Senin, 21 November 2011

Membangun Sinergisitas Peran Mahasiswa Kini dan Nanti*



Sub Tema : “Membangun Pemimpin yang Berkarakter dan Berintegritas Menuju Era Baru”
Oleh : Joni Firmansyah**
Mahasiswa, identik dengan idealismenya, rela bergerak bahkan memang harus bergerak demi ideologinya, yang sejatinya telah menjadi fitrah dan komitmen secara ideologis untuk berderap dan melaju menuju sinergisitas peran mereka. Mahasiswa, dalam paradigma M. Iksan Shiddegy, sesuai buah pemikirannya dalam sebuah jurnal pembaharuan, secara terang-terangan mempertanyakan kembali eksistensi generasi muda saat ini yang sangat jauh dari kata “bergerak”. M. Iksan Shiddegy, mengklasifikasikan mahasiswa dalam tiga kategori. Pertama, ialah mahasiswa aktifis, yang hobinya narsis, senang berretoris dan merasa sok laris. Mahasiswa seperti ini menjadikan organisasi sebagai tujuan utama, meyakini bahwa apa yang mereka lakukan demi kepentingan rakyat, sehingga mereka terbawa suasana “perjuangan” kampus guna kepentingan rakyat, hingga menunda kelulusan mereka agar lebih memudahkan alur mereka dalam mengurus rakyat, padahal dengan menunda kelulusannya, artinya ia lebih banyak menghabiskan uang orang tuanya, yang notabenenya adalah rakyat juga. Kedua, ialah mahasiswa teks book, mahasiswa teoritis yang lebih suka berkutat dengan teori- teori gampangan dan murahan tanpa adanya kongklusi realistis. Mahasiswa ini jarang berkoar dijalanan, jarang pula ikut aksi tapi lebih senang diskusi dan update status di FB dan Twitter. Mahasiswa ini lebih senang berkoar didunia maya, lebih menyukai diskusi satu arah, namun ketika dipertanyakan integritas serta pemahaman asumsi faktualnya, mereka hanya bungkam serta diam, tanpa ada pembelaan berarti. Ketiga ialah mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang), yang tak peduli mau ada aksi, tak peduli dekan dan pejabat kampus korupsi, yang terpenting absen mereka penuh terisi, maka aman dan usailah sudah. Selanjutnya ialah tipe keempat, yaitu segelintir mahasiswa yang no background, no perception dan beraksi melawan kaum ideologis. Pergerakan mereka sama layaknya kaum-kaum Sophies pada masa Socrates, yang merasa dirinya sebagai golongan paling cerdas, anti perubahan atau biasa yang disebut sebagai pragmatis-apatisasi gerakan. Mahasiswa dalam porsi ini, hanya bisa mempertanyakan, tanpa ada solusi ataupun jalan keluar perubahan. Hanya bisa mengkritik, tanpa ada paradigma teori yang jelas. Alur yang dibangun nampaknya membentuk gerakan revival, yaitu gerakan penyucian diri, dengan etnosentris dan primordialis yang menjadi dasar gerakan. Mereka selalu bersifat antipati dan berkeinginan memotong alur gerakan, bersifat oppurtunistik, pengecut dan bertopeng. Mengklaim dirinya sebagai aktor, nyatanya sebagai “tikus-tikus kantor” yang hanya bisa menggerogoti dan memutarbalikkan fakta serta asumsi yang ada. Selanjutnya, karakteristik yang terkahir ialah Progresif-Revolutioner, yaitu golongan mahasiswa yang memiliki ekspektasi yang realistis, penuh perhitungan, matang perencanaan, serta bersinergis terhadap perubahan. Mahasiswa seperti ini penuh dengan ide, penuh dengan harapan, yang teraplikasi dalam tindakan. Memiliki kesinambungan progres akademis, dengan tinjauan futuristik nan strategis visi dirinya kedepannya.

Itulah pandangan sekilas dari M. Iksan Shiddegy tadi, atas realitas mahasiswa yang sudah tak sinergis, tak sejalan, tak satu visi maupun sudah tak satu dalam pergerakan. Dilematisasi ini, menjadikan negara ini galau atas peradabannya, keluh dalam pergerakannya, dan merintih atas distorsi kepentingan. Negara dengan pancasila dan demokrasi sebagai pilar penggerak, nyatanya harus kecewa dan termentahkan dengan peran pemuda yang tak memiliki stabilitas lagi.

Dari berbagai asumsi dan pandangan yang ada, penulis teringat dan “tergelitik” kembali dengan euforia kisah-kisah masa lalu dalam pengkaderan kepemudaan. Penulis teringat atas kata-kata bertenaga Ir. Soekarno, “Jas Merah”, jangan sekali-kali melupakan sejarah, memberikan pembelajaran sinergisitas peran generasi muda. Kita dapat belajar bagaimana Socrates membina Plato dan Aristoteles dalam menempatkan “batu” pertama dalam science, kita dapat mengikuti bagaimana Karl Mark mengasuh Lenin dan Stalin menjadi founding father komunis dunia, hingga kita dapat belajar bagaimana Rasulullah SAW membina Abu Bakar As-Syiddik, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, serta Ali bin Abi Thalib dalam menegakkan syariah Islam sebagai Agama Rahmatan Lil Alamin, dan melahirkan pemuda terhebat dalam dunia kemiliteran yang pernah ada, karena mampu mengalahkan armada perang terhebat pada masa itu, serta sebagai pemimpin yang disegani dimasanya, itulah ia Muhammad Al Fatih. Sama juga halnya dengan HOS Cokroaminoto yang membina Ir. Soekarno, Muso dan Kartosuwiryo. Atas dasar inilah, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk membangun pemimpin yang berkarakter dan berintegritas, dibutuhkan :
1.      Adanya metode pengawasan dan pendayagunaan dari pemimpin sebelumnya, guna mengkader pemimpin selanjutnya.
2.      Terciptanya hubungan yang harmonis antar pemimpin
3.      Modal yang kuat, sikap idealis serta kecerdasan Adversity (mengubah hambatan menjadi peluang)

“ Pemimpin yang baik ialah ia yang mencontohi serta memperbaiki pemimpin sebelumnya”, itulah kata-kata mutiara yang disampaikan Mohammad Hatta untuk generasi bangsa ini. Penulis sangat tak sependapat dengan keadaan harmonisasi presiden disetiap masa/ periode negara ini yang selalu memiliki hubungan buruk, sehingga menjadi degradasi moral bagi bangsa ini. Dimensi masalah ini menjadikan Indonesia kehilangan nilai estetika dan romantisnya perjuangan pemuda masa lalu dalam menegakkan pilar-pilar bangsa. Oleh karena itu, penulis tegaskan lagi harusnya ada pembinaan, adanya pengawalan, adanya target mencetak pemimpin yang mampu bersaing dalam setiap lini, agar para pemuda aataupun mahasiswa tadi, dapat menemukan jati diri, menemukan ideologi, menemukan karakter ataupun menemukan kepercayaan dalam menjadi pemimpin yang berkarakter serta berintegritas sesuai masanya, agar mampu menyeimbangkan dirinya dalam setiap kondisi, kini dan nanti, guna menuju Indonesia yang progresif, revolusioner, visioner dan futiristik.

* Tulisan yang disusun dalam kegiatan LKMM TD FISIP UNDIP dan sebagai 5 tulisan terpilih untuk didiskusikan.
** Mahasiswa semester 3 Ilmu Pemerintahan Fisip Undip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar