Oleh
: Joni Firmansyah
Dinamika
dalam pergerakan, sangat identik dengan kontribusi mahasiswa. Sebagai kaum-
kaum cendekiawan, mahasiswa adalah dinamo atas berjalannya mesin kehidupan. Tak
bisa disangkal, bahwasanya mahasiswa adalah rotor penggerak baling- baling
kapal negeri ini, yang sejatinya selalu dicerca dan dipertanyakan oleh
masyarakat letak kecerdasannya saat mereka menuntut perubahan. Pada dasarnya,
tak ada yang salah dengan mahasiswa. Kehidupan mahasiswa tak jauh berbeda
dengan masyarakat pada umumnya. Mereka makan, berkembang, bersosialisasi,
hingga ada yang berkembang biak, dan itu sudah bukan barang baru bagi lingkungan
Indonesia saat ini. Hanya saja, akhir- akhir ini kita sering mendengar dan
melihat pemberitaan di media, bahwasanya mahasiswa telah berubah dari ahli
retoris menjadi teroris, ahli orasi menjadi minus substansi, hingga role player mereka yang harusnya
menyerang, kini balik diserang. Apa yang salah dengan mereka?
Jawabannya
sederhana, tak perlu repot- repot memeras otak untuk menemukan solusi dan
pemecahannya. Tengok saja di media, baik cetak maupun elektronik, telah banyak
kasus dan peristiwa yang menggambarkan pola dan tingkah laku mahasiswa. Ada
yang bakar diri didepan istana negara, agar aspirasinya didengar, ada pula yang
orasi dijalanan. Lantas, apakah tindakan itu salah? Tidak. Hanya saja
masyarakat kita yang tak cukup cerdas dalam memahaminya. Kita, sebagai
mahasiswa, memiliki fungsi istimewa melebihi lembaga legislatif dan eksekutif
di negeri ini, tak ada satu kekuatan pun yang sanggup meredam pergerakan
mahasiswa, apalagi memberangusnya. Disaat hegemoni kekuatan itu telah diresapi
dan dipahami, justru banyak mahasiswa yang me-revival-kan dirinya. Mereka
mengklasifikasikan dan mendikotomikan dirinya menjadi bagian- bagian kecil
golongan, lantaran tak satu visi dan tak satu solusi. Mereka menggunakan alasan
klasik, yaitu perbedaan ideologi, sebagai faktor pembeda diantara keduanya.
Akibatnya, banyak mahasiswa yang hanya mampu ber-masturbasi secara gerakannya.
Artinya, satu golongan yang bergerak, yang lainnya mengklaim bahwa itu adalah
usaha bersama. Terlebih lagi, yang lebih menyedihkan, gerakan mahasiswa saat
ini menjadi autis, gagap politik, dan antipati terhadap lingkungan dan keadaan rekan
sejawatnya sendiri.
Negeri
ini mengajarkan kita, bahwa mahasiswa memiliki andil sejarah yang sangat
romantis. Dahulu profesi mahasiswa adalah sebuah kebanggaan yang sangat elegan
untuk disandang. Seluruh revolusi dan rekonstruksi Indonesia, selalu diwarnai
dengan aksi mahasiswa. Lalu mengapa saat demonstrasi mahasiswa justru dianggap
ekstrimis? Bahkan dianggap sebagai kaum anarkis? Sesungguhnya, kata anarkis
bukan hal yang salah. Anarkisme adalah paham yang lahir akibat penindasan
berlebihan dari penguasa yang mengakibatkan timbulnya perlawanan, yaitu
menuntut kebebasan. Jikalau saat ini ada mahasiswa yang dengan terang-terangan
mengklaim dirinya sebagai kaum anarkisme, wajar- wajar saja. Namun, jikalau
dalam aksi mereka, ada peryataan yang menentang pemerintah, itu tidak termasuk
anarkisme, tapi justru kepada bentuk vandalism, yang sejatinya merupakan
gerakan- gerakan proletarian yang soft
dan tidak ekstrem. Inilah yang menjadi pembeda antara gerakan mahasiswa tempo
dulu, yang memiliki satu visi dan satu komando, dengan gerakan mahasiswa saat
ini yang terjebak pada ketololan yang berlarut- larut.
Mahasiswa Generasi Retorika
Berbeda
zaman, berbeda pula eksistensi pelaku sejarahnya. Jikalau pada era 1965 dan
1998, para aktivis mahasiswa tampil karena panggilan nurani, lain halnya dengan
dinamisasi idealism mahasiswa yang mengaku aktivis saat ini. Aktivis saat ini
ialah mereka yang hobinya narsis, senang berretoris dan merasa sok laris.
Mahasiswa seperti ini menjadikan organisasi sebagai tujuan utama, meyakini
bahwa apa yang mereka lakukan demi kepentingan rakyat, sehingga mereka terbawa
suasana “perjuangan” kampus guna kepentingan rakyat, hingga menunda kelulusan
mereka agar lebih memudahkan alur mereka dalam mengurus rakyat, padahal dengan
menunda kelulusannya, artinya ia lebih banyak menghabiskan uang orang tuanya,
yang notabenenya adalah rakyat juga.[1]Ada
juga generasi aktivis “media”, mereka ialah mahasiswa teks book, mahasiswa teoritis yang lebih suka berkutat dengan
teori- teori gampangan dan murahan tanpa adanya kongklusi realistis. Mahasiswa
ini jarang berkoar dijalanan, jarang pula ikut aksi tapi lebih senang diskusi
dan update status di FB dan Twitter. Mahasiswa ini lebih senang berkoar didunia
maya, lebih menyukai diskusi satu arah, namun ketika dipertanyakan integritas
serta pemahaman asumsi faktualnya, mereka hanya bungkam serta diam, tanpa ada
pembelaan berarti. Selanjutnya ialah mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah
pulang), yang tak peduli mau ada aksi, tak peduli dekan dan pejabat kampus
korupsi, yang terpenting absen mereka penuh terisi, maka aman dan usailah
sudah. Kemudian adalah tipe penjilat, yaitu segelintir mahasiswa yang no background, no perception dan beraksi
melawan kaum ideologis. Pergerakan mereka sama layaknya kaum-kaum Sophies pada masa Socrates, yang merasa
dirinya sebagai golongan paling cerdas, anti perubahan atau biasa yang disebut
sebagai pragmatis-apatisasi gerakan. Mahasiswa dalam porsi ini, hanya bisa
mempertanyakan, tanpa ada solusi ataupun jalan keluar perubahan. Hanya bisa
mengkritik, tanpa ada paradigma teori yang jelas. Alur yang dibangun nampaknya
membentuk gerakan revival, yaitu
gerakan penyucian diri, dengan etnosentris dan primordialis yang menjadi dasar
gerakan. Mereka selalu bersifat antipati dan berkeinginan memotong alur
gerakan, bersifat oppurtunistik, pengecut dan bertopeng. Mengklaim dirinya
sebagai aktor, nyatanya sebagai “tikus-tikus kantor” yang hanya bisa
menggerogoti dan memutarbalikkan fakta serta asumsi yang ada.
Itulah
sekilas mengenai kondisi gerakan mahasiswa saat ini. Segala sesuatu berawal
dari idelisme, namun idealism bukanlah segala-galanya. Disaat naluri dan
insting berkata benar, maka seyogyanya kitapun harus mengakui, bahwa kebenaran
tetaplah kebenaran, dan idealism hanyalah sikap untuk mengkooptasi kesemuan
dari setiap kebenaran yang ada. Andai saja mahasiswa sekarang dapat memaknai
apa yang disampaikan Gie, “Kita memang berbeda dalam segala, kecuali dalam
cinta”, saya meyakini bahwasanya generasi kita adalah generasi terbaik sepanjang
sejarah, bukan generasi retorika yang minus substansi dan solusi, apalagi
generasi yang justru dibodohi oleh idealismenya sendiri.
Salam
cinta atas nama perjuangan, salam perjuangan atas nama cinta. Hidup Mahasiswa!
*Disusun
sebagai persyaratan untuk mengikuti “Diponegoro School of Nation” 2012
[1]
Joni Firmansyah dalam “Membangun Sinergisitas Mahasiswa, Kini dan Nanti”
www.jonifirmansyahfull.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar