Belum
hilang dari ingatan kita sisa- sisa momentum “Sumpah Pemuda” yang tahun ini
genap berusia 84 tahun. Momentum bersejarah tersebut merupakan cikal bakal
lahirnya gerilya pemuda dalam menciptakan sebuah pembaharuan bagi negeri. Daya
kreasi serta daya juang yang dimiliki pemuda, seyogyanya harus terus
ter-upgrade dengan matang dan signifikan sesuai dengan kebutuhan negara saat
ini. Namun sayang, ditengah riuh gembiranya kita mengenang Sumpah Pemuda, masih
ada sekelumit pemuda yang mendikotomikan dirinya kedalam kelompok- kelompok
tertentu yang sejatinya sangat mereka agungkan. Dengan sadar, mereka
mengelompokkan diri mereka, kepentingan serta visi yang mereka cita- citakan.
Kedalam sebuah wadah yang seringkali disebut dengan golongan ideologis. Sebagai
kaum cendekiawan, berideologi adalah sebuah keharusan. Menentukan sikap dalam
menghadapi permasalahan adalah sebuah kewajiban, dan menentukan pilihan,
merupakan sebuah hak mutlak yang dimiliki manusia. Namun, apakah kita pantas,
mempertanyakan ideologi yang ada sehingga menimbulkan perpecahan serta
perbedaan pandangan diantara kita?
Sebagai
generasi saat ini, kita harus berkaca terhadap generasi 1928 yang berhasil
mempersatukan segalam macam perbedaan diantara mereka untuk satu tujuan. Dengan
gilang- gemilang, mereka mampu menomorduakan segala bentuk ideologi, visi
golongan, anti hipokritisme dan perbedaan- perbedaan lainnya. Tujuannya hanya
satu, yaitu menjadikan Indonesia sebagai negara yang solid dan berkarakter.
Solidaritas yang mereka bangun, mencerminkan bahwasanya mereka memiliki jiwa
besar untuk berani menerima segala bentuk perbedaan. Mereka mau dan mengerti
akan indahnya kebersamaan, serta mereka mau berkorban demi tegaknya Indonesia
yang cemerlang. Mari kita renungkan sejenak akan makna dan arti lahirnya Sumpah
Pemuda. Keberagaman visi dan ketidaksamaan obsesi menjadi unik dan cantiknya
lahirnya cerita ditahun 1928. Mereka tak mengenal satu sama lain, namun mereka
sangat mengenal tanah dimana mereka berpijak, mereka tak peduli budaya satu
dengan yang lain, karena justru dengan adanya ketidaktahuan itu, hati mereka
tergelitik untuk selalu menjaga solidaritas dan menghormati kemajemukan dan
mutikulturalism Indonesia. Mereka tak kenal tanah yang menjadi tumpah darah
mereka, selain INDONESIA, tak mengenal bangsa yang lain, selain INDONESIA, dan
selalu menjunjung bahasa persatuan, yaitu bahasa INDONESIA. Sumpah dan ikrar
ini, telah diakui jauh sebelum proklamasi dicetuskan!
Selanjutnya,
mari kita sedikit melihat dan berkaca dengan generasi kita saat ini. Dalam
kurun waktu 14 tahun setelah reformasi,
Indonesia belum mampu mencetak generasi baru yang brilian bagi bangsanya
lantaran pemudanya tak satu mimpi dan tak satu visi. Kita bisa meninjau, atas
apa yang terjadi di sekeliling kita, contohnya saja lingkungan kampus
Universitas Diponegoro. Sebagai golongan yang mengaku dirinya aktivis,
seringkali adanya pertentangan atas dasar ideologi dan gerakan mereka yang
berbeda. Ada aktivis yang mengakui dirinya sebagai kaum Nasionalis, ada pula
yang Pancasilais, bahkan ada juga yang menganut mazhab Islamisme dan
Sosilalisme serta Liberalisme. Sesungguhnya paham dan ideologi tak ada yang
salah. Mereka (ideologi) lahir karena keterbutuhan penganutnya dan menjadi
paham yang agung bagi mereka. Liberalisme lahir atas dasar kenaifan despotiknya
gereja yang berlebihan sehingga mencetuskan semangat perjuangan bagi masyarakat
eropa saat itu, tujuannya satu, yaitu freedom.
Begitu pula dengan sosialisme, yang lahir atas dasar keinginan untuk setara dan
diperlakukan adil bagi kaum- kaum proletar yang membanting tulang demi hidup
mereka, tapi justru dikhianati oleh kaum- kaum borjuis. Adapun mereka yang
menganut pancasilais adalah golongan yang cinta mati terhadap Indonesia. Lain
halnya dengan Islamisme, aliran semitisme adalah cikal bakal berdirimya
ideologi keagamaan. Paham ini pernah Berjaya selama 17 abad dibawah sistem
khilafah dengan khalifah- khalifah yang luar biasa. Ini menandakan, bahwa paham
maupun ideologi yang ada saat ini, adalah sebuah representasi kejadian yang
agung dan luar biasa sehingga mereka dapat bertahan serta berdiri hingga saat
ini. Lantas, sebagai mahasiswa, sebagai pemuda yang menjadi kaum- kaum elite
dalam masyarakat, mengapa harus membuang energi untuk mendikotomikan diri
dengan yang lainnya. Mengapa menjadikan sebuah solidaritas sebagai kata yang
aneh untuk dilakoni ataupun diterapkan? Inilah bentuk ironi sesungguhnya bagi
Indonesia. Disaat mahasiswa saat ini menghujat generasi tua yang sebaiknya
masuk keranjang sampah, justru mereka pun berpijak diatas kebohongan dan
kenaifan diri sendiri!
Jikalau
ada pepatah bijak yang menyatakan “Lebih
baik menyalakan sebatang lilin, daripada mengutuk seribu kegelapan”. Adalah
pernyataan melankolis yang sejatinya dapat dikatakan benar. Dalam momentum
sumpah pemuda ini, dalam euphoria dinamika kehidupan Indonesia saat ini,
marilah kita sebagai pemuda untuk memperkukuh silaturrahmi dan solidaritas
diantara kita untuk menciptakan generasi terbaik dalam catatan sejarah
Indonesia. Kita layaknya Achilles dengan pasukan Myrmidon yang memiliki potensi
yang luar biasa, disegani sepanjang sejarah yunani, ditakuti oleh ksatria troya
hingga raja- raja Sparta, walaupun ajal telah menjemput mereka sekalipun. Maka
dari itu, generasi pemuda era ini, harus tampil melebihi generasi di era
manapun. Semakin kuatnya kita, maka semakin deras aral yang melintang.
Sehingga, hanya sebuah kesatuan yang kokoh yan dapat menyelamatkan serta
mengayomi kita untuk mampu berbuat lebih bagi Indonesia, yaitu Solidaritas!
Salam
Cinta atas nama perjuangan, salam perjuangan atas nama Cinta. Hidup Mahasiswa!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar