Minggu, 28 Oktober 2012

Mahasiswa Dalam Kedunguan Idealisme*


Oleh : Joni Firmansyah
Dinamika dalam pergerakan, sangat identik dengan kontribusi mahasiswa. Sebagai kaum- kaum cendekiawan, mahasiswa adalah dinamo atas berjalannya mesin kehidupan. Tak bisa disangkal, bahwasanya mahasiswa adalah rotor penggerak baling- baling kapal negeri ini, yang sejatinya selalu dicerca dan dipertanyakan oleh masyarakat letak kecerdasannya saat mereka menuntut perubahan. Pada dasarnya, tak ada yang salah dengan mahasiswa. Kehidupan mahasiswa tak jauh berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Mereka makan, berkembang, bersosialisasi, hingga ada yang berkembang biak, dan itu sudah bukan barang baru bagi lingkungan Indonesia saat ini. Hanya saja, akhir- akhir ini kita sering mendengar dan melihat pemberitaan di media, bahwasanya mahasiswa telah berubah dari ahli retoris menjadi teroris, ahli orasi menjadi minus substansi, hingga role player mereka yang harusnya menyerang, kini balik diserang. Apa yang salah dengan mereka?
Jawabannya sederhana, tak perlu repot- repot memeras otak untuk menemukan solusi dan pemecahannya. Tengok saja di media, baik cetak maupun elektronik, telah banyak kasus dan peristiwa yang menggambarkan pola dan tingkah laku mahasiswa. Ada yang bakar diri didepan istana negara, agar aspirasinya didengar, ada pula yang orasi dijalanan. Lantas, apakah tindakan itu salah? Tidak. Hanya saja masyarakat kita yang tak cukup cerdas dalam memahaminya. Kita, sebagai mahasiswa, memiliki fungsi istimewa melebihi lembaga legislatif dan eksekutif di negeri ini, tak ada satu kekuatan pun yang sanggup meredam pergerakan mahasiswa, apalagi memberangusnya. Disaat hegemoni kekuatan itu telah diresapi dan dipahami, justru banyak mahasiswa yang me-revival-kan dirinya. Mereka mengklasifikasikan dan mendikotomikan dirinya menjadi bagian- bagian kecil golongan, lantaran tak satu visi dan tak satu solusi. Mereka menggunakan alasan klasik, yaitu perbedaan ideologi, sebagai faktor pembeda diantara keduanya. Akibatnya, banyak mahasiswa yang hanya mampu ber-masturbasi secara gerakannya. Artinya, satu golongan yang bergerak, yang lainnya mengklaim bahwa itu adalah usaha bersama. Terlebih lagi, yang lebih menyedihkan, gerakan mahasiswa saat ini menjadi autis, gagap politik, dan antipati terhadap lingkungan dan keadaan rekan sejawatnya sendiri.
Negeri ini mengajarkan kita, bahwa mahasiswa memiliki andil sejarah yang sangat romantis. Dahulu profesi mahasiswa adalah sebuah kebanggaan yang sangat elegan untuk disandang. Seluruh revolusi dan rekonstruksi Indonesia, selalu diwarnai dengan aksi mahasiswa. Lalu mengapa saat demonstrasi mahasiswa justru dianggap ekstrimis? Bahkan dianggap sebagai kaum anarkis? Sesungguhnya, kata anarkis bukan hal yang salah. Anarkisme adalah paham yang lahir akibat penindasan berlebihan dari penguasa yang mengakibatkan timbulnya perlawanan, yaitu menuntut kebebasan. Jikalau saat ini ada mahasiswa yang dengan terang-terangan mengklaim dirinya sebagai kaum anarkisme, wajar- wajar saja. Namun, jikalau dalam aksi mereka, ada peryataan yang menentang pemerintah, itu tidak termasuk anarkisme, tapi justru kepada bentuk vandalism, yang sejatinya merupakan gerakan- gerakan proletarian yang soft dan tidak ekstrem. Inilah yang menjadi pembeda antara gerakan mahasiswa tempo dulu, yang memiliki satu visi dan satu komando, dengan gerakan mahasiswa saat ini yang terjebak pada ketololan yang berlarut- larut.
