Minggu, 11 November 2012

Solidaritas Pemuda : Perbedaan Ideologi Mahasiswa sebagai Tonggak Solidaritas Pemuda



Belum hilang dari ingatan kita sisa- sisa momentum “Sumpah Pemuda” yang tahun ini genap berusia 84 tahun. Momentum bersejarah tersebut merupakan cikal bakal lahirnya gerilya pemuda dalam menciptakan sebuah pembaharuan bagi negeri. Daya kreasi serta daya juang yang dimiliki pemuda, seyogyanya harus terus ter-upgrade dengan matang dan signifikan sesuai dengan kebutuhan negara saat ini. Namun sayang, ditengah riuh gembiranya kita mengenang Sumpah Pemuda, masih ada sekelumit pemuda yang mendikotomikan dirinya kedalam kelompok- kelompok tertentu yang sejatinya sangat mereka agungkan. Dengan sadar, mereka mengelompokkan diri mereka, kepentingan serta visi yang mereka cita- citakan. Kedalam sebuah wadah yang seringkali disebut dengan golongan ideologis. Sebagai kaum cendekiawan, berideologi adalah sebuah keharusan. Menentukan sikap dalam menghadapi permasalahan adalah sebuah kewajiban, dan menentukan pilihan, merupakan sebuah hak mutlak yang dimiliki manusia. Namun, apakah kita pantas, mempertanyakan ideologi yang ada sehingga menimbulkan perpecahan serta perbedaan pandangan diantara kita?

Sebagai generasi saat ini, kita harus berkaca terhadap generasi 1928 yang berhasil mempersatukan segalam macam perbedaan diantara mereka untuk satu tujuan. Dengan gilang- gemilang, mereka mampu menomorduakan segala bentuk ideologi, visi golongan, anti hipokritisme dan perbedaan- perbedaan lainnya. Tujuannya hanya satu, yaitu menjadikan Indonesia sebagai negara yang solid dan berkarakter. Solidaritas yang mereka bangun, mencerminkan bahwasanya mereka memiliki jiwa besar untuk berani menerima segala bentuk perbedaan. Mereka mau dan mengerti akan indahnya kebersamaan, serta mereka mau berkorban demi tegaknya Indonesia yang cemerlang. Mari kita renungkan sejenak akan makna dan arti lahirnya Sumpah Pemuda. Keberagaman visi dan ketidaksamaan obsesi menjadi unik dan cantiknya lahirnya cerita ditahun 1928. Mereka tak mengenal satu sama lain, namun mereka sangat mengenal tanah dimana mereka berpijak, mereka tak peduli budaya satu dengan yang lain, karena justru dengan adanya ketidaktahuan itu, hati mereka tergelitik untuk selalu menjaga solidaritas dan menghormati kemajemukan dan mutikulturalism Indonesia. Mereka tak kenal tanah yang menjadi tumpah darah mereka, selain INDONESIA, tak mengenal bangsa yang lain, selain INDONESIA, dan selalu menjunjung bahasa persatuan, yaitu bahasa INDONESIA. Sumpah dan ikrar ini, telah diakui jauh sebelum proklamasi dicetuskan!

Selanjutnya, mari kita sedikit melihat dan berkaca dengan generasi kita saat ini. Dalam kurun waktu  14 tahun setelah reformasi, Indonesia belum mampu mencetak generasi baru yang brilian bagi bangsanya lantaran pemudanya tak satu mimpi dan tak satu visi. Kita bisa meninjau, atas apa yang terjadi di sekeliling kita, contohnya saja lingkungan kampus Universitas Diponegoro. Sebagai golongan yang mengaku dirinya aktivis, seringkali adanya pertentangan atas dasar ideologi dan gerakan mereka yang berbeda. Ada aktivis yang mengakui dirinya sebagai kaum Nasionalis, ada pula yang Pancasilais, bahkan ada juga yang menganut mazhab Islamisme dan Sosilalisme serta Liberalisme. Sesungguhnya paham dan ideologi tak ada yang salah. Mereka (ideologi) lahir karena keterbutuhan penganutnya dan menjadi paham yang agung bagi mereka. Liberalisme lahir atas dasar kenaifan despotiknya gereja yang berlebihan sehingga mencetuskan semangat perjuangan bagi masyarakat eropa saat itu, tujuannya satu, yaitu freedom. Begitu pula dengan sosialisme, yang lahir atas dasar keinginan untuk setara dan diperlakukan adil bagi kaum- kaum proletar yang membanting tulang demi hidup mereka, tapi justru dikhianati oleh kaum- kaum borjuis. Adapun mereka yang menganut pancasilais adalah golongan yang cinta mati terhadap Indonesia. Lain halnya dengan Islamisme, aliran semitisme adalah cikal bakal berdirimya ideologi keagamaan. Paham ini pernah Berjaya selama 17 abad dibawah sistem khilafah dengan khalifah- khalifah yang luar biasa. Ini menandakan, bahwa paham maupun ideologi yang ada saat ini, adalah sebuah representasi kejadian yang agung dan luar biasa sehingga mereka dapat bertahan serta berdiri hingga saat ini. Lantas, sebagai mahasiswa, sebagai pemuda yang menjadi kaum- kaum elite dalam masyarakat, mengapa harus membuang energi untuk mendikotomikan diri dengan yang lainnya. Mengapa menjadikan sebuah solidaritas sebagai kata yang aneh untuk dilakoni ataupun diterapkan? Inilah bentuk ironi sesungguhnya bagi Indonesia. Disaat mahasiswa saat ini menghujat generasi tua yang sebaiknya masuk keranjang sampah, justru mereka pun berpijak diatas kebohongan dan kenaifan diri sendiri!

Jikalau ada pepatah bijak yang menyatakan “Lebih baik menyalakan sebatang lilin, daripada mengutuk seribu kegelapan”. Adalah pernyataan melankolis yang sejatinya dapat dikatakan benar. Dalam momentum sumpah pemuda ini, dalam euphoria dinamika kehidupan Indonesia saat ini, marilah kita sebagai pemuda untuk memperkukuh silaturrahmi dan solidaritas diantara kita untuk menciptakan generasi terbaik dalam catatan sejarah Indonesia. Kita layaknya Achilles dengan pasukan Myrmidon yang memiliki potensi yang luar biasa, disegani sepanjang sejarah yunani, ditakuti oleh ksatria troya hingga raja- raja Sparta, walaupun ajal telah menjemput mereka sekalipun. Maka dari itu, generasi pemuda era ini, harus tampil melebihi generasi di era manapun. Semakin kuatnya kita, maka semakin deras aral yang melintang. Sehingga, hanya sebuah kesatuan yang kokoh yan dapat menyelamatkan serta mengayomi kita untuk mampu berbuat lebih bagi Indonesia, yaitu Solidaritas!
Salam Cinta atas nama perjuangan, salam perjuangan atas nama Cinta. Hidup Mahasiswa!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar