Dari
26 abjad di dunia, aku paling tidak bisa menyebutkan huruf “R”. Padahal mulut
kita sama, mampu bersuara, terkecuali mereka yang berkebutuhan khusus (bisu)
sejak lahir. Saat usiaku masih belia, (karena pada saat menulis cerita ini
usiaku sudah “lumayan” tua, tapi tidak terlalu tua untuk bersanding dengan
kalian yang muda- muda), aku berbicara layaknya balita dan sangat takut dengan
kosa kata yang memiliki huruf “R”. Misalnya kata “kerumah” akan menjadi
“kelumah”, “sayur” menjadi “sayul” dan
“ular” menjadi “ulal”. Terdengar aneh memang, tapi itulah aku. Pribadi yang
cuek dan gak peduli dengan apa yang
orang bilang, kecuali mereka menyinggung tinggi badan. Ya, selain cadel,
pertumbuhan badan ku tergolong terlambat. Entah tumbuh kembang badanku
terlambat bangun, ataukah dijalanan macet hingga harus terlambat sampai
kepadaku. Layaknya alasan- alasan klasik orang- orang masa kini yang kerap
terlambat. Tapi tak ada alasan aku harus marah dengan semua itu, karena aku
meyakini bahwa kemuliaan seseorang diukur seberapa cerdas ia mengerti sesuatu.
Banyak orang yang tinggi, ganteng, bisa ngomong “R” tapi kalau diajak bicara,
berdiskusi, berfikir, masyaAllah
lemotnya bukan main. Tapi ada pula orang yang berkekurangan, gak ganteng, gak
tinggi, tapi kalau diajak diskusi akan sangat mempesona. Cieeeee… Hahaha.
Tengok saja Pak Jusuf Kalla, Napoleon Bonaparte, Hitler, mereka pendek semua
tapi menjadi orang yang luar biasa. Pak JK sudah jadi Wakil Presiden 2 kali
dalam 2 periode, Napoleon Bonaparte berhasil menguasai Prancis dan menaklukkan
Eropa. Bahkan ada yang mengatakan, bahwa Napoleon harus berjinjit untuk
mengalungkan medali kepada prajurit berprestasinya. Lain lagi dengan Hitler, ia
tak perlu tinggi badan untuk menaklukkan sepertiga Eropa, meskipun sendirian.
Merinding kan?
Kita
kembali lagi kepada urusan yang berkaitpaut dengan Cadel. Kalian kalau lihat
orang cadel bagaimana sih? Gokil kan? Aku dulu cadel, dan berteman dengan banyak
orang cadel. Saat kami berinteraksi dan berkomunikasi, aku suka tertawa
terbahak- bahak dengan kalimat yang ia keluarkan, begitupun sebaliknya. Kami
memiliki dunia kami sendiri yang orang lain belum tentu bisa menikmatinya.
Artinya, kesenangan itu kita yang buat, bukan mereka, bukan orang lain, tapi
kita. Orang- orang tersebut, aku yakin dan semoga kalian pun meyakini justru
memiliki rasa percaya diri yang tak ada habisnya. Ingat kawan, rasa percaya
diri (PeDe) adalah investasi jangka panjang yang tak merugikan. Kalau kamu
PeDe, maka jangankan mereka, duniapun akan berada dalam genggamanmu! Hal
tersebut telah aku buktikan dan sangat manjur manfaatnya. Meskipun cadel, aku
adalah siswa berprestasi. Dari lomba pidato, lomba mengarang sampai lomba bawa
lari sendok aku selalu jadi juara, kalau gak juara satu ya bisa juara dua atau
tigalah. Tergantung lombanya apa dulu, kalau aku suka, pasti aku menang. :D
Pernah suatu ketika,
seorang guruku datang ke kelas. Saat itu aku kelas 5 SD.
“Permisi bu, Joni ada?”
sapa Bu Endang kepada Bu Yul, Guru yang mengajar hari itu.
“Ada…, Jon?” Panggil
Ibu Yul. Saat itu aku sedang mengerjakan tugas.
“Ya, bu” Jawabku.
“Joni, ikut saya ke
ruang guru, sekarang!” Perintah Bu Endang. Deg! Jantungku mau copot. Aku
bertanya- tanya dalam hati, wanita mana lagi yang aku tolak cintanya sehingga
aku harus ke ruang guru? Hahaha.
Akupun bangkit dari
tempat duduk, dan mulai mengikuti Bu Endang keruang guru. Jarang ruang kelasku
dan ruang guru mungkin hanya 10 meter, tapi deg- degan nya itu bikin langkahku
terasa 1000 meter. Jauuuuuh sekali. Aku yakin, teman- teman pun pernah
merasakan hal yang sama. Dipanggil guru, tapi tak diberi tahu sebab musababnya.
Bagi kalian yang popular di sekolah mungkin pernah merasakan, tapi bagi kalian
yang tidak, I’m sorry yaa. :p
Sampailah aku didepan
ruang guru. Bu Endang langsung duduk dan berkata, “Ini orangnya!” Aduh, kenapa
lagi ini. Jantung sudah megap- megap ini. Kalau cuma karena buang sampah
sembarangan tadi pagi, tak mungkin seserius ini. Didalam ruangan tersebut,
telah hadir Wali Kelas, Kepala Sekolah dan beberapa guru. Semuanya melotot
kepadaku. Biasanya kalau ada orang yang melotot, aku melotot balik! Ayahku
pernah berkata, kau tidak boleh kalah dalam pandang- memandang! Tapi kalau aku
melotot balik, dikeluarkan aku dari sekolah.
“Ayo Joni, duduk
disini” Bu Endang mempersilahkanku duduk.
“Begini Jon, sekolah
kita akan mengikuti lomba baca puisi. Hasil kesepakatan kami, kamu yang akan
mewakili” ujar Bu Endang. Duh, lomba baca puisi? Adakah kecocokan dari aku yang
bertampang garang bak Sylvester Stalonne dalam serial Rambo ini diminta baca
puisi? Yakin aku gempar dunia. Tampang sudah Rambo, badan security, diminta
pula baca puisi berdayu- dayu macam Hello Kitty. Mau jadi apa sekolahku. Tapi
tak apalah, akan kucoba. Demi nama baik sekolah, aku maju ke medan juang.
Hahaha. Selepasnya aku dari ruang guru, hatiku lega bukan kepalang. Tapi jujur,
kini jika mendengar nama Endang dan Yul, hatiku suka berdesir sendiri. Bukan
karena mereka nama guruku, tapi dulu aku punya mantan kekasih dan namanya
Endang dan Yul. Cerewet minta ampunlah mereka. Suka pusing aku dibuatnya, kalau
ada yang bernama sama, aku akan jauh- jauh. Ini namanya Trauma Cinta Masa Lalu!
Sampailah berita itu
dirumah. Aku tak tahu Ibuku tahu darimana berita ini. Bagi beliau, anaknya ikut
lomba beliau bangganya bukan main. Ikut lomba adalah kebanggaan, perkara menang
itu bonus, yang penting kau dikenal orang. Ah, filosofi ini cocok sekali
seperti filosofi caleg- caleg yang sedang kampanye. Tak apa kau rugi saat
kampanye, asal kau dikenal orang. Ternyata caleg- caleg itu menggila bersumber
dari filosofi Ibuku, bukan main. Tetapi, ada gurat risau di wajah beliau. Rasa
antusias yang menurutku lebay yang
biasanya ditunjukan oleh beliau tak nampak hari itu. Ada apa gerangan wahai iIbu?
Tanyaku dalam hati. Selepas sholat magrib, Ibu bertanya padaku.
“Kau ikut lomba apa?”
tanyanya.
“Baca puisi, bu”
Jawabku.
“Bisa kau?” Tanyanya
lagi.
“Aidaaah, kalau cuma baca bu, semua orang bisa” Jawabku santai.
“Nah! Itu yang Ibu
pikirkan daritadi. Mengapa engkau? Kalau cuma sekedar baca, seperti katamu dan
semua orang bisa, mengapa engkau?” sahut Ibu, ada nada khawatir kutangkap dari
kalimatnya.
“Memangnya kenapa bu?
Membacaku tak baik kah?” Tanyaku dengan polos.
“Kau sudah tidak cadel,
sudah bisa ngomong lancar, hm?” Sebut Ibuku.
“Oh” pekikku. Pelan,
nyaris tak bersuara, tapi sakitnya sangat terasa. Dalam, menimbulkan kelam.
Benar kata Ibu, mengapa aku? Kalau cuma alasan membaca lantas mengapa aku. Ada
setitik embun di sudut mataku saat itu, untung saja temaramnya lampu rumah kami
mampu menyembunyikannya.
“Baiklah, besok akan kusampaikan
kepada Bu Endang, aku diganti saja” Jawabku mantap.
“Jangan” Sahut Ibu,
Sendu.
“Majulah, disaat yang
lain tengah bermimpi, kau diberi kesempatan untuk memberi, maka berikanlah yang
terbaik. Mereka adalah gurumu, mereka paling paham akan kemampuanmu. Majulah”
Ibuku melarangku untuk mundur. Dari sekian banyak orang yang kuhormati, kata-
kata Ibu adalah warning keras dalam
hidupku. Saat aku bimbang, aku mengadu pada Ibu. Saat Ibu setuju, mantaplah
hatiku. Saat beliau menolak, gundahlah jiwaku. Dalam hidup, laki- laki diberi
kesempatan untuk diikuti dan tunduk pada mahkluk Tuhan yang beranama perempuan.
Laki- laki akan diikuti oleh Istrinya, dan akan tunduk pada Ibunya. Maka
pilihlah perempuan yang akan mengikutimu dan berbaktilah pada perempuan yang membuatmu
tunduk kepadanya.
“Baik, bu” Sahutku
mantap. Malam itu, kubuktikan bahwa semangat seorang anak terletak pada Ibunya.
Meskipun dunia menertawai, tapi Ibu akan mendampingi. Embun disudut mata, mulai
menetes. Pertanda malam sudah mulai larut, dan jiwa harus segera surut menuju
peraduan. Aku bergegas tidur, karena mulai besok, aku tak hanya sekolah, tapi
mulai belajar cara menaklukkan dunia, belajar mengalahkan rasa takut yang
paling dalam. Sudah kukatakan, cadel itu istimewa bukan?
Esok
harinya aku mulai berlatih membaca puisi. Guru- guruku pun tahu aku cadel, tapi
bagi mereka ini tidak masalah. Adalah seorang guru yang bernama Ibu Sugiyati,
beliaulah yang selalu menjadi mentorku dalam setiap perlombaan. Orangnya
cantik, tapi sangat tegas. Aku tidak ada masalah dengan hal tersebut, yang
menjadi masalah ialah puisi yang akan kubawakan. Judulnya adalah Pahlawan Tak
Dikenal, karya Toto Sudharto Bachtiar. Berikut puisinya :
PAHLAWAN
TAK DIKENAL
Oleh:
Toto Sudarto Bachtiar
Sepuluh
tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi
bukan tidur, sayang
Sebuah
lubang peluru bundar di dadanya
Senyum
bekunya mau berkata, kita sedang perang
Dia
tidak ingat bilamana dia datang
Kedua
lengannya memeluk senapang
Dia
tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian
dia terbaring, tapi bukan tidur sayang
Wajah
sunyi setengah tengadah
Menangkap
sepi padang senja
Dunia
tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia
masih sangat muda
Hari
itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang
ingin kembali memandangnya
Sambil
merangkai karangan bunga
Tapi
yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
Sepuluh
tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi
bukan tidur, sayang
Sebuah
peluru bundar di dadanya
Senyum
bekunya mau berkata : aku sangat muda
Langkahku
gontai, bibirku keluh, tenggorokanku meradang. Ada 27 kata yang menggunakan
huruf “R”, ada 27 kata yang membuatku harus menahan nafas dan diminta untuk tidak
melawan. Membaca puisi lebih sulit daripada berpidato karena membutuhkan
penghayatan yang maksimal. Aku diminta menyelami kembali makna puisi yang
bercerita tentang perjuangan pergerakan kemerdekaan. Bagaimana bisa? Aku saja
sudah susah bergerak macam buaya ditinggal kawin pasangannya, galau ditepi
sungai dan ditemukan mati mengambang karena putus cinta. Hahaha
Satu
minggu lamanya aku berlatih membaca puisi, satu minggu pula aku menjalani
kursus rutin belajar melapalkan huruf “R” dengan ayahku. Beliau menyarankan
bahwa perkara tidak bisa menyebutkan huruf “R” ialah karena lidahku kurang
panjang dan tak bisa bergetar. Saban hari, kursus ini selalu dilakukan setelah
sholat subuh. Ini masalah? Tidak! Masalahnya adalah untuk membuat lidahku
bergetar, aku harus makan cabe, karena rasa pedas pada cabe akan membuat
lidahku mudah bergetar. Ini teori belum memiliki hak paten, tapi aku dipaksa
melakukannya. Ini namanya kekerasan pada anak, tapi ini kekerasan yang
kunikmati.
“Ayo makan cabenya” perintah
Ayahku.
“Baik pak” sahutku.
Mulailah cabe berwarna merah maroon
kumasukkan ke mulutku. Untuk rasa dan akibatnya, tak perlu kuceritakan. Kawan-
kawan pastinya pernah merasakan pedasnya rasa cabe, tapi tidak sambil
melapalkan huruf “R” bukan?. Nah, yang lebih pedas lagi adalah melihat cabe-
cabean, dan kita digodanya. Ah, itu pedasnya double.
Maka
mulailah aku melapalkan huruf “R” dengan perlahan- lahan. “E, er, e, eeer,
rrrrr” Ayahku mencontohkan cara pengucapannya. Itulah ritual kami setelah
sholat subuh, sepanjang hari selama seminggu. Disaat dzikir ditutup dengan doa-
doa, maka mulailah Ayah ke dapur, mengambil beberapa buah cabe dan
menyerahkannya padaku. Akupun juga berlalu kedapur, mengambil segelas air dan
setoples gula sebagai penawar rasa pedas. Mana mungkin kubiarkan mulut terasa
panas dan air liur meleleh tumpah tanpa mampu dihentikan sembari mengucapkan
“E, er, e, eeer, rrrrr”. Ini benar- benar penyiksaan, tapi begitulah orang tua.
Mereka tahu seberapa banyak porsi “penyiksaan” diberikan kepada anaknya agar
menjadi pribadi berkualitas kelak. Akupun sudah bisa membuktikan manfaatnya,
beberapa tahun setelah ritual aneh tersebut kugeluti.
Seminggu
berlalu, tibalah hari perlombaan. Acara digelar di Stadion sepak bola daerah
kami, namanya Stadion Brang Biji Sumbawa. Lomba baca puisi merupakan rangkaian
dari beberapa acara dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik
Indonesia. Malam puncak digelar dengan pesta rakyat dan beberapa lomba- lomba,
diantaranya lomba baca puisi dan lomba pidato. Kusesalkan pula mengapa aku tak
ikut lomba baca pidato saja. Karena dengan demikian, aku tak perlu makan cabe
selepas sholat subuh. Bukan huruf “R” yang kudapat, melainkan rasa panas di
lambung dan berakhir di toilet,
berjam- jam pula lamanya. Perlombaan pun dimuali, MC telah membuka acara. Aku
adalah kontestan ke lima, dari sepuluh kontestan yang hadir pada perlombaan
tersebut. Dari kesepuluh kontestan, kulihat hanya ada dua orang yang berjenis
kelamin laki- laki. Meskipun demikian, menurutku hanya aku yang laki- laki,
karena kawan laki- laki itu tak mau lepas dari gendongan Ibunya. Ia selalu
merengek- rengek meminta dibelikan ini dan itu. Hingga inguspun masih
dibersihkan oleh Ibunya. Jadi kupastikan ia bukan laki- laki tulen, karena
laki- laki tidak berlaku demikian. Bagiku ia tak lebih dari laki- laki KaWe versi anak- anak. Hahaha
Empat
kontestan sebelumnya sudah tampil dan sangat memukau. Tiga perempuan, dan kawan
laki- laki ku tadi. Telah kulihat penampilannya, akibat kesalahan membaca
sebuah kata ia diteriaki penonton. Maklum, penonton didaerah kami luar biasa
serunya, termasuk luar biasa gaduhnya. Tak usah sebut sepak bola, menonton adu
layangan hingga menonton lomba baca puisi anak- anak saja gaduhnya bukan main.
Kalau dalam sepak bola, wasit salah meniup peluit, habislah dosa wasit tersebut
akibat sumpah serapah supporter kami.
Begitupun pula dengan lomba baca puisi ini, bedanya sumpah serapah tak keluar
dari mulut mereka, namun hanya berupa ejekan yang cukup layak diberikan kepada
anak- anak. Kesalahan pembacaan kata oleh kawan KaWe ku tadi nampaknya fatal untuknya. Ia disoraki hingga kakinya
gemetar. Kulirik Ibunya, ia menelungkupkan kedua tangan di dada, takut anaknya
kalah mental. Dan benar adanya, belum habis bait ketiga puisi, anaknya meraung-
raung, menangis mencari Ibunya. Bukannya diam, penonton malah tertawa
terpingkal- pingkal. Ibunya melompat ke podium, memeluk anaknya. Naluri seorang
Ibu tak pernah salah, sekaligus tak pernah menyerah. Dari perilakunya kita
belajar tentang pengorbanan dan arti cinta sesungguhnya. Pada momen tersebut,
aku tidak tertawa karena dalam hati Ibuku pun akan berlaku demikian jika
keadilan tidak berpihak padaku. Tetapi mau tak mau, akupun ikut menikmati
meskipun hanya ditandai dengan sebuah senyuman. Ini hiburan menurutku, untuk
menghilangkan rasa gugup yang sedari tadi membuat dada ini tak hentinya ber-marching band.
Tibalah
giliranku, namaku dipanggil dengan lantang. Penonton riuh bertepuk tangan,
sebelumnya mereka sudah melihatku ikut lomba pidato dan merekapun tahu
kapasitasku. Bagi penonton, lomba apapun sama saja karena yang mereka cari
adalah hiburan yang dapat menghilangkan beban hidup, meskipun sejenak. Aku naik
menuju podium, kuraih pengeras suara dan mulai menghela nafas. Aku mulai melihat
penonton, dan kucari Ibuku. Aku butuh beliau melalui senyumannya, dan kudapati
beliau di sudut podium, dengan santai menatapku sembari tersenyum. Begitu
anggun, sangat mempesona buatku. Ku mulai membaca puisi tersebut dengan penuh
penghayatan.
“Pahlawan Tak Dikenal,
Kalya Toto Sudhalto Bachtial” Sontak! Penonton tertawa terbahak- bahak. Aku
bimbang, aku mulai goyah. Belum sempat aku menghunus pedang, aku telah ditikam terlebih
dahulu. Belum sempat aku menghela nafas, aku telah mati terkapar. Ibu, mana
Ibu? Aku harus mendapatkan suntikan semangat sebelum laga ini berakhir. Kembali
kudapati Ibu, masih dengan posisi yang sama. Begitu tenang, anggun dan santai.
Beliau tersenyum dan hanya menganggukkan kepala. Seeeerrr! Aku merinding, Ibu
yang begitu tenang telah mengajariku arti ketenangan hanya dengan anggukan
kepalanya. Maka mulai saat itu, aku masa bodoh. Aku tak peduli penonton akan
tertawa, meraung, menangis, aku tak peduli! Harus kutuntaskan hasratku agar tak
menjadi penyakit hati yang berkepanjangan. Kubacakan puisi tersebut dengan
lantang, “Senyum bekunya mau belkata, KITA SEDANG PELANG!!!” Dengan segenap
keberanian aku melawan tirani dalam diri. Aku tak boleh diperbudak, dan
menyerah hanya karena huruf “R”. Kumulai dengan senyum Ibu dan lafaz bismillah dalam hati. Puisi usai,
kuakhiri dengan hamdallah. Kulihat
penonton, nampak cukup puas dengan penampilanku. Dalam hati, mereka tak puaspun
aku tak peduli. Ini adalah peperangan antara aku dan rasa takutku. Lega rasanya
disaat aku tampil sebagai pemenang atas diri sendiri. Urusan menang lombanya,
sesuai saran Ibu itu hanyalah bonus.
Sepuluh
peserta telah tampil. Kawan KaWe ku
yang sedari tadi menangis telah reda tangisnya. Kuperhatikan, nampak gula- gula
salju digenggamannya. Benar- benar bukan laki- laki tulen, ucapku dalam hati.
Dewan juripun telah selesai berembug dan telah menentukan siapa yang menjadi
juaranya. MC mulai mengumumkan, akupun takzim mendengarnya.
“Berdasarkan keputusan
dewan Juri, menetapkan SDN 2 Sumbawa sebagai Juara Pertama” Penonton riuh luar
biasa. Kulihat pemenangnya, seorang perempuan. Langkahnya anggun, menarik
menurutku. Ini penilaian anak yang masih belia, masih lugu tanpa embel- embel
tertentu. Hehehe.
“Juara Kedua, diraih
oleh SDN Karang Dima” Penonton bertepuk tangan kembali. Pupus harapanku untuk
menjadi juara. Sekali lagi pikirku, ini hanyalah bonus.
“Juara Ketiga, SDN 11
Sumbawaaaaaaaaa” Aku terdiam, itu adalah sekolahku. Aku juara tiga. Penonton
riuh bukan main, lebih riuh dari sebelumnya. Aku adalah juara tiga, juara baca
puisi tingkat kabupaten. Juara baca puisi yang seorang laki- laki karena
biasanya selalu dimenangkan oleh perempuan. Juara baca puisi dengan perjuangan
keras makan cabe selama seminggu. Amboi, benar- benar moment yang tak terlupakan. Kurasakan Ibu memelukku, begitu hangat.
Akupun naik kembali keatas podium, guna menerima piala dan penghargaan lainnya.
Belum usai acara, tiba- tiba terdengar tangisan keras. Kawanku yang KaWe tadi, menangis sejadi- jadinya
lantaran ia tak menjadi pemenang. Kulihat Ibunya telah bersimbah peluh untuk
menenangkannya. Benar- benar bukan laki- laki sejati! Masih anak- anak saja
sudah menyusahkan seorang wanita. Bukan main..
Sesampainya aku
dirumah, kulaporkan pada Ayah, mentor kursus dalam mengatasi cadelku.
Kusampaikan kalau aku juara 3. Ayah hanya magut- magut, dan dengan santai
beliau berkata, “Ayah tahu kau akan juara tiga, tidak lebih!”
Akupun terheran- heran,
“Ayah tahu darimana?”
Ayah menjawab, “Dari
jumlah cabe yang kau makan tiap pagi. Itu kurang banyak! Seandainya kau makan
cabe lebih banyak, kau pasti juara satu!”
Aku hanya geleng- geleng kepala J
Gue baca sampai habis bang seru jugk pengalaman masa kecil Lo kwkwkw
BalasHapusterhibur dengan tulisan ini. keren..
BalasHapusAku juga cadel, dan nanti senin saya ikutan lomba puisi.. Berkat baca cerita ini, aku jadi lebih semngat lagi dan harus pd gak pedulu orang lain menertawakan aku yang terpenting aku bisa, aku berani.
BalasHapus