Dilema dan galau adalah dua titik singgung pertemuan antara inspirasi dan gejolak hati. Dua hal itu adalah esensi kalbu yang membangkitkan suatu intuisi progresif untuk bergerak dan berkarya, contohnya saja dengan lahirnya tulisan ini.
Terkadang ada asumsi yang menyatakan bahwa, tulisan mewakili perasaan penulisnya atau mewakili apa yang sedang dialami penulisnya. Saat kata2 romantis, dengan dialektika pujangga yang merindu cinta menandakan sang penulis tengah berbunga-bunga. Lain halnya apabila yang termaktub dalam tulisan itu adalah kata2 gundah, gulana, merana, tersiksa, merintih, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ia tengah dilema.
Yups, D.I.L.E.M.A,,adalah sebuah kata penuh makna, penuh cerita, dengan tutur prosa penuh wacana, yang biasanya dikaitkan dengan sebuah romantika. Indah, namun menyiksa. Perih, tapi menggelora.Ya, dilema inilah yang menjadi sumber air ditengah gurun saat seorang musafir merasa kehausan. Dilema ini mewakili berjuta perasaan hati yang berkecamuk dalam kalbu, membuat gusar hingga hati tak nyaman. Dilema juga merupakan bentuk pelarian dan pemberontakan hati atas realisasi yang tak pasti.
Aku sedikit menertawakan diriku ketika aku harus mengakui bahwa aku tengah DILEMA. Aku yang biasanya perfeksionis, realistis, visioner, namun akhirnya harus tersungkur akibat jeritan hati sendiri. Benar- benar dilematis, dengan sisi yang melankolis. Namun, ada satu sisi yang membuat seorang individu ini merasa jatuh, namun disisi lain ia merasa maju. Mengapa?, karena segala sesuatu yang terjadi pada dirinya, mampu ia manfaatkan menjadi peluang luar biasa untuk dirinya kedepannya. “Memanfaatkan krisis menjadi peluang’, itulah bahasa kerennya. Contohnya saja aku, yang biasanya menulis sesuatu yang ilmiah, yang rasional, tapi ternyata harus tergerus dengan perasaan hati sendiri sehingga membuat tulisan ala pujangga seperti ini. Hal ini membuat aku teringat kata2 seseorang yang sering berkata kepadaku seperti ini “ anggaplah apapun yg terjadi sebagai sebuah gerhana, bukan terbenamnya matahari”. Entah ia dapat kata2 itu dari siapa atau dari buku apa, namun kata2 itu cukup tendensius tuk membangkitkan motivasi.
Aku sejenak berfikir dan merenungi nuansa dan warna yang tengah terjadi dalam hati ini. Aku berfikir dari sisi diriku yang paling polos, tak ada unsur politis, tak ada unsur pragmatis. Benar- benar polos. Aku kembali merenungi peta atau alur hidup yang telah ku rancang dan ku susun beberapa tahun lalu,yang pada akhirnya muncul suatu pertanyaan, adakah aku harus merubahnya? Adakah aku harus menerima perubahan sehingga peta itu harus berubah?ataukah aku memang harus merancang peta yang baru lagi, yang sesuai dengan kondisi dan peluang saat ini? Ah, masalah hati benar-benar krusial dan tak masuk akal.
Ataukah ini pertanda aku jatuh cinta? Hahahahah...
Nampaknya, telah lama rasa itu hilang dari hati ini, telah lama lidah ini tak keluh untuk menyampaikan rayuan, dan telah lama peluh ini tak keluar hanya sekedar merasakan arti pengorbanan. Ya, apabila getaran- getaran ini di cocokkan dengan ciri2 orang jatuh cinta, maka dapat ditarik kesimpulan, aku jatuh cinta.
Nampaknya, telah lama rasa itu hilang dari hati ini, telah lama lidah ini tak keluh untuk menyampaikan rayuan, dan telah lama peluh ini tak keluar hanya sekedar merasakan arti pengorbanan. Ya, apabila getaran- getaran ini di cocokkan dengan ciri2 orang jatuh cinta, maka dapat ditarik kesimpulan, aku jatuh cinta.
Cinta itu sangat krusial, menantang adrenalin, namun indah dan sejuk terasa. Aku merasa ada di musim semi walaupun di Indonesia tak ada musim semi, aku merasa terlelap akan angin selat bosporus, walaupun aku tak pernah melihat dan merasakannya. Indah jika dikenang, keluh saat dipandang. Mengapa? Ya, karena aku butuh kepastian. Aku perlu sesuatu yang membuat ku yakin bahwa dia ada untukku. Aku perlu pasword, agar aku bisa log in ke hatinya, aku perlu uang seribu perak tuk membeli karcis parkir agar aku dapat memarkir hatiku kehatinya dan aku perlu Flashdisk tuk menyimpan tentang dirinya, karena memori hatiku telah penuh akan cerita tentangnya. Tapi mengapa harus dia? Ya, mengapa dia? Karena ku yakin orang tuanya adalah astronot, sebab bulan dan bintang itu kulihat dimatanya, serta janjiku padanya bahwa aku tak menjanjikan bulan bintang padanya, tapi aku kan memberikan kebahagiaan dibawah cahaya bulan dan bintang itu J
Aku yang biasanya retoris, harus bungkam saat ia ada didekatku. Aku yang biasanya expert strategi, nyatanya luluh saat matanya menatapku. Ketahuilah kawan, aku mati rasa dalam kondisi seperti ini. Aku terdepak dan selalu blunder dalam setiap moment tentang dirinya. Aku terkesiap............ L
Cinta ini tak hanya indah dilukiskan dengan sebuah pena, namun butuh kontribusi real dan efektif dalam pengorbanannya. Cinta inipun tak hanya indah tuk diperdebatkan, namun indah pula tuk dikenang dalam memoar terindah sejarah peradaban..
Tapi..... J
Percayalah, setiap laki-laki perlu waktu tuk mengambil suatu keputusan pasti untuk masa depannya. Tampillah sebagai sosok anggun Armanusa yang cintanya tak pernah luntur kpda Ibnu Amil qays, hingga ajal memisahkan, dan jalan dakwah diutamakan..
Percayalah bahwa galau dan dilema ini adalah motivasi hati tuk hati perindu kasih.
Dan selalulah percaya, bahwa cinta diujung pena itu, adalah ilusi tak pasti, retorika semu, dan apatisasi kalbu, karena cinta itu anugerah terindah dari Al Khalik, Rabb, azza wajalla.
Dibuat dalam heningnya senja..
17 oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar