.
Web dan Internet
http://www.merdeka.com/politik/mengukur-kekuatan-3-pasang-calon-di-pilgub-jateng.html, diunduh pada hari Minggu, 21 April 2013 pukul 12.25 WIB


[1] http://www.merdeka.com/politik/mengukur-kekuatan-3-pasang-calon-di-pilgub-jateng.html, diunduh pada hari Minggu, 21 April 2013 pukul 12.25 WIB
[3] Ari Pradhanawati. 2011. Perilaku Pemilih Di Era Politik Pencitraan Dan Pemasaran Politik. Semarang : Forum Fisip Undip. Hal. 9
[4] Partai Islam adalah partai yang dipimpin oleh tokoh Islam, memakai asas Islam maupun bukan   Islam   sebagai   fondamen   partai,   dan   dalam   meraih   simpati   untuk   merebut   suara menjadikan kalangan Islam sebagai basis utama dukungan. Adapun partai sekuler adalah partai yang   dipimpin   oleh   tokoh-tokoh   yang   memandang   partai   secara   pragmatis   sebagai   alat pembentuk  bulat  lonjongnya  negeri  ini,  dan  bertujuan  kepada  negara  sekuler  yang  makmur, bahagia,  dan  sejahtera.
[5] Chaidar,  Al,  1419,  Pemilu  1999:  Pertarungan  Ideologis  Partai  Partai  Islam  versus  Partai
Sekuler, Darul Falah, Jakarta.
[6] Dr. Imam Yahya. 2010. Gagasan fiqh Partai Politik dalam Khazanah Klasik. Semarang : Walisongo Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar