Minggu, 12 Mei 2013

AUTOBIOGRAFI JONI FIRMANSYAH


Kilasan Singkat Kehidupan dari Ia yang Selalu Terasingkan

MASA KANAK- KANAK
            Namaku Joni Firmansyah. Aku lahir pada tanggal 19 Juni 1991 di sebuah desa kecil yang bernama Labuhan Sangor, di pinggiran pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sesuai dengan letak geografis daerah tempatku dilahirkan, maka lingkungan pertama kali yang kutemui ialah lingkungan perairan dengan keindahan alam bahari sebagai awal plot kehidupan saya. Tak butuh waktu yang terlalu lama bagiku untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut, karena darah nelayan mengalir dalam diriku. Kakekku adalah seorang nelayan, begitupun dengan seluruh garis keturunannya, termasuk Ibuku. Dalam kehidupan kami, laut menjadi sahabat yang tak pernah lekang oleh waktu dan selalu setia menemani dalam keadaan apapun. Seluruh masyarakat dikampung tersebut bergantung kepada kebaikan laut yang menjadi sumber mata pencaharian dalam pemenuhan hajat hidup mereka. Sementara Ibuku sebagai seorang nelayan, maka Ayah sebagai kepala keluarga memiliki pandangan yang berbeda untuk memperbaiki keadaan ekonomi kami. Sebelum menikah dengan Ibu, Ayah adalah seorang supir truk penjual ikan. Beliau mengantarkan hasil tangkapan ikan penduduk untuk dijual di pusat kota Sumbawa. Ayah bukanlah penduduk asli desa tempat dimana aku dilahirkan, melainkan perantauan yang berasal dari Desa Plampang yang memiliki adat serta istiadat yang berbeda dari desa tempat Ibu berasal. Mungkin, sudah suratan takdir yang mempertemukan mereka. Ibarat sebuah pepatah, “Asam digunung, garam dilaut, pasti bertemu di belanga jua”. Mungkin itulah gambaran yang bisa aku ceritakan terkait kisah cinta mereka mulai berawal. Semuanya telah digariskan dan menjadi rahasia Tuhan, aku tak perlu tahu.
            Berbekal kemampuan Ayah mengemudikan kendaraan, kamipun memutuskan untuk meninggalkan desa tempat kelahiranku. Beratkah? Tidak! Karena usiaku saat itu masihlah belia dan kutahu alasan Ibu sepakat dengan keputusan Ayah, yaitu untuk hidup kami yang lebih baik. Usiaku saat itu belumlah genap 3 tahun pada saat kami meninggalkan desa itu. Kami sekeluarga mulai meninggalkan desa itu dengan menumpang truk ikan yang biasa dikemudikan Ayah. Namun, yang menjadi pembeda saat ini ialah kami sebagai penumpang, karena juragan truk tersebut telah menemukan supir yang menggantikan Ayah. Satu hal yang kuingat selama perjalanan tersebut, yaitu aku bersandar di bahu Ibu dan tertidur selama perjalanan. Saat aku membuka mata, aku telah berada diatas kasur yang menurutku tak terlalu empuk, dengan langit- langit kamar berwarna putih, begitupun dengan dinding- dindingnya. Awalnya aku mengira kau berada di Rumah Sakit, namun tak kutemukan seorang perawat dan dokter diruangan tersebut. Hanya Ibu dan Ayah yang tengah membersihkan ruangan tersebut sehingga layak untuk kami tempati. Aku masih ingat, saat pertama kalinya aku melangkah keluar ruangan tersebut. Tampak jejeran bus- bus besar disepanjang pelataran parkir yang membentang luas di depanku. Aku hanya terdiam, karena layaknya anak- anak pada umumnya, aku tak punya alasan untuk bertanya kepada Ibu, mengapa kita disini. Tak ada yang spesial dengan tempat ini, menurutku. Aku hanya melihat sekeliling tempat kami tinggal. Hari masih gelap, karena saat aku terbangun, jam masih menunjukkan pukul 3 pagi. Pintu- pintu rumah yang lain masih tertutup dan kuputuskan untuk tidur lagi. Akupun mencari Ibu. Saat kutemukan, aku melihat Ibu tersenyum. Kutahu, ia sangat bahagia.
            Aku terbangun. Aku keluar dari ruangan tersebut dan menyaksikan bus- bus besar tadi datang silih berganti. Kulihat Ayah turun dari salah satu bus tersebut. Aku baru tahu, kalau Ayahku akan mengemudikan salah satu dari bus- bus tersebut, dan tempat kami tinggal adalah rumah yang dipersiapkan oleh armada bus untuk supir- supir yang belum memiliki rumah. Ah, aku anak gudang sekarang, karena tempat aku tinggal selain disebut sebagai rumah, lebih layak disebut sebagai gudang.
Tapi tak mengapa, karena aku suka tempat ini. Namun, tak perlu waktu lama aku tinggal digudang ini. Ibu telah membeli sebuah tanah di salah satu kelurahan di pusat kota ini. Alasannya sederhana, karena aku harus membutuhkan lingkungan yang baik, sebelum aku masuk taman kanak- kanak. Aku tahu bahwa usiaku sudah layak untuk masuk sekolah. Maka akupun siap untuk meninggalkan lingkunganku saat ini. Beratkah? Tidak! Karena disini hanya aku yang berstatus anak- anak. Sisanya ialah orang dewasa dengan berbagai macam latar belakang pekerjaan. Supir, adalah bidang pekerjaan dengan strata tertinggi. Status sebagai sopir dapat disamakan sebagai Kolonel dalam angkatan bersenjata, karena pangkat Jenderal tentunya disandang oleh bos besar pemilik tempat ini. Ayahku seorang supir, maka yang kutahu ia adalah Kolonel ditempat ini. Penguasa dengan pangkat tertinggi. Jabatan selanjutnya ialah Kernet, dengan pangkat sebagai Letnan Kolonel (Letkol) karena berfungsi membantu supir dalam mengemudikan bus- bus besar tersebut. Tak terlalu buruk, karena jika tak ada supir, maka kernet adalah penguasa kedua. Selanjutnya ialah Teknisi Mesin dengan pangkat Letnan. Fungsinya ialah memperbaiki bus- bus tersebut manakala mengalami masalah dalam operasi kendaraan. Kemudian, ada agen- agen atau biasa disebut calo. Mereka berpangkat Sersan dengan tugas menjual tiket keberangkatan penumpang. Jabatan selanjutnya ialah penumpang ketinggalan bus. Aku tak tahu harus member mereka pangkat seperti apa, karena mereka selalu hadir dengan wajah yang berbeda- beda. Maka kuputuskan mereka sebagai tentara negara lain. Tak perlu dipikirkan, menurutku. Selanjutnya ialah Aku, sebagai seorang paling muda dilingkungan ini. Apa pangkatku? Kopral! Alasannya sederhana, karena hanya Kopral yang turun untuk berperang. Terkadang ada yang selamat, tapi kutahu juga bahwa tak sedikit yang mati di medan juang. Tetapi tak mengapa, aku bangga!
            Jalan Cendrawasih no. 24, Brang Biji, kec. Sumbawa, kab. Sumbawa, Nusa Tenggara Barat adalah alamat rumahku yang baru. Lingkungan yang baru ini adalah pelabuhan terakhir dari perjalanan kapal keluarga kami. Dalam lingkungan ini, aku menemukan banyak sekali pengalaman dan teman yang berharga untuk membantu tumbuh- kembangku sebagai anak- anak. Aku telah sekolah, tepatnya masih kelas Nol Besar di Taman Kanak- Kanak RA. Bustanul Jannah. Ibu yang mengantarkanku setiap kali aku berangkat sekolah. Bahkan, Ibu selalu menungguiku hingga kelas bubar. Bukan karena aku manja, tapi lebih karena Ibu takut terjadi apa- apa denganku jikalau aku berangkat sendiri. Ibu sayang padaku.
            Tak perlu waktu lama bagiku untuk menyelesaikan pendidikan pertamaku tersebut. Satu tahun berada di TK telah sangat cukup bagiku untuk mahir membaca, menulis dan berhitung. Ibu selalu membelikan majalah BOBO buatku sebagai bahan bacaan. Namun, akhir- akhir ini aku sudah jarang mendapat majalah itu lagi. Semenjak kepindahan kami dirumah yang baru, ekonomi keluargaku sedikit menurun, sehingga mengharuskan Ibu membantu ekonomi keluarga. Tidak hanya Ibu menurutku, akupun punya tanggung jawab untuk membantu ekonomi keluarga sebagai anak tertua, karena selepas pendidikanku di taman kanak- kanak, Ibu melahirkan dan aku telah menjadi seorang kakak. Adikku laki- laki, namanya Rustam Rizky Effendi. Akhirnya, aku punya teman untuk bermain bola, pikirku. Maka kuputuskan untuk membantu orang tua. Karena usiaku yang masih dibawah umur dan akupun akan masuk Sekolah Dasar (SD), maka Ibu membelikanku sepasang kambing untuk aku gembala. Ya! Profesi terbaruku setelah usai menjadi kopral di gudang bus itu ialah sebagai penggembala kambing.
            Aku mulai masuk Sekolah Dasar (SD) pada usia 7 tahun. Usia yang normal menurutku, karena ada teman- temanku yang masuk SD di usia 8 tahun. Dalam batas ketidakmampuan ekonomi keluarga, Ayah dan Ibu tetap bersikeras menyekolahkanku di SD 11 Sumbawa, salah satu SD terfavorit di Kabupaten Sumbawa. Ditengah- tengah profesiku sebagai penggembala kambing, aku masih sempat belajar selepas aku bersekolah, yaitu disaat aku menggembala kambingku itu. Bagiku, bersekolah merupakan suatu kewajiban mutlak dan harus dilaksanakan. Ibuku yang mengajarkan demikian karena beliau tidak ingin mengulang masa kelamnya saat beliau masih bersekolah dulu. Ibuku adalah seorang yang cerdas. Beliau adalah siswa dengan nilai Ujian Nasional (UN) tertinggi di Kabupaten Sumbawa untuk tingkat Sekolah Dasar, di SD Labuhan Sangor, tempat aku dilahirkan. Beliaupun pernah menjuarai lomba cerdas- cermat antar kecamatan didesa kami. Namun, selepas SD Ibu tak mampu melanjutkan sekolah ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) lantaran kakek tak memiliki cukup biaya. Ibu sangat bersedih saat itu. Mulai saat itu, Ibu berjanji dalam hatinya bahwa kelak anaknya nanti harus merasakan pendidikan setinggi- tingginya. Karena Ibu percaya, hanya dengan pendidikan derajat seseorang akan naik dan diakui dalam masyarakat. Itulah mengapa pendidikan selalu menjadi prioritas utama dalam keluarga kami. Salah satu kebiasaan yang ditularkan Ibu kepadaku ialah hobi beliau membaca, dan kebiasaan itu juga melekat dalam diriku. Sepulang sekolah, kusempatkan diriku untuk meminjam buku di perpustakaan sekolah dan kubawa pulang untuk kubaca selama aku menggembala kambing. Buku apapun itu selalu kubaca, dari buku fiksi, romantika, hingga buku ajaran agama lainpun aku gemari. Bagiku, membaca adalah kegiatan mengunjungi dimensi dunia lain, dunia para penulis yang sengaja dibagikan kepada pembaca untuk diakui keberadaannya dan dimengerti maksud dan tujuan penulisannya. Mempelajari sastra adalah kesenangan tersendiri bagiku, yang selalu ditemani dengan kambing- kambingku itu. Itulah mengapa aku selalu ditunjuk untuk mewakili sekolahku dalam setiap lomba yang melibatkan sastra sebagai tema utamanya. Dimulai dari lomba baca puisi, lomba pidato, mengarang dan lomba cerdas cermat. Tetapi, ada satu momen yang tak pernah kulupakan saat aku mengikuti lomba baca puisi. Perlu kawan- kawan ketahui bahwa ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, aku tak mampu melafalkan huruf “R” dengan benar. Jika kupaksakan, lafal yang terdengar ialah mirip huruf “L”, sehingga aku sering di olok- olok teman- temanku. Maka, hari naas bagikupun tiba, disaat aku diminta membacakan puisi di depan ratusan penonton, ada kalimat yang berbunyi, “Sebuah lubang peluru bundar didadanya” dan, “Kita sedang perang!”. Akupun dengan santai melafalkannya,” Sebuah lubang pelulu bundal didadanya” dan, “Kita sedang pelang!”. Sontak!, seluruh penonton yang hadirpun tertawa terbahak- bahak. Dewan juri, guru- guru, dan teman- temanku ikut tertawa. Kepercayaan diriku mulai goyah, peluhku mengalir deras. Wajahku menjadi merah padam, kutahan rasa Maluku dengan gemetar. Kupandangi seluruh penonton yang menertawaiku. Tiba- tiba mataku mendapati sosok Ibuku di sudut panggung. Ibu tidak tertawa, beliau hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Entah mengapa, bulu kudukku merinding, ada energi lain yang member semangat kepadaku. Darahku mulai berdesir, ketakutanku perlahan- lahan menghilang. Aku tegakkan kepalaku dan mulai percaya diri kembali. Kubacakan puisi tersebut dengan lantang hingga akhir. Tepuk tangan meriah mengiringi langkahku menuruni panggung. Aku merasa sebagai kopral menang perang saat itu. Tak begitu buruk menurutku, karena juara 3 menjadi milikku malam itu. Ah, ini semua karena Ibu. Jika beliau tak menganggukkan kepalanya saat aku mulai ragu, mungkin aku akan menjadi kopral yang mati menggenaskan saat itu. Cukup dengan satu senyuman dan anggukkan kepala, aku menang dalam pertarungan itu. Ditengah keterbatasanku yang cadel, aku masih bisa menang dan berani melawan ketidakmungkinan. Sepertinya aku naik pangkat menjadi komandan kopral, untuk malam itu saja.

MASA REMAJA
            Kambingku yang semula hanya dua ekor, sekarang telah menjadi puluhan ekor. Kini aku tak sendiri lagi mengurusi kambing- kambing itu. Adikku yang kedua telah mampu membantuku mengurusi kambing kami. Kini aku telah memiliki dua adik, disaat aku bersiap menghadapi Ujian Nasional tingkat Sekolah Dasar. Tabunganku hasil menggembala kambing telah cukup untuk masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) terbaik di Kabupaten Sumbawa. Saat itu aku bisa merasakan bagaimana menikmati hasil jerih payah sendiri. Tak perlu lagi ku menengadahkan tangan untuk meminta kepada orang tua, karena berkat kambing- kambing itu, aku mampu mengurusi diriku sendiri. Ayahku masih menjadi supir bus- bus besar. Pangkat beliau tak pernah naik, selalu berpangkat Kolonel. Aku hanya mungkin bisa bermimpi, jikalau beliau menjadi Jenderal mungkin aku tak perlu mengurusi kambing, karena aku pasti mengurusi bis- bis besar itu, membantu ayah mengurusi bawahannya, yaitu kolonel- kolonel baru dengan antek- anteknya.
            Ujian usai, nilaiku bisa dikatakan gemilang. Akupun berhasil masuk ke SMP Negeri 1 Sumbawa, sesuai cita- citaku. Di tahun pertamaku, namaku disekolah itu masih biasa- biasa saja. Orang masih mengenalku sebagai seorang penggembala kambing. Hingga suatu ketika, kuberanikan diriku untuk ikut serta dalam pemilihan Ketua Osis disekolahku. Kompetitorku sebanyak dua orang, salah seorang diantara mereka adalah rekan sekelasku, namanya Artur. Ia adalah anak seorang pengacara sukses di daerahku. Rumor yang beredar, ia adalah keturunan langsung raja- raja Sumbawa masa lampau. Tapi menurutku tak ada yang spesial dari pribadinya, kecuali kehebatannya dalam bidang seni dan olah raga. Untuk bidang olah raga, aku masih bisa menandingi. Tapi kalau urusan seni, aku angkat tangan. Bagiku, ia adalah seorang seniman yang memiliki Titik Nada Mutlak, artinya seorang seniman yang mampu mencipta ataupun menggubah lagu sesuai keinginannya. Melalui jaringan keluarganya yang pasti ada disetiap kelas, ia memenangi kompetisi pemilihan ketua Osis secara mutlak. Tak apa, karena namaku bertengger di urutan kedua. Maka dapat dipastikan, aku menjadi Wakil Ketua Osis. Akhirnya, Osis menjadi organisasi kedua yang kugeluti setelah Pramuka. Aku telah mengikuti gerakan kepanduan sejak masih kelas 4 SD. Menjadi orang nomor dua disekolah elit itu, bagiku tak mengapa, walaupun orang takkan pernah mengingat yang kedua, tapi setidaknya Tuhan menyimpan doaku untuk menjadi yang pertama. Kulaporkan hal ini pada Ibu, beliau hanya tersenyum sambil berkata, “Tuhan tahu, tapi menunggu”.
            Aku telah mengikuti organisasi yang bernama Pramuka sejak SD dulu. Prestasiku dapat dikatakan sangat gemilang dalam lembaga ini. Tak pernah kurasakan diriku menjadi seorang anggota, tak pernah diperintah kecuali oleh seniorku karena akulah yang selalu memerintah. Kiprahku sebagai anak Pramuka berbanding lurus dengan kiprahku sebagai penggembala kambing. Orang- orang selalu mengenalku sebagai penggembala kambing dan sebagai anak Pramuka. Posisiku yang selalu menjadi Pratama atau pemimpin regu utama menjadikan namaku luas dikenal rekan seangkatanku. Aku sangat ahli dalam penggunaan kompas, memainkan bendera semaphore dan cerdik bermain kode- kode morse. Aku bisa menentukan arah mata angin tanpa harus melihat kompas dan matahari. Aku bisa meninggalkan jejak untuk dijadikan petunjuk oleh rekan setelahku jika kami tengah mengikuti hiking. Bahkan, aku mampu mengirim pesan tanpa harus menggunakan telephone dan handphone, serta menaksir tinggi bangunan serta luas jalan hanya dengan menggunakan sebatang lidi. Aku benar- benar merasa bahwa menjadi seorang Pramuka yang disandingkan dengan status penggembala kambing, adalah pasangan yang paling mempesona dan sempurna didunia.
            Tahun 2006 adalah tahun paling luar biasa dalam hidupku. Selain terpilih sebagai Wakil Ketua Osis, akupun terpilih sebagai delegasi Kabupaten Sumbawa dalam Jambore Nasional Pramuka di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Posisiku dalam kontingen tersebut sangatlah strategis, tak lain dan tak bukan sebagai Pratama. Dalam kegiatan tersebut, awal kalinya ku menginjakkan kaki ditanah Jawa, tanah para legenda Indonesia. Seperti yang disebutkan dalam buku Sejarah Indonesia kelas 5 SD dulu, bahwasanya tanah Jawa adalah tanah yang melahirkan orang- orang hebat. Soekarno, Bung Tomo, Joko Tingkir, Sunan Kalijaga dan sebagainya berasal dari Pulau Jawa. Terlebih lagi, posisi Ibu Kota Indonesia berada di Pulau Jawa, maka sudah pasti Presiden berada di Pulau Jawa. Oleh karena itu, sepanjang perjalanan di Pulau Jawa, aku selalu mengenakan pakaian terbaikku. Paling tidak, saat aku berpapasan dengan Presiden, aku tak terlalu terlihat memalukan.
            Pratama adalah jabatan fungsional yang sangat penting. Jabatan ini lebih tinggi daripada jabatan kopral saat aku tinggal digudang bus dulu. Aku bertanggung jawab atas 20 orang anak buahku. Sekali mereka membuat kesalahan, maka akulah yang menjadi sasaran dari pembinaku. Itulah mengapa aku sangat disegani dalam kontingen ini. Walaupun perawakanku kecil, namun suaraku lebih lantang dari mereka. Hingga suatu ketika, ada panggilan untuk seluruh kontingen supaya mengirimkan 3 delegasinya agar mengikuti upacara pembukaan bersama Presiden Republik Indonesia. Seeerrrrrr!!, dadaku berdesir. Cita- citaku untuk bertemu Presiden nampaknya akan terwujud. Tanpa banyak membuang waktu, kutunjuk 2 orang rekanku agar ikut bersamaku dalam upacara tersebut. Tak sabar kumenunggu hari esok untuk bertemu Presiden. Segera kupejamkan mata agar mata ini cepat terlelap dan hari esok segera datang. Bersabar, mungkin ajian yang paling pas saat itu.
            Hari yang kutunggu- tunggu itupun tiba. Aku berseragam Pramuka lengkap, dari kacu, baret, selempang TKK, tanda jabatan dan lainnya. Aku tampak gagah pagi itu, walapun jam baru menunjukkan pukul 6 pagi. Mungkin inilah yang dinamakan semangat. Sebelum berangkat, tak lupa kuseruput sedikit teh yang dibuatkan untukku oleh rekanku yang melaksanakan korve tenda pagi itu. Kupacu langkahku dengan segera, tetapi tetap memperhatikan letak baju pramukaku agar tak lusuh. Tak ingin aku tampil kucel dihadapan orang nomor satu di negeri ini. Sesampainya aku dilapangan tempat upacara yang akan berlangsung, tak kutemukan seorangpun disana. Aku sadar, ini masih terlalu pagi, tak mengapa menurutku. Sambil menunggu, aku berjalan mengitari lapangan, seraya mencari posisi yang paling strategis agar aku terlihat manakala Presiden memandang. Setelah kudapatkan, kuambil posisi tersebut dan kuminta dua orang  temanku untuk berbaris dibelakangku. Kumenunggu, hingga tampak beberapa peserta upacara memasuki lapangan upacara. Bersabar, adalah ajian paling mujarab saat ini. Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, namun belum ada tanda- tanda upacara akan dimulai. Aku masih setia menunggu. Apapun keadaannya, tak akan menyurutkan semangatku untuk bertemu dengan Presiden. Waktu terus bergulir, jam menunjukkan pukul 10 dan peserta telah memenuhi lapangan upacara. Semangatku yang semula meletup- letup kini semakin menipis. Kupaksakan agar aku tetap bersemangat namun sangatlah susah. Hingga akhirnya, diujung keputusasaanku, akhirnya Yang Terhormat Presiden Republik Indonesia memasuki lapangan upacara, tepat pukul 11.30. Matahari telah terik, dan ia baru terlihat batang hidungnya. Menurut Protokoler Kepresidenan, ada agenda yang harus dihadiri oleh Presiden terlebih dahulu, yaitu bertemu dengan Duta Besar Jepang. Semangatku yang semula meletup, kini berubah menjadi amarah. Presiden lebih mementingkan orang Jepang yang pernah menjajah Indonesia daripada anak bangsa sendiri. Mulai saat itu, aku berjanji akan memperbaiki keadaan pemerintahan republik ini. Aku harus menjadi pejabat publik, akan kurubah sistem birokrasi negeri ini. Itu janji yang kusimpan dalam hatiku, yang nantinya dijawab Tuhan. Aku percaya itu!
            Tiga tahun di SMP telah kulalui. Kini aku bersiap untuk menjadi seorang pelajar SMA. Akupun telah memiliki adik lagi. Kini kami 4 bersaudara, laki- laki semua, tak ada srikandi yang bisa kami jaga nantinya. Ayahkupun tak pernah naik pangkat, selalu menjadi seorang kolonel hingga saat ini. Ibuku? Ah Ibu selalu menarik untuk kuceritakan. Ini bermula dari kelahiran adik terakhirku. Keadaan ekonomi keluarga kami tak kunjung membaik. Akupun sudah tak lagi berstatus sebagai penggembala kambing. Seluruhnya telah habis kami jual untuk menyambung hidup. Pernah Ayah berhenti menjadi supir dan menjadi pegawai proyek, namun tak juga merubah keadaan apapun dalam keluarga kami. Namun hal itu bukan alasan surutnya prestasiku disekolah. Aku akhirnya berhasil terdaftar sebagai siswa SMAN 1 Sumbawa dengan hasil Ujian Nasional SMP yang sangat memuaskan. Di tahun pertamaku sebagai seorang pelajar SMA, aku terpilih sebagai delegasi sekolah dalam agenda Duta Anak Indonesia untuk wilayah NTB. Bagiku, hal tersebut merupakan rangkaian prestasi yang telah digariskan Tuhan untuk setiap manusia, tinggal bagaimana kita membaca titah Tuhan yang tak tersampaikan dengan lisan tersebut. Organisasi Pramuka tetap aku geluti hingga aku menjadi Pradana di sekolahku yang baru ini. Akupun terdaftar sebagai pengurus Osis SMAN 1 Sumbawa, serta sebagai Duta Anak Indonesia. Semuanya aku geluti hanya untuk satu tujuan, yaitu menjadi seseorang yang berpendidikan setinggi mungkin, karena hanya dengan jalan itu derajat keluarga kami akan dipandang lebih oleh orang lain.
            Keadaan ekonomi yang buruk, mengharuskan Ibu meninggalkan kami. Beliau mendaftar sebagai seorang TKI untuk bekerja diluar negeri. Beratkah? Sangat berat! Tak pernah aku merasa seberat ini apabila ditinggalkan sesuatu. Ayah mau tak mau harus mengikhlaskan Ibu meninggalkan dirinya, karena penghasilan Ayah sebagai supir tak mampu menutupi kebutuhan hidup keluarga kami. Dapat dibayangkan beban yang harus kutanggung saat itu. Selagi Ayah bekerja sebagai supir, menghabiskan waktu berhari- hari dan tidak pulang kerumah. Sebagai TKI, tentunya Ibu akan meninggalkan kami selama 2 tahun kedepan. Aku yang saat itu masih kelas 1 SMA, harus mengurusi 3 adik- adik yang masih sangatlah kecil. Adikku yang pertama, bernama Rustam Rizky Effendi, baru kelas 3 SD, adikku yang kedua, Rustomi Rifky Affandi, masih kelas 1 SD, serta adikku yang terakhir, Ruswandi Hatami Ferdiansyah belum sekolah. Untuk meringankan beban, kutitipkan adik terakhirku kepada kakek, ayah dari Ibu dikampung kelahiranku. Usianya saat itu barulah 3 tahun dan telah harus kehilangan Ibu. Kehidupan kami bertiga mungkin tak lebih baik daripada kehidupan adik terakhir kami. Ayah seringkali jarang pulang kerumah dan kebutuhan kami bertigapun seringkali tak terpenuhi. Kami pernah memakan satu bungkus mie instan sebagai makan siang kami dan harus dibagi tiga. Kamipun pernah berjalan kaki bersama- sama untuk pergi kesekolah sejauh 5 kilometer di pagi buta karena tak memiliki ongkos. Bahkan, kami bertiga pernah menjadi pengumpul barang- barang plastik hanya untuk membeli buku saat pergantian semester. Adikku yang pertama, sering menjadi penjaga koin dalam kedai billiard disamping rumah kami, ataupun sebagai tukang parker dalam sebuah pertandingan sepak bola. Adikku yang kedua, karena fisiknya lemah, lebih banyak menjadi pesuruh ibu- ibu rumah tangga disekitar rumah kami agar ia mendapat upah. Bagaimana denganku? Selain menjadi Duta Anak Indonesia, Ketua Pramuka, aku berhasil menjadi Ketua Osis SMAN 1 Sumbawa setelah berhasil menang mutlak dari pesaingku saat mencalonkan diri sebagai Ketua Osis SMP dulu, Artur. Maka aku teringat Ibu, karena kini kubuktikan ucapan Ibu, “Tuhan tahu, tapi menunggu”. Karena keterbatasan ekonomi tersebut, aku pernah menjadi kacung pertandingan bola tenis, pernah juga menjadi tukang sapu lapangan Kantor Bupati Sumbawa. Namun semenjak menjadi Ketua Osis, aku lebih banyak mendapat tambahan keuangan dari agenda- agenda Osis diluar kota yang memberikan biaya transport. Jikalau tak ada agenda dan kiriman Ayah maupun Ibu jarang kami terima, maka menjadi kacung bola tenis lebih terhormat daripada harus mencuri.
            Telah dua tahun berlalu, artinya Ibu akan segera kembali. Pulang kepada anak- anaknya yang selalu merindunya. Segera kuberitahu kakek dikampung agar segera membawa adik terakhirku untuk pulang. Aku tak mau ia tidak turut serta menyambut Ibu dirumah. Tepat bulan Oktober, sebuah mobil berhenti didepan rumah. Seorang perempuan berjilbab panjang turun dari mobil tersebut. Hatiku berdesir. Sesuai perhitunganku, bulan tersebut adalah bulan kepulangan Ibu. Wanita itu tersenyum padaku yang mematung di depan pintu. Aku kenal dengan senyuman itu, sangat kenal sekali. Ya! Itu Ibuku. Adik- adikku berhamburan lari memeluk beliau. Air mata mereka berlinang membasahi jilbab yang menutup sebagian tubuh Ibu. Namun, setetes air matapun tak mengalir dari mata beliau. Hari itu aku menyaksikan seorang perempuan paling tegar telah lahir kedunia, ialah Ibuku.
            Kurasakan waktu berlalu begitu cepat. Aku telah menyelesaikan waktu wajib belajarku selama 3 tahun di SMA. Ujian Nasional tingkat SMA juga telah berlalu dan aku tinggal menunggu hasilnya. Banyak rekan- rekan seangkatanku yang mendaftarkan dirinya ke perguruan tinggi pilihan mereka. Bagiku, hal tersebut hanyalah rekaan nasib yang telah dititahkan Tuhan untuk digapai oleh manusia. Selama mereka hanya menerka tanpa merencanakan, maka takkan pernah ada hasil yang mereka raih. Aku terkenang janji kecil dalam hatiku saat kecewa lantaran sikap Presiden yang tak pernah menepati janji, sewaktu aku mengikuti Jambore Nasional dulu. Telah terpatri dalam hatiku bahwa aku harus masuk jurusan Ilmu Pemerintahan, apapun resikonya. Maka kucoba mendaftarkan diriku untuk masuk ke salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Berbekal sertifikat dan piagam penghargaan yang tebalnya sekitar 7 cm, kumantapkan hati untuk menggapai satu kursi disana. Selain itu, kupersiapkan rencana cadangan jikalau aku tak diterima di universitas tersebut. Kucoba mendaftarkan diriku di Universitas Mataram, salah satu kampus terbaik di Nusa Tenggara Barat. Pendidikan Kewarganegaraan menjadi jurusan yang kupilih. Paling tidak, jikalau aku tak diterima di jurusan ilmu pemerintahan, aku masih bisa mengajar disiplin ilmu tersebut, pikirku. Tiba- tiba tanpa sengaja aku mencuri dengar obrolan kawan- kawanku mengenai salah satu universitas negeri yang ada di Jawa Tengah. Sontak, telingaku mulai berdiri. Sebagai pencinta sejarah, aku paham betul daerah yang bernama Jawa Tengah. Provinsi yang menyimpan sejuta kisah peradaban, baik peradaban kuno hingga masa penjajahan. Terlebih lagi setelah ku ketahui bahwa di universitas tersebut terdapat jurusan ilmu pemerintahan. Maka tanpa banyak menunggu, kudaftarkan diriku ke Universitas Diponegoro, sesuai info yang kudapatkan dari teman- temanku. Tentu saja dengan jurusan yang paling kunanti, Ilmu Pemerintahan.
            Seminggu kemudian, sebuah surat dikirimkan untukku dari Yogyakarta. Isinya adalah bahwa aku diterima di universitas tersebut dengan predikat A, artinya aku mendapat keringanan biaya selama setahun penuh. Ku diskusian hal tersebut kepada orang tuaku. Menurut mereka, aku harus bersabar untuk menunggu jawaban dari Universitas Diponegoro. Ibu menguatkanku, bahwasanya ini adalah lingkaran nasib, percayalah bahwa Tuhan telah merencanakan segala sesuatu untuk indah pada waktunya. Benar saja, dua minggu kemudian aku mendapat kabar dari kawanku yang berada di Semarang, bahwa aku diterima di Undip dengan jurusan Ilmu Pemerintahan. Ah, bukan main senangnya hatiku. Saat itu aku merasa telah menjadi mahasiswa Undip seutuhnya, bahkan menjadi warga Kota Semarang. Namun, ada beban yang mengganjal hatiku saat itu. Untuk registrasi ulang, setiap mahasiswa yang terjaring dalam program PSSB Undip, wajib membayar biaya registrasi sebesar Rp.3.889.000 dengan batas waktu dua minggu sejak surat pemberitahuan ini kami terima. Aku hanya bisa menunduk, karena kutahu kedua orang tuaku tak memiliki uang sebanyak itu untuk melunasinya. Uang tiga juta rupiah mungkin tak terlalu banyak, tetapi bagi keluarga kami itu lebih dari cukup untuk menunjang pendidikan. Oleh karena itu, Ibu memutuskan untuk menggadai motor satu- satunya dirumah kami. Motor tersebut adalah hasil keringat Ibu saat menjadi TKI setahun yang lalu. Apa mau dikata, hal tersebut memang harus dilakukan. Bagi Ibu, pengorbanan tersebut tidaklah seberapa asalkan anak- anaknya dapat menempuh pendidikan yang lebih baik. Bagi beliau, sekali layar terkembang, maka pantang biduk surut kembali. Itu janji Ibu!
            Singkat cerita, aku telah tiba di Semarang. Menjadi mahasiswa tak sesulit seperti apa yang kubayangkan. Kini aku telah aktif dalam berbagai lembaga kemahasiswaan. Bagiku, berorganisasi adalah sebuah keniscayaan untuk berubah. Apapun organisasinya, tentulah menjadi wadah untuk belajar. Akupun kini tak terlalu bergantung dengan kiriman orang tua, karena kutahu bahwasanya Ayah dan Ibu masih memiliki tanggungan, yaitu tiga adikku yang masih duduk di sekolah menengah dan dasar. Sejak diterima di Undip, aku telah mengantongi 3 beasiswa dari institusi yang berbeda. Paling tidak, hal tersebut dapat menutupi kebutuhanku selama berkuliah disini. Organisasiku juga berjalan beriringan dengan prestasi akdemikku. Selain selalu mendapat IP yang cumlaude, akupun aktif turun kejalan untuk berdemonstrasi menuntut perubahan, mengingatkan penguasa agar menegakkan keadilan. Saat ini aku menjabat sebagai Menteri Sosial Politik di BEM KM Undip 2013. Tentunya aku sudah tidak menjadi kopral lagi sewaktu aku kecil dulu. Akupun seringkali mendapat undangan untuk bertemu langsung dengan Presiden, namun selalu kutolak. Bagiku ia adalah sebuah cinta yang layu sebelum berkembang. Jikalau dulu aku menantinya dengan penuh hormat, kini ia hanyalah sebuah isu yang selalu dipergunjingkan oleh seluruh mahasiswa Indonesia, termasuk aku. Demonstrasi terhadap dirinya pernah ku komandani bersama mahasiswa lainnya. Ia benar- benar bunga yang mati disaat negeri ini tengah bersemi. Ayah saat ini masih dengan status sosialnya sebagai supir bus- bus besar. Tak pernah naik pangkat, selalu saja menjadi kolonel. Sementara itu, Ibu kini telah mampu mendayagunakan dirinya untuk menunjang ekonomi kami, bahkan berlipat- lipat jumlahnya dibandingkan sebelumnya. Beliau kini menjadi juragan ikan di Pasar Tradisional didaerah kami. Penghasilan beliau tidak seberapa, namun cukup untuk membeli ikan sebagai lauk kami sekeluarga, tidak seperti dulu yang menjadikan satu bungkus mie instan untuk disantap kami bertiga. Semuanya kulalui dengan penuh cinta, karena hanya cinta yang dapat membangkitkan semangat kita agar tidak tunduk pada takdir. Selagi aku masih mampu untuk bermimpi, bukan sebuah hal yang mustahil untuk kugapai. Mungkin pembaca sedikit bingung, mengapa tak ada kisah romantika dalam autobiografi ini? Aku akan menceritakannya nanti, saat cinta yang kumiliki layak untuk diceritakan.

4 komentar:

  1. Salut sama Orang tua Kakak, terutama Ibunya! ^_^ dan untuk Kak Jhoni semoga sehat selalu dan semoga dapat meraih tujuannya "sama-sama memperbaiki keadaan Indonesia kita tercinta" dan semoga kita dapat istiqomah di jalan-Nya, Aamiin ya rabbal'alamiin :D

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah.. makasih ya fin. Sukses juga buat kamu :)

    BalasHapus
  3. Amazing ! Extraordinary story.. Made me shed tears.. I hope you are able to change this for the better indonesia :) good luck ;)

    BalasHapus
  4. Amazing ! Extraordinary story.. Made me shed tears.. I hope you are able to change this for the better indonesia :) good luck ;)

    BalasHapus