Senin, 09 Januari 2012

Aktualisasi Elemen Gerakan dalam Bingkai Pergerakan


Ditengah dinamika politik yang selalu berderap dan melaju, eksistensi pergerakan elemen mahasiswa saat ini berada pada titik degradasi yang kontradiksi dengan tujuan luhur pergerakan. Dalam kurun dekade terakhir ini, selalu muncul stigma yang menjadi paradigma yang mengglobal dalam benak masyarakat Indonesia. Segala bentuk aksi, diplomasi serta demo-demo dijalan, dipandang sebagai suatu bentuk anarkisme mahasiswa yang tak paham etika, tak paham norma serta tak mampu merasakan indahnya estetika. Masyarakat selalu memberikan judgement negatif atas segala kondisi mahasiswa yang selalu dianggap sebagai agen perubahan, nnamun tak memiliki semangat “moral’ untuk berubah. Masyarakat tak peduli akan background pergerakannya, baik itu yang nasionalis seperti GMNI, atau HMI maupun KAMMI. Mereka tak peduli, asalkan ada aksi, artinya anarkisme tengah terjadi.
Ini memang ironi, namun kita tak sepenuhnya menyalahkan masyarakat saat ini. Sebagai agen perubahan yang mengerti kondisi masyarakat, serta paham alur gerakan, harusnya kita lebih mawas diri dan sedikit melihat, apakah gerakan kita telah memenuhi apa yang dipikirkan oleh masyarakat?. Misalnya saja dinamika yang terjadi dalam pergerakan dakwah. Saya adalah kader dakwah. Saya berjuang dalam aktualisasi pergerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Namun, apa yang saya rasakan sekarang, nyatanya jauh bertolak belakang dari apa yang sudah saya bayangkan terdahulu. Dalam aktualisasi aksi, terlihat bahwa para kader saat ini lebih melihat untuk bergerak hanya dalam ranah politik praktis dikampus, hanya memikirkan gerakan (KAMMI) saat terjadi pemira dikampus, membangun konsolidasi sana-sini, manipulasi itu-ini dan lainnya. Mereka tidak kalah dengan para pejabat anggota DPR yang urusannya manipulasi sana dan sini, rebutan kursi serta mensetting dinamisasi partai. Jadi, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa saat ini adalah pejabat-pejabat politik yang punya kartu mahasiswa.
Pada dasarnya, ini dinamika, kawan. Namun apa yang telah terjadi saat ini sama sekali tak menunjukkan bagaimana kader dakwah itu seutuhnya. Terlalu ambisius namun pada akhirnya melempem seperti KPK. Dalam suatu diskusi politik dengan teman- teman dari elemen gerakan lain, ada sebuah paradigma menarik yang menyatakan, setiap orang yang menginginkan jabatan, hanya ada dua hal yang dipikirkannya, apakah ia bekerja karena ambisi, ataukah karena sense of duty (keinginan untuk bekerja). Dalam konteks ini, nampaknya kita mampu dan bisa membedakan apakah kader kita benar- benar bekerja atas keinginan sendiri ataukah memang hanya karena ambisi, hanya karena reputasi, hanya karena ingin dianggap sebagai politisi yang mumpuni, praktisi ulung, namun pada akhirnya hanya bisa melempem, lesu di tengah- tengah dan hilang dari edaran pergerakan. Kita tentunya tak ingin hal itu terjadi.
Oleh karena itu, dalam sebuah tulisan sederhana ini, penulis sedikit beretorika mengutip kata-kata hebat dari bapak Inu kencana syafiie dalam bukunya “Filsafat AlFatihah”, bahwa apapun yang dilakukan anak manusia dimuka bumi ini, haruslah sesuai dengan akal logika, moral etika dan seni estetika, agar legitimasi pergerakan kita tetap diridhoi Allah SWT, diterima dalam dinamika masyarakat serta berdampak pada kemajuan umat serta mampu merubah wajah dunia dalam eksistensi Agama Allah yang hakiki. Wassalam

Joni Firmansyah
Kader KAMMI KOMISARIAT FISIP UNDIP
Mahasiswa Semester 3 Jur. Ilmu Pemerintahan.
087863585656

Tidak ada komentar:

Posting Komentar