Kamis, 27 Juli 2017

Kajian Terhadap Fundamentalisme dan Modernisme

Fundamentalisme dan Modernisme

            Hadirnya fundamentalisme, tentu tidak dapat dipisahkan dari modernisme. Fundamentalisme merupakan ajaran/ faham yang menganjurkan untuk kembali kepada hal- hal yang mendasar akibat dari arus modernisasi yang menjauhkan pandangan hidup seseorang dari hal- hal yang diajarkan sebelumnya. Didalam Islam, fundamentalisme merupakan agenda kembali kepada AlQur'an dan Hadist sebagai cara atau pandangan hidup. Sehingga, fundamentalisme dapat dikategorikan sebagai fenomena modern, karena fundamentalisme merupakan upaya untuk menghalau modernisme lantaran modernisme menggerus ajaran- ajaran Islam yang sejatinya harus menjadi pandangan hidup seseorang. Agenda fundamentalisme dalam Islam banyak diserukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab pada abad ke-18 dan Muhammad Abduh pada abad ke-20. Mereka melihat bahwa efek modernisme justru menjauhkan seseorang dari Islam yang seharusnya menjadi pandangan hidup. Tujuan daripada para pemikir Islam tersebut adalah pemurnian Islam sebagai pandangan hidup yang kaffah, rahmatan lil alamin. Fundamentalisme merupakan bentuk kebangkitan kembali (revival) dalam penyeruan agar kembali kepada Islam yang murni, dimana Islam yang tanpa takhayul, bid'ah, khurafat dan sebagainya.[1]
            Adapun awalnya, istilah fundamentalisme berasal dari umat Kristen Protestan di Amerika Serikat yang mempunyai makna berusaha kembali ke azas ajaran Kristen yang pertama. Azas mendasar tentang kitab suci yang diusung dalam fundamentalisme tersebut adalah: (1) Kitab suci secara harfiah tidak mengandung kesalahan (the literal inerrancy of the scriptures) atau mengamankan kitab suci terhadap kritik kitab suci; (2) Kitab suci tidak dapat dipertentangkan dengan akal manusia; (3) Kitab suci (sacred text) tidak dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan; (4) Mereka yang tidak sependapat dengan konsep tersebut dianggap Kristen yang tidak benar.[2]  Dari penjelasan tersebut, fundamentalisme diyakini sebagai kembali terhadap ajaran sebelumnya, dimana ihwal ajaran tersebut berasal dari kitab suci yang secara tekstual sama sekali tidak memiliki kesalahan. Mempertentangkan suatu kitab suci yang dianggap dan diakui kebenarannya merupakan suatu kesalahan dan tidak layak untuk dilakukan. Menurut William Montogomery Watt, bahwa untuk memperjelas lagi kata fundamentalisme itu, pada dasarnya istilah tersebut muncul pertama kalinya diperkenalkan oleh orang-orang Kristen Protestan Anglo Saxon yang menerima ajaran-ajaran Bibel tanpa harus diterjemahkan. Kalaupun harus diterjemahkan maka harus secara tekstual saja.[3]
            Didalam pandangan Islam, fundamentalisme memiliki kekuatan dan posisi yang hampir sama dengan fundamentalisme didalam agama lainnya. Menurut Azyumardi Azra, paling tidak terdapat empat kriteria fundamentalisme Islam sebagaimana juga fundamentalisme dalam agama lain, tetapi fundamentalisme agama ini memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan sekte lain. Pertama, skripturalisme, yaitu keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan dan dianggap tidak mengandung kesalahan. Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Teks al-Qur’an dalam pandangan sekte ini harus dipahami secara literal sebagaimana bunyinya. Nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks, bahkan terhadap teks-teks yang satu sama lain bertentangan sekalipun. Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme yang dianggap merongrong kesucian teks. Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis yang dianggap membawa manusia semakin jauh melenceng dari doktrin literal kitab suci.[4]
            Agenda fundamentalisme memiliki sejarah yang cukup panjang. Bila dihubungkan dengan fakta sejarah, maka hal ini dapat pula ditemukan dalam perjalanan pertumbuhan dan pemikiran Islam. Lahirnya berbagai aliran-aliran dalam Islam seperti khawarij, murrjiah, mu’tazilah, asyariah, dan maturidiyah ada yang berpaham fundamental. Sekalipun aliran-aliran tersebut lahir tidak sepenuhnya sebagai reaksi terhadap moderenisme. Tetapi salah satu contoh yang paling jelas adalah gerakan Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab, yang menganjurkan untuk kembali kepada pemahaman dan ajaran-ajaran Islam ynag murni dan fundamental dengan menghapus bid’ah-bid’ah. Disamping itu ia tidak menyetujui adanya praktik-praktik adat Arab Islam yang meliputi ritual-ritual magis, kepercayaan pada orang-orang suci dan penyembahan kepada Wali. Gerakan Wahabi ini mengambil posisi ekstrim dengan menolak secara total kepercayaan kepada pemujaan para wali atau manusia apapun, sebagai suatu bentuk syirik (politeisme).[5]
            Singgungan antara fundamentalisme dan modernisme adalah adanya anggapan bagi sebagian orang yang melihat fundamentalisme merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari modernisme. Antony Black menyebutkan bahwa hadirnya modernisme ditandai dengan dominasi Barat dalam bidang pemikiran politik. Disatu sisi, pemikiran politik Barat dijadikan sebagai model tentang bagaimana suatu masyarakat dapat dan seharusnya berkembang, sementara disisi lain, ia dianggap sebagai sesuatu yang asing dan layak dimusuhi.[6] Argumentasi Black tersebut kemudian dapat diterangkan sebagai alasan terjadinya fundamentalisme Islam. Nilai- nilai Barat yang berkembang dengan pesat, menguasai berbagai macam sektor kehidupan dan menawarkan cara hidup yang berbeda untuk dijadikan pandangan hidup. Hanya logika yang dijadikan dasar pencarian kebenaran, hanya sesuatu yang logislah yang dianggap real dan dapat dibenarkan. Eksistensi yang tidak real, tidak dapat diverifikasi secara empiris, tidak dapat dianggap benar. Empirisme dan metode ilmiah yang dikembangkan para ilmuwan dianggap telah mampu memberikan penjelasan atas semua fenomena alam. Campur tangan Tuhan di alam semesta, dan eksistensi dunia spiritual, dienyahkan dari realitas alam atau dibatasi dalam wilayah kebenaran ilmiah. Peran Kitab Suci digantikan oleh formula-formula matematik. Manusia menjadi makhluk rasional semata: jika fakta ilmiah tampak bertentangan dengan nas wahyu, maka wahyu ditolak atau direinterpretasikan demi kepentingan sains.[7]
            Salah satu isu penting yang menjadi tagline didalam fundamentalisme adalah isu kebebasan, yang dipandang berbeda oleh beberapa kalangan. Ahmad Lutfi Sayid misalnya, yang menganjurkan dibentuknya negara sekuler, karena melihat Barat yang lebih maju dalam segala hal dengan menggunakan model negara tersebut, dimana kebebasan menjadi pilar penting bagi setiap warga negara. Hal ini dikarenakan Islam, lebih cenderung menjadikan negara sebagai negara otoriter yang identik dengan tirani dimana kebebasan justru dikekang. Tetapi, justru dengan adanya sekulerisme, kelompok- kelompok fundamentaslisme juga menggunakan isu kebebasan sebagai syarat mutlak untuk kembali kepada ajaran- ajaran Islam yang sebenarnya. Umat Muslim dinilai terbelenggu dengan adanya sekulerisme yang menggerus perubahan akhlak dan akidah umat pada masa tersebut. Sehingga, yang menjadi persoalan penting disini adalah bahwa kemunduran umat Islam justru dikarenakan umat tidak menjalankan agama dengan baik.[8] Kondisi inilah yang kemudian dijadikan alasan, mengapa fundamentalisme harus dilaksanakan. Umat harus kembali kepada ajaran yang mengkultuskan ketuhanan karena didalam ajaran tersebut, tiada cacat dan kritik didalamnya. Dengan demikian, fundamentalisme tidak hanya berisi seruan atau ajakan untuk kembali kepada ajaran Islam sebelumnya, tetapi lebih kepada agenda untuk menghidupkan Islam sebagai suatu sistem kehidupan umat.
            Didalam menanggapi isu fundamentalisme tersebut, para pemikir Islam memiliki pandangan yang cukup berbeda- beda, yang disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat pada saat itu. Black menyatakan bahwa sebagian intelektual Islam menjawab hegemoni Barat dengan menampilkan sinkretisme, yang dijustifikasi dengan berapologi bahwa beberapa ide Barat merupakan ekspresi Islam yang sebenarnya, dan sebagian yang lain meresponnya dengan revivalisme, yaitu kembali ke sumber- sumber wahyu. Gerakan modernisme dan fundamentalisme Islam didorong oleh superioritas Eropa dalam bidang teknologi dan militer, serta penetrasi dan ekploitasi ekonomi yang mereka lakukan.[9] Didalam mendalami apa yang disampaikan oleh Black tersebut, kita bisa melihat tiga pemikir Islam dalam konteks masyarakat pada saat itu. Pertama, Jamaluddin Al-Afgani yang melihat bahwa segala sesuatu yang ada di Barat tidaklah selamanya buruk, karena sumbangsih Barat terhadap ilmu pengetahuan patutlah untuk diapresiasi, terlepas dari padangan mereka terhadap hubungan antara politik dan agama yang pada abad pencerahan justru dipisahkan. Dengan terpuruknya kondisi masyarakat Islam saat itu, Al-Afgani menawarkan Tazdit atau pembaharuan dimana Islam dapat diperbaiki dari unsur- unsur luar. Artinya, Al Afgani masih melihat bahwa tidak sepenuhnya Barat buruk dimata Islam, dan agenda modernitas dapat diterapkan didalam Islam. Kedua, Muhammad Abduh yang justru menemukan Islam di Barat. Abduh menekankan bahwa perubahan- perubahan didalam Islam karena adanya aspek perubahan sosial masyarakat, yaitu khususnya dalam urusan muamallah. Tetapi Abduh tetap berpendapat bahwa harus ada agenda- agenda untuk menjadikan Islam agar tetap murni dan tidak terdistorsi oleh unsur apapun. Ketiga, Rasyid Ridha yang melihat bahwa khilafah merupakan solusi terbaik. Pada saat keruntuhan Turki Utsmani, Ridha kemudian menulis tentang khilafah yang menjadi solusi Islam agar mampu kembali untuk bangkit. Ia menawarkan reformasi Islam, dimana umat harus memperbaiki Islam secara internal (Islah) dan mengembalikan segala urusan kepada ajaran Islam terdahulu. Apa yang dilakukan oleh Ridha tersebut merupakan ajaran fundamentalisme dimana setelah Islam runtuh akibat Barat melalui modernisasinya yang menguat, mengajak umat untuk kembali kepada ajaran Islam sebelumnya.
            Kembali kepada pertanyaan diatas, apakah fundamentalisme merupakan bagian dari modernitas? Tentu saja. Karena fundamentalisme adalah ajakan terhadap modernisme yang salah arah dan tidak mampu menyelesaikan permasalahan umat. Fundamentalisme sangat alergi dan tidak mau menerima modernitas yang lahir dari rahim dunia globalisasi sekarang ini, karena modernisme tidak mampu menyelesaikan masalah kritis multidimensi yang melanda manusia di planet bumi ini.[10] Sistem Barat yang modern dinilai tidak mampu menguraikan dan menjawab permasalahan, dibalik itu justru Islam diyakini bukan hanya sekedar nama, melainkan juga sebagai sistem hukum yang lengkap, ideologi universal, dan sistem paling sempurna, yang mampu mengatasi semua masalah kehidupan manusia. Kaum fundamentalis umumnya sangat meyakini bahwa Islam adalah totalitas sistem dari tiga pilar kehidupan manusia, agama, dunia dan negara (daulah).[11]
            Di era saat ini, fundamentalisme kerap diidentikkan dengan radikalisme, dan citra fundamentalisme cenderung negatif. Padahal, fundamentalisme tidak ada kaitannya dengan radikalisme. Tetapi, menggunakan Islam sebagai ideologi secara radikal, dapat disebut sebagai radikalisme. Karena pada dasarnya, fundamentalisme bersifat otoriter, prejudice dan irrasional. Fundamentalisme dianggap otoriter karena mengganggap ajaran agama lain tidak benar. Karena ajaran agama lain tidak benar, maka digunakanlah cara- cara kekerasan atau memaksa. Fundamentalisme disebut prejudice karena melihat orang lain berbeda, maka dengan mudah kaum- kaum fundamentalisme memandang mereka sebagai orang yang salah dan kafir. Fundamentalisme dianggap irrasional, karena ajaran tersebut tidak bisa dinalar dan mereka melakukan tindakan diluar batas kewajaran. Ketiga sifat fundamentalisme tersebut merupakan bukti yang jauh berbeda dengan prinsip- prinsip modernisme, sehingga agenda fundamentalisme merupakan penolakan terhadap modernisme yang dinilai tidak mampu meyelesaikan persoalan umat Islam.




Daftar Bacaan:
Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi hingga Masa Kini. Jakarta: Serambi           Ilmu Semesta, 2006.
Azyumardi Azra, “Fenomena Fundamentalisme dalam Islam,” dalam Ulumul Qur’an No. 3,          Vol. IV, tahun 1993.
Azyumardi Azra. Islam Reformis, Dinamika Intelektual dan Gerakan. Jakarta: Raja Grafindo,        1999
Karen Amstrong. Islam: A Short History. Terj. Ira Puspito Rini, Sepintas Sejarah Islam:    Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002
Marhaeni Saleh. Tinjauan Kritis Terhadap Fundamentalisme. UIN Makassar. Jurnal Politik          Profetik Vo. 1 No. 1 Tahun 2013
Nur Rosidah, Fundamentalisme Agama, Jurnal Walisongo Volume 20, Nomor 1, Mei 2012
Zaim Saidi, Modernisme dan Kebangkitan Islam, Website Wakala Induk Nusantara, 2013
Kuliah Politik Islam bersama Bapak Dr. Yon Machmudi, MA. Fisip UI, 6 Oktober 2012



[1] Azyumardi Azra. Islam Reformis, Dinamika Intelektual dan Gerakan. Jakarta: Raja Grafindo, 1999. Hlm. 48
[2] Djaka Soetapa, “Asal-usul Gerakan Fundamentalis,” dalam Ulumul Qur’an, Vol. IV, No. 3,
1993. (Lihat: Nur Rosidah, Fundamentalisme Agama, Jurnal Walisongo Volume 20, Nomor 1, Mei 2012. Hlm. 10
[3] William Montogomery Watt, Islamic Fundamentalisme and Modernitas, diterjemahkan oleh Kurnia Sastrapraja dan Badiri Khaeruman, dengan judul Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2003. Hlm. 10. (Lihat: Marhaeni Saleh. Tinjauan Kritis Terhadap Fundamentalisme. UIN Makassar. Jurnal Politik Profetik Vo. 1 No. 1 Tahun 2013)
[4]Azyumardi Azra, “Fenomena Fundamentalisme dalam Islam,” dalam Ulumul Qur’an No. 3, Vol. IV, tahun 1993. Hlm. 18-19.
[5] Marhaeni Saleh. Op.Cit. Hlm. 10
[6] Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi hingga Masa Kini. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006. Hlm. 503
[7] Zaim Saidi, Modernisme dan Kebangkitan Islam, Website Wakala Induk Nusantara, 2013. Hlm. 2
[8] Kuliah Politik Islam bersama Bapak Dr. Yon Machmudi, MA. Fisip UI, 6 Oktober 2016
[9] Antoni Black. Op.Cit. Hlm. 503-504
[10] Karen Amstrong. Islam: A Short History. Terj. Ira Puspito Rini, Sepintas Sejarah Islam: Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002. Hlm. 193.
[11] M. Syafi’i Anwar. Kritik Cak Nur Atas Nalar Fundamentalisme Islam. Lihat: Marhaeni Saleh. Op.Cit. Hlm. 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar