Sabtu, 12 Oktober 2013

TIGA SERANGKAI UNTUK INDONESIA 2014

PENDAHULUAN
1.1.            Latar Belakang
­­­            Pemilihan umum masih kurang satu tahun lagi, namun berbagai macam prediksi telah bergulir mengenai siapa yang nantinya akan menduduki kursi “empuk” orang no 1 di Indonesia. Banyak lembaga survey dan kajian- kajian ilmiah yang merilis secara quick count figure- figur dominan yang sejatinya akan laris dijual di pasaran pemilih oleh rakyat Indonesia. Kita tak perlu lagi berbicara mengenai figur- figur tua dan sepuh, atau yang biasa disebut The Older Politicion. Sebut saja mereka adalah Megawati Soekarno Putri, Wiranto maupun Jusuf Kalla. Megawati telah dua kali mengikuti pemilu, dan dua kali pula ia gagal. Wiranto pun sama ceritanya. Jikalau Jusuf Kalla, ia memiliki cerita lain, masih ada nilai lebih yang dapat dijual dalam bursa presiden nanti, misalnya mengenai aksi sosialnya di Palang Merah Indonesia (PMI), dan kontribusinya mewujudkan Komodo sebagai The Seven Wonders of The World, meskipun usianya nanti di 2014 telah mencapai 71 tahun. Rentan, itulah yang tersirat di dalam pemikiran masyarakat Indonesia saat ini. Ada pula figur lainnya macam Surya Paloh yang dengan gagahnya mendirikan Partai Nasional Demokrat yang menurut saya sebagai bentuk ungkapan sakit hatinya lantaran kalah dengan Aburizal Bakrie memperebutkan kursi cantik ketua umum Partai Golkar. Namun, mesin politik Nasdem dan ormasnya terlampau lemah jikalau harus ”turun mesin” di tahun 2014 nanti. Nampaknya Surya Paloh terlampau bernafsu ingin merebut kekuasaan, sehingga tanpa sadar dan rencana politik yang matang ia memaksa mesinnya yang terlalu “muda” untuk bertarung. Ini hanyalah sebuah prediksi, hasil yang akan membuktikannya nanti.
Selanjutnya, yang menjadi titik fokus penulis disini ialah fenomena kaum- kaum setengah baya, artinya ia tak terlampau tua serta tak terlalu muda. Penulis mengistilahkannya dengan sebutan The Middle Politician. Lantas, apakah ada generasi muda, atau The Younger Politician? Tentu saja ada. Politisi- politisi muda ini adalah mereka yang masih dapat dikatakan muda secara usia, namun telah menduduki posisi strategis dalam tubuh partai. Jikalau kita bicara mengenai politisi muda, maka tentunya pikiran kita akan langsung menyebut satu nama, yaitu Anas Urbaningrum. Siapa yang tak kenal politisi muda asal Partai Demokrat ini? Namanya menggema seantero jagat saat mantan bendahara partainya, Nazarudin, menyebut- nyebut namanya ikut terlibat dalam konspirasi korupsi tanah air. Dalam sebuah artikel, ada pendapat yang mengungkapkan bahwa :
“ekpektasi yang berlebihan terhadap sosok Anas Urbaningrum tak akan terjawab. Nama Anas sudah layu sebelum berkembang, sudah busuk sebelum berbuah. Inilah fakta yang terjadi saat ini. Kasus Nazaruddin membuka lebar mata masyarakat. Harapan pada Anas pupus sudah. Publik sudah kadung kecewa dengan ragam persoalan yang melilit Demokrat, khususnya nasib “Sang Ketua Besar” ini.[1]
Selanjutnya, kita kembali kepada bahasan The Middle Politician tadi. Ada tiga nama yang saya ajukan sebagai inti penulisan makalah ini, yang penulis prediksikan akan laku dan terjual dalam bursa presiden 2014. Mereka adalah Aburizal Bakrie, pengusaha sukses yang sangat tenar dalam kancah perpolitikan Indonesia. Hatta Rajasa, ketua Partai Amanat Nasional, politisi yang memiliki basic pengusaha juga, serta Prabowo Subianto, mantan Pangkostrat Angkatan Darat, Komandan Jenderal KOPASSUS, namun juga pernah kalah dalam pemilu 2009 bersama Megawati Soekarno Putri. Ketiga nama ini akan penulis bahas tuntas dalam makalah ini. Termasuk starategi kampanye, persentase kemenangan, pencitaraan dan lain sebagainya. Ketiga nama ini, penulis anggap sangat relevan dan sangat menjual dalam Pemilu 2014 nanti, karena ketiganya memiliki karakteristik yang berbeda, dan tampil dengan cara yang berbeda pula. Oleh karena itu, penulis memilih judul ” TIGA SERANGKAI UNTUK INDONESIA 2014”, dengan studi kasus : Sepak terjang Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa dan Prabowo Subianto dalam Kiprah dan Obsesi Menuju Indonesia 1.
1.2.            Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, ada beberapa hal yang akan dibahas dan dipaparkan penulis dalam makalah ini, yaitu :
a.       Bagaimana sepak terjang Aburizal Bakrie dalam menghadapi Pemilu Presiden 2014?
b.      Faktor- faktor apa saja yang dimiliki Hatta Rajasa dalam persiapan pertarungan politik tahun 2014?
c.       Bagaimana track record Prabowo Subiyanto dalam menghadapi Pemilu Presiden 2014?

PEMBAHASAN
2.1.  Sepak Terjang Aburizal Bakrie dalam Menghadapi Pemilu Presiden 2014
            Nama Aburizal Bakrie, atau biasa yang disapa dengan sebutan Ical, mungkin sudah tak asing lagi di telinga kita. Aburizal Bakrie lahir di Jakarta, 15 November 1946, dia adalah anak sulung dari keluarga Achmad Bakrie, pendiri Kelompok Usaha Bakrie. Sepak terjangnya dalam dunia politik dan kontribusinya bagi perekonomian Indonesia tak usah dihitung lagi. Ia merupakan Ketua Umum Partai Golkar sejak 9 Oktober 2009, setelah menang telak dari pesaingnya, Surya Paloh, saat memperebutkan jabatan tersebut. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Penempatan Aburizal Bakrie dalam pembahasan pertama bukan karena saya mengimani survei versi Reform Institute (Kompas, Oktober 2011)[2], yang menempatkan Aburizal Bakrie sebagai calon presiden terkuat (13,58 %). Ical saat ini adalah Ketua Umum Partai Golkar. Partai yang mencatat sejarah dan ikut terlibat ketika republik ini berada di atas maupun di bawah. Partai yang tetap bertahan walaupun pada 1998 Soeharto lengser dan tuntutan Golkar dibubarkan juga sangat kencang. Aburizal Bakrie memiliki popularitas, semenjak menjadi ketua umum Hipmi, ketua umum Kadin dan pengusaha papan atas dengan usaha Bakrie & Brothers. Berbekal inilah kekuatan ekonomi dan jaringan Aburizal Bakrie dimulai. Bersama Aburizal Bakrie, Golkar tampil cemerlang dalam pemilu tahun 2009. Saat ini, Golkar menduduki posisi 2 teratas dalam tubuh parlemen Indonesia. Ia memiliki gayanya sendiri dalam mengelola partai, yang berbeda dari para pendahulunya seperti Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Kemampuan Aburizal Bakrie dalam mengelola suatu lembaga tak hanya ditunjukan dalam segi birokrasi pemerintahan, melainkan juga dalam bisnis entertainment. Kita mungkin masih mengingat sebuah stasiun TV yang bernama Lativi. Ia adalah sebuah stasiun TV formal yang hanya menampilkan tayangan yang biasa- biasa saja. Rating Lativi pun menduduki peringkat terbawah, disertai utang yang melilitnya. Tak ada jalan lain, selain menjual Lativi agar eksistensi perusahaan bisa tetap dipertahankan. Melihat hal ini, Aburizal Bakrie dengan berani membeli saham Lativi dan mengatur setiap sudut segmentasi perusahaan. Ia merubah nama Lativi menjadi TVOne yang sekarang ini telah meroket rating dan penayangannya. Ia merubah Lativi yang semula Formal Station, menjadi News Station yang hingga saat ini, TVOne menjadi stasiun TV nomor satu di Indonesia sebagai pusat berita Indonesia. Begitu juga dengan fenomena provider seluler di Indonesia. Orang yang pertama kali menghadirkan seluler dengan provider termurah di Indonesia ialah Aburizal Bakrie, melalui produk Esia yang saat ini cukup menguasai pasar provider di Indonesia. Saat ini, Esia mencoba untuk menggandeng Flexy sebagai mitra kerjanya. Apabila hal ini terjadi, maka pasaran CDMA di Indonesia, tentunya akan dikuasai oleh Aburizal Bakrie.
Penulis melihat hal ini sebagai bentuk persiapan dalam rangka menuju pemilihan presiden 2014. Apalagi Aburizal Bakrie telah terang- terangan menyatakan dirinya siap menjadi Capres di tahun tersebut. Sejak jauh- jauh hari, ia telah mencitrakan dirinya sebagai orang yang pantas menduduki jabatan tersebut, melalui pemasaran politik yang ia terapkan. Menurut Ngatno, “Media pemasaran menjadi ajang kompetisi, apalagi media pemasarannya seperti stasiun televisi, media cetak/Koran sebagai milik pribadi, sehingga mereka akan lebih leluasa untuk memanfaatkannya”[3] Penulis pun mengakui, bahwasanya Aburizal Bakrie mampu melakukan hal tersebut mengingat sumberdaya yang ia miliki sangatlah memadai. Masyarakat Indonesia mungkin tak perlu khawatir jikalau nantinya Aburizal Bakrie melakukan praktik korupsi, lantaran kekayaan yang dimiliki Aburizal Bakrie tidaklah sedikit. Pada 2011 Forbes merilis daftar orang terkaya di Indonesia, dan Ical menduduki peringkat ke-30 dengan total kekayaan US$ 890 juta. Aburizal Bakrie memiliki kekuatan ekonomi dalam menjalankan kiprah politiknya. Ini tak bisa dianggap remeh. Termasuk memiliki media yang cukup dikenal (TV One, ANTV dan porta Vivanews.com).[4] Walaupun sisi lain Ical dan puluhan perusahaannya ini agak tersumbat ketika muncul kasus Lapindo Brantas, Sidoarjo. Lumpur Lapindo yang “sukses” menenggelamkan beberapa desa yang di dalamnya diisi ratusan rumah penduduk, mesjid, madrasah sampai kepada pemakaman umum. Peristiwa atau musibah ini terjadi sampai sekarang. Namun, peristiwa ini tak menyurutkan semangat Ical untuk terus maju dalam Pilpres mendatang. Semangat ini harus kita acungi jempol melihat dera yang melanda Aburizal Bakrie tidaklah sedikit. Akibat tragedi lumpur Lapindo ini, bisa jadi masyarakat Porong dan Sidoarjo akan menutup mata untuk memilih Ical lantaran sakit hati. Tragedi ini bisa pula dijadikan sebagai media pembusukan bagi Ical oleh lawan politiknya, dalam rangka mencegah langkah Ical untuk lebih jauh dalam mengahadapi pertarungan politik tersebut. Penulis menilai, persentase kemenangan Aburizal Bakrie, bisa menembus angka 30%, melihat kekuatannya saat ini.
Aburizal menikah dengan Tatty Murnitriati dan dikaruniai tiga anak, yaitu Anindya Novyan Bakrie, menikah dengan Firdani Saugi, Anindhita Anestya Bakrie, menikah dengan Taufan Nugroho dan Anindra Ardiansyah Bakrie, menikah dengan Nia Ramadhani.
2.2. Hatta Rajasa dalam Persiapan Pertarungan Politik Tahun 2014
Calon selanjutnya, yang menurut penulis pantas dan menjual untuk maju dalam pemilu 2014 ialah Hatta Rajasa. Ketua Partai Amanat Nasional ini memiliki modal besar yang cukup signifikan untuk turut ambil bagian pada perhelatan akbar pesta demokrasi tersebut. Besan Presiden ini memang belum mampu menciptakan hegemoni baru bagi Partai Amanat Nasional, seperti pendahulu sekaligus pendirinya, Amien Rais. Satriawan dalam tulisannya menguatkan hal yang sama, “Posisi PAN dalam Pemilu 2004 menempati urutan ke enam dengan 7,3 juta suara pemilih. Sedangkan Pemilu 2009 memproleh 6,2 juta suara di urutan ke lima. Figur Hatta Rajasa tak sepopuler pendiri PAN yakni Amien Rais. Harus diingat bahwa loyalitas warga Muhammadiyah terhadap PAN tak lagi menjadi ukuran mutlak sikap politik para pemilih. Amien Rais yang tokoh reformasi saja kalah terseok-seok pada Pemilu 2004, apalagi jika menjagokan Hatta Rajasa sebagai presiden 2014. Begitulah bahasa sederhananya. Benar sekali jika Hatta memiliki kekuatan ekonomi yang lumayan, karena beliau juga pengusaha. Tapi mesti diingat ketokohan Hatta belum terbukti mampu bersaing dengan figur lain. Ditambah suara PAN yang relatif kecil dalam tiap Pemilu”[5]
Hingga saat ini, kita memang belum menemukan sebuah manuver Politik dari seorang Hatta Rajasa. Bahkan, lembaga survey manapun, belum mencetak nama beliau dalam jajaran elite yang akan menduduki kursi kepresidenan. Akan tetapi, saya berpendapat bahwasanya Hatta Rajasa mampu memposisikan dirinya sebagai seorang yang alim dan ramah, walaupun terkesan kalem. Setidaknya, budaya patriarki masyarakat Indonesia merindukan sosok pemimpin yang demikian, karena kecendrungan masyarakat dalam memilih ditentukan oleh figur calon. Ari Pradhanawati memperkuat gagasan tersebut,” Faktor kepribadian kandidat sangat mempengaruhi perilaku pemilih (voting behavior) untuk menentukan keputusan politiknya meskipun bukan faktor pertimbangan yang utama”.[6] Memang, perilaku pemilih sukar diprediksi, melihat kemajemukan masyarakat yang disertai platform maupun ideologi yang dianut. Namun, berbicara mengenai peluang, Hatta Rajasa memiliki jalan yang cukup lapang dalam kancah perpolitikan negeri ini. Tengok saja partai- partai yang saat ini tengah eksis dalam persiapan pemilu, dapat terlihat bahwasanya hanya Partai Amanat Nasional yang beraliran Islamisme-Nasioanalis yang mengajukan calonnya dalam perhelatan tersebut. Bisa jadi, seluruh partai- partai Islam menjadi bagian koalisi dari PAN. Al Chaidar dalam tulisannya juga menekankan “Ada beberapa aliran partai yang mewarnai politik Indonesia, yakni : (1) Keagamaan, seperti PPP, dan PKS, (2) Religius Demokratis, seperti PAN dan PKB (3) Nasional Pragmatis, seperti PDI Perjuanga, Partai Demokrat dan Partai Golkar”.[7]
Hatta Rajasa memang dikenal sebagai sosok yang memiliki kompetensi, loyalitas, dan profesionalitas dalam menjalani karier. Tak heran jika sejak Sejak era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ia selalu dipercaya untuk menduduki pos menteri di setiap kabinet. Bahkan, ia merupakan menteri yang langsung paling aktif pada hari pertama sejak sidang perdana Kabinet Indonesia Bersatu I dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2004. Hatta langsung bekerja mempersiapkan program kerja 100 hari Departemen Perhubungan. Politisi kelahiran 18 Desember 1953 ini tidak hanya memberi instruksi dari belakang meja, tapi juga terjun langsung ke pusat-pusat pelayanan yang dianggap memerlukan perhatian dan penanganan khusus.[8] Merujuk catatan perjalanan karir Hatta Rajasa di bidang politik, ia merupakan politisi yang sangat gemilang. Di partai politik, ia berhasil mencapai posisi puncak sebagai Ketua Umum PAN. Di dalam jabatan politik birokrasi, ia pernah menduduki posisi empat kementrian (Menristek, Menhub, Mensesneg, dan Menko Perekonomian). Hebatnya, ia menduduki posisi-posisi tersebut di tiga masa periode kepemimpinan presiden, yakni satu periode di masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri dan dua periode di masa kepemimpinan Presiden SBY. Ke depan, karier politik Hatta Rajasa sepertinya akan terus menajak. PAN yang melakukan Rakernas pada 10 – 11 Deseber 2011, telah mendaulatnya menjadi satu-satunya calon presiden yang akan diusung pada pemilihan presiden tahun 2014. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga juga merupakan kunci sukses lain Hatta Rajasa dalam menjalani karier. Ia dikenal sebagai pribadi penyayang keluarga (family man). Sementara itu, gaya hidup keluarga pun tidak berubah ketika ia menduduki jabatan birokrasi pemerintahan. Sang istri tetap setir mobil sendiri, bahkan Hatta sangat marah jika mendapatkan previlage di jalan raya, seperti mendapatkan pengawalan motor patwal. Meskipun beresiko terkena macet, ia justru menikmati hal itu, “Saya tak biasa jika harus diistimewakan. Kalau tidak ingin tejebak macet harus berangkat lebih awal”, ungkap Hatta soal bagaimana menyiasati waktu. Inilah alasan kuat penulis mencantumkan nama Hatta Rajasa dalam makalah ini sebagai figur yang patut diperhitungkan dalam perhelatan akbar tahun 2014 nantinya. Basic sebagai pengusaha juga mewarnai kehidupan Hatta Rajasa sebagai modal sumberdaya nya mempersiapkan diri. Oleh sebab itu, penulis berani member angka 20% sebagai persentase kemenangan Hatta Rajasa. Angka 20% bukanlah angka yang sedikit, melihat beragamnya partai politik yang ikut serta dalam kompetisi pemilu presiden 2014. Walapun demikian, jikalau harus gagal, minimal kursi RI 2 bisa beliau genggam. Pernyataan ini disesuaikan dengan kemampuan beliau dalam menjaga massa solid partai untuk proaktif dalam mendukung Hatta Rajasa nantinya.
2.3. Prabowo Subiyanto dalam Menghadapi Pemilu Presiden 2014
            Nama Prabowo Subiyanto sangatlah populer bagi telinga rakyat Indonesia. Terutama mereka, generasi Orde Baru hingga tahun 1998, saat runtuhnya reformasi. Prabowo Subiyanto disebut- sebut sebagai tangan kanan Presiden Soeharto dalam menjalankan rezim otoriternya. Bukan karena Prabowo adalah menantu Soeharto, walaupun saat ini ia telah bercerai dengan anak Pak Harto, yaitu Siti Hardianti Rukmana yang mengakibatkan Prabowo dianggap sebagai laki- laki tukang selingkuh, melainkan karena kecemerlangannya sebagai Jenderal Kopassus dalam kasus Mei 1998 yang selalu dikait-kaitkan kepadanya. Setyawan berpendapat, “Penculikan aktivis, Tim Mawar, percobaan kudeta dan varian-varian Mei 1998 diidentikkan dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra ini. Popularitas Prabowo tak kalah dari tokoh-tokoh lainnya sampai sekarang. Di setiap iklan politiknya selalu mengenalkan diri, “Saya, Prabowo Subianto …”.[9] Prabowo Subiyanto memiliki sumberdaya yang cukup memadai sebagai modal pencalonannya kelak. Kekayaan Prabowo Subiyanto tak kalah banyak dari Aburizal Bakrie. Waktu Pemilu 2009, kekayaan Prabowo yang dirilis KPU berjumlah 1,7 triliyun (Kompas, Mei 2009)[10]. Angka yang fantastis tersebut karena perusahaan kelapa sawit dan perkebunan yang dimilikinya. Namun, melihat track record seorang Prabowo Subiyanto, cukuplah menjadi alasan baginya untuk kembali meluruskan sejarah yang mencoreng namanya. Dalam sebuah tulisan yang menjadi pers release media dalam suatu demonstrasi, penulis pernah berpendapat :
“Seorang purnawirawan TNI dgn pangkat Letnan Jenderal bintang 3 tersemat dipundaknya, yang merupakan aktor utama dalam lakon kecacatan negeri atas pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Tengok saja, kasus lepasnya Timor- Timur (Timtim) dari pelukan NKRI, yang pada saat itu operasi militer dikomandani oleh Prabowo Subianto. Kita pun sadar, bahwasanya Prabowo Subianto merupakan aktor dari lakon Orde Baru yang menghakimi rakyat Indonesia atas penjajahan terselubung oleh bangsa sendiri, atau ketidakadilan yang menciptakan tirani atas harkat dan martabat bangsa, dan kali ini, Prabowo Subianto tampil pada era reformasi untuk mencoba mengobati penyakit rakyat dengan kemantapan dirinya akan mencalonkan diri pada Pilpres 2014 nanti? Apakah ia lupa atas isak tangis para ibu dari setiap aktivis yang harus kehilangan nyawa pada perjuangan penegakan reformasi tahun 1998? Ataukah ia lupa atas tragedi Trisakti yang mengakibatkan hilangnya nyawa mahasiswa saat mereka berusaha melepaskan tirani negerinya? Itu adalah kecacatan sejarah yang memberangus sakralnya Pancasila sebagai landasan negara. Apakah mungkin, kita akan menerima obat dari seseorang yang juga menciptakan penyakitnya?”[11]
Ikhtiar politik Prabowo Subiyanto menjadi presiden pada Pemilu 2014 nanti masih sangat terbuka lebar. Bukan pula karena hasil survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) yang menempatkan Prabowo di urutan teratas, dengan perolehan 66,5 % suara masyarakat yang disurvei memilihnya (Kompas, Oktober 2011)[12]. Terlepas dari kontroversi “dukun politik” yang bernama survei pesanan, faktanya adalah sosok Prabowo menjadi alternatif pilihan presiden Indonesia. Kepercayaan lama tentang keharusan pemimpin nasional harus berlatar Jawa-Non Jawa atau Militer-Non Militer tampaknya masih menjadi keyakinan politik masyarakat kita. Maka figur militer yang tegas, berwibawa dan berani bersikap agaknya dijawab oleh sosok Prabowo. Mungkin karena masyarakat sudah terlalu kecewa dengan mantan tentara yang saat ini menjadi presiden. Sangat jauh dari tegas dan berani bersikap.
Selanjutnya, penulis memilih nama Prabowo Subiyanto tidak hanya dari kacamata ia adalah seorang purna militer yang tegas dan cakap, melainkan melihat sisi historis masyarakat Indonesia yang terkadang masih terikat dengan klenik. Muchtar Lubis, dalam bukunya “ Menjadi Indonesia” mencirikan masyarakat Indonesia ialah mereka yang hipokrit, percaya takhayul dan klenik. Dalam urusan politikpun, nyatanya masyarakat Indonesia masih percaya terhadap hal- hal mistis, khususnya masyarakat Jawa. Dalam konteks ini, masyarakat Jawa yang cenderung abangan, masih percaya terhadap ramalan Jayabaya yang selalu dijadikan landasan dalam memilih pemimpin Indonesia. Pemimpin ataupun Presiden di Indonesia, selalu di identikkan dengan akronim “Notonogoro” seperti yang diramalkan oleh Jayabaya. Notonogoro bukanlah nama orang, melainkan akronisasi dan interpretasi pemimpin yang akan memimpin Indonesia. Saat ini, SBY berakhiran “No” yang menjabat sebagai presiden, maka selanjutnya ialah nama yang berakhiran “To”. Jadi, ada beberapa nama yang menjadi usulan penulis disini. Bisa saja nama itu adalah Wiranto, namun mengingat track record  dan usia nampaknya Wiranto tak memenuhi kriteria. Ada lagi nama Djoko Suyanto, politisi asal Partai Demokrat, namun menurut penulis, Djoko Suyanto belum menunjukkan taring politik dan kiprah yang dapat di unggulkan. Oleh sebab itu, besar kemungkinannya Prabowo Subiyanto yang menjadi kandidat selanjutnya. Karakternya yang tegas dan cerdas, menjadikannya sosok figur yang paling kuat dalam kancah perpolitikan Indonesia saat ini. Ditmbah lagi dengan solidnya mesin partai yang menyokong seorang Prabowo. Tidak hanya dari internal Gerindra, namun juga dari pihak- pihak oposisi yang juga ikut mendukung. Partai Gerindra saat ini memang masih partai kecil. Perolehan suara pada Pemilu 2009 memang bukanlah vonis mati untuk tak berkembang sampai Pemilu 2014. Mesin politik Gerindra harus giat bekerja dari sekarang. Walaupun penulis melihat tokoh yang dikenal di Gerindra saat ini oleh publik hanya Prabowo dan Fadli Zon. Kewajiban Gerindra untuk memproduksi tokoh-tokoh muda dan berbakat. Jika yang dimaksud adalah Suhardi, Pius Lustrilanang dan Permadi tentu bukan. Gerindra adalah Prabowo dan Prabowo adalah Gerindra. Gerindra perlu mencontoh dan belajar dari Demokrat, setidaknya pada Pemilu 2004. Membangun image partai seiring dengan sosok SBY. Jikalau harus bicara persentase, penulis member angka 45% untuk Prabowo Subiyanto. Ia memenuhi kriteria kepemimpinan yang dirindukan rakyat Indonesia saat ini. Terlepas dari masa kelamnya, prospek yang matang nampaknya hadir bersama Prabowo Subiyanto. Itulah mengapa saya disini mencantumkan nama beliau, sebagai kandidat terkuat pada pemilu 2014 yang akan datang.

PENUTUP
3.1. Kesimpulan
            Dalam makalah ini, penulis mencantumkan tiga nama yang sepertinya akan laku keras dan terjual bagi pemilih dalam pemilu presiden 2014 mendatang. Ketiga nama tersebut ialah Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa dan Prabowo Subiyanto. Mereka bertiga saya anggap paling baik diantara calon lainnya. Aburizal Bakrie, dengan segudang pengalaman bisnis dan birokrasinya, saya rasa mampu mebawa perubahan signifikan bagi Indonesia, terlepas dari kasus lumpur Lapindo yang masih bergejolak hingga saat ini. Persentase kemenangannya pun menurut saya lumayan besar, yakni 30% dari total suara nasional. Adapun Hatta Rajasa, berbasiskan PAN sebagai partai agamis dan merupakan calon satu- satunya dari aliran yang sama, memiliki peluang 20% suara nasional untuk dirinya, mengingat karir politik dan birokrasinya yang cukup menawan, walaupun belum dapat menujukkan taringnya secara langsung.
Kemudian ada nama Prabowo Subiyanto, berbekal kepercayaan klasik masyarakat Indonesia, Prabowo hadir sebagai Soekarno muda yang menciptakan antithesis dirinya terhadap Susilo Bambang Yudhoyono. Perawakan yang tegap, bicara yang tegas serta gaya yang hampir mirip Soekarno, menjadikan Prabowo Subiyanto sebagai calon kuat dalam pemilu Preiden mendatang.
3.2. Saran
Semoga tulisan yang tercantum dalam makalah ini dapat dijadikan bahan bacaan yang menarik, serta sebagai sumber prediksi calon presiden tahun 2014 mendatang. Harapannya, presiden 2014 nanti mampu membawa nagin segar serta warna baru bagi dinamisasi kehidupan masyarakat Indonesia. Ketiga nama tadi saya anggap mampu dan bisa untuk diandalkan. Mereka memiliki kualitas dan pembawaan yang khas, sesuai dengan banckground  masing- masing.



DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Majalah :
Chaidar, Al. 1419 H. Pemilu 1999 Pertarungan Ideologis Partai- Partai Islam versus Partai- Partai Sekuler. Jakarta: Darul Falah.
Firmansyah, Joni. 2012. Release Media dalam Aksi Demonstrasi “Menolak Lupa Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM di Indonesia” BEM KM UNDIP, 11 September 2012.
Ngatno. 2011. Segmenting, Targeting dan Positioning dalam Pemasaran kandidat Politik. FORUM FISIP hal. 13
Pradhanawati, Ari. 2011. Perilaku Pemilih di Era Politik Pencitraan dan Pemasaran Politik” FORUM FISIP Undip hal. 10
Internet :
Satriawan dalam “Menguliti Bakal Calon Presiden Indonesia 2014” 2012. Kompasiana. Diunduh pada tanggal 24 Desember 2012 pukul 19.47 WIB.
http://yoilah.blogspot.com/2012/04/menguliti-bakal-calon-presiden.html/ Diunduh pada tanggal 24 Desember 2012 pukul 19.47 WIB.
http://hatta-rajasa.info/profile/biography/41 diunduh pada tanggal 24 Desember pukul 19,56 WIB


[1] Satriawan dalam “Menguliti Bakal Calon Presiden Indonesia 2014” 2012. Kompasiana. Diunduh pada tanggal 24 Desember 2012 pukul 19.47 WIB.
[2] http://yoilah.blogspot.com/2012/04/menguliti-bakal-calon-presiden.htmlhttp://politik.kompasiana.com/2012/01/19/menguliti-bakal-calon-presiden-indonesia-2014/
[3] Ngatno. 2011. Segmenting, Targeting dan Positioning dalam Pemasaran kandidat Politik. FORUM FISIP hal. 13
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ari Pradhanawati. 2011. Perilaku Pemilih di Era Politik Pencitraan dan Pemasaran Politik” FORUM FISIP Undip hal. 10
[7] Al Chaidar. 1419 H. Pemilu 1999 Pertarungan Ideologis Partai- Partai Islam versus Partai- Partai Sekuler. Jakarta: Darul Falah.
[8] http://hatta-rajasa.info/profile/biography/41 diunduh pada tanggal 24 Desember pukul 19,56 WIB
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Joni Firmansyah. 2012. Release Media dalam Aksi Demonstrasi “Menolak Lupa Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM di Indonesia” saat menyambut kedatangan Prabowo Subiyanto menuju Univ. Diponegoro, 11 September 2012.
[12] http://politik.kompasiana.com/2011/02/28/prabowo-antara-ramalan-jayabaya-dan-realita-politik/ http://id.berita.yahoo.com/survei-sss-prabowo-bakal-calon-presiden-terkuat-055635214.html diunduh pada tanggal 24 Desember pukul 19,56 WIB

Minggu, 06 Oktober 2013

Pemikiran Politik Islam : Kajian Strategis Hasan Al Banna


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam dunia Islam, kita mengenal ada sebuah ranah berekspresi bagi umat manusia dalam berinteraksi dengan makhluk Tuhan yang lainnya. Ranah ini acapkali disebut dengan nama politik, atau dalam bahasa arab sering disebut dengan nama siyasah. Pandangan atas politik tersebut bersifat multi tafsir, tergantung dari siapa yang menilainya dan objek apa yang tengah digelutinya. Bangsa barat seringkali menyebut politik sebagai suatu seni atau cara dalam mencapai kekuasaan. Bahkan ada pula yang menyebut politik sebagai suatu Konsep yang mengacu kepada sekelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kemanfaatan bagi anggotanya, baik yang bersifat idiil maupun material.[1]Namun bagi dunia Islam, politik bias digunakan sebagai suatu cara untuk mengatur ummah atau umat. Namun dari pemikir Islam itu sendiri, politik memiliki banyak pengertian yang seluruhnya mengenai bagaimana cara mengatur umat. Seperti yang disampaikan oleh Ar- Raghib Al-Ashfihani, penulis kitab  Mufradat Al- Qur’an” menyatakan bahwa politik ada dua macam. Pertama, politik manusia untuk manusia itu sendiri, baik menyangkut kebutuhan raganya atau kebutuhan lainnya. Kedua, politik manusia terhadap pihak lain, baik kepada kerabatnya ataupun kepada masyarakat secara umum.[2] Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik merupakan kemampuan dalam mengorganisir ataupun mengatur pola interaksi social dalam masyarakat, termasuk mengatur hajat hidup masyarakat secara keseluruhan. Itulah mengapa salah satu cara yang paling ampuh dalam mengelola masyarakat ialah melalui politik dan manakala manusia yang dipercaya dalam mengatur kebijakan bermasyarakat dipilih melalui mekanisme politik, baik secara voting maupun secara musyawarah untuk mufakat. Itulah mengapa banyak sekali pemikir- pemikir ilmu politik yang kerap bersiteru dalam meluncurkan teori- teori politik, termasuk politik dalam perspektif Islam yang akan kita bahas pada makalah ini. Salah satu pemikir yang menurut penulis cukup menarik untuk dibahas ialah pandangan Hasan Al- Banna dalam teoritisasi political Islamic.
Hasan Al- Banna juga sering disebut- sebut sebagai pemicu lahirnya gerakan kontroversial di tanah para nabi –Mesir- saat ini. Gerakan yang biasanya disebut sebagai gerakan Ikhwan, atau yang dikenal dengan nama Ikhwanul Muslimin adalah gerakan politis yang lahir atas keprihatinan Hasan Al- Banna atas kondisi Mesir yang berada pada degradasi politik dibawah kepemimpinan Mubarok selama 30 tahun. Sesungguhnya gerakan ini lahir jauh sebelum itu, namun mulai mencuat ke permukaan pada saat degradasi politik tersebut. Gerakan ini juga turut serta mengilhami lahirnya partai IM di Mesir, AKP di Turki dan PKS di Indonesia. Ikatan yang dibangun di 3 negara tersebut bukan berasal dari garis komando gerakan Ikhwanul Muslimin, namun karena ada kesamaan secara emosional dalam memandang Islam sebagai ranah jihad dan dakwah. Menurut Hasan Al-Banna, ada semacam kesamaan- kesamaan yang muncul antara golongan Ikhwanul Muslimin terhadap permasalahan politik. Para aktivis Ikhwanul Muslimin memiliki rasa persaudaraan dan semangat juang yang sama, khususnya dalam dinamika politik yang berawal dari masalah politik Mesir. Sesungguhnya, tak ada alasan yang mengharuskan bahwasanya Ikhwanul Muslimin mengurus hal seperti itu, namun mereka melihat bahwa kasus ini adalah salah satu bentuk perjuangan dakwah yang diwariskan Rasulullah kepada mereka.[3]Maka dari itu, bahasan atas Hasan Al- Banna akan penulis bahas tuntas dalam tulisan ini serta meneliti apakah ada kesamaan pola pemikiran antara Hasan Al- Banna dengan pioneer gerakan yang lain, seperti Soekarno dengan Pancasilanya, Adolf Hitler dengan Chauvinisme Germany atau Karl Marx dengan agenda sosialismenya.
1.2. Rumusan Masalah
Melihat ulasan yang telah penulis paparkan diatas, adapun rumusan masalah dalam makalah ini ialah:
a.       Mengenal Hasan Al- Banna.
b.      Pemikiran Politik Islam menurut Hasan Al- Banna.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Mengenal Hasan Al- Banna
Hasan al-Banna lahir di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir pada hari Ahad, tanggal 14 Oktober 1906 yang bertepatan dengan 25 Sya’bān 1324. Nama lengkap beliau, Hasan ibn Ahmad ibn ‘Abdurrahman al-Banna. Ia berasal dari keluarga pedesaan kelas menengah. Al-Banna merupakan pribadi berkharisma yang dikenal cerdas, shaleh, mulia, dan berpengaruh dalam bentangan sejarah, baik di dataran Arab khususnya, dunia Islam umumnya, termasuk dunia Barat.[4]
Ayahnya bernama Ahmad, putra bungsu kakeknya yang bernama Abdur Rahman, seorang petani. Ahmad dibesarkan dalam suasana yang jauh dari pertanian. Untuk memenuhi keinginan ibunya, ia masuk ke Pesantren Tahfidzul Qur’an di kampungnya kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Ibrahim Pasha di Iskandariyah. Di tengah masa studi, Ahmad juga bekerja di toko reparasi jam hingga menguasai yang terkait dengan jam. Dari profesi inilah kemudian ayahnya dikenal dengan as-Sā’ati (tukang reparasi jam). Selain itu, Ahmad juga menulis sebuah kitab berjudul al-Fath al-Rabbānī fī Tartīb Musnad al-Imām Ahmad bin Hanbal al-Syaibānī. Sedangkan ibunda dari Hasan al-Banna bernama Ummu Sa’d Ibrahim Saqr. Ibundanya adalah tipologi wanita yang cerdas, disiplin, cerdik dan kokoh pendirian. Apabila telah memutuskan sesuatu sulit bagi Ummu Sa’d untuk menarik mundur keputusannya. Ini senada dengan sebuah pepatah yang berbunyi, “Jika layar terkembang pantang biduk surut ke pantai.” Perhatiannya pada pendidikan membuatnya juga bertekad untuk menyekolahkan Hasan Al-Banna hingga ke pendidikan tinggi. Ummu Sa’ad memiliki delapan delapan orang anak, yang masing-masing adalah: Hasan al-Banna, Abdurrahman, Fatimah, Muhammad, Abdul Basith, Zainab, Ahmad Jamaluddin, dan Fauziyah.[5] Hasan al-Banna merupakan pendiri organisasi besar, Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini dibentuk pada bulan Dzulqa’dah 1347 H/1928 di kota Ismailiyah. Gerakan ini tumbuh dengan pesat dan tersebar di berbagai kelompok masyarakat. Sebelum mendirikan Ikhwan, al-Banna juga ikut mendirikan sebuah jamaah sufi bernama Thariqah Hashafiyah dan Jamaah Syubban al-Muslimin. Metode gerakan yang diserukan oleh Ikhwan adalah bertumpu pada tarbiyah (pendidikan) secara bertahap. Tahapan tersebut adalah dengan membentuk pribadi muslim, keluarga muslim, masyarakat muslim, pemerintah muslim, Negara Islam, Khalifah Islam dan akhirnya menjadi Ustadziyatul ‘Alam (kepeloporan dunia).
Pribadi Hasan Al-Banna menarik banyak kalangan. Abu Hasan Ali an-Nadwi, memberikan kesaksian tentang Al-Banna: “Pribadi itu telah mengejutkan Mesir, dunia Arab dan dunia Islam dengan gegap gempita dakwah, kaderisasi, serta jihad dengan kekuatannya yang ajaib. Dalam pribadi itu, Allah Swt, telah memadukan antara potensi dan bakat yang sepintas tampak saling bertentangan di mata para psikolog, sejarawan, dan pengamat sosial. Di dalamnya terdapat pemikiran yang brilian, daya nalar yang terang menyala, perasaan yang bergelora, hati yang penuh limpahan berkah, jiwa yang dinamis nan cemerlang, dan lidah yang tajam lagi berkesan. Di situ ada kezuhudan dan kesahajaan, kesungguhan dan ketinggian cita dalam menyebarkan pemikiran dan dakwah, jiwa dinamis yang sarat dengan cita-cita, dan semangat yang senantiasa membara. Di situ juga ada pandangan yang jauh ke depan…”[6]

2.2. Pemikiran Politik Islam Menurut Hasan Al- Banna.
Mesir sebagai background perjuangan Hasan al-Banna merupakan wilayah yang syarat dengan tantangan dakwah Islam waktu itu. Dengan sarana perjuangan yang diwadahi Ikhwanul Muslimin –yang notabene organisasi yang didirikannya-, sangat konsen perhatiannya dalam pergerakan politik. Dimana salah satu sisi Tarbiyyah Ikhwanul muslimin yang penting adalah bidang politik. Politik disini, sebagaimana dijelaskan Yusuf al-Qaradhawi, merupakan bidang yang berhubungan dengan urusan hukum, sistem negara, hubungan pemerintah dan rakyat, hubungan antara satu negara dengan yang lainnya dari negara-negara Islam ataupun non Islam, hubungan negara dengan kolonial penjajah, dan hubungan-hubungan yang lainnya dari ketentuan-ketentuan yang sekian banyaknya.[7]
            Dalam eksistensinya, Mesir menurut Hasan Al- Banna mengalami pembodohan dalam berorganisasi. Hal ini terletak pada klasifikasi organisasi politik dan organisasi agama. Ada dikotomi/ pemisahan antara agama dan politik dalam organisasi- organisasi di Mesir. Maka terjadi perbedaan konsep, dimana konsep politik bertolak belakang dengan konsep agama. Sehingga organisasi agama, tidak boleh mengurusi politik dan organisasi politik tidak dianjurkan untuk mengurusi agama. Hasan al-Banna menembus pemahaman adanya dikotomi agama dan politik tersebut untuk meniadakannya. Ia menganggap bahwa hal tersebut merupakan pemahaman yang didasari kebodohan dan hawa nafsu yang dilestarikan oleh kolonial peradaban. Maka menjadi keniscayaan dalam memerangi dan meniadakan pemikiran berbahaya tersebut dengan pemikiran yang benar, yakni kesempurnaan Islam untuk setiap bidang kehidupan, termasuk politik, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an, hadits, petunjuk Rasul SAW., sejarah para sahabat, dan amalan umat sepanjang lebih dari 14 abad. Hasan al-Banna mempertegas, “jika kalian ditanya, kepada apa kalian akan menyeru? Maka jawablah: Kami akan menyeru kepada Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW., dan pemerintahan merupakan bagian dari Islam, dan kemerdekaan adalah suatu keniscayaan dari keniscayaan-keniscayaannya.” Selanjutnya ia menjelaskan, “jika dikatakan kepada kalian: Ini adalah politik. Maka jawablah: Ini adalah Islam. Kami tidak mengenal pembagian-pembagian ini!.”[8]
Dalam pemikiran politiknya, setidaknya ada empat hal yang menjadi perhatian beliau dalam mengawal gerak perjuangannya. Keempat point pemikirannya menjadi sisi penting untuk memahami bagaimana ia menggerakan Ikhwanul Muslimin hingga menjadi organisasi Islam yang menjadi panutan dan rujukan pergerakan ormas Islam lain di beberapa penjuru dunia. Pertama, mengenai konsep Arabisme (‘Urūbah). Kedua, konsep patriotisme (Wathaniyyah). Ketiga, konsep nasionalisme (Qaumiyyah). Keempat, konsep internasionalisme (Ālamiyyah). Mari kita bahas satu persatu konsep tersebut:
a.       Arabisme
Arabisme memiliki tempat tersendiri dan peran yang berarti dalam dakwah Hasan al-Banna. Bangsa Arab adalah bangsa yang pertama kali menerima kedatangan Islam. Dia juga merupakan bahwa yang terpilih. Hal ini sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, “Jika bangsa Arab hina, maka hina pulalah Islam.” Arabisme menurut al-Banna adalah kesatuan bahasa. Ia berkata dalam Muktamar Kelima Ikhwan,“…Bahwa Ikhwanul Muslimin memaknai kata al-‘Urūbah (Arabisme) sebagaimana yang diperkenalkan Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dari Mu’adz bin Jabal ra, “Ingatlah, sesungguhnya Arab itu bahasa. Ingatlah, bahwa Arab itu bahasa.” Menurut Al-Banna, Arab adalah umat Islam yang pertama, yang merupakan bangsa pilihan. Islam, menurutnya, tidak pernah bangkit tanpa bersatunya bangsa Arab. Batas-batas geografis dan pemetaan politis tidak pernah mengoyak makna kesatuan Arab dan Islam. Islam juga tumbuh pertama kali di tanah Arab, kemudian berkembang ke berbagai bangsa melalui orang-orang Arab. Kitabnya datang dengan bahasa Arab yang jelas, dan berbagai bangsa pun bersatu dengan namanya.
Selaras dengan penjelasan tersebut, Abdul Hamid al-Ghazali, dalam bukunya Meretas Jalan Kebangkitan Islam, mengatakan bahwa dapat disimpulkan beberapa unsur dari pemikiran Al-Banna bahwa berbangga dengan Arabisme tidak termasuk fanatisme dan tidak berarti merendahkan pihak lain. Arabisme dengan tujuan untuk membangkitkan Islam demi tersebarnya Islam adalah dibolehkan.[9] Dalam hal ini, penulis mencoba untuk menelaah apakah Arabisme sama dengan Chauvivisme Adolf Hitler dalam mempertahankan paham mereka masing- masing. Ternyata, pilihan Arabisme bukanlah sebuah paham, tapi tujuan Hasan Al- Banna yang memilih arab sebagai lokasi dakwahnya guna mempersatukan seluruh negara dan bangsa Arab. Bukan dengan artian menjadikan Arab sebagai ideologi tersendiri dan dianggap paling benar, seperti yang dilakoni Hitler atas bangsa Arya di Jerman.
b.      Patriotisme
Dalam memaknai Wathaniyah (patriotisme), ada tiga arti yang dikemukakan oleh Hasan Al-Banna, yaitu: Pertama, Patriotisme Kerinduan (Cinta Tanah Air). Al-Banna berkata: “Jika yang dimaksud dengan patriotisme oleh para penyerunya adalah cinta negeri ini, keterikatan padanya, kerinduan padanya, dan ikatan emosional dengannya, maka hal itu sudah tertanam secara alami dalam fitrah manusia di satu sisi, dan dianjurkan Islam di sisi lainnya.” Kedua, Patriotisme Kemerdekaan dan Kehormatan (Kemerdekaan Negeri). Al-Banna berkata: “Jika yang mereka maksudkan dengan patriotisme adalah keharusan berjuang untuk membebaskan tanah air dari cengkeraman perampok imperialis, menyempurnakan kemerdekaannya, dan menanamkan kehormatan diri dan kebebasan dalam jiwa putra-putra bangsa, maka kami sepakat dengan mereka tentang itu.” Ketiga, Patriotisme Kebangsaan (Kesatuan Bangsa). Al-Banna berkata: “Jika yang mereka maksudkan dengan patriotisme adalah mempererat ikatan antara anggota masyarakat suatu Negara dan membimbingnya ke arah memberdayakan ikatan itu untuk kepentingan bersama, maka kami pun sepakat dengan mereka.”
Ketiga pandangan patriotisme tersebut nampaknya tidak jauh berbeda dengan ikatan luhur bangsa Indonesia dalam butir- butir Pancasila yang digali oleh Bung Karno. Sejarah mencatat bahwasanya Pancasila sangat dipengaruhi oleh daya dan cara piker Islam yang berasal dari Piagam Madinah. Penulis melihat ada kesamaan arti dan makna bagaimana Hasan Al- Banna menginterpretasikan pancasila dalam binkai Ikhwanul Muslimin dengan Pancasila sebagai kepatriotan bangsa Indonesia. Patriotisme juga memiliki prinsip lainnya di mata Hasan Al-Banna. Ia mengatakan:
“Suatu kekeliruan bagi orang-orang yang menyangka bahwa Ikhwanul Muslimin berputus asa terhadap kondisi negeri dan tanah airnya. Sesungguhnya kaum Muslimin adalah orang-orang yang paling ikhlas berkorban bagi negara, habis-habisan berkhidmat untuknya, dan menghormati siapa saja yang mau berjuang dengan ikhlas dalam membelanya. Dan anda tahu sampai batas mana mereka menegakkan prinsip patriotisme mereka, serta kemuliaan macam apa yang mereka inginkan bagi umatnya. Hanya saja, perbedaan prinsip antara kaum muslimin dengan kaum yang lainnya dari para penyeru patriotisme murni adalah bahwa asas patriotisme Islam adalah akidah Islamiyah…Adapun tentang patriotisme Ikhwanul Muslimin, cukuplah bahwa mereka menyakini dengan kukuh bahwa sikap acuh terhadap sejengkal tanah yang ditinggali seorang muslim yang terampas merupakan tindakan kriminal yang tidak terampuni, hingga dapat mengembalikannya atau hancur dalam mempertahankannya. Tidak ada keselamatan bagi mereka dari siksa Allah kecuali dengan itu.”[10]

c.       Nasionalisme
Dalam pandangan al-Banna, nasionasionalisme dipahami dalam 5 bentuk.[11] Pertama, nasionalisme kebanggaan, yaitu rasa bangga generasi penerus terhadap pendahulunya diiringi adanya tanggung jawab kewajiban untuk mengikuti jejak para pendahulu yang beriman kepada Allah sebagai Tuhan yang mesti disembah dan ditaati, Islam sebagai sistem hidup, Muhammad SAW. sebagai nabi dan rasul, lalu menyebarkan Islam sebagai akidah, syari’at dan pandangan hidup, menerapkan hukum dengan keadilan Islam, serta menyinari pola pikir manusia dengan keimanan.
Kedua, nasionalisme kebangsaan, yakni umat suatu bangsa mesti mengorbankan apa yang dimiliknya dari usahanya yang baik untuk menjadikan bangsa yang lebih baik. Nasionalisme ini selaras dengan apa yang ada di dalam Islam, dimana infak hendaknya memperhatikan kebutuhan orang terdekat dan selanjutnya. Allah berfirman, “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.”[12]
Ketiga, nasionalisme jahiliyyah yang berarti nasinalisme yang dianut oleh kaum jahiliyyah. Dimana para penyeru nasionalisme ini berupaya menghidupkan kembali semangat-semangat jahiliyyah yang telah dibumihanguskan oleh Islam, seperti semangat fanatisme kesukuan, sikap sombong, dan merasa lebih dari orang lain. Prinsip-prinsip nasionalisme seperti ini berusaha dihidukan kembali oleh partai-partai sekuler yang menuduh Islam terbelakang atau kuno, sehingga harus dikikis dari kehidupan. Oleh karena itu, Hasan al-Banna menyatakan bahwa nasionalisme seperti ini amat tercela dan berakibat buruk dan akan meruntuhkan nilai-nilai kemuliaan serta menghilangkan watak-watak terpuji.
Keempat, nasionalisme permusuhan, yaitu nasionalisme yang berlandaskan semangat merampas hak-hak orang lain tanpa alasan yang benar. Semangat seperti merupakan semangat jahiliyyah yang terus berkembang dari dulu sampai sekarang. Bahkan era jahiliyyah dulu ada sebuah sya’ir yang mengatakan, “Siapa yang tidak menganiaya orang lain, maka dia yang akan dianiaya.”[13]
Kelima, nasionalisme Islam, yakni nasionalisme yang berlandaskan aqidah, bukan darah, keluarga, kepentingan, dan wilayah geografis tertentu. Ia merupakan nasionalisme yang menghapuskan semangat-semangat jahiliyyah yang mengusung kesukuan dan fanatisme buta, nasionalisme yang menyerap dan menampung seluruh jenis manusia dari suku bangsa, warna kulit, dan negara manapun, tanpa membeda-bedakannya. Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menghapuskan arogansi jahiliyyah dan kebanggaan terhadap nenek moyang, karena manusia berasal dari Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. Sehingga orang Arab tidak lebih baik dibanding orang A’jam (non Arab), kecuali dengan taqwa.”[14]
d.      Internasionalisme
Internasionalisme menurut Hasan al-Banna inheren dalam Islam, oleh karena Islam adalah agama yang diperuntukkan untuk seluruh umat manusia. “Adapun dakwah kita disebut internasional, karena ia ditujukan kepada seluruh umat manusia. Manusia pada dasarnya bersaudara; asal mereka satu, bapak mereka satu, dan nasab mereka pun satu. Tidak ada keutamaan selain karena takwa dan karena amal yang dipersembahkannya, meliputi kebaikan dan keutamaan yang dapat dirasakan semuanya,” demikian tulisnya.
Konsep internasionalisme merupakan lingkaran terakhir dari proyek politik al-Banna dalam program ishlāhul ummah (perbaikan umat). Dunia, tidak bisa tidak, bergerak mengarah ke sana. Persatuan antar bangsa, perhimpunan antar suku dan ras, bersatunya sesama pihak yang lemah untuk memperoleh kekuatan, dan bergabungnya mereka yang terpisah untuk mendapatkan hangatnya persatuan, semua itu merupakan pengantar menuju terwujudnya kepemimpinan prinsip internasionalisme untuk menggantikan pemikiran rasialisme dan kesukuan yang diyakini umat manusia sebelum ini. Dahulu memang harus meyakini ini untuk menghimpun unsur-unsur dasar, lalu harus dilepaskan kemudian untuk menggabungkan berbagai kelompok besar, setelah itu terwujudlah kesatuan total di akhirnya. Langkah ini, menurutnya memang lambat, namun itu harus terjadi.
Untuk mewujudkan konsep ini juga Islam telah menyodorkan sebuah penyelesaian yang jelas bagi masyarakat untuk keluar dari lingkaran masalah seperti ini. Langkah pertama kali yang dilakukan adalah dengan mengajak kepada kesatuan akidah, kemudian mewujudkan kesatuan amal. Hal ini sejalan dengan firman Allah SAW., “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nabi Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Nabi Ibrahim, Musa dan Isa yaitu ‘Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”[15]
Hasan Al- Banna sebagai seorang pemikir Islam memiliki peran yang sangat besar dalam proses meluruskan Islam sebagai agama yang Rahmatan Lil Alamin. Konsep dirinya yang menyangkut perbaikan individu, perbaikan keluarga, perbaikan masyarakat, perbaikan umat dan perbaikan Negara bertujuan untuk mengembalikan Islam sebagai sebuah peradaban yang harmonis seperti masa- masa keemasan Khoilafah Islamiyah. Metode gerakan yang diserukan oleh Ikhwan adalah bertumpu pada tarbiyah (pendidikan) secara bertahap. Tahapan tersebut adalah dengan membentuk pribadi muslim, keluarga muslim, masyarakat muslim, pemerintah muslim, Negara Islam, Khalifah Islam dan akhirnya menjadi Ustadziyatul ‘Alam (kepeloporan dunia). Tentunya, agenda Hasan Al Banna menjadi terhenti manakala dirinya meninggal dengan cara mengenaskan setelah ditembak secara brutal oleh beberapa orang yang tidak dikenal. Dua jam setelah dirinya ditembak, ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Namun paling tidak, hingga hari ini metode dakwahnya dicontoh oleh sebagian besar negara- negara didunia seperti Turki, Mesir dan juga Indonesia. Hasan Al Banna meninggalkan konsep- konsep dakwah nan brilian yang mencoba meluruskan dimana peran agama saat bertemu politik ataupun sebaliknya, karena menurutnya keduanya ialah dua sisi dalam satu keeping mata uang logam, tidak dapat dipisahkan.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sikap pemikiran Hasan Al-Banna (ikhwanul Muslimin) terhadap pemerintahan, berkaitan erat dengan pemahaman akan esensi Islam dan Aqidahnya. Islam-sebagimana yang dipersepsikan Ikhwanul Muslimin-menjadikan pemerintahan sebagai salah satu pilarnya. Ikhwan memandang bahwa pemerintahan Islam memiliki kaidah-kaidah yang tercermin dalam ulasan Al-Banna – ketika membicarakan tentang problematika hukum di Mesir dan bagaimana memecahkannya-berupa karakteristik atau pilar-pilar pemerintahan Islam. Ia berpendapat bahwa pilar-pilar itu ada tiga, yaitu :
1.    Tanggung jawab pemerintah, dalam arti bahwa ia bertanggungjawab kepada Allah dan rakyatnya. Pemerintahan, tidak lain adalah praktek kontrak kerja antara rakyat dengan pemerintah, untuk memelihara kepentingan bersama.
2.      Kesatuan umat. Artinya, ia memiliki sistem yang satu, yaitu Islam. Dalam arti, ia harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan nasihat.
3.      Menghormati aspirasi rakyat. Artinya, di antara hak rakyat adalah mengawasi para penguasa dengan pengawasan yang seketat-ketatnya, selain memberi masukan tentang berbagai hal yang dipandang baik untuk mereka. Pemerintah harus mengajak mereka bermusyawarah, menghormati aspirasi mereka, dan memperhatikan hasil musyawarah mereka.[16]

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Dadang Supardan. 2009. Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Yusuf Al- Qaradhawi. 2008. Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik. Jakarta: Pustaka Al- Kautsar
Hasan Al-Banna. 2005. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin (Terjemahan Jilid 2). Solo : Intermedia
Khozin Abu Faqih, dkk. 2006. Mengenal Perintis Kebangkitan Islam Abad 15 H. Solo: Auliya Press
Hasan Al-Banna. 2008. Majmū’ah al-Rasā’il al-Imām al-Syahīd Hasan al-Banna, terj. Anis Matta dkk, “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin I.Solo: Era Intermedia
QS. Al-Baqarah [2]: 215
QS. Al-Syūrā [42]: 13
Jurnal :
Yusuf al-Qaradhawi. 1992. al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa Madrasah Hasan al-Bannā, Kairo: Maktabah Wahbiyyah, dalam http://robimulya.blogspot.com/2009/12/politik-islam-dalam-kacamata-hasan-al.html, diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 20.49 WIB
Abdul Hamid al-Ghazali, Haula Asāsiyyah al-Masyrū’ al-Islāmī li Nahdhah al-Ummah, terj. Wahid Ahmadi dan Jasiman. Solo: Era Intermedia http://robimulya.blogspot.com/2009/12/politik-islam-dalam-kacamata-hasan-al.html, diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 21.41 WIB
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris. Fikih Politik Menurut Imam Hasan al-Banna, dalam http://www.eramuslim.com/manhaj-dakwah/fikih-siyasi/pemahaman-politik-islam.htm diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 22.36 WIB
Web:
http://robimulya.blogspot.com/2009/12/politik-islam-dalam-kacamata-hasan-al.html, diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 20.17 WIB
http://jurnalpamel.wordpress.com/politik-islam/pemikiran-politik-hasan-al-banna/ diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 22.41 WIB



[1] Dr. H. Dadang Supardan,M.Pd. Pengantar Ilmu Sosial. 2009. Jakarta : PT. Bumi Aksara. Hal. 571
[2] Yusuf Al- Qaradhawi. 2008. Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik. Jakarta: Pustaka Al- Kautsar
[3] Hasan Al-Banna. 2005. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin (Terjemahan Jilid 2). Solo : Intermedia
[4] Khozin Abu Faqih, dkk.2006. Mengenal Perintis Kebangkitan Islam Abad 15 H. Solo: Auliya Press
[5] http://robimulya.blogspot.com/2009/12/politik-islam-dalam-kacamata-hasan-al.html, diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 20.17 WIB

[6] Hasan al-Banna. 2008. Majmū’ah al-Rasā’il al-Imām al-Syahīd Hasan al-Banna, terj. Anis Matta dkk, “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin I.Solo: Era Intermedia, hal 21
[7] Yusuf al-Qaradhawi, al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa Madrasah Hasan al-Bannā, (Kairo: Maktabah Wahbiyyah, 1992), hal. 51-52 dalam http://robimulya.blogspot.com/2009/12/politik-islam-dalam-kacamata-hasan-al.html, diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 20.49 WIB

[8] Ibid
[9] Abdul Hamid al-Ghazali, Haula Asāsiyyah al-Masyrū’ al-Islāmī li Nahdhah al-Ummah, terj. Wahid Ahmadi dan Jasiman, (Solo: Era Intermedia), hal. 195, http://robimulya.blogspot.com/2009/12/politik-islam-dalam-kacamata-hasan-al.html, diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 21.41 WIB


[10] Hasan al-Banna. 2008. Majmū’ah al-Rasā’il al-Imām al-Syahīd Hasan al-Banna, terj. Anis Matta dkk, “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Solo: Era Intermedia

[11] Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Fikih Politik Menurut Imam Hasan al-Banna, dalam http://www.eramuslim.com/manhaj-dakwah/fikih-siyasi/pemahaman-politik-islam.htm diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 22.36 WIB


[12] QS. Al-Baqarah [2]: 215
[13] ومن لا يَظلم الناس يُظلم
[14] إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ نخوةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَتَعَظُّمَهَا بِاْلآباَءِ، النَّاسُ ِلآدَمَ وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ، لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ إِلاَّ بِالتَّقْوَى.
[15] QS. Al-Syūrā [42]: 13
[16] http://jurnalpamel.wordpress.com/politik-islam/pemikiran-politik-hasan-al-banna/ diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 22.41 WIB