Minggu, 28 Oktober 2012

Sumpah Pemuda : Generasi Disiplin, Generasi Pemimpin, Generasi BISA (Berani, Inisiatif, Solutif Aspiratif)



Percepatan pemikiran adalah suatu bentuk perlawanan terhadap tirani waktu. Tergerusnya pemikiran, adalah sebuah kekalahan mutlak atas kelemahan melawan tirani yang menyelimuti dinamisnya esensi untuk berpikir. Waktu, adalah pembunuh nomor satu yang mendaulat dirinya memiliki kedigdayaan yang tak bisa ditentang. Ia ibarat halimun yang tak dapat disentuh, apalagi untuk dibantai atas kesombongannya. Waktu pulalah yang dengan tegas menantang pemikiran. Apakah dengan pemikiran sebagai anugerah istimewa yang di anugerahkan Tuhan kepada manusia sebagai pembeda dari makhluk yang lainnya, dapat berjibaku bersaing dengan derasnya waktu. Ia sama sekali tak peduli dengan etnik liberalism sebagai karya agung kebebasan, ataupun esensi socialism sebagai pionir kesetaraan. Baginya, itu adalah kesemuan gerilyawan yang sejatinya tunduk pada hasrat, bukan padanya. Waktu jualah yang melahirkan generasi otoritarianisme bagi zamannya. Generasi itu pula yang mewarnai segala bentuk percepatan- percepatan pemikiran untuk menciptakan sejarah bagi generasi mereka selanjutnya. Hal ini semata- mata dilakukan oleh mereka untuk membuktikan, bahwasanya tak ada yang dapat menentang dinamisnya pemikiran, tak ada yang dapat melawan derasnya pergerakan, dan tak ada yang mampu menawan eksentriknya ide dalam binkai perjuangan.

Perbedaan ide dan pandangan, bukan sebuah hal baru bagi mereka yang paham pentingnya membangun gerakan. Mereka yang mengaku beridealis, selalu dipenuhi dengan perasaan kalut, apakah tinta emas yang sudah mereka lukiskan dalam sejarah negeri ini, dapat diteruskan, atau paling tidak dapat dihargai oleh generasi selanjutnya. Hal ini telah dibuktikan oleh generasi- generasi republik ini. Mereka dengan gagah mengikrarkan sebuah janji suci nan monumental pada tanggal 28 Oktober 1928, sebagai bentuk representasi nasionalisme atas kemajemukan bangsa Indonesia. Dokumen tertulis yang mereka buat merupakan hasil pemikiran dan rasa sense of belonging yang kuat atas cinta mereka kepada Indonesia. Kesatuan visi inilah yang sejatinya mengikat silaturrahim yang hakiki diantara mereka, walaupun sejatinya mereka terlahir tak sama, tak serupa, tidak satu tanah, bahasa, apalagi budaya. Kemajemukan inilah yang mewarnai generasi 1928 sebagai generasi pencetus semangat kepemudaan. Padahal, saat itu mereka tak mengenal pancasila sebagai landasan negara, tak mengenal UUD sebagai tujuan negara, dan tak pernah membayangkan jikalau negeri dimana mereka berpijak saat itu akan menjadi permata bagi dunia, atau janji suci yang mereka ikrarkan akan menjadi peletup semangat gerilya para pemuda. Tidak sama sekali. Itulah semangat patriotis sejati, yang mereka tuangkan dalam ceremonial “Putusan Kongres Pemuda”, namun oleh leader saat itu seringkali menyebutnya sebagai Sumpah Pemuda, dan istilah itulah yang membekas dalam ingatan kita saat ini, mengingat penambahan kata itu sebagai sebuah bentuk kesakralan sumpah, yang merekatkan persatuan atas bangsa yang baru berdiri.

Jikalau hari ini, kita acapkali melihat dan merasakan, bahwasanya semangat pemuda telah lesu dan pupus, sejatinya hal itu adalah bentuk kekalahan mereka terhadap tiraninya waktu. Mereka (pemuda) hanya bisa tunduk tanpa berani mendongak lantaran dibuai nikmatnya zaman yang menggelora, melirik siapa saja yang terlena, dan akhirnya ikut terjerumus dalam nista nestapa. Waktulah yang mengatur mereka untuk diam, berkhayal dalam angan, bermimpi tanpa alasan yang pasti. Mungkinkah kita yang berada saat ini lupa, bahwasanya kita mengenal kata MERDEKA, karena sebelumnya kita telah merasakan yang namanya SENGSARA. Lantas, apa yang harus dilakukan? Mari kita renungkan sejenak akan makna dan arti lahirnya Sumpah Pemuda. Keberagaman visi dan ketidaksamaan obsesi menjadi unik dan cantiknya lahirnya cerita ditahun 1928. Mereka tak mengenal satu sama lain, namun mereka sangat mengenal tanah dimana mereka berpijak, mereka tak peduli budaya satu dengan yang lain, karena justru dengan adanya ketidaktahuan itu, hati mereka tergelitik untuk selalu menjaga solidaritas dan menghormati kemajemukan dan mutikulturalism Indonesia. Mereka tak kenal tanah yang menjadi tumpah darah mereka, selain INDONESIA, tak mengenal bangsa yang lain, selain INDONESIA, dan selalu menjunjung bahasa persatuan, yaitu bahasa INDONESIA. Sumpah dan ikrar ini, telah diakuin jauh sebelum proklamasi dicetuskan!

Oleh karena itu, sebagai generasi modern yang penuh peluang untuk berdinamika, do what can you do, for your Country. Marilah kita tampil sebagai generasi yang BISA (Berani, Inisiatif, Solutif dan Aspiratif) dalam mewarnai eloknya sejarah saat ini. Berani melawan tirani penguasa, Inisiatif dalam bertindak, berkarya, untuk berderap dan melaju, Solutif terhadap permasalahan bangsa serta Aspiratif menanggapi keluhan kaum proletar sebagai akuisisi kemanusiaan. Ayo kita selaraskan langkah gerak kita untuk menjadi pribadi tendensius akan indahnya pergerakan. Kita maktubkan arah gerak kita sesuai 3 landasan dari janji suci nan monumental generasi 1928 tersebut. Tak perlu lagi kita menekuni landasan ke-empat, yang seringkali menjadi pilar penghadang untuk merdeka, yaitu mengakui dan cinta mati terhadap golongan. Bangunlah ikatan bersama Indonesia yang terikat dalam ikatan darah, karena sesungguhnya itu adalah bentuk perlawanan yang paling hakiki, yaitu melawan tiraninya waktu!

Demi Masa. Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang- orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran” (QS. Al-‘Ashr 1-3)

Salam cinta atas nama perjuangan, salam perjuangan atas nama Cinta!
Hidup Mahasiswa! Hidup Pemuda Indonesia!

JONI FIRMANSYAH
Kadiv Kastrat KAMMI Komisariat Fisip Undip
Kadiv PAGER Kemensospol BEM KM Undip
Kadiv LITBANG HMJ Ilmu Pemerintahan UNDIP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar