Sejarah telah banyak menyimpan dan merekam segala bentuk peristiwa- peristiwa kelam yang dapat dijadikan cerminan untuk berbuat dan berubah di masa ini maupun di masa yang akan datang. Peristiwa- peristiwa ini adalah dokumentasi sejarah, penentu nasib serta landasan realistis yang dijadikan acuan paradigma dalam menentukan sikap, etika, serta kebijakan yang pantas diterapkan dan cocok bagi masyarakat penikmat hasil dari sejarah tersebut. Sejarah inilah nantinya yang akan menunjukan sejauh mana azas- azas moralitas masih bertahan dan memberikan dampak maupun kontribusi efektif, dasar dari pembentukan karakter, maupun pandangan dasar ideologi bagi masyarakat.
Bung karno, merupakan tokoh sentral proklamasi,yang dalam sejarahnya selalu berpesan pada generasi negeri ini dengan semboyan “Jas Merah”, -jangan sekali- kali melupakan sejarah-, nampaknya telah hilang dan tergerus dalam nurani generasi saat ini. Praktik asusila yang jauh dari norma, korupsi yang menjamur hanya dianggap ilusi, serta demokrasi yang tak kunjung hasilnya datang menghampiri, adalah buah dari gerusan cacatnya globalisasi. Meskipun ini adalah hasil dari didikan para pendahulu, adakah kita harus menyalahkan pendahulu tersebut sebagai biang keladi, kambing hitam, atau apalah istilahnya, sebagai asal muasal dari kelamnya negeri ini?
Indonesia nampaknya telah kehilangan dialektikanya sebagai negara agung nan terhormat, akibat gerusan politik aliran yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada kemashalatan umat negeri ini. Alur demokrasi yang dianggap sistem paling mumpuni, nampaknya hanya sebuah ilusi negeri dongeng bagi anak- anak sebelum tidur. Lantas, dimanakah peran mahasiswa?. Pertanyaan ini mengingatkan penulis pada sebuah artikel yang ditulis oleh M. Ikhsan Shiddiegy yang berjudul “Mempertegas peranan dan fungsi Mahasiswa’, yang dikomentari habis- habisan oleh kawan- kawan mahasiswa lainnya dalam sebuah situs jejaring sosial. Pandangan yang terangkum dalam artikel itu, nampaknya adalah suatu madu bagi mahasiswa, yang selalu menjadi bagian sejarah bangsa, penggerak roda demokrasi yang menempatkan mahasiswa sebagai pelopor, pembaharu bahkan sebagai decision maker dalam praktiknya. Selanjutnya ia memaparkan perjalanan bangsa indonesia yang selalu melibatkan mahasiswa, yaitu dalam orde lama, orde baru hingga tegaknya reformasi. Persepsi yang bergairah, berani, dengan estetika romantisme sejarah.
Berbicara mengenai generasi muda dan negaranya, Indonesia, yang menurut M. Ikhsan Shiddiegy tadi adalah agen pembaharu, yang sering dikenal dengan agent of change, nampaknya memberikan asumsi ketidaksepakatan antara gelar yang disandang dengan aksi lapangan yang dilakukan oleh generasi saat ini. Begitu mirisnya realitas yang terjadi akhir-akhir ini, menimbulkan degradasi berkepanjangan bagi stabilitas negara. Dimulai dari menjamurnya korupsi, angka kemiskinan yang tinggi, krisis pangan dan sumber daya, kecelakaan akibat kurangnya infrastruktur dan lemahnya potensi sumber daya manusia, adalah lagu lama yang selalu berdendang setiap harinya dan diberitakan melalui televisi secara berlebih, kemudian dikonsumsi oleh publik, sehingga muncullah opini publik yang bersifat anti trust kepada pemerintah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pola pikir, dan diwariskan kepada generasi-generasi selanjutnya, maka yang ada hanyalah negara dengan orang- orang krisis kepercayaan. Generasi- generasi saat ini yang merupakan didikan generasi sebelumnya dan nantinya akan mendidik generasi selanjutnya, sejatinya perlu melakukan perubahan signifikan secara mendetail dalam setiap aspek kehidupan, karena apabila hal ini terus dibiarkan, akan menimbulkan sindrom yang terus menyebar tanpa ada hentinya. Disinilah dibutuhkannya peran generasi muda dan mahasiswa.
Kita seharusnya sadar dan mengerti, bahwa mahasiswa maupun generasi muda adalah entitas kompleks, yang tak hanya harus dibatasi fungsi dan peran sebagai pengawas reformasi namun juga harus memiliki visi dan ekspectasi. Ketika kita berbicara mengenai semangat bhineka tunggal ika, yang merupakan ikatan tersirat setiap jiwa yang ada di bumi pertiwi ini, yang merupakan titik singgung nan sentralistik pergerakan bangsa, serta sebagai arus penggerak menuju suksesi tujuan negara sesuai yang diamanatkan UUD 1945, tentunya kita dapat menarik benang merah problematika yang menjadi pusat degradasi bangsa, yaitu adanya unsur- unsur primordialisme dan etnosentrisme dalam setiap aspek kehidupan. Bahkan, yang menjadikan hal ini sebagai sesuatu yang berbahaya, ialah disaat unsur-unsur ini juga dijadikan asumsi dan perpektif dalam menentukan suatu kebijakan, baik dalam ranah legislasi maupun eksekutif. Ironisnya, standar ketegasan fungsi, yang ternyata menimbulkan afiliasi negatif dalam idealisasi sistem negara, nyatanya jauh dari harapan demokrasi sebenarnya. Amanat demokrasi, yang menurut Abraham Lincoln bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan nampaknya hanya sekedar isapan jempol di negara ini. Legitimasi yang diberikan pemerintah terhadap rakyat semata- mata hanya bertujuan untuk membatasi akses pergerakan rakyat sebagai pengawas pemerintah. Rakyat selalu terjebak dengan permainan media dalam memanipulasi fakta yang secara tidak sadar membawa kita pada suatu sistem reformasi yang hedonis-materialis. Akibat dari adanya rakyat atau generasi yang sadar reformasi, namun terkadang materialis, hasil dari isu media yang memunculkan pandangan bahwa setiap gerakan pasti ada yang menungganginya. Ditambah lagi dengan alur pergerakan yang berbeda, yang tentunya menciptakan keseragaman visi dalam pergerakannya.
Satu hal yang harus kita sadari dan kita pahami, menciptakan sebuah hasil tak lepas dari terjadinya suatu proses. Dengan artian, proses inilah yang nantinya akan menciptakan dinamika dinamis serta alur yang harmonis dalam mencapai konsensus bersama. Namun, yang menjadi akar masalahnya, Indonesia nampaknya telah melalui berbagai proses yang panjang, sejarah yang malang-melintang hingga era- era historistik nan heroik yang jarang sekali dialami oleh bangsa lain, tetapi hasilnya selalu dengan stagnansi yang tak pasti. Sesungguhnya, apa yang menjadi laju penghambat majunya negeri ini?, apakah pragmatisasi bangsanya, ataukah tak ada sistem yang pantas dan dominan untuk mendampingi negeri ini dalam mencapai harmonisasi masyarakat dan peradabannya?. Apabila menekankan pada sistem, Indonesia sesungguhnya telah belajar banyak bahkan telah khatam dengan sistem yang bernama demokrasi, karena sesungguhnya kita mengetahui bahwa Indonesia mengganti sistem sama seperti mengganti spare part kendaraan. Masih bisa diperbaiki, namun selalu ingin diganti. Itulah egoisitas Indonesia, yang pada akhirnya menetapkan demokrasi sebagai sistem utama yang mendampingi reformasi dalam menciptakan peradaban negeri.
Demokrasi yang pada umumnya terletak berdasarkan kedaulatan rakyat, nampaknya menuai otokritik di Indonesia. Demokrasi sebagai suatu icon global memiliki relevansi antara kehidupan manusia dengan sistem yang berlaku dalam mengatur tata kelola negara Indonesia. Secara teoritis, inti atau substansi demokrasi, sebagaimana telah dimaklumi ialah kedaulatan rakyat. Artinya poin utama dalam demokrasi ialah adanya suatu langkah strategis dalam menerapkan suatu sistem politik kerakyatan dan pemerintahan yang kondusif serta profesional. Namun, teori pada dasarnya memiliki kecacatan yang selalu bertolak belakang dan berbanding terbalik dengan realitas. Akar permasalahan dalam sistem ini ialah munculnya suatu substansi bahwa rakyat memegang kendali penuh, penentu baik dan buruk, hitam dan putih maupun halal dan haramnya suatu tindakan. Sehingga menimbulkan suatu disintegrasi politik yang menempatkan elite politik sebagai pembuat kebijakan, menduduki peringkat teratas sebagai kaum minoritas yang berkuasa. Demokrasi yang berakar pada dalil seperti itu, pada dasarnya ialah demokrasi yang tak memiliki suatu substansial, karena pada praktiknya demokrasi seperti ini hanyalah suatu upaya untuk menciptakan peluang negatif dari rumusan Trias Politica, yaitu eksekutif, legislatif dan lembaga yudikatif sebagai pioner utama sistem kelola negara ini. Sehingga, apabila terjadi ketimpangan politik tentunya tak mengherankan, karena pada faktanya parlemen/DPR sebagai penyalur aspirasi dan pembentuk undang- undang kebijakan, sering dikuasai oleh elit politik, para pemilik modal (borjuis) maupun keduanya, yang tentunya akan menciptakan suatu atmosfir kapitalis bahkan sekuler yang arogan dan tak memihak rakyat. Suara mayoritas yang dihasilkan hanyalah mencerminkan suara mereka yang minoritas, karena pada dasarnya yang terjadi disini ialah tirani minoritas.
Dengan demikian, permasalahan saat ini tak lebih dari masalah sistem, karena sistemlah yang mengatur dan membatasi setiap pola interaksi dalam negeri, baik secara pluralitas, multikultural hingga hubungan dari unsur primordialisme dan etnosentrisme tadi. Sebagai catatan, apabila Indonesia selalu bersikeras untuk menjadikan demokrasi sebagai landasan kongkret sistem kehidupan bangsa, maka seyogyanya demokrasi yang dijalankan harus benar-benar demokrasi yang mapan, sesuai standar operasional, berdasarkan ruh kerakyatan untuk mencapai entitas kehidupan bangsa. Misalnya saja, praktik dan penerapan otonomi daerah, yang berasaskan desentralisasi dan dekonsentrasi, dirasakan menimbulkan kekeliruan dan ketidakpuasan bagi sistem demokrasi itu sendiri. Daerah otonom yang diberikan kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, akhirnya terpaksa harus dicampuri oleh pemerintah melalui perpanjangan tangan desentralisasi dan dekonsentrasi, sehingga praktik korupsi dan kolusi selalu mewarnai deal-deal-an politik antar birokrasi. Inikah demokrasi ala Indonesia yang dianggap paling pantas untuk mengatasi kemiskinan, korupsi, pengangguran dan lain- lain?. Maka dari itu, nampaknya Indonesia harus mengalami suatu revolusi kembali dalam mereduksi sistem, yang sesuai dengan alur ruhiyah demokrasi, yaitu memberikan kewenangan penuh kepada daerah yang dijadikan acuan inti dari sistem ini, karena penyelenggaraan otonomi daerah semestinya mendorong terjadinya proses otonomi pendidikan moral di tingkat daerah. Adanya Otonomi daerah bertujuan agar pengelolaan dan penyelenggarakan pemerintahan lebih sesuai dengan konteks kebutuhan daerah yang bermutu dan adil. Hasil dari otonomi daerah dan otonomi pendidikan adalah out put yang cerdas secara nasional dan arif dalam tingkatan local. Out put yang cerdas dan arif ini secara umum akan membentuk tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik, berhasil dan produktif sesuai dengan konteks dimana ia berada. Dan melalui pemerintahan yang mengerti lokalitas (yang sesuai dengan kebutuhan daerah) menjadi satu-satunya media pembentuk masyarakat tamadun (beradab), yang menjadikan manusia berada pada piramida tertinggi dalam pola relasi kehidupan di dunia (khalifatullah fil Ardh) berguna dan bernilai sesuai dengan konteks kedaerahan dan kebutuhan masyarakatnya.
Selanjutnya, langkah strategis untuk mengatasi problematika ini dan penunjang sistem ini ialah dengan cara menjadikan Indonesia sebagai negara federal yang setiap negara bagiannya memiliki kekuasaan penuh, hak mutlak serta otoritas dalam mengurus daerahnya. Gagasan ini ditunjang dengan kondisi Indonesia yang berkepulauan dengan variasi budaya dan culture dari masyarakatnya, sehingga tidak akan lagi menciptakan perbedaan pandangan dan dasar ideologi antar daerah. Walaupun, Indonesia pernah berbentuk negara serikat/ RIS pada tahun 1950, namun kondisi yang ada pada saat itu jauh berbeda dengan entitas demokrasi saat ini. Dengan artian, apabila indonesia menerapkan sistem demokrasi dengan bentuk negara seperti ini, sesungguhnya hal ini jauh lebih baik dalam memahami arti bhineka tunggal ika secara kaffah. Tetapi, bentuk federalisasi inipun haruslah ala Indonesia yang sesuia dengan kehidupan masyarakatnya, yaitu dengan adanya koordinasi antar daerah secara moralistik yang diatur oleh Undang- undang (UU), dan berkonstitusi secara kondusif, menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas, niscaya semangat bhineka tunggal ika, akan selalu menjadi pilar pembangun peradaban negeri ini, tanpa ada korupsi, tanpa ada yang tersakiti. Karena itu, apabila Indonesia ingin menjadi suatu negara demokrasi yang mapan, yang memiliki kedaulatan dengan kehormatan dan kejayaan sebagai pilar utama, diperlukan suatu mobilitas sosial dengan pembaharuan dan rumusan demokrasi modern sebagai aset utama, yang selalu tetap memegang budaya kearifan lokal sebagai dasar untuk menciptakan negara yang bersikap nasionalis religius.
Semangat inilah yang seharusnya selalu tersemat dalam diri dan jiwa generasi yang mengaku dirinya sebagai pembaharu, eksistensi yang menggebu dengan cita- cita tertinggi sebagai kontribusi rakyat terhadap negaranya. Lupakan segala kisah kelam negeri ini dan marilah menatap segala ekspectasi yang dipundak kita bergantung segalanya. Kita kembalikan kejayaan negeri ini sebagai negeri bermartabat, penuh dengan kreasi yang dinamis serta berdaulat sesuai amanat rakyat. Jayalah Indonesiaku!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar