BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dalam
dunia Islam, kita mengenal ada sebuah ranah berekspresi bagi umat manusia dalam
berinteraksi dengan makhluk Tuhan yang lainnya. Ranah ini acapkali disebut
dengan nama politik, atau dalam bahasa arab sering disebut dengan nama siyasah. Pandangan atas politik tersebut
bersifat multi tafsir, tergantung dari siapa yang menilainya dan objek apa yang
tengah digelutinya. Bangsa barat seringkali menyebut politik sebagai suatu seni
atau cara dalam mencapai kekuasaan. Bahkan ada pula yang menyebut politik
sebagai suatu Konsep yang mengacu
kepada sekelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan
merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan
partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kemanfaatan bagi
anggotanya, baik yang bersifat idiil
maupun material.[1]Namun bagi dunia Islam,
politik bias digunakan sebagai suatu cara untuk mengatur ummah atau umat. Namun dari pemikir Islam itu sendiri, politik
memiliki banyak pengertian yang seluruhnya mengenai bagaimana cara mengatur
umat. Seperti yang disampaikan oleh Ar- Raghib Al-Ashfihani, penulis kitab Mufradat
Al- Qur’an” menyatakan bahwa politik ada dua macam. Pertama, politik manusia untuk manusia itu sendiri, baik menyangkut
kebutuhan raganya atau kebutuhan lainnya. Kedua,
politik manusia terhadap pihak lain, baik kepada kerabatnya ataupun kepada
masyarakat secara umum.[2]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik merupakan kemampuan dalam
mengorganisir ataupun mengatur pola interaksi social dalam masyarakat, termasuk
mengatur hajat hidup masyarakat secara keseluruhan. Itulah mengapa salah satu
cara yang paling ampuh dalam mengelola masyarakat ialah melalui politik dan
manakala manusia yang dipercaya dalam mengatur kebijakan bermasyarakat dipilih
melalui mekanisme politik, baik secara voting
maupun secara musyawarah untuk mufakat. Itulah mengapa banyak sekali pemikir-
pemikir ilmu politik yang kerap bersiteru dalam meluncurkan teori- teori
politik, termasuk politik dalam perspektif Islam yang akan kita bahas pada
makalah ini. Salah satu pemikir yang menurut penulis cukup menarik untuk
dibahas ialah pandangan Hasan Al- Banna dalam teoritisasi political Islamic.
Hasan Al- Banna juga sering disebut- sebut sebagai
pemicu lahirnya gerakan kontroversial di tanah para nabi –Mesir- saat ini.
Gerakan yang biasanya disebut sebagai gerakan Ikhwan, atau yang dikenal dengan
nama Ikhwanul Muslimin adalah gerakan politis yang lahir atas keprihatinan
Hasan Al- Banna atas kondisi Mesir yang berada pada degradasi politik dibawah
kepemimpinan Mubarok selama 30 tahun. Sesungguhnya gerakan ini lahir jauh
sebelum itu, namun mulai mencuat ke permukaan pada saat degradasi politik
tersebut. Gerakan ini juga turut serta mengilhami lahirnya partai IM di Mesir,
AKP di Turki dan PKS di Indonesia. Ikatan yang dibangun di 3 negara tersebut
bukan berasal dari garis komando gerakan Ikhwanul Muslimin, namun karena ada
kesamaan secara emosional dalam memandang Islam sebagai ranah jihad dan dakwah.
Menurut
Hasan Al-Banna, ada semacam kesamaan- kesamaan yang muncul antara golongan
Ikhwanul Muslimin terhadap permasalahan politik. Para aktivis Ikhwanul Muslimin
memiliki rasa persaudaraan dan semangat juang yang sama, khususnya dalam
dinamika politik yang berawal dari masalah politik Mesir. Sesungguhnya, tak ada
alasan yang mengharuskan bahwasanya Ikhwanul Muslimin mengurus hal seperti itu,
namun mereka melihat bahwa kasus ini adalah salah satu bentuk perjuangan dakwah
yang diwariskan Rasulullah kepada mereka.[3]Maka
dari itu, bahasan atas Hasan Al- Banna akan penulis bahas tuntas dalam tulisan
ini serta meneliti apakah ada kesamaan pola pemikiran antara Hasan Al- Banna
dengan pioneer gerakan yang lain,
seperti Soekarno dengan Pancasilanya, Adolf Hitler dengan Chauvinisme Germany atau
Karl Marx dengan agenda sosialismenya.
1.2.
Rumusan Masalah
Melihat
ulasan yang telah penulis paparkan diatas, adapun rumusan masalah dalam makalah
ini ialah:
a. Mengenal
Hasan Al- Banna.
b. Pemikiran
Politik Islam menurut Hasan Al- Banna.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Mengenal Hasan Al- Banna
Hasan
al-Banna lahir di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir pada hari Ahad,
tanggal 14 Oktober 1906 yang bertepatan dengan 25 Sya’bān 1324. Nama lengkap
beliau, Hasan ibn Ahmad ibn ‘Abdurrahman al-Banna. Ia berasal dari keluarga
pedesaan kelas menengah. Al-Banna merupakan pribadi berkharisma yang dikenal
cerdas, shaleh, mulia, dan berpengaruh dalam bentangan sejarah, baik di dataran
Arab khususnya, dunia Islam umumnya, termasuk dunia Barat.[4]
Ayahnya
bernama Ahmad, putra bungsu kakeknya yang bernama Abdur Rahman, seorang petani.
Ahmad dibesarkan dalam suasana yang jauh dari pertanian. Untuk memenuhi
keinginan ibunya, ia masuk ke Pesantren Tahfidzul Qur’an di kampungnya kemudian
melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Ibrahim Pasha di Iskandariyah. Di
tengah masa studi, Ahmad juga bekerja di toko reparasi jam hingga menguasai
yang terkait dengan jam. Dari profesi inilah kemudian ayahnya dikenal dengan as-Sā’ati (tukang reparasi jam). Selain
itu, Ahmad juga menulis sebuah kitab berjudul al-Fath al-Rabbānī fī Tartīb
Musnad al-Imām Ahmad bin Hanbal al-Syaibānī. Sedangkan ibunda dari Hasan
al-Banna bernama Ummu Sa’d Ibrahim Saqr. Ibundanya adalah tipologi wanita yang
cerdas, disiplin, cerdik dan kokoh pendirian. Apabila telah memutuskan sesuatu
sulit bagi Ummu Sa’d untuk menarik mundur keputusannya. Ini senada dengan
sebuah pepatah yang berbunyi, “Jika layar terkembang pantang biduk surut ke
pantai.” Perhatiannya pada pendidikan membuatnya juga bertekad untuk
menyekolahkan Hasan Al-Banna hingga ke pendidikan tinggi. Ummu Sa’ad memiliki
delapan delapan orang anak, yang masing-masing adalah: Hasan al-Banna,
Abdurrahman, Fatimah, Muhammad, Abdul Basith, Zainab, Ahmad Jamaluddin, dan
Fauziyah.[5]
Hasan al-Banna merupakan pendiri organisasi besar, Ikhwanul Muslimin. Gerakan
ini dibentuk pada bulan Dzulqa’dah 1347 H/1928 di kota Ismailiyah. Gerakan ini
tumbuh dengan pesat dan tersebar di berbagai kelompok masyarakat. Sebelum
mendirikan Ikhwan, al-Banna juga ikut mendirikan sebuah jamaah sufi bernama Thariqah Hashafiyah dan Jamaah Syubban al-Muslimin. Metode gerakan yang
diserukan oleh Ikhwan adalah bertumpu pada tarbiyah (pendidikan) secara
bertahap. Tahapan tersebut adalah dengan membentuk pribadi muslim, keluarga
muslim, masyarakat muslim, pemerintah muslim, Negara Islam, Khalifah Islam dan
akhirnya menjadi Ustadziyatul ‘Alam
(kepeloporan dunia).
Pribadi
Hasan Al-Banna menarik banyak kalangan. Abu Hasan Ali an-Nadwi, memberikan
kesaksian tentang Al-Banna: “Pribadi itu telah mengejutkan Mesir, dunia Arab
dan dunia Islam dengan gegap gempita dakwah, kaderisasi, serta jihad dengan
kekuatannya yang ajaib. Dalam pribadi itu, Allah Swt, telah memadukan antara
potensi dan bakat yang sepintas tampak saling bertentangan di mata para
psikolog, sejarawan, dan pengamat sosial. Di dalamnya terdapat pemikiran yang
brilian, daya nalar yang terang menyala, perasaan yang bergelora, hati yang
penuh limpahan berkah, jiwa yang dinamis nan cemerlang, dan lidah yang tajam
lagi berkesan. Di situ ada kezuhudan dan kesahajaan, kesungguhan dan ketinggian
cita dalam menyebarkan pemikiran dan dakwah, jiwa dinamis yang sarat dengan
cita-cita, dan semangat yang senantiasa membara. Di situ juga ada pandangan
yang jauh ke depan…”[6]
2.2.
Pemikiran Politik Islam Menurut Hasan Al- Banna.
Mesir
sebagai background perjuangan Hasan al-Banna merupakan wilayah yang syarat
dengan tantangan dakwah Islam waktu itu. Dengan sarana perjuangan yang diwadahi
Ikhwanul Muslimin –yang notabene organisasi yang didirikannya-, sangat konsen
perhatiannya dalam pergerakan politik. Dimana salah satu sisi Tarbiyyah
Ikhwanul muslimin yang penting adalah bidang politik. Politik disini,
sebagaimana dijelaskan Yusuf al-Qaradhawi, merupakan bidang yang berhubungan
dengan urusan hukum, sistem negara, hubungan pemerintah dan rakyat, hubungan
antara satu negara dengan yang lainnya dari negara-negara Islam ataupun non
Islam, hubungan negara dengan kolonial penjajah, dan hubungan-hubungan yang
lainnya dari ketentuan-ketentuan yang sekian banyaknya.[7]
Dalam eksistensinya, Mesir menurut
Hasan Al- Banna mengalami pembodohan dalam berorganisasi. Hal ini terletak pada
klasifikasi organisasi politik dan organisasi agama. Ada dikotomi/ pemisahan
antara agama dan politik dalam organisasi- organisasi di Mesir. Maka terjadi
perbedaan konsep, dimana konsep politik bertolak belakang dengan konsep agama.
Sehingga organisasi agama, tidak boleh mengurusi politik dan organisasi politik
tidak dianjurkan untuk mengurusi agama. Hasan al-Banna menembus pemahaman
adanya dikotomi agama dan politik tersebut untuk meniadakannya. Ia menganggap
bahwa hal tersebut merupakan pemahaman yang didasari kebodohan dan hawa nafsu
yang dilestarikan oleh kolonial peradaban. Maka menjadi keniscayaan dalam
memerangi dan meniadakan pemikiran berbahaya tersebut dengan pemikiran yang
benar, yakni kesempurnaan Islam untuk setiap bidang kehidupan, termasuk
politik, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an, hadits, petunjuk Rasul
SAW., sejarah para sahabat, dan amalan umat sepanjang lebih dari 14 abad. Hasan
al-Banna mempertegas, “jika kalian ditanya, kepada apa kalian akan menyeru?
Maka jawablah: Kami akan menyeru kepada Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW.,
dan pemerintahan merupakan bagian dari Islam, dan kemerdekaan adalah suatu
keniscayaan dari keniscayaan-keniscayaannya.” Selanjutnya ia menjelaskan, “jika
dikatakan kepada kalian: Ini adalah politik. Maka jawablah: Ini adalah Islam.
Kami tidak mengenal pembagian-pembagian ini!.”[8]
Dalam
pemikiran politiknya, setidaknya ada empat hal yang menjadi perhatian beliau
dalam mengawal gerak perjuangannya. Keempat point pemikirannya menjadi sisi
penting untuk memahami bagaimana ia menggerakan Ikhwanul Muslimin hingga
menjadi organisasi Islam yang menjadi panutan dan rujukan pergerakan ormas
Islam lain di beberapa penjuru dunia. Pertama, mengenai konsep Arabisme
(‘Urūbah). Kedua, konsep patriotisme (Wathaniyyah). Ketiga, konsep nasionalisme
(Qaumiyyah). Keempat, konsep internasionalisme (Ālamiyyah). Mari kita bahas
satu persatu konsep tersebut:
a. Arabisme
Arabisme
memiliki tempat tersendiri dan peran yang berarti dalam dakwah Hasan al-Banna.
Bangsa Arab adalah bangsa yang pertama kali menerima kedatangan Islam. Dia juga
merupakan bahwa yang terpilih. Hal ini sesuai dengan apa yang disabdakan oleh
Rasulullah Saw, “Jika bangsa Arab hina, maka hina pulalah Islam.” Arabisme
menurut al-Banna adalah kesatuan bahasa. Ia berkata dalam Muktamar Kelima
Ikhwan,“…Bahwa Ikhwanul Muslimin memaknai kata al-‘Urūbah (Arabisme) sebagaimana yang diperkenalkan Rasulullah SAW
yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dari Mu’adz bin Jabal ra, “Ingatlah,
sesungguhnya Arab itu bahasa. Ingatlah, bahwa Arab itu bahasa.” Menurut Al-Banna, Arab adalah umat
Islam yang pertama, yang merupakan bangsa pilihan. Islam, menurutnya, tidak
pernah bangkit tanpa bersatunya bangsa Arab. Batas-batas geografis dan pemetaan
politis tidak pernah mengoyak makna kesatuan Arab dan Islam. Islam juga tumbuh
pertama kali di tanah Arab, kemudian berkembang ke berbagai bangsa melalui
orang-orang Arab. Kitabnya datang dengan bahasa Arab yang jelas, dan berbagai
bangsa pun bersatu dengan namanya.
Selaras dengan
penjelasan tersebut, Abdul Hamid al-Ghazali, dalam bukunya Meretas Jalan
Kebangkitan Islam, mengatakan bahwa dapat disimpulkan beberapa unsur dari
pemikiran Al-Banna bahwa berbangga dengan Arabisme tidak termasuk fanatisme dan
tidak berarti merendahkan pihak lain. Arabisme dengan tujuan untuk
membangkitkan Islam demi tersebarnya Islam adalah dibolehkan.[9]
Dalam hal ini, penulis mencoba untuk menelaah apakah Arabisme sama dengan Chauvivisme Adolf Hitler dalam
mempertahankan paham mereka masing- masing. Ternyata, pilihan Arabisme bukanlah
sebuah paham, tapi tujuan Hasan Al- Banna yang memilih arab sebagai lokasi
dakwahnya guna mempersatukan seluruh negara dan bangsa Arab. Bukan dengan artian
menjadikan Arab sebagai ideologi tersendiri dan dianggap paling benar, seperti
yang dilakoni Hitler atas bangsa Arya di Jerman.
b. Patriotisme
Dalam
memaknai Wathaniyah (patriotisme),
ada tiga arti yang dikemukakan oleh Hasan Al-Banna, yaitu: Pertama, Patriotisme Kerinduan (Cinta Tanah Air). Al-Banna berkata:
“Jika yang dimaksud dengan patriotisme oleh para penyerunya adalah cinta negeri
ini, keterikatan padanya, kerinduan padanya, dan ikatan emosional dengannya,
maka hal itu sudah tertanam secara alami dalam fitrah manusia di satu sisi, dan
dianjurkan Islam di sisi lainnya.” Kedua,
Patriotisme Kemerdekaan dan Kehormatan (Kemerdekaan Negeri). Al-Banna berkata:
“Jika yang mereka maksudkan dengan patriotisme adalah keharusan berjuang untuk
membebaskan tanah air dari cengkeraman perampok imperialis, menyempurnakan
kemerdekaannya, dan menanamkan kehormatan diri dan kebebasan dalam jiwa
putra-putra bangsa, maka kami sepakat dengan mereka tentang itu.” Ketiga, Patriotisme Kebangsaan (Kesatuan
Bangsa). Al-Banna berkata: “Jika yang mereka maksudkan dengan patriotisme
adalah mempererat ikatan antara anggota masyarakat suatu Negara dan
membimbingnya ke arah memberdayakan ikatan itu untuk kepentingan bersama, maka
kami pun sepakat dengan mereka.”
Ketiga
pandangan patriotisme tersebut nampaknya tidak jauh berbeda dengan ikatan luhur
bangsa Indonesia dalam butir- butir Pancasila yang digali oleh Bung Karno.
Sejarah mencatat bahwasanya Pancasila sangat dipengaruhi oleh daya dan cara
piker Islam yang berasal dari Piagam Madinah. Penulis melihat ada kesamaan arti
dan makna bagaimana Hasan Al- Banna menginterpretasikan pancasila dalam binkai
Ikhwanul Muslimin dengan Pancasila sebagai kepatriotan bangsa Indonesia.
Patriotisme juga memiliki prinsip lainnya di mata Hasan Al-Banna. Ia
mengatakan:
“Suatu kekeliruan bagi orang-orang yang menyangka bahwa
Ikhwanul Muslimin berputus asa terhadap kondisi negeri dan tanah airnya.
Sesungguhnya kaum Muslimin adalah orang-orang yang paling ikhlas berkorban bagi
negara, habis-habisan berkhidmat untuknya, dan menghormati siapa saja yang mau
berjuang dengan ikhlas dalam membelanya. Dan anda tahu sampai batas mana mereka
menegakkan prinsip patriotisme mereka, serta kemuliaan macam apa yang mereka
inginkan bagi umatnya. Hanya saja, perbedaan prinsip antara kaum muslimin
dengan kaum yang lainnya dari para penyeru patriotisme murni adalah bahwa asas
patriotisme Islam adalah akidah Islamiyah…Adapun tentang patriotisme Ikhwanul
Muslimin, cukuplah bahwa mereka menyakini dengan kukuh bahwa sikap acuh
terhadap sejengkal tanah yang ditinggali seorang muslim yang terampas merupakan
tindakan kriminal yang tidak terampuni, hingga dapat mengembalikannya atau
hancur dalam mempertahankannya. Tidak ada keselamatan bagi mereka dari siksa
Allah kecuali dengan itu.”[10]
c. Nasionalisme
Dalam pandangan
al-Banna, nasionasionalisme dipahami dalam 5 bentuk.[11] Pertama, nasionalisme kebanggaan, yaitu
rasa bangga generasi penerus terhadap pendahulunya diiringi adanya tanggung
jawab kewajiban untuk mengikuti jejak para pendahulu yang beriman kepada Allah
sebagai Tuhan yang mesti disembah dan ditaati, Islam sebagai sistem hidup,
Muhammad SAW. sebagai nabi dan rasul, lalu menyebarkan Islam sebagai akidah,
syari’at dan pandangan hidup, menerapkan hukum dengan keadilan Islam, serta
menyinari pola pikir manusia dengan keimanan.
Kedua,
nasionalisme kebangsaan, yakni umat suatu bangsa mesti mengorbankan apa yang
dimiliknya dari usahanya yang baik untuk menjadikan bangsa yang lebih baik.
Nasionalisme ini selaras dengan apa yang ada di dalam Islam, dimana infak
hendaknya memperhatikan kebutuhan orang terdekat dan selanjutnya. Allah berfirman, “Mereka bertanya tentang apa yang mereka
nafkahkan. Jawablah: apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan
kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu
buat, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.”[12]
Ketiga, nasionalisme jahiliyyah yang berarti
nasinalisme yang dianut oleh kaum jahiliyyah. Dimana para penyeru nasionalisme
ini berupaya menghidupkan kembali semangat-semangat jahiliyyah yang telah
dibumihanguskan oleh Islam, seperti semangat fanatisme kesukuan, sikap sombong,
dan merasa lebih dari orang lain. Prinsip-prinsip nasionalisme seperti ini
berusaha dihidukan kembali oleh partai-partai sekuler yang menuduh Islam
terbelakang atau kuno, sehingga harus dikikis dari kehidupan. Oleh karena itu,
Hasan al-Banna menyatakan bahwa nasionalisme seperti ini amat tercela dan
berakibat buruk dan akan meruntuhkan nilai-nilai kemuliaan serta menghilangkan
watak-watak terpuji.
Keempat, nasionalisme permusuhan, yaitu
nasionalisme yang berlandaskan semangat merampas hak-hak orang lain tanpa
alasan yang benar. Semangat seperti merupakan semangat jahiliyyah yang terus
berkembang dari dulu sampai sekarang. Bahkan era jahiliyyah dulu ada sebuah
sya’ir yang mengatakan, “Siapa yang tidak menganiaya orang lain, maka dia yang
akan dianiaya.”[13]
Kelima,
nasionalisme Islam, yakni nasionalisme yang berlandaskan aqidah, bukan darah,
keluarga, kepentingan, dan wilayah geografis tertentu. Ia merupakan
nasionalisme yang menghapuskan semangat-semangat jahiliyyah yang mengusung
kesukuan dan fanatisme buta, nasionalisme yang menyerap dan menampung seluruh
jenis manusia dari suku bangsa, warna kulit, dan negara manapun, tanpa
membeda-bedakannya. Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menghapuskan arogansi jahiliyyah dan
kebanggaan terhadap nenek moyang, karena manusia berasal dari Adam, dan Adam
diciptakan dari tanah. Sehingga orang Arab tidak lebih baik dibanding orang
A’jam (non Arab), kecuali dengan taqwa.”[14]
d. Internasionalisme
Internasionalisme
menurut Hasan al-Banna inheren dalam Islam, oleh karena Islam adalah agama yang
diperuntukkan untuk seluruh umat manusia. “Adapun dakwah kita disebut
internasional, karena ia ditujukan kepada seluruh umat manusia. Manusia pada
dasarnya bersaudara; asal mereka satu, bapak mereka satu, dan nasab mereka pun
satu. Tidak ada keutamaan selain karena takwa dan karena amal yang
dipersembahkannya, meliputi kebaikan dan keutamaan yang dapat dirasakan semuanya,”
demikian tulisnya.
Konsep
internasionalisme merupakan lingkaran terakhir dari proyek politik al-Banna
dalam program ishlāhul ummah (perbaikan umat). Dunia, tidak bisa tidak,
bergerak mengarah ke sana. Persatuan antar bangsa, perhimpunan antar suku dan
ras, bersatunya sesama pihak yang lemah untuk memperoleh kekuatan, dan
bergabungnya mereka yang terpisah untuk mendapatkan hangatnya persatuan, semua
itu merupakan pengantar menuju terwujudnya kepemimpinan prinsip
internasionalisme untuk menggantikan pemikiran rasialisme dan kesukuan yang
diyakini umat manusia sebelum ini. Dahulu memang harus meyakini ini untuk
menghimpun unsur-unsur dasar, lalu harus dilepaskan kemudian untuk
menggabungkan berbagai kelompok besar, setelah itu terwujudlah kesatuan total
di akhirnya. Langkah ini, menurutnya memang lambat, namun itu harus terjadi.
Untuk mewujudkan
konsep ini juga Islam telah menyodorkan sebuah penyelesaian yang jelas bagi
masyarakat untuk keluar dari lingkaran masalah seperti ini. Langkah pertama
kali yang dilakukan adalah dengan mengajak kepada kesatuan akidah, kemudian
mewujudkan kesatuan amal. Hal ini sejalan dengan firman Allah SAW., “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang
agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nabi Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Nabi Ibrahim, Musa dan Isa
yaitu ‘Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”[15]
Hasan Al- Banna
sebagai seorang pemikir Islam memiliki peran yang sangat besar dalam proses
meluruskan Islam sebagai agama yang Rahmatan
Lil Alamin. Konsep dirinya yang menyangkut perbaikan individu, perbaikan
keluarga, perbaikan masyarakat, perbaikan umat dan perbaikan Negara bertujuan
untuk mengembalikan Islam sebagai sebuah peradaban yang harmonis seperti masa-
masa keemasan Khoilafah Islamiyah.
Metode gerakan yang diserukan oleh Ikhwan adalah bertumpu pada tarbiyah
(pendidikan) secara bertahap. Tahapan tersebut adalah dengan membentuk pribadi
muslim, keluarga muslim, masyarakat muslim, pemerintah muslim, Negara Islam,
Khalifah Islam dan akhirnya menjadi Ustadziyatul
‘Alam (kepeloporan dunia). Tentunya, agenda Hasan Al Banna menjadi terhenti
manakala dirinya meninggal dengan cara mengenaskan setelah ditembak secara
brutal oleh beberapa orang yang tidak dikenal. Dua jam setelah dirinya
ditembak, ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Namun paling tidak, hingga
hari ini metode dakwahnya dicontoh oleh sebagian besar negara- negara didunia
seperti Turki, Mesir dan juga Indonesia. Hasan Al Banna meninggalkan konsep-
konsep dakwah nan brilian yang mencoba meluruskan dimana peran agama saat
bertemu politik ataupun sebaliknya, karena menurutnya keduanya ialah dua sisi
dalam satu keeping mata uang logam, tidak dapat dipisahkan.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Sikap pemikiran Hasan Al-Banna (ikhwanul Muslimin)
terhadap pemerintahan, berkaitan erat dengan pemahaman akan esensi Islam dan
Aqidahnya. Islam-sebagimana yang dipersepsikan Ikhwanul Muslimin-menjadikan
pemerintahan sebagai salah satu pilarnya. Ikhwan memandang bahwa pemerintahan
Islam memiliki kaidah-kaidah yang tercermin dalam ulasan Al-Banna – ketika
membicarakan tentang problematika hukum di Mesir dan bagaimana
memecahkannya-berupa karakteristik atau pilar-pilar pemerintahan Islam. Ia
berpendapat bahwa pilar-pilar itu ada tiga, yaitu :
1. Tanggung
jawab pemerintah, dalam arti bahwa ia bertanggungjawab kepada Allah dan
rakyatnya. Pemerintahan, tidak lain adalah praktek kontrak kerja antara rakyat
dengan pemerintah, untuk memelihara kepentingan bersama.
2. Kesatuan
umat. Artinya, ia memiliki sistem yang satu, yaitu Islam. Dalam arti, ia harus
melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan nasihat.
3. Menghormati
aspirasi rakyat. Artinya, di antara hak rakyat adalah mengawasi para penguasa
dengan pengawasan yang seketat-ketatnya, selain memberi masukan tentang
berbagai hal yang dipandang baik untuk mereka. Pemerintah harus mengajak mereka
bermusyawarah, menghormati aspirasi mereka, dan memperhatikan hasil musyawarah
mereka.[16]
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Dadang Supardan. 2009. Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta : PT.
Bumi Aksara.
Yusuf Al- Qaradhawi.
2008. Meluruskan Dikotomi Agama dan
Politik. Jakarta: Pustaka Al- Kautsar
Hasan Al-Banna. 2005. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin
(Terjemahan Jilid 2). Solo : Intermedia
Khozin Abu Faqih, dkk.
2006. Mengenal Perintis Kebangkitan Islam
Abad 15 H. Solo: Auliya Press
Hasan Al-Banna. 2008. Majmū’ah al-Rasā’il al-Imām al-Syahīd Hasan
al-Banna, terj. Anis Matta dkk, “Risalah
Pergerakan Ikhwanul Muslimin I.Solo: Era Intermedia
QS.
Al-Baqarah [2]: 215
QS.
Al-Syūrā [42]: 13
Jurnal
:
Yusuf al-Qaradhawi.
1992. al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa
Madrasah Hasan al-Bannā, Kairo: Maktabah Wahbiyyah, dalam
http://robimulya.blogspot.com/2009/12/politik-islam-dalam-kacamata-hasan-al.html,
diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 20.49 WIB
Abdul Hamid al-Ghazali,
Haula Asāsiyyah al-Masyrū’ al-Islāmī li
Nahdhah al-Ummah, terj. Wahid Ahmadi dan Jasiman. Solo: Era Intermedia http://robimulya.blogspot.com/2009/12/politik-islam-dalam-kacamata-hasan-al.html,
diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 21.41 WIB
Muhammad Abdul Qadir
Abu Faris. Fikih Politik Menurut Imam
Hasan al-Banna, dalam http://www.eramuslim.com/manhaj-dakwah/fikih-siyasi/pemahaman-politik-islam.htm
diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 22.36 WIB
Web:
http://robimulya.blogspot.com/2009/12/politik-islam-dalam-kacamata-hasan-al.html,
diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 20.17 WIB
http://jurnalpamel.wordpress.com/politik-islam/pemikiran-politik-hasan-al-banna/
diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 22.41 WIB
[1]
Dr. H. Dadang Supardan,M.Pd. Pengantar
Ilmu Sosial. 2009. Jakarta : PT. Bumi Aksara. Hal. 571
[2]
Yusuf Al- Qaradhawi. 2008. Meluruskan
Dikotomi Agama dan Politik. Jakarta: Pustaka Al- Kautsar
[3]
Hasan Al-Banna. 2005. Risalah Pergerakan
Ikhwanul Muslimin (Terjemahan Jilid 2). Solo : Intermedia
[4] Khozin
Abu Faqih, dkk.2006. Mengenal Perintis
Kebangkitan Islam Abad 15 H. Solo: Auliya Press
[5] http://robimulya.blogspot.com/2009/12/politik-islam-dalam-kacamata-hasan-al.html,
diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 20.17 WIB
[6]
Hasan al-Banna. 2008. Majmū’ah al-Rasā’il
al-Imām al-Syahīd Hasan al-Banna, terj. Anis Matta dkk, “Risalah Pergerakan
Ikhwanul Muslimin I.Solo: Era Intermedia, hal 21
[7]
Yusuf al-Qaradhawi, al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa Madrasah Hasan al-Bannā, (Kairo:
Maktabah Wahbiyyah, 1992), hal. 51-52 dalam http://robimulya.blogspot.com/2009/12/politik-islam-dalam-kacamata-hasan-al.html,
diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 20.49 WIB
[8] Ibid
[9] Abdul
Hamid al-Ghazali, Haula Asāsiyyah al-Masyrū’ al-Islāmī li Nahdhah al-Ummah,
terj. Wahid Ahmadi dan Jasiman, (Solo: Era Intermedia), hal. 195, http://robimulya.blogspot.com/2009/12/politik-islam-dalam-kacamata-hasan-al.html,
diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 21.41 WIB
[10] Hasan
al-Banna. 2008. Majmū’ah al-Rasā’il
al-Imām al-Syahīd Hasan al-Banna, terj. Anis Matta dkk, “Risalah Pergerakan
Ikhwanul Muslimin. Solo: Era Intermedia
[11] Muhammad
Abdul Qadir Abu Faris, Fikih Politik Menurut Imam Hasan al-Banna, dalam http://www.eramuslim.com/manhaj-dakwah/fikih-siyasi/pemahaman-politik-islam.htm
diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 22.36 WIB
[12]
QS. Al-Baqarah [2]: 215
[13] ومن لا يَظلم الناس يُظلم
[14] إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ نخوةَ
الْجَاهِلِيَّةِ وَتَعَظُّمَهَا بِاْلآباَءِ، النَّاسُ ِلآدَمَ وَآدَمُ مِنْ
تُرَابٍ، لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ إِلاَّ بِالتَّقْوَى.
[15]
QS. Al-Syūrā [42]: 13
[16] http://jurnalpamel.wordpress.com/politik-islam/pemikiran-politik-hasan-al-banna/
diunduh pada hari Senin, 16 September 2013, pukul 22.41 WIB
keren artikelnya. mantap.
BalasHapuswww.kiostiket.com
Sila share bro :)
BalasHapusMau mendapatkan pelayanan yang baik dan ramah???
BalasHapusModal Kecil bisa mendapatkan hasil yg luar biasa...
Menarik sekali, perlu saya coba ini..
BalasHapuskebetulan lagi cara tentang hal ini.
bagus bos artikelnya dan menarik
BalasHapusmakasih gan buat infonya dan semoga bermanfaat
BalasHapuskeren mas buat infonya dan salam sukses selalu
BalasHapus