Sub Tema : “Membangun
Pemimpin yang Berkarakter dan Berintegritas Menuju Era Baru”
Oleh
: Joni Firmansyah**
Mahasiswa, identik
dengan idealismenya, rela bergerak bahkan memang harus bergerak demi
ideologinya, yang sejatinya telah menjadi fitrah dan komitmen secara ideologis
untuk berderap dan melaju menuju sinergisitas peran mereka. Mahasiswa, dalam
paradigma M. Iksan Shiddegy, sesuai buah pemikirannya dalam sebuah jurnal
pembaharuan, secara terang-terangan mempertanyakan kembali eksistensi generasi
muda saat ini yang sangat jauh dari kata “bergerak”. M. Iksan Shiddegy,
mengklasifikasikan mahasiswa dalam tiga kategori. Pertama, ialah mahasiswa
aktifis, yang hobinya narsis, senang berretoris dan merasa sok laris. Mahasiswa
seperti ini menjadikan organisasi sebagai tujuan utama, meyakini bahwa apa yang
mereka lakukan demi kepentingan rakyat, sehingga mereka terbawa suasana
“perjuangan” kampus guna kepentingan rakyat, hingga menunda kelulusan mereka
agar lebih memudahkan alur mereka dalam mengurus rakyat, padahal dengan menunda
kelulusannya, artinya ia lebih banyak menghabiskan uang orang tuanya, yang
notabenenya adalah rakyat juga. Kedua, ialah mahasiswa teks book, mahasiswa teoritis yang lebih suka berkutat dengan
teori- teori gampangan dan murahan tanpa adanya kongklusi realistis. Mahasiswa
ini jarang berkoar dijalanan, jarang pula ikut aksi tapi lebih senang diskusi
dan update status di FB dan Twitter. Mahasiswa ini lebih senang berkoar didunia
maya, lebih menyukai diskusi satu arah, namun ketika dipertanyakan integritas
serta pemahaman asumsi faktualnya, mereka hanya bungkam serta diam, tanpa ada
pembelaan berarti. Ketiga ialah mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah
pulang), yang tak peduli mau ada aksi, tak peduli dekan dan pejabat kampus
korupsi, yang terpenting absen mereka penuh terisi, maka aman dan usailah
sudah. Selanjutnya ialah tipe keempat, yaitu segelintir mahasiswa yang no background, no perception dan beraksi
melawan kaum ideologis. Pergerakan mereka sama layaknya kaum-kaum Sophies pada masa Socrates, yang merasa
dirinya sebagai golongan paling cerdas, anti perubahan atau biasa yang disebut
sebagai pragmatis-apatisasi gerakan. Mahasiswa dalam porsi ini, hanya bisa
mempertanyakan, tanpa ada solusi ataupun jalan keluar perubahan. Hanya bisa
mengkritik, tanpa ada paradigma teori yang jelas. Alur yang dibangun nampaknya
membentuk gerakan revival, yaitu gerakan
penyucian diri, dengan etnosentris dan primordialis yang menjadi dasar gerakan.
Mereka selalu bersifat antipati dan berkeinginan memotong alur gerakan,
bersifat oppurtunistik, pengecut dan bertopeng. Mengklaim dirinya sebagai
aktor, nyatanya sebagai “tikus-tikus kantor” yang hanya bisa menggerogoti dan
memutarbalikkan fakta serta asumsi yang ada. Selanjutnya, karakteristik yang
terkahir ialah Progresif-Revolutioner, yaitu golongan mahasiswa yang memiliki
ekspektasi yang realistis, penuh perhitungan, matang perencanaan, serta
bersinergis terhadap perubahan. Mahasiswa seperti ini penuh dengan ide, penuh
dengan harapan, yang teraplikasi dalam tindakan. Memiliki kesinambungan progres
akademis, dengan tinjauan futuristik nan strategis visi dirinya kedepannya.
Itulah pandangan
sekilas dari M. Iksan Shiddegy tadi, atas realitas mahasiswa yang sudah tak
sinergis, tak sejalan, tak satu visi maupun sudah tak satu dalam pergerakan.
Dilematisasi ini, menjadikan negara ini galau atas peradabannya, keluh dalam
pergerakannya, dan merintih atas distorsi kepentingan. Negara dengan pancasila
dan demokrasi sebagai pilar penggerak, nyatanya harus kecewa dan termentahkan
dengan peran pemuda yang tak memiliki stabilitas lagi.
Dari berbagai asumsi dan
pandangan yang ada, penulis teringat dan “tergelitik” kembali dengan euforia
kisah-kisah masa lalu dalam pengkaderan kepemudaan. Penulis teringat atas
kata-kata bertenaga Ir. Soekarno, “Jas Merah”, jangan sekali-kali melupakan
sejarah, memberikan pembelajaran sinergisitas peran generasi muda. Kita dapat
belajar bagaimana Socrates membina Plato dan Aristoteles dalam menempatkan “batu”
pertama dalam science, kita dapat
mengikuti bagaimana Karl Mark mengasuh Lenin dan Stalin menjadi founding father
komunis dunia, hingga kita dapat belajar bagaimana Rasulullah SAW membina Abu
Bakar As-Syiddik, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, serta Ali bin Abi Thalib
dalam menegakkan syariah Islam sebagai Agama Rahmatan Lil Alamin, dan
melahirkan pemuda terhebat dalam dunia kemiliteran yang pernah ada, karena
mampu mengalahkan armada perang terhebat pada masa itu, serta sebagai pemimpin
yang disegani dimasanya, itulah ia Muhammad Al Fatih. Sama juga halnya dengan
HOS Cokroaminoto yang membina Ir. Soekarno, Muso dan Kartosuwiryo. Atas dasar inilah,
dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk membangun pemimpin yang berkarakter dan
berintegritas, dibutuhkan :
1.
Adanya metode pengawasan dan
pendayagunaan dari pemimpin sebelumnya, guna mengkader pemimpin selanjutnya.
2.
Terciptanya hubungan yang harmonis antar
pemimpin
3.
Modal yang kuat, sikap idealis serta
kecerdasan Adversity (mengubah hambatan menjadi peluang)
“ Pemimpin yang baik
ialah ia yang mencontohi serta memperbaiki pemimpin sebelumnya”, itulah
kata-kata mutiara yang disampaikan Mohammad Hatta untuk generasi bangsa ini.
Penulis sangat tak sependapat dengan keadaan harmonisasi presiden disetiap
masa/ periode negara ini yang selalu memiliki hubungan buruk, sehingga menjadi
degradasi moral bagi bangsa ini. Dimensi masalah ini menjadikan Indonesia
kehilangan nilai estetika dan romantisnya perjuangan pemuda masa lalu dalam
menegakkan pilar-pilar bangsa. Oleh karena itu, penulis tegaskan lagi harusnya
ada pembinaan, adanya pengawalan, adanya target mencetak pemimpin yang mampu
bersaing dalam setiap lini, agar para pemuda aataupun mahasiswa tadi, dapat
menemukan jati diri, menemukan ideologi, menemukan karakter ataupun menemukan
kepercayaan dalam menjadi pemimpin yang berkarakter serta berintegritas sesuai
masanya, agar mampu menyeimbangkan dirinya dalam setiap kondisi, kini dan
nanti, guna menuju Indonesia yang progresif, revolusioner, visioner dan
futiristik.
* Tulisan yang disusun
dalam kegiatan LKMM TD FISIP UNDIP dan sebagai 5 tulisan terpilih untuk
didiskusikan.
** Mahasiswa semester 3
Ilmu Pemerintahan Fisip Undip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar