Studi Kasus: Peraturan Menteri Perhubungan Republik
Indonesia
Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan
Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Layak Trayek sebagai Implementasi
Undang- Undang no. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Oleh: Joni Firmansyah (Pascasarjana Ilmu Politik UI)
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Berbagai macam upaya telah dilakukan
sebagai alternatif masyarakat dalam menggunakan moda transportasi. Misalnya
untuk menghadapi kondisi kemacetan Jakarta dibangun transportasi massal
seperti, Bus Transjakarta (Busway) dan APTB (Angkutan Perbatasan Terintegrasi
Busway). Kemudian untuk diperkeretaapian telah dioperasikan Commuter Line untuk Jabodetabek, dan
baru-baru ini adalah Mass Rapid Transit
Jakarta (Moda Raya Terpadu) yang masih dalam proses pembangunan. Hal
tersebut dilakukan guna mencapai kriteria konsep smart city yang bertujuan dapat mengurai kemacetan di Jakarta.
Namun ternyata hal itu belum cukup untuk menangani permasalahan tersebut. Dalam
mecapai kriteria dalam konsep kota pintar perlu didukung oleh teknologi yang
pintar pula terutama dalam menghadapi kondisi kemacetan.[1] Guna mengatasi persoalan
tersebut, muncullah beberapa inovasi yang berbasis teknologi didalam bidang
transportasi. Diantaranya adalah Ubertaxi, Grab, GOJEK dll yang dapat diakses
melalui sarana internet. Namun rupanya, perkembangan teknologi di Indonesia
diikuti oleh tidak siapnya masyarakat Indonesia yang "dipaksa" untuk
memahami dan mengikuti perkembangan zaman. Munculnya beberapa penolakan dari
beberapa kalangan, menunjukkan bahwa masih ada resistensi dan tidak akurnya
antara perkembangan teknologi dan kondisi sosial masyarakat.
Pesatnya perkembangan aplikasi
online mengenai angkutan seperti dua sisi mata uang. Aplikasi berdampak pada
kondisi lalu lintas tidak tertib dan memunculkan kontroversi di masyarakat.
Karena itu, pemerintah perlu menyusun peraturan soal aplikasi online tersebut.
Di sisi lain, teknologi aplikasi online angkutan saat ini memanjakan masyarakat
dalam mendapatkan transportasi yang mudah, murah, dan cepat. Perkembangan
aplikasi online berbasis android harus dibarengi peraturan yang mengikat untuk
mendukung aplikasi tersebut, sehingga para stakeholder
atau pebisnis aplikasi tidak seenaknya membuat aplikasi.[2]
Peraturan Menteri Perhubungan
Republik Indonesia Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan
Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Layak Trayek merupakan suatu aturan
pemerintah yang bertujuan untuk mengatur, mengakomodasi dan mengelola moda
transportasi yang berbasis online,
sebagai jawaban atas perkembangan era teknologi yang terus meningkat dengan
pesat. Beberapa bulan yang lalu, sempat terjadi selisih paham dan konflik
antara para driver moda transportasi
publik, yaitu antara para driver transportasi
konvensional (taxi, bajai, angkot dll) dengan driver moda transportasi online
(uber taxi, grabbike, gojek dll). Perselisihan ini mengerucut pada beberapa
isu. Pertama, aspek legalitas dari
moda transportasi online yang
dianggap ilegal karena tidak memiliki payung hukum. Mereka dianggap sebagai
pendatang baru yang tidak paham aturan dan cenderung liar. Kedua, aspek pendapatan. Transportasi online bagi sebagian masyarakat dinilai lebih efisien dan ekonomis.
Harga yang dicantumkan lebih cocok dikantong masyarakat, daripada transportasi
konvensional yang penuh akan negosiasi terlebih dahulu. Kondisi ini kemudian
membuat transportasi online lebih
banyak diminati ketimbang transportasi konvensional. Sehingga, perolehan
pendapatan dari para driver
transportasi konvensional jauh lebih sedikit dan berkurang. Kondisi ini
kemudian membuat para driver konvensional
protes karena "pasar" mereka mulai mendapat saingan.
Atas gejolak yang begitu panjang
tersebut, akhirnya mendesak pemerintah untuk segera turun tangan didalam
menyelesaikan problematika tersebut. Setelah melalui beberapa proses mediasi
dan negosiasi, akhirnya ditetapkanlah suatu peraturan yang dikeluarkan oleh
Menteri Perhubungan untuk mengatur moda transportasi online di Indonesia. Peraturan Menteri Perhubungan tersebut
tertuang dalam PM no. 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang
Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Layak Trayek. Peraturan Menteri ini
didasari oleh beberapa pertimbangan, yaitu Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5025), Undang- Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587), serta beberapa
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri.[3] Beberapa undang- undang
dan peraturan- peraturan tersebut kemudian menghadirkan Peraturan Menteri
Perhubungan sebagai bagian dari kebijakan pemerintah, baik untuk kesejahteraan
warga masyarakat maupun menciptakan efisiensi ruang lingkup pasar di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Hadirnya Peraturan Menteri
Perhubungan no. 32 Tahun 2016 tersebut, merupakan angin segar bagi beberapa stakeholder dan pemilik bisnis moda
transportasi online. Dengan adanya Peraturan
Menteri tersebut, akhirnya mereka memiliki payung hukum untuk menjalankan
bisnisnya tanpa harus merasa was- was atas beberapa resistensi yang pernah
terjadi. Namun demikian, ada beberapa kecacatan didalam formulasi kebijakan
ini. Kecacatan ini nampaknya menjadi sebuah hal yang patut untuk dibicarakan
lebih mendalam, terkait izin moda transportasi online serta payung hukum yang berada diatas mereka. Pertama, hadirnya Peraturan Menteri ini
terkesan hadir secara diam- diam. Hal ini dipertegas oleh Harian Umum KOMPAS
yang menyebutkan bahwa:[4]
"Permen ini terkesan diam-diam karena tiba-tiba muncul di laman
publikasi produk hukum di situs
resmi Kemenhub, tanpa ada informasi tentang uji publik saat masih menjadi rancangan peraturan menteri
(RPM), layaknya PM-PM lainnya."
Kondisi ini tentunya
kemudian menimbulkan tanda tanya, terkait posisi yang diambil oleh pemerintah
sebagai aktor pembuat kebijakan yang terlihat tergesa- gesa. Entah pemerintah
mungkin menyadari jika kondisi ini dibiarkan berlarut- larut, ditakutkan akan
menimbulkan polemik yang lebih jauh. Sehingga pemerintah mengambil langkah
pragmatis dengan cara mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) tanpa
mempertimbangkan Undang- Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, dimana menurut pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, dalam
sebuah FGD yang membahas terkait moda transportasi online menyebutkan bahwa,
" Pilihannya cuma dua,
benahi undang-undangnya (UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan)
atau larang."[5]
Dari sini, nampak bahwa pemerintah justru tidak melihat Undang- Undang sebagai
suatu instrumen penting yang harusnya lebih dahulu diperhatikan, kemudian
mendesak Lembaga Perwakilan atau DPR untuk merevisi undang- undang tersebut.
Pemerintah, sebagai aktor politik, menyadari jika harus merevisi undang-
undang, nampaknya akan memakan waktu yang cukup lama.
Kedua,
aspek selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah tidak diikutsertakannya
jenis kendaraan bermotor roda dua didalam Peraturan Menteri Perhubungan no. 32
Tahun 2016. Hal ini dikarenakan, menurut Direktur Jenderal Perhubungan Darat
Pudji Hartanto Iskandar, moda roda dua tidak dianggap sebagai kendaraan umum
dalam UU.[6] Padahal menurut pasal 1 UU
no. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan pada poin
7, 8, 9 dan 10:
7. Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang
terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.
8. Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang
digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan
di atas rel.
9. Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang
digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.
10. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang
digunakan untuk angkutan barang dan/atau
orang dengan dipungut bayaran."
Dari pengertian diatas, pada poin 7,
undang- undang tersebut tidak secara jelas menyebutkan jenis kendaraan apa saja
yang termasuk kendaraan bermotor, dan jenis- jenis kendaraan apa saja yang
boleh dijadikan sebagai sarana transportasi umum. Karena seperti yang kita
ketahui, moda roda dua adalah jenis kendaraan bermotor dan hingga saat ini
umumnya digunakan oleh 2 orang dan mulai digunakan sebagai alat transportasi
umum, dan undang- undang ini tidak mengaturnya.
Adanya kesimpangsiuran didalam
undang- undang tersebut, rupanya menuai kejelasan dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. Didalam pasal 3,
pada poin 1 dan 2 PP tersebut, disebutkan bahwa:
(1) Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan:
a. Kendaraan Bermotor; dan b. Kendaraan Tidak Bermotor.
(2) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dikelompokkan dalam:
a. Sepeda motor; b. Mobil Penumpang; c. Mobil Bus; dan d.
Mobil Barang.
Dari penjelasan
diatas, maka sepeda motor sebagai moda transportasi roda dua, masuk dalam
kategori kendaraan bermotor, tetapi tidak juga disebutkan secara eksplisit
apakah sepeda motor masuk sebagai kategori kendaraan bermotor umum atau tidak,
karena kedua peraturan tersebut tidak menjelaskan hal tersebut. Padahal, pada
poin 1 di PP tersebut, disebutkan bahwa kendaraan bermotor masuk dalam kategori
angkutan orang, tetapi mengapa tidak dijelaskan sepeda motor yang sebagai
angkutan orang, dapat pula dijadikan sebagai angkutan umum. Karena tak adanya
kejelasan, maka Permenhub no. 32 tahun 2016 kemudian mengadopsi bahwa kendaraan
bermotor, yaitu sepeda motor tidak termasuk didalam keputusan permenhub
tersebut. Padahal, saat ini justru kendaraan bermotor roda dua menjadi salah
satu solusi dari beberapa masalah transportasi, diantaranya adalah kemacetan.
Karena adanya ketimpangan hukum dan selisih
pendapatan, membuat pihak pengelola transportasi online mendesak untuk adanya peraturan yang mengatur hajat hidup
mereka. Di sisi lain, ada pula pihak dari transportasi konvensional yang
meminta agar transportasi online
dihapuskan saja. Setelah melalui kisruh, hingga demonstrasi, yang panjang,
tanpa suara atau secara diam- diam, muncul suatu Peraturan Menteri yang
melegalkan adanya transportasi online, dengan
mengecualikan kendaraan roda dua. Tentu saja peraturan ini kembali menimbulkan
sengketa, karena driver roda dua
masih dalam posisi ilegal. Kondisi ini kemudian menghadirkan beberapa asumsi
terkait Permenhub yang tidak mengakomodasi kepentingan orang banyak dan proses
pengambilan keputusan untuk menjadi suatu kebijakan yang terlihat tergesa-
gesa, karena desakan dari beberapa pihak.
Hadirnya beberapa pihak, seperti
halnya kelompok paguyuban transportasi darat, kelompok atau komunitas Grabike,
Komunitas GOJEK dan sebagainya, memberikan tekanan yang cukup serius sehingga
dapat mendorong hadirnya suatu kebijakan publik, meskipun tidak menyelesaikan
seluruh masalah. Permasalahan ini akan dianalisis didalam paper singkat ini terkait aktor- aktor non pemerintah mana saja
yang terlibat didalam pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan serta bagaimana
reformulasi dari kebijakan tersebut, agar dapat diterima oleh semua pihak,
meskipun kebijakan tersebut tidak mampu memuaskan semua golongan.
Berdasarkan uraian diatas, maka
penulis menyusun 2 pertanyaan untuk menguraikan fenomena tersebut:
1. Bagaimana aktor-
aktor non pemerintah dan masyarakat sipil serta kelompok kepentingan ikut
berpengaruh didalam pembentukan permenhub no. 32 tahun 2016 tersebut?
2. Bagaimana
reformulasi yang semestinya dilakukan untuk memaksimalkan implementasi kebijakan
yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan tersebut?
1.3. Kerangka Teoritis
1.3.1 Teori Analisis Kebijakan Publik
Thomas R. Dye
menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah mencari tahu apa yang dilakukan
pemerintah, mengapa mereka melakukannya, dan apa bedanya. Analisis kebijakan
sering dibatasi oleh perselisihan sifat masalah sosial, oleh subjektivitas
dalam interpretasi hasil, dengan keterbatasan desain penelitian kebijakan, dan
dengan kompleksitas perilaku manusia.[7] Membuat atau merumuskan
suatu kebijaksanaan, apalagi kebijaksanaan negara, bukanlah suatu proses yang
sederhana dan mudah. Hal ini disebabkan karena terdapat banyak faktor atau
kekuatan- kekuatan yang berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijaksanaan negara
tersebut. Suatu kebijaksanaan negara dibuat bukan untuk kepentingan politis
(misalnya guna mempertahan kan status quo pembuat keputusan) tetapi justru
untuk meningkatkan kesejahteraan hidup anggota masyarakat secara keseluruhan.[8]
Meskipun tidak harus berkaitan
dengan kepentingan politik, tetapi justru kebijakan publik selalu bersinggungan
dengan proses- proses politik.[9] Hal ini dikarenakan 2 hal
yang menjadi alasan mengapa kedua hal tersebut saling berkaitan. Pertama, karena ada barang dan jasa
publik, dimana sifat barang dan jasa membutuhkan tata kelola bersama. Karena
ada tata kelola bersama itulah, dibutuhkannya lembaga politik yang memiliki
otoritas untuk mengatur arus barang dan jasa, yang dalam hal ini adalah
pemerintah, DPR dan lembaga negara lainnya. Kedua,
dengan memperhatikan lahir dan hadirnya negara. Hal ini dapat ditinjau dari
hadirnya kontrak sosial yang disampaikan oleh John Locke dan J.J Rousseau,
dimana hadirnya negara ialah sebagai pelindung dan penjamin isu krusial umat
manusia, yaitu ketentraman dan kenyamanan. Karena setiap manusia membutuhkan
ketentraman dan kenyamanan itulah, maka hadirlah negara sebagai suatu entitas
politik untuk menjamin hal tersebut. Itulah singgungan antara urusan politik
dan urusan publik, dimana didalam fenomena hadirnya transportasi online dapat dijadikan salah satu pisau
analisis, atas cacatnya peraturan kementerian perhubungan yang hadir sebagai
payung hukum dari fenomena tersebut.
1.3.2. Teori Aktor
Aktor atau figur
memainkan peran yang krusial didalam proses kebijakan publik.[10] Aktor didalam formulasi
kebijakan terdiri atas 2 tipe. Pertama, tipe
outside. Mereka berada diluar
pemerintahan tetapi memiliki peran yang cukup dominan untuk mengawal
pemerintahan dan mendesak pemerintahan. Didalam tipe ini adalah kelompok
kepentingan, Non- Government Organization
(NGO), Media Massa, Kelompok Profesional dan Lembaga Internasional. Kedua, tipe inside. Mereka yang termasuk didalam kelompok ini adalah aktor
penting didalam formulasi kebijakan dan pelaksana dari implementasi kebijakan.
Mereka yang termasuk didalam kelompok ini adalah Eksekutif/ Birokrasi, Lembaga
Perwakilan dan Lembaga Yudikatif.
Didalam menganalisis aktor- aktor
didalam pengambilan kebijakan, terdapat 5 jenis aktor. Pertama, aktor rasional, yang berusaha untuk mencapai beberapa
target yaitu akurat dalam identifikasi masalah, memperhitungkan faktor yang
akan muncul terkait permasalahan, dan kritis didalam mencari program
alternatif. Kedua, aktor politik yang
ditandai dengan proses kompromi dan tawar menawar didalam pengambilan
keputusan. Ketiga, aktor organisasi
yang menegaskan peran penting organisasi dalam pengambilan keputusan dan tunduk
pada SOP yang telah ditetapkan oleh organisasi. Keempat, aktor elit, merupakan kelompok yang sangat kuat dan
jumlahnya terbatas namun memiliki pengaruh yang luas dimana kekuatan yang
mereka miliki dipergunakan untuk melindungi kepentingan dan kekuasaan yang
mereka miliki. Kelima, aktor
istimewa, yang mengakui peran kepribadian dalam politik. Faktor- faktor seperti
kemampuan pribadi, keterampilan komunikasi, kharisma dan sebagainya menjadi
poin penting yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembuatan kebijakan.
Didalam menganalisis peran aktor non
pemerintah tersebut, tentu saja akan hadir beberapa kelompok masyarakat yang
memposisikan dirinya kedalam bentuk para aktor- aktor tersebut. Sehingga
nantinya akan dapat diidentifikasi peran apa yang mereka lakukan didalam proses
hadirnya kebijakan publik tersebut.
1.3.3. Teori Civil
Society/ Masyarakat Sipil
Chazan dalam
Triwibowo menyebutkan bahwa civil society
adalah kelompok- kelompok asosiasi yang bisa berfungsi sebagai pengerem
kekuasaan negara (sehingga dengan sendirinya selalu berseberangan dengan
negara), sebagai perantara yang budiman antara kepentingan negara dan aspirasi
lokal, atau sebagai rangkaian kelembagaan sosial yang saling berinteraksi
antarsesamanya dalam suatu struktur formal yang bisa memfasilitasi atau
menghambat tata kelola negara.[11]
Berbicara mengenai civil society, maka kitapun harus
memahami yang dimaksud dengan gerakan sosial. Gerakan sosial merupakan bentuk
aktivisme civil society yang khas.
Gerakan sosial menjadi khas karena aktor- aktor yang terlibat diikat oleh
identitas kolektif yang dibangun diatas dasar kebutuhan dan kesadaran akan
keterhubungan (connections). Habermas
menyebutkan bahwa gerakan sosial adalah 'ruang antara' (intermediary space) yang menjembatani civil society dengan negara. Melalui ruang tersebut, gerakan sosial
mampu mempolitisasi civil society
tanpa harus mereproduksi kontrol regulasi dan intervensi seperti apa yang
dilakukan oleh negara. Dalam pandangan Melucci, proses politisasi dalam 'ruang
antara' itu telah memampukan gerakan sosial untuk menyampaikan pesan mereka
kepada masyarakat secara keseluruhan dan kepada aktor politik diluar civil society. Maka gerakan sosial
adalah sumber harapan (source of hope)
bagi revitalisasi demokrasi menghadapi perkembangan masyarakat yang makin
kompleks, yaitu suatu tatanan yang lebih didominasi oleh social forces daripada social
classes. Di negara berkembang, menurut Kauffman saat mengamati bentuk-
bentuk gerakan populer akar rumput di tujuh negara (Kosta Rika, Republik
Dominika, Kuba, Nikaragua, Jamaika, Chile, dan Haiti) menyimpulkan bahwa
gerakan- gerakan tersebut bisa menjadi wadah bagi pengorganisasian,
pemberdayaan, dan mobilisasi bagi kaum yang tertindas untuk melawan penindas
serta menjadi wahana bagi perubahan menuju tatanan masyarakat yang lebih
demokratis. Gerakan sosial di negara berkembang, tidak hanya di Amerika Latin
namun juga di Asia Tenggara, secara mendasar telah menempatkan bekerjanya
sistem serta struktur politik dan pemerintahan yang demokratis sebagai tujuan
utama yang harus diwujudkan.[12]
II. PEMBAHASAN
2.1. Peran Aktor Non- Pemerintah dan Masyarakat Sipil dalam
Implementasi Kebijakan Publik
Adanya penolakan dan
resistensi oleh beberapa pihak yang tergabung dalam beberapa organisasi para
pengemudi transportasi konvensional yang melakukan beberapa aksi penolakan
terhadap kehadiran transportasi online tersebut,
melibatkan beberapa pihak. Salah satu organisasi tersebut adalah Paguyuban
Pengendara Angkutan Darat (PPAD) yang mengklaim bahwa aksi penolakan yang
disampaikan oleh para pengemudi transportasi konvensional tersebut merupakan
suatu upaya untuk melihat kembali posisi transportasi online yang tidak mengikuti aturan yang berlaku. Sebagai masyarakat
sipil, mereka memprotes akan adanya penyelenggaraan transportasi online didalam wilayah kerja mereka. Aksi
penolakan tersebut bukanlah yang pertama. Dalam beberapa waktu terakhir, di
beberapa tempat telah ada kasus yang memberitakan bagaimana terjadi resistensi
antara kedua pengemudi kendaraan tersebut yang sampai kepada tahap adu fisik.
Hingga sampai kisruh antara taksi reguler dengan taksi berbasis aplikasi masih
belum menemui titik temu yang melegakan. Terbukti dari aksi demonstrasi para
sopir taksi reguler yang menunjukkan ketidakpuasan atas sikap pemerintah yang
belum tegas.[13]
Didalam melihat fenomena tersebut,
ada beberapa peran dari para aktor non- pemerintah yang tergabung didalam
kelompok kepentingan, civil society
maupun organisasi lainnya yang menarik untuk diulas. Beberapa dari mereka
memainkan peran didalam hadirnya Peraturan Kementerian Perhubungan no. 32 tahun
2016 serta dalam implementasinya. Pertama,
para pengemudi transportasi konvensional yang tergabung dalam beberapa paguyuban
dan kelompok kepentingan lainnya. Mereka memainkan peran sebagai aktor
organisasi, meskipun langkah penolakan yang mereka lakukan tidak mencerminkan
standar operasional dari organisasi manapun. Tetapi, tujuan dari aksi
tersebutlah yang mencerminkan bahwa mereka adalah aktor organisasional. Mereka
mendesak pemerintah untuk menghapuskan transportasi online karena tidak resmi, tidak jelas, tidak terikat dengan
pemerintah dan tidak dilindungi oleh payung hukum apapun. Mereka melihat justru
dengan hadirnya transportasi online, membuat
pasar mereka lebih sempit dan persaingan menjadi lebih ketat. Mereka
mengedepankan asas kepatutan karena mereka berada dibawah organisasi bisnis
yang dilindungi oleh undang- undang dan hukum yang berlaku. Atas dasar inilah,
transportasi online semisal taxi online dan kendaraan roda dua online dinilai tidak taat aturan, dan
organisasi bisnis yang memayungi mereka tidak tertib organisasi karena tidak
terikat pada peraturan apapun.
Kedua,
aktor non- pemerintah selanjutnya adalah para pemodal dan pemilik
perusahaan. Dalam hal ini adalah pemilik Uber Taxi, Grab maupun GOJEK. Peran
mereka tidaklah boleh dilupakan karena posisi mereka sebagai top management dari hadirnya
transportasi online tersebut. Mereka
dapat digolongkan sebagai aktor politik. Hal ini dikarenakan posisi mereka yang
mengedepankan proses tawar- menawar dan negosiasi. Masih eksisnya kendaraan
berbasis online sampai hari ini
merupakan bukti bahwa mereka memiliki bargaining
position yang kuat, padahal Peraturan Kementerian Perhubungan ini baru akan
dijalankan pada bulan Oktober yang lalu, sementara Permenhub tersebut telah
dikeluarkan sejak April 2016. Bahkan, kendaraan roda dua tidak termasuk didalam
permenhub dan UU tetapi hingga hari ini masih eksis dan beroperasi. Artinya,
mereka mampu bernegosiasi dengan pemerintah untuk selanjutnya mengamankan
kepentingan mereka. Pada titik ini, para pemilik modal tersebut dapat pula
dikategorikan sebagai aktor elit dengan jumlah yang terbatas namun mampu
mengamankan kepentingan mereka sendiri. Kebijakan tersebut kemudian memberikan
gambaran bahwa sebelum diimplementasikan saja, sudah menunjukkan ada bagian
yang kurang dan harus dibenahi. Seharusnya fokus pemerintah adalah Undang-
Undang no. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dimana
implementasi kebijakan dari UU tersebut masih menuai kontroversi.
Ketiga,
para driver kendaraan online itu sendiri. Didalam hal ini,
posisi para driver tersebut lebih
kepada interest group atau kelompok
kepentingan. Sebagai masyarakat sipil, merekapun menuntut adanya kejelasan
aturan terkait profesi tersebut. Mereka pun turut serta mendesak para pemangku
kebijakan untuk segera mengeluarkan suatu peraturan agar mereka dapat
dinyatakan legal. Dalih mereka adalah bahwa perkembangan teknologi tidak dapat
dihentikan dan masyarakat harus siap dalam penyesuaian tersebut. Hal ini
ditunjukkan dengan beberapa aksi demonstrasi para driver tersebut, tetapi aksi itu justru tidak ditujukan langsung
kepada pemerintah, melainkan kepada perusahaan tempat mereka bernaung. Mereka
kemudian meminta kepada perusahaan agar menjalin kerjasama dan komunikasi
dengan pemerintah atas nasib mereka selanjutnya. Mereka pun melakukan beberapa
ancaman, yaitu dengan mogok kerja serta tetap melakukan demonstrasi. Dari
kejadian tersebut, mereka mencoba untuk membuka ruang antara diri mereka
sendiri dan pemerintah, agar aspirasi mereka dapat didengar dan kebijakan dapat
segera direalisasikan. Didalam menganalisis fenomena hadirnya Permenhub
tersebut, terdapat tiga aktor penting yang bermain sesuai dengan role player mereka masing- masing.
Tujuannya adalah untuk mencari kejelasan hukum atas nasib mereka masing-
masing. Dimana tentu saja kejelasan hukum ini hadir, tetapi tidak dapat
memuaskan semua pihak, terutama pihak pengemudi kendaraan konvensional yang
meminta agar transportasi online dihapuskan.
Dalam hal ini, pemerintah sebagai
aktor penting, juga menyadari bahwa ada kekurangan pada diri mereka. Hal itu
dipertegas oleh Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan yang menyatakan bahwa pemerintah
tidak mengantisipasi berkembangnya teknologi yang membuat moda transportasi
berbasis aplikasi menjamur seperti saat ini. Dalam UU Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak diatur tentang adanya ojek online
seperti GOJEK.[14]
Hal ini menunjukkan bahwa implementasi UU tersebut masih ada kecacatan dan
tidak mengakomodasi seluruh pihak terkait. Sehingga pemerintah segera mengambil
langkah- langkah strategis, namun dinilai tidak pas, yaitu mengeluarkan
Peraturan Menteri tetapi tidak mengajukan perubahan terhadap undang- undang
sebagai payung hukum yang lebih tinggi daripada peraturan menteri. Hal ini
terkesan bahwa apa yang dilakukan pemerintah, bertujuan untuk memberikan kepuasan
sesaat dan tidak menyelesaikan masalah. Hadirnya Permenhub dinilai tidak
akomodatif terhadap semua pihak, timpang sebelah dan mementingkan golongan
tertentu. Permenhub hanya menjadi obat tetapi tidak menyehatkan atau hanya
menjadi langkah- langkah alternatif, bukan menyelesaikan akar permasalahan.
Karena yang semestinya diperbaharui adalah Undang- Undang no. 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
2.2. Kritik dan Reformulasi Kebijakan Publik
Peraturan Menteri
Perhubungan no. 32 Tahun 2016 lebih dilihat sebagai implementasi dari Undang-
Undang no. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ditujukan
untuk mengatur sistem transportasi dan kendaraan yang berbasis internet atau online untuk dapat beroperasi dengan
leluasa di Indonesia, tanpa resistensi maupun penolakan dari pihak manapun.
Tetapi didalam implementasi kebijakan tersebut, terdapat beberapa catatan yang
seharusnya lebih diperhatikan oleh pemerintah, maupun pemangku kebijakan
lainnya. Hal ini tidak hanya menjadikan peraturan menteri perhubungan tersebut
tidak efektif, tetapi juga tidak mampu mengakomodasi segala bentuk kepentingan
warga negara demi kebaikan bersama. Ada beberapa catatan penting yang
semestinya lebih diperhatikan, dan menjadi bahan pertimbangan reformulasi kebijakan
ini. Pertama, semestinya yang diatur
didalam kebijakan ini bersifat menyeluruh atau holistik. Kebijakan ini hanya
diperuntukkan oleh para pengemudi taxi online
saja, tidak untuk kendaraan lainnya yang beroperasi menggunakan aplikasi
internent, seperti halnya ojek online. Seharusnya kebijakan ini diperuntukkan
juga untuk mereka agar tidak terjadi protes dikemudian hari, karena justru yang
paling membutuhkan suatu payung hukum adalah para pengguna moda transportasi
roda dua, mengingat begitu banyaknya pertikaian yang melibatkan para pengemudi
roda dua.
Kedua,
pemerintah harus dengan jelas untuk mempertegas apakah kendaraan roda dua masuk
didalam kategori angkutan umum atau tidak. Karena seperti halnya yang kita
ketahui, suatu kendaraan roda dua mampu untuk membawa lebih dari satu orang.
Dengan inovasi terbaru dari para produsen kendaraan tersebut, suatu kendaraan
roda dua kini mampu membawa penumpang dan barang. Sehingga, tidak menutup
kemungkinan bahwa kendaraan tersebut layak untuk digunakan dalam rangka
mengangkut penumpang dan diajadikan angkutan umum. Bisa jadi kebijakan
Permenhub no. 32 tahun 2016 ini tidak mengikutsertakan kendaraan roda dua
didalam kebijakan ini, karena dalam UU no. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan juga tidak dijabarkan dengan cara seksama ruang lingkup dan
deskripsi mana saja yang termasuk didalam angkutan umum. Kondisi yang tidak
jelas seperti ini bukan tidak mungkin akan membawa konflik dikemudian hari jika
tidak diperhatikan dengan lebih seksama.
Ketiga,
semestinya yang harus diperbaiki dan di reformulasi terlebih dahulu adalah UU
terkait Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bukan langsung mengeluarkan Peraturan
Menteri. Jika UU sebagai payung hukum yang lebih tinggi daripada Permenhub
masih ada kecacatan, sudah pasti aturan- aturan dibawahnya akan mengalami cacat
formula juga. Jika hal ini dibiarkan maka yang terjadi adalah bias kebijakan
yang tidak tepat karena rancangan kebijakan hanya bersifat refresif, bukan
preventif. Permenhub yang tidak mampu mnegakomodasi seluruh kepentingan
masyarakat ini membuat kondisi masyarakat yang tidak harmonis, karena masih ada
pihak- pihak yang merasa dirugikan. Bagaimana halnya dengan para pengemudi
kendaraan konvensional? Mereka mau tidak mau harus menerima keputusan pemerintah
yang memilih untuk melegalkan kendaraan online.
Padahal, menurut mereka, hadirnya kendaraan online
tersebut justru menghambat laju pendapatan yang mereka miliki. Dalam hal
ini mereka kemudian menjadi kelompok yang minoritas, dan pemerintah mengabaikan
kepemtingan mereka. Seharusnya, pemerintah tidak hanya memberikan izin dan
kemudian masalah selesai, tetapi harus juga mempertimbangkan aspek keadilan
sosial kepada kelompok yang lainnya. Misalnya, mengingat perkembangan teknologi
yang meningkat dengan pesat, maka pemerintah mengharuskan seluruh kendaraan
umum yang belum memiliki akses internet, agar dapat menyediakan sarana
transportasi online agar muncul
persaingan yang sehat dan kesempatan yang sama. Tetapi di dalam Permenhub ini,
sama sekali tidak ditemukan aspek- aspek tersebut.
III. Penutup
3.1. Kesimpulan
Didalam menganalisis
aktor non-pemerintah yang mendorong hadirnya suatu kebijakan, terdapat tiga
jenis aktor yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan pengaturan kendaraan
berbasis aplikasi online. Mereka
terdiri sebagai aktor organisasi, yaitu para driver kendaraan konvensional yang menuntut agar para perusahaan
penyedia transportasi online untuk
tunduk pada kebijakan yang saat ini berlaku. Mereka juga meminta pemerintah
agar melarang dan menghapuskan moda transportasi online tersebut karena dinilai melanggar hukum, liar dan tidak taat
atura. Aktor kedua yaitu para pemodal dan pemilik perusahaan. Mereka memainkan
peran sebagai aktor politik dan aktor elit. Setiap kebijakan yang hadir,
termasuk Permenhub no. 32 Tahun 2016 tersebut merupakan hasil negosiasi dan
kompromi antara pasar dan pemerintah. Sebagai aktor elit, mereka lebih berupaya
untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Aktor yang ketiga adalah para
pengemudi online. Mereka berposisi
sebagai interest group yang berupaya mendesak para pemilik perusahaan untuk mendesak
pemerintah agar mereka memperoleh aspek legal formal. Meskipun telah hadir
Permenhub no. 32 Tahun 2016 tersebut, rupanya masih ada ketidakadilan bagi
sebagian kalangan.
Ada beberapa catatan dan kritik
terkait Permenhub no. 32 Tahun 2016 tersebut, untuk kemudian dapat dijadikan
rujukan sebagai bahan reformulasi kebijakan. Pertama, semestinya yang diatur didalam kebijakan ini bersifat
menyeluruh atau holistik. Kebijakan ini hanya diperuntukkan oleh para pengemudi
taxi online saja, tidak untuk
kendaraan lainnya yang beroperasi menggunakan aplikasi internent, seperti
halnya ojek online. Kedua, pemerintah
harus dengan jelas untuk mempertegas apakah kendaraan roda dua masuk didalam
kategori angkutan umum atau tidak. Ketiga,
semestinya yang harus diperbaiki dan di reformulasi terlebih dahulu adalah UU
terkait Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bukan langsung mengeluarkan Peraturan
Menteri. Segenap kritik- kritik tersebut diupayakan agar terciptanya kebaikan
bersama yang sesuai dengan harapan masyarakat. Tujuan hadirnya suatu kebijakan
ialah menyelesaikan masalah, namun jika formulasi kebijakan tersebut tidak
jelas, maka bukannya menyelesaikan masalah, namun justru menambah masalah baru.
3.2. Saran dan Rekomendasi
Ada beberapa
rekomendasi dan saran yang dapat diberikan kepada para pemangku kebijakan,
maupun para aktor non pemerintah agar kebijakan- kebijakan selanjutnya dapat
pro terhadap kepentingan semua golongan, yaitu:
1. Pemerintah bersama
DPR harus kembali meninjau Undang- Undang no. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan. Dengan memperbaiki UU tersebut, maka pemerintah dapat
mempersiapkan suatu kebijakan yang tepat bagi permasalahan moda transportasi online tersebut.
2. Permenhub no. 32
Tahun 2016 ini seyogyanya harus diperbaiki dan direvisi kembali. Kementerian
Perhubungan harus mempertimbangkan nasig pengemudi roda dua dan nasib para
pengemudi kendaraan konvensional. Memberikan izin, bukan berarti menyelesaikan
masalah. Sehingga, hadirnya Permenhub no. 32 Tahun 2016 ini sama sekali tidak
menyelesaikan masalah, karena akar masalah tidak tersentuh sama sekali.
3. Para interest group, masyarakat sipil,
paguyuban dan aktor non pemerintah lainnya untuk tetap mengawal perkembangan
kebijakan ini. Harapannya dengan dikawalnya kebijakan ini, akan dapat
menghadirkan kebaikan dan manfaat yang dapat dinikmati bersama, tanpa harus
merasa ada pihak yang tidak diuntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
dan Jurnal
Darmawan Triwibowo. Gerakan Sosial Wahana Civil Society bagi
Demokratisasi. Jakarta: LP3ES
Indonesia, 2006.
Irfan Islamy, Prinsip- Prinsip Perumusan Kebijaksanaan
Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Fourteenth
Edition. New Jersey: Pearson Education.
2013
Widya Wulandari,
Analisis Efektivitas Transportasi Ojek Online Sebagai Pilihan Moda Transportasi di Jakarta (Studi Kasus:
GO-JEK Indonesia). Skripsi. Jakarta: Universitas Esa Unggul.
Internet dan Lainnya
Kuliah Kebijakan
Publik bersama Andrinof. A. Chaniago. Fisip UI, 5 Oktober 2016
Kuliah Kebijakan
Publik bersama Julian Aldrin Pasha. Fisip UI, 28 September 2016
http://nasional.sindonews.com/read/1035305/149/aplikasi-online-angkutan-perlu-aturan-1440118213
http://jdih.dephub.go.id/assets/uudocs/permen/2016/PM_32_Tahun_2016
http://tekno.kompas.com/read/2016/04/21/08470037/Diam-diam.Kemenhub.Sudah.Terbitkan.Aturan.Taksi.Online.Ini.Poin-poinnya
http://setkab.go.id/soal-ojektaksi-online-pemerintah-punya-pilihan-perbaiki-undang-undang-atau-dilarang/
http://www.indotelko.com/kanal?c=bid&it=indonesia-aturan-transportasi-online
http://inet.detik.com/read/2016/03/23/064214/3171165/398/menebak-cara-pemerintah-atasi-kisruh-transportasi-online
[1] Widya Wulandari, Analisis
Efektivitas Transportasi Ojek Online Sebagai Pilihan Moda Transportasi di
Jakarta (Studi Kasus: GO-JEK Indonesia). Skripsi. Jakarta: Universitas Esa
Unggul. Hlm. 2
[2] Lihat:
http://nasional.sindonews.com/read/1035305/149/aplikasi-online-angkutan-perlu-aturan-1440118213
[3] Lihat:
http://jdih.dephub.go.id/assets/uudocs/permen/2016/PM_32_Tahun_2016.pdf Diunduh
pada Hari Kamis, 27 Oktober 2016, pukul 18.24 WIB
[4] Lihat: http://tekno.kompas.com/read/2016/04/21/08470037/Diam-diam.Kemenhub.Sudah.Terbitkan.Aturan.Taksi.Online.Ini.Poin-poinnya
[5] Lihat:
http://setkab.go.id/soal-ojektaksi-online-pemerintah-punya-pilihan-perbaiki-undang-undang-atau-dilarang/
[6] Lihat: http://www.indotelko.com/kanal?c=bid&it=indonesia-aturan-transportasi-online
[7] Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Fourteenth Edition. New Jersey:
Pearson Education. 2013. Hlm. 11
[8] Irfan Islamy, Prinsip- Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara,
1991. Hlm. 77
[9] Kuliah Kebijakan Publik bersama
Andrinof. A. Chaniago. Fisip UI, 5 Oktober 2016
[10] Kuliah Kebijakan Publik bersama
Julian Aldrin Pasha. Fisip UI, 28 September 2016
[11] Darmawan Triwibowo. Gerakan Sosial Wahana Civil Society bagi
Demokratisasi. Jakarta: LP3ES Indonesia, 2006. Hlm. 2
[12] Ibid. Hlm. 5-6
[13] Lihat:
http://inet.detik.com/read/2016/03/23/064214/3171165/398/menebak-cara-pemerintah-atasi-kisruh-transportasi-online
[14] Lihat:
http://inet.detik.com/read/2016/03/23/064214/3171165/398/menebak-cara-pemerintah-atasi-kisruh-transportasi-online