Mahasiswa Generasi Retorika
Berbeda zaman, berbeda pula eksistensi pelaku sejarahnya. Jikalau pada era 1965 dan 1998, para aktivis mahasiswa tampil karena panggilan nurani, lain halnya dengan dinamisasi idealism mahasiswa yang mengaku aktivis saat ini. Aktivis saat ini ialah mereka yang hobinya narsis, senang berretoris dan merasa sok laris. Mahasiswa seperti ini menjadikan organisasi sebagai tujuan utama, meyakini bahwa apa yang mereka lakukan demi kepentingan rakyat, sehingga mereka terbawa suasana “perjuangan” kampus guna kepentingan rakyat, hingga menunda kelulusan mereka agar lebih memudahkan alur mereka dalam mengurus rakyat, padahal dengan menunda kelulusannya, artinya ia lebih banyak menghabiskan uang orang tuanya, yang notabenenya adalah rakyat juga.[1]Ada juga generasi aktivis “media”, mereka ialah mahasiswa teks book, mahasiswa teoritis yang lebih suka berkutat dengan teori- teori gampangan dan murahan tanpa adanya kongklusi realistis. Mahasiswa ini jarang berkoar dijalanan, jarang pula ikut aksi tapi lebih senang diskusi dan update status di FB dan Twitter. Mahasiswa ini lebih senang berkoar didunia maya, lebih menyukai diskusi satu arah, namun ketika dipertanyakan integritas serta pemahaman asumsi faktualnya, mereka hanya bungkam serta diam, tanpa ada pembelaan berarti. Selanjutnya ialah mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang), yang tak peduli mau ada aksi, tak peduli dekan dan pejabat kampus korupsi, yang terpenting absen mereka penuh terisi, maka aman dan usailah sudah. Kemudian adalah tipe penjilat, yaitu segelintir mahasiswa yang no background, no perception dan beraksi melawan kaum ideologis. Pergerakan mereka sama layaknya kaum-kaum Sophies pada masa Socrates, yang merasa dirinya sebagai golongan paling cerdas, anti perubahan atau biasa yang disebut sebagai pragmatis-apatisasi gerakan. Mahasiswa dalam porsi ini, hanya bisa mempertanyakan, tanpa ada solusi ataupun jalan keluar perubahan. Hanya bisa mengkritik, tanpa ada paradigma teori yang jelas. Alur yang dibangun nampaknya membentuk gerakan revival, yaitu gerakan penyucian diri, dengan etnosentris dan primordialis yang menjadi dasar gerakan. Mereka selalu bersifat antipati dan berkeinginan memotong alur gerakan, bersifat oppurtunistik, pengecut dan bertopeng. Mengklaim dirinya sebagai aktor, nyatanya sebagai “tikus-tikus kantor” yang hanya bisa menggerogoti dan memutarbalikkan fakta serta asumsi yang ada.
Itulah sekilas mengenai kondisi gerakan mahasiswa saat ini. Segala sesuatu berawal dari idelisme, namun idealism bukanlah segala-galanya. Disaat naluri dan insting berkata benar, maka seyogyanya kitapun harus mengakui, bahwa kebenaran tetaplah kebenaran, dan idealism hanyalah sikap untuk mengkooptasi kesemuan dari setiap kebenaran yang ada. Andai saja mahasiswa sekarang dapat memaknai apa yang disampaikan Gie, “Kita memang berbeda dalam segala, kecuali dalam cinta”, saya meyakini bahwasanya generasi kita adalah generasi terbaik sepanjang sejarah, bukan generasi retorika yang minus substansi dan solusi, apalagi generasi yang justru dibodohi oleh idealismenya sendiri.
Salam cinta atas nama perjuangan, salam perjuangan atas nama cinta. Hidup Mahasiswa!
*Disusun sebagai persyaratan untuk mengikuti “Diponegoro School of Nation” 2012


[1] Joni Firmansyah dalam “Membangun Sinergisitas Mahasiswa, Kini dan Nanti” www.jonifirmansyahfull.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar