Kulalui malam ini seperti malam- malam biasanya. Dingin, karena hujan ini dan hujan kemarin membasahi tembok dan tanah tempat badan ini terbaring. Pengap, karena kutahu sejak pagi tadi jendela kamar ini tak tersingkap penutupnya. Panas, terasa hanya dalam hati ini, seakan menusuk- nusuk tajam, merobek, terkoyak, hilang.
Malam ini tak lebih seperti malam kemarin, yang kulalui dengan sendu, tak ada tawa dan canda apalagi kisah- kisah epiknya romantika. Kucoba membuka kembali buku “Filsafat AlFatihah”, buah pemikiran Drs. H. Inu Kencana, M.Si, yang baru sebagian kubaca kemarin malam, tapi otakku menolaknya. Kemudian kuraih buku “Dahsyatnya Syahwat Mata” hasil pemikiran Abdul Hamid bin Abdirrahman As-Sahibani, tetap saja keengganan untuk membaca atau sekedar melihat- lihat isinya tak mampu membuatku untuk tertarik.
Tiba- tiba mataku sedikit bercumbu dengan sebuah buku bersampul hijau di lemari ini, ah, darahku berdesir saat melihat judulnya, karena kuyakin yang dimaksud dalam judul itu belum tentu pernah atau ingin membacanya. Buku itu berjudul “Risalah Fiqih Wanita”, hahaahahy.
Ah, wanita lagi. Sepertinya hidupku tak pernah lepas untuk sehari saja dari “kata” itu. Bukan maksud pamer ataupun sombong, apalagi mengklaim diriku sebagai seorang yang paham benar tentang wanita. Tidak kawan, kali ini hal pertama yang terlintas dalam benakku adalah ia yang menjadi cahaya dihatiku, yang cahayanya lebih indah dari batu safir manapun, yang pelukannya paling hangat melebihi permadani yang dimiliki oleh Mumtaz Mahal, yang senyumannya lebih indah melebihi senyuman Cleopatra terhadap panglima romawi,Yulius Caesar dan Mark Antony, yang kata-katanya lebih hebat dari Hitler, Stalin, Lenin hingga Mario Teguh sekalipun. Dialah the great women, wanita sesungguhnya, yang namanya selalu nomor satu dalam setiap insan, digaungkan sepanjang sejarah peradaban, dihormati hingga tetes keringat dan darah penghabisan, dicintai dengan kalbu penuh penghayatan. Apabila disebutkan namanya, raja yang lalim nan kejampun akan meneteskan air mata, pemimpin tangguhpun kan gundah gulana apalagi kita yang hanya seorang rakyat jelata. Ia adalah the guardian angel, malaikat baik hati tanpa pamrih, itulah ia yang sering kita sebut dengan sebutan IBU.
Aku tahu dan sangat paham bahwa setiap insan memiliki ceritanya sendiri tentang ibunya. Romantika bersama ibu jauh melebihi nilai estetika dengan wanita manapun. Aku yang selalu terbiasa menulis sesuatu yang berhubungan dengan percintaan, atau hal- hal yang sejatinya berhubungan dengan negara, merasa tertampar dan merasa bersalah karena hingga saat ini aku tak pernah menulis tentang ibuku. Ketika sejarah mencatat kelam dan suramnya perjalanan negeri ini, ada ide dalam benak untuk mengkritisinya. Ketika cinta kita tak berbalas, atau asa tak mampu diraih, status di Facebook dan twitterlah yang menjadi curahan pertama dalam benak kita. Padahal disana, dirumah tempat kita tumbuh dewasa, duduk ibu diatas singgasana cintanya menanti keluh dan kesah kita. Tak peduli peluh, tak pernah ada ragu, karena senyum itulah yang selalu menunggu. Tak ada galau apalagi dilema, yang ada hanya rindu yang membara.
Ah, aku teringat Ibu malam ini, kawan. Aku teringat disaat ia menyapaku dengan senyum dan tutur kata yang halus, aku teringat saat dimana ia tengah duduk tafakkur disertai linangan air mata, bermuhasabah dengan Rabb nya demi keberhasilan anaknya, aku teringat saat peluh itu membanjiri sekujur tubuhnya hanya untuk menenangkan perut anaknya disaat perutnya sendiri tak ia hiraukan. Realistis, sederhana, biasa, namun itulah estetikanya. Banyak anak di masa sekarang yang dengan bangga dapat berkisah alur cintanya dengan kekasihnya, seru untuk membicarakan romantis dan epiknya cinta, namun “kering” saat cinta terhadap ibunya. Maka bersyukurlah saat ibu masih mampu membimbingmu, saat ibu masih dapat tersenyum padamu, saat kau masih diberi kesempatan untuk mencurahkan cinta padanya.
“Ya Allah, apa saja gangguan yang telah ia rasakan, atau kesusahan yang telah ia derita karena aku, atau hilangnya sesuatu haknya karena perbuatanku, maka jadikanlah itu semua sebagai sebab susutnya dosa-dosanya dan bertambahnya pahala kebaikan dengan perkenan-Mu”
Demi Rabb yang cahayanya tiada tandingannya, demi kasihMu yang tak pernah henti, jagalah ia, Ibuku dalam cinta yang suci, sama seperti disaat ia menjagaku. Panjangkanlah umurnya agar aku masih diberi kesempatan untuk melebur dosa- dosaku, dan berikanlah ia tempat yang layak di Arasy-Mu saat ia berpulang menghadapmu nanti. Ya Rabb yang maha perkasa nan maha kuasa, jadikanlah kami sebagai generasi terbaik negeri ini, generasi yang mampu membawa agama dan negeri ini kembali pada puncak kejayaannya, generasi yang mampu membahagiakan ibu-ibu kami, jauhkanlah kami dari arogansi kekuasaan, butanya hati, ilmu yang tidak bermanfaat serta amanah yang dikhianati. Kabulkanlah doa kami sama seperti Engkau mengabulkan doa Ibrahim agar tak dilalap api, doa Musa saat menghadapi Fir’aun yang tak punya hati serta doa Rasulullah SAW demi umatnya dan tegaknya syariahMu, Rabb azza wajalla.
"Ya Rabb, ampuni jikalau sorot mata kami pernah melukai hatinya, ampuni jikalau tutur kata kami pernah mencabik-cabik perasaannya, ampuni jikalau kami tak mampu balas budi. Ya Rabb, lapangkanlah ia disaat kesempitan menghimpitnya, dekatkanlah ia kami dengannya di sisa- sisa umur kami dan sampaikanlah salam cinta kami padanya, walaupun dimensi jarak dan waktu memisahkan kami".
Ditulis dalam heningnya malam,
Di kamar penantian cinta,,,
Wisma Tlogosari, 9 November 2011, jam 2.49
Dari Anak yang mencinta dan selalu mencintaimu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar