Ditengah
dinamika politik yang selalu berderap dan melaju, eksistensi pergerakan elemen
mahasiswa saat ini berada pada titik degradasi yang kontradiksi dengan tujuan
luhur pergerakan. Dalam kurun dekade terakhir ini, selalu muncul stigma yang
menjadi paradigma yang mengglobal dalam benak masyarakat Indonesia. Segala
bentuk aksi, diplomasi serta demo-demo dijalan, dipandang sebagai suatu bentuk
anarkisme mahasiswa yang tak paham etika, tak paham norma serta tak mampu
merasakan indahnya estetika. Masyarakat selalu memberikan judgement negatif
atas segala kondisi mahasiswa yang selalu dianggap sebagai agen perubahan,
nnamun tak memiliki semangat “moral’ untuk berubah. Masyarakat tak peduli akan background pergerakannya, baik itu yang
nasionalis seperti GMNI, atau HMI maupun KAMMI. Mereka tak peduli, asalkan ada
aksi, artinya anarkisme tengah terjadi.
Ini
memang ironi, namun kita tak sepenuhnya menyalahkan masyarakat saat ini.
Sebagai agen perubahan yang mengerti kondisi masyarakat, serta paham alur
gerakan, harusnya kita lebih mawas diri dan sedikit melihat, apakah gerakan
kita telah memenuhi apa yang dipikirkan oleh masyarakat?. Misalnya saja
dinamika yang terjadi dalam pergerakan dakwah. Saya adalah kader dakwah. Saya
berjuang dalam aktualisasi pergerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI). Namun, apa yang saya rasakan sekarang, nyatanya jauh bertolak belakang
dari apa yang sudah saya bayangkan terdahulu. Dalam aktualisasi aksi, terlihat
bahwa para kader saat ini lebih melihat untuk bergerak hanya dalam ranah
politik praktis dikampus, hanya memikirkan gerakan (KAMMI) saat terjadi pemira
dikampus, membangun konsolidasi sana-sini, manipulasi itu-ini dan lainnya.
Mereka tidak kalah dengan para pejabat anggota DPR yang urusannya manipulasi
sana dan sini, rebutan kursi serta mensetting dinamisasi partai. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa mahasiswa saat ini adalah pejabat-pejabat politik yang punya
kartu mahasiswa.
Pada
dasarnya, ini dinamika, kawan. Namun apa yang telah terjadi saat ini sama
sekali tak menunjukkan bagaimana kader dakwah itu seutuhnya. Terlalu ambisius
namun pada akhirnya melempem seperti
KPK. Dalam suatu diskusi politik dengan teman- teman dari elemen gerakan lain, ada sebuah paradigma menarik yang menyatakan, setiap orang yang menginginkan jabatan,
hanya ada dua hal yang dipikirkannya, apakah ia bekerja karena ambisi, ataukah
karena sense of duty (keinginan untuk bekerja). Dalam konteks ini,
nampaknya kita mampu dan bisa membedakan apakah kader kita benar- benar bekerja
atas keinginan sendiri ataukah memang hanya karena ambisi, hanya karena
reputasi, hanya karena ingin dianggap sebagai politisi yang mumpuni, praktisi
ulung, namun pada akhirnya hanya bisa melempem, lesu di tengah- tengah dan
hilang dari edaran pergerakan. Kita tentunya tak ingin hal itu terjadi.
Oleh
karena itu, dalam sebuah tulisan sederhana ini, penulis sedikit beretorika
mengutip kata-kata hebat dari bapak Inu kencana syafiie dalam bukunya “Filsafat
AlFatihah”, bahwa apapun yang dilakukan anak manusia dimuka bumi ini, haruslah
sesuai dengan akal logika, moral etika dan seni estetika, agar legitimasi
pergerakan kita tetap diridhoi Allah SWT, diterima dalam dinamika masyarakat
serta berdampak pada kemajuan umat serta mampu merubah wajah dunia dalam
eksistensi Agama Allah yang hakiki. Wassalam
Joni
Firmansyah
Kader
KAMMI KOMISARIAT FISIP UNDIP
Mahasiswa
Semester 3 Jur. Ilmu Pemerintahan.
087863585656
Tidak ada komentar:
Posting Komentar