Fundamentalisme
dan Modernisme
Hadirnya fundamentalisme, tentu
tidak dapat dipisahkan dari modernisme. Fundamentalisme merupakan ajaran/ faham
yang menganjurkan untuk kembali kepada hal- hal yang mendasar akibat dari arus
modernisasi yang menjauhkan pandangan hidup seseorang dari hal- hal yang
diajarkan sebelumnya. Didalam Islam, fundamentalisme merupakan agenda kembali
kepada AlQur'an dan Hadist sebagai cara atau pandangan hidup. Sehingga,
fundamentalisme dapat dikategorikan sebagai fenomena modern, karena
fundamentalisme merupakan upaya untuk menghalau modernisme lantaran modernisme
menggerus ajaran- ajaran Islam yang sejatinya harus menjadi pandangan hidup
seseorang. Agenda fundamentalisme dalam Islam banyak diserukan oleh Muhammad
bin Abdul Wahab pada abad ke-18 dan Muhammad Abduh pada abad ke-20. Mereka
melihat bahwa efek modernisme justru menjauhkan seseorang dari Islam yang seharusnya
menjadi pandangan hidup. Tujuan daripada para pemikir Islam tersebut adalah
pemurnian Islam sebagai pandangan hidup yang kaffah, rahmatan lil alamin. Fundamentalisme merupakan bentuk
kebangkitan kembali (revival) dalam
penyeruan agar kembali kepada Islam yang murni, dimana Islam yang tanpa
takhayul, bid'ah, khurafat dan sebagainya.[1]
Adapun awalnya, istilah
fundamentalisme berasal dari umat Kristen Protestan di Amerika Serikat yang
mempunyai makna berusaha kembali ke azas ajaran Kristen yang pertama. Azas
mendasar tentang kitab suci yang diusung dalam fundamentalisme tersebut adalah:
(1) Kitab suci secara harfiah tidak mengandung kesalahan (the literal inerrancy of the scriptures) atau mengamankan kitab suci
terhadap kritik kitab suci; (2) Kitab suci tidak dapat dipertentangkan dengan
akal manusia; (3) Kitab suci (sacred text)
tidak dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan; (4) Mereka yang tidak sependapat
dengan konsep tersebut dianggap Kristen yang tidak benar.[2] Dari penjelasan tersebut, fundamentalisme
diyakini sebagai kembali terhadap ajaran sebelumnya, dimana ihwal ajaran
tersebut berasal dari kitab suci yang secara tekstual sama sekali tidak
memiliki kesalahan. Mempertentangkan suatu kitab suci yang dianggap dan diakui
kebenarannya merupakan suatu kesalahan dan tidak layak untuk dilakukan. Menurut
William Montogomery Watt, bahwa untuk memperjelas lagi kata fundamentalisme
itu, pada dasarnya istilah tersebut muncul pertama kalinya diperkenalkan oleh
orang-orang Kristen Protestan Anglo Saxon yang menerima ajaran-ajaran Bibel
tanpa harus diterjemahkan. Kalaupun harus diterjemahkan maka harus secara
tekstual saja.[3]
Didalam pandangan Islam,
fundamentalisme memiliki kekuatan dan posisi yang hampir sama dengan
fundamentalisme didalam agama lainnya. Menurut Azyumardi Azra, paling tidak
terdapat empat kriteria fundamentalisme Islam sebagaimana juga fundamentalisme
dalam agama lain, tetapi fundamentalisme agama ini memiliki beberapa
karakteristik yang membedakannya dengan sekte lain. Pertama, skripturalisme, yaitu keyakinan harfiah terhadap kitab
suci yang merupakan firman Tuhan dan dianggap tidak mengandung kesalahan. Kedua, penolakan terhadap hermeneutika.
Teks al-Qur’an dalam pandangan sekte ini harus dipahami secara literal
sebagaimana bunyinya. Nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang
tepat terhadap teks, bahkan terhadap teks-teks yang satu sama lain bertentangan
sekalipun. Ketiga, penolakan terhadap
pluralisme dan relativisme yang dianggap merongrong kesucian teks. Keempat, penolakan terhadap perkembangan
historis dan sosiologis yang dianggap membawa manusia
semakin jauh melenceng dari doktrin literal kitab suci.[4]
Agenda fundamentalisme
memiliki sejarah yang cukup panjang. Bila dihubungkan dengan fakta sejarah,
maka hal ini dapat pula ditemukan dalam perjalanan pertumbuhan dan pemikiran
Islam. Lahirnya berbagai aliran-aliran dalam Islam seperti khawarij, murrjiah,
mu’tazilah, asyariah, dan maturidiyah ada yang berpaham fundamental. Sekalipun
aliran-aliran tersebut lahir tidak sepenuhnya sebagai reaksi terhadap
moderenisme. Tetapi salah satu contoh yang paling jelas adalah gerakan Wahabi
yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab, yang menganjurkan untuk
kembali kepada pemahaman dan ajaran-ajaran Islam ynag murni dan fundamental dengan
menghapus bid’ah-bid’ah. Disamping itu ia tidak menyetujui adanya
praktik-praktik adat Arab Islam yang meliputi ritual-ritual magis, kepercayaan
pada orang-orang suci dan penyembahan kepada Wali. Gerakan Wahabi ini mengambil
posisi ekstrim dengan menolak secara total kepercayaan kepada pemujaan para
wali atau manusia apapun, sebagai suatu bentuk syirik (politeisme).[5]
Singgungan antara
fundamentalisme dan modernisme adalah adanya anggapan bagi sebagian orang yang
melihat fundamentalisme merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
modernisme. Antony Black menyebutkan bahwa hadirnya modernisme ditandai dengan
dominasi Barat dalam bidang pemikiran politik. Disatu sisi, pemikiran politik
Barat dijadikan sebagai model tentang bagaimana suatu masyarakat dapat dan
seharusnya berkembang, sementara disisi lain, ia dianggap sebagai sesuatu yang
asing dan layak dimusuhi.[6]
Argumentasi Black tersebut kemudian dapat diterangkan sebagai alasan terjadinya
fundamentalisme Islam. Nilai- nilai Barat yang berkembang dengan pesat,
menguasai berbagai macam sektor kehidupan dan menawarkan cara hidup yang
berbeda untuk dijadikan pandangan hidup. Hanya logika yang dijadikan dasar
pencarian kebenaran, hanya sesuatu yang logislah yang dianggap real dan dapat dibenarkan. Eksistensi
yang tidak real, tidak dapat
diverifikasi secara empiris, tidak dapat dianggap benar. Empirisme dan metode
ilmiah yang dikembangkan para ilmuwan dianggap telah mampu memberikan
penjelasan atas semua fenomena alam. Campur tangan Tuhan di alam semesta, dan
eksistensi dunia spiritual, dienyahkan dari realitas alam atau dibatasi dalam
wilayah kebenaran ilmiah. Peran Kitab Suci digantikan oleh formula-formula
matematik. Manusia menjadi makhluk rasional semata: jika fakta ilmiah tampak
bertentangan dengan nas wahyu, maka wahyu ditolak atau direinterpretasikan demi
kepentingan sains.[7]
Salah satu isu penting
yang menjadi tagline didalam
fundamentalisme adalah isu kebebasan, yang dipandang berbeda oleh beberapa
kalangan. Ahmad Lutfi Sayid misalnya, yang menganjurkan dibentuknya negara
sekuler, karena melihat Barat yang lebih maju dalam segala hal dengan
menggunakan model negara tersebut, dimana kebebasan menjadi pilar penting bagi
setiap warga negara. Hal ini dikarenakan Islam, lebih cenderung menjadikan
negara sebagai negara otoriter yang identik dengan tirani dimana kebebasan
justru dikekang. Tetapi, justru dengan adanya sekulerisme, kelompok- kelompok
fundamentaslisme juga menggunakan isu kebebasan sebagai syarat mutlak untuk kembali
kepada ajaran- ajaran Islam yang sebenarnya. Umat Muslim dinilai terbelenggu
dengan adanya sekulerisme yang menggerus perubahan akhlak dan akidah umat pada
masa tersebut. Sehingga, yang menjadi persoalan penting disini adalah bahwa
kemunduran umat Islam justru dikarenakan umat tidak menjalankan agama dengan
baik.[8]
Kondisi inilah yang kemudian dijadikan alasan, mengapa fundamentalisme harus
dilaksanakan. Umat harus kembali kepada ajaran yang mengkultuskan ketuhanan
karena didalam ajaran tersebut, tiada cacat dan kritik didalamnya. Dengan
demikian, fundamentalisme tidak hanya berisi seruan atau ajakan untuk kembali
kepada ajaran Islam sebelumnya, tetapi lebih kepada agenda untuk menghidupkan
Islam sebagai suatu sistem kehidupan umat.
Didalam menanggapi isu
fundamentalisme tersebut, para pemikir Islam memiliki pandangan yang cukup
berbeda- beda, yang disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat pada saat itu.
Black menyatakan bahwa sebagian intelektual Islam menjawab hegemoni Barat
dengan menampilkan sinkretisme, yang dijustifikasi dengan berapologi bahwa
beberapa ide Barat merupakan ekspresi Islam yang sebenarnya, dan sebagian yang
lain meresponnya dengan revivalisme, yaitu kembali ke sumber- sumber wahyu.
Gerakan modernisme dan fundamentalisme Islam didorong oleh superioritas Eropa
dalam bidang teknologi dan militer, serta penetrasi dan ekploitasi ekonomi yang
mereka lakukan.[9] Didalam
mendalami apa yang disampaikan oleh Black tersebut, kita bisa melihat tiga
pemikir Islam dalam konteks masyarakat pada saat itu. Pertama, Jamaluddin Al-Afgani yang melihat bahwa segala sesuatu
yang ada di Barat tidaklah selamanya buruk, karena sumbangsih Barat terhadap
ilmu pengetahuan patutlah untuk diapresiasi, terlepas dari padangan mereka
terhadap hubungan antara politik dan agama yang pada abad pencerahan justru
dipisahkan. Dengan terpuruknya kondisi masyarakat Islam saat itu, Al-Afgani
menawarkan Tazdit atau pembaharuan
dimana Islam dapat diperbaiki dari unsur- unsur luar. Artinya, Al Afgani masih
melihat bahwa tidak sepenuhnya Barat buruk dimata Islam, dan agenda modernitas
dapat diterapkan didalam Islam. Kedua,
Muhammad Abduh yang justru menemukan Islam di Barat. Abduh menekankan bahwa
perubahan- perubahan didalam Islam karena adanya aspek perubahan sosial
masyarakat, yaitu khususnya dalam urusan muamallah.
Tetapi Abduh tetap berpendapat bahwa harus ada agenda- agenda untuk menjadikan
Islam agar tetap murni dan tidak terdistorsi oleh unsur apapun. Ketiga, Rasyid Ridha yang melihat bahwa
khilafah merupakan solusi terbaik. Pada saat keruntuhan Turki Utsmani, Ridha
kemudian menulis tentang khilafah yang menjadi solusi Islam agar mampu kembali
untuk bangkit. Ia menawarkan reformasi Islam, dimana umat harus memperbaiki
Islam secara internal (Islah) dan
mengembalikan segala urusan kepada ajaran Islam terdahulu. Apa yang dilakukan
oleh Ridha tersebut merupakan ajaran fundamentalisme dimana setelah Islam
runtuh akibat Barat melalui modernisasinya yang menguat, mengajak umat untuk
kembali kepada ajaran Islam sebelumnya.
Kembali kepada
pertanyaan diatas, apakah fundamentalisme merupakan bagian dari modernitas?
Tentu saja. Karena fundamentalisme adalah ajakan terhadap modernisme yang salah
arah dan tidak mampu menyelesaikan permasalahan umat. Fundamentalisme sangat
alergi dan tidak mau menerima modernitas yang lahir dari rahim dunia
globalisasi sekarang ini, karena modernisme tidak mampu menyelesaikan masalah
kritis multidimensi yang melanda manusia di planet bumi ini.[10]
Sistem Barat yang modern dinilai tidak mampu menguraikan dan menjawab
permasalahan, dibalik itu justru Islam diyakini bukan hanya sekedar nama,
melainkan juga sebagai sistem hukum yang lengkap, ideologi universal, dan
sistem paling sempurna, yang mampu mengatasi semua masalah kehidupan manusia.
Kaum fundamentalis umumnya sangat meyakini bahwa Islam adalah totalitas sistem
dari tiga pilar kehidupan manusia, agama, dunia dan negara (daulah).[11]
Di era saat ini,
fundamentalisme kerap diidentikkan dengan radikalisme, dan citra
fundamentalisme cenderung negatif. Padahal, fundamentalisme tidak ada kaitannya
dengan radikalisme. Tetapi, menggunakan Islam sebagai ideologi secara radikal,
dapat disebut sebagai radikalisme. Karena pada dasarnya, fundamentalisme bersifat
otoriter, prejudice dan irrasional. Fundamentalisme dianggap otoriter karena
mengganggap ajaran agama lain tidak benar. Karena ajaran agama lain tidak
benar, maka digunakanlah cara- cara kekerasan atau memaksa. Fundamentalisme
disebut prejudice karena melihat orang lain berbeda, maka dengan mudah kaum-
kaum fundamentalisme memandang mereka sebagai orang yang salah dan kafir.
Fundamentalisme dianggap irrasional, karena ajaran tersebut tidak bisa dinalar
dan mereka melakukan tindakan diluar batas kewajaran. Ketiga sifat
fundamentalisme tersebut merupakan bukti yang jauh berbeda dengan prinsip-
prinsip modernisme, sehingga agenda fundamentalisme merupakan penolakan
terhadap modernisme yang dinilai tidak mampu meyelesaikan persoalan umat Islam.
Daftar Bacaan:
Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi hingga Masa Kini. Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Azyumardi Azra, “Fenomena Fundamentalisme dalam Islam,”
dalam Ulumul Qur’an No. 3, Vol.
IV, tahun 1993.
Azyumardi Azra. Islam Reformis, Dinamika
Intelektual dan Gerakan. Jakarta: Raja Grafindo, 1999
Karen Amstrong. Islam: A Short History. Terj. Ira Puspito Rini, Sepintas Sejarah Islam: Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002
Marhaeni Saleh. Tinjauan Kritis Terhadap Fundamentalisme. UIN Makassar. Jurnal
Politik Profetik Vo. 1 No. 1
Tahun 2013
Nur Rosidah, Fundamentalisme Agama, Jurnal Walisongo Volume 20, Nomor 1, Mei
2012
Zaim Saidi, Modernisme dan Kebangkitan Islam,
Website Wakala Induk Nusantara, 2013
Kuliah Politik Islam bersama Bapak Dr. Yon
Machmudi, MA. Fisip UI, 6 Oktober 2012
[1] Azyumardi Azra. Islam Reformis, Dinamika
Intelektual dan Gerakan. Jakarta: Raja Grafindo, 1999. Hlm. 48
[2] Djaka Soetapa, “Asal-usul Gerakan
Fundamentalis,” dalam Ulumul Qur’an, Vol. IV, No. 3,
1993.
(Lihat: Nur Rosidah, Fundamentalisme
Agama, Jurnal Walisongo Volume 20, Nomor 1, Mei 2012. Hlm. 10
[3] William Montogomery Watt, Islamic Fundamentalisme and Modernitas,
diterjemahkan oleh Kurnia Sastrapraja dan Badiri Khaeruman, dengan judul Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam.
Bandung: Pustaka Setia, 2003. Hlm. 10. (Lihat: Marhaeni Saleh. Tinjauan Kritis Terhadap Fundamentalisme.
UIN Makassar. Jurnal Politik Profetik Vo. 1 No. 1 Tahun 2013)
[4]Azyumardi Azra, “Fenomena
Fundamentalisme dalam Islam,” dalam Ulumul Qur’an No. 3, Vol. IV, tahun
1993. Hlm. 18-19.
[5] Marhaeni Saleh. Op.Cit. Hlm. 10
[6] Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi
hingga Masa Kini. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006. Hlm. 503
[7] Zaim Saidi, Modernisme dan Kebangkitan Islam, Website Wakala Induk Nusantara,
2013. Hlm. 2
[8] Kuliah Politik Islam bersama Bapak
Dr. Yon Machmudi, MA. Fisip UI, 6 Oktober 2016
[9] Antoni Black. Op.Cit. Hlm. 503-504
[10] Karen Amstrong. Islam: A Short History. Terj. Ira
Puspito Rini, Sepintas Sejarah Islam:
Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002. Hlm. 193.
[11] M. Syafi’i Anwar. Kritik Cak Nur Atas Nalar Fundamentalisme
Islam. Lihat: Marhaeni Saleh. Op.Cit.
Hlm. 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